Jumat, 26 Maret 2010

Fanfic The Future and the Past 9

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
NINTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Alcheon: Lee Seung Hyo (memakai nama asli di FF)
Kim Chun Chu: Yoo Seung Ho (memakai nama asli di FF)
Bakui: Jang Hee Woong (memakai nama asli di FF)
Bo Rang: Park Eun Bin (memakai nama asli di FF)
General Ga Baek: Seo Bum Shik (memakai nama asli di FF)
San Tak: Kang Sung Pil (memakai nama asli di FF)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

”Nam Gil?” suara ketukan pintu membangunkanku. Kepalaku terasa sakit, demikian juga dengan bahuku. Secepat aku bangun, secepat itu pula rasa nyeri menghantam bahuku yang dipenuhi perban.

”Ya,” sahutku malas. Kedengarannya Papa. ”Masuk saja, Pa...” panggilku. Papa masuk beberapa detik kemudian, dan wajahnya tampak muram, semuram senja.

”Kau baik-baik saja...?” tanyanya sambil menatap bahuku yang penuh perban. Sial, seharusnya kugunakan saja kaos lengan panjang kemarin, bukannya kaos oblong seperti ini. ”Kelihatannya bahumu luka parah kemarin... Berkelahi?”

”Tidak,” jawabku cepat. ”Hanya orang aneh yang tiba-tiba mencari masalah...” jawabku. Yah, tidak ada salahnya kalau tidak menceritakan seluruh ceritanya bukan?

”Dulu Papa juga pernah seusiamu... kadang kala memang kami berkelahi, dan tidak jarang pulang babak belur,” ia menatapku dengan pandangan menerawang. ”Kalau kuingat, aku tidak pernah memarahimu, bukan?”

”Ya,” jawabku. Papa tidak pernah memarahiku, hanya menasihati panjang lebar. Dan ikat pinggang pun ia gunakan kalau amarahnya sudah melebihi ambang batas. Tapi itu dulu, dan untuk kesalahan yang tidak pernah kulakukan.

Ia menarik senyuman tipis dan menghela nafas. ”Apa kau ingin kumarahi, Nam Gil?” tanyanya dengan pandangan mata prihatin.

”Tidak perlu, kurasa,” jawabku sambil memutar bola mataku. ”Maaf merepotkan semalam...” ujarku menyesal.

Satu-satunya hal yang membuatku merasa tidak nyaman adalah karena perkelahian kami akhirnya melibatkan pihak kepolisian. Aku terpaksa ikut ke kantor untuk memberi kesaksian. Hee Wong dijamin oleh seorang wanita bernama Nam Ji Hyun. Dan aku? Tidak ada yang bisa kuhubungi selain Papa.

”Kudengar dari Tae Wong, kau berkunjung ke SMA tempatnya mengajar karate?” tanya Papa memastikan. Sialan, dia mengadu? Dengan malas aku mengangguk. ”Dia bilang seisi sekolah menanti kedatanganmu ke sana... Kudengar minggu depan mereka mau mengadakan festival olahraga...”

”Oh ya?” sejenak kurasakan siraman semangat memenuhiku. Apa mereka mulai mengakui keberadaanku? ”Apa aku boleh ke sana?” sejurus kemudian aku menyesali pertanyaanku itu. untuk apa kutanyakan? Sampai sekarang aku tidak tahu. Barangkali sikap Papa yang sejenak tampak seperti seorang Papa memicuku untuk melakukannya, meminta ijjinnya.

”Kenapa tidak?” jawabnya sambil tersenyum, tanpa rasa curiga setitikpun.

”Aku.. berpikir... mungkin sebaiknya aku ke sana lagi, dan mencoba melamar sebagai pelatih taekwondo, atau mungkin.. basket?” pancingku. Atau mungkin, karate? Tapi itu tidak kutanyakan. Terlalu mencurigakan.

”Olahraga merupakan penyaluran bakat yang positif, kenapa tidak? Cobalah!” ujarnya sambil tersenyum bangga. Aku membalas dengan senyuman. Setengah dadaku menyuarakan keraguan untuk pembalasan dendam.


─Lee Yo Won, Seoul, 2008 ─

Ketika pintu ruang rapat kubuka, kukira tidak ada seorang pun di sana. Tetapi, ternyata aku salah. Di pojok ruangan, Yoo Seung Ho duduk sambil menekuk lutut. ”Hai,” sapaku. Tapi ia hanya menatapku dengan pandangan dingin. ”Mana yang lain?” tanyaku, lalu cowok itu menghela nafas dan menutup matanya kesal.

”Kalau Kak Seung Hyo, dia latihan karate jadi dia tidak datang, sedangkan mereka? Tidak ada Kak Seung Hyo, mereka tidak mau datang,” jawabnya setengah berbisik, setengah menggumam. ”Kau bawa notulen yang kuminta?”

”Ya, tentu saja,” jawabku. Kuserahkan CD yang kubawa di tasku. ”Di sana juga ada proposal dan jadwal acara kegiatan tahun lalu, simpan saja, siapa tahu berguna...”

”Entahlah,” jawabnya malas. ”Cuma kau yang datang, apa kita masih perlu mengadakan rapat?”

”Seung Ho...” panggilku. Ia menatap ke kejauhan dengan wajah tertekuk.

”Mereka meremehkanku karena mengira usiaku terlalu muda untuk menjabat sebagai wakil OSIS!” ia menggebrak meja dengan perasaan dongkol. Aku menatapnya dengan pandangan kasihan.

”Kau tahu, dulu Kak Seung Hyo juga mendapat perlakuan yang sama. Jadi kau tidak boleh menyerah. Ia bisa membuktikan kemampuannya, jadi kurasa kau juga bisa. Lagipula, kau tidak sendirian... Ada aku...” tukasku, berusaha menyemangatinya.

Seung Ho hendak membantah ketika tiba-tiba sebuah suara ikut bicara. ”Ada aku juga!!” seru suara itu. Ternyata Park Eun Bin, seorang anggota OSIS baru, ia ditunjuk sebagai seksi seni. ”Maaf, aku terlambat. Tadi ada klub melukis,” jawabnya sambil tersenyum.

”Permisi,” ujar sebuah suara diiringi ketukan pintu. Ye Jin dan Kak Seung Hyo serta Kak Tae Wong masuk berbarengan. Bisa kurasakan wajah bingung mereka karena tidak ada anggota lain di ruangan itu. Kutatap mereka dan kemudian kutatap Seung Ho dengan puas. Dan bisa kurasakan binar mata Seung Ho mulai muncul kembali.

”Jadi, totalnya ada enam orang. Aku, Seung Ho, Eun Bin, Ye Jin, Kak Seung Hyo dan Kak Tae Wong.... bagaimana?”

Seung Ho menatapku dengan pandangan berterimakasih sekaligus puas. Ia menarik nafas dalam-dalam dan berujar dengan suara keras. ”Baiklah, semuanya duduk! Rapat dimulai sekarang!!”



”Menurutku anak itu hebat juga, ya...” puji Ye Jin untuk kesekian kalinya. Aku juga mengangguk, untuk kesekian kalinya. ”Dia tetap bersemangat walaupun anggota OSIS sebagian besar mengerjainya. Dasar, dari dulu mereka memang kekanak-kanakan!!” tanpa sadar, ia sewot sendiri.

Aku tertawa menanggapinya. ”Dia memang hebat,” kalau kuingat, beberapa saat lalu wajahnya masih tertekuk marah. Namun sedetik kemudian, hanya dengan 6 orang, semangatnya sudah kembali. Itu suatu awal yang baik, pikirku.

”Jadi, apa festivalnya bisa dilaksanakan tepat waktu ya, minggu depan?” tanya Ye Jin bingung. ”Kalau hanya kita berenam, apa bisa?”

”Lebih baik 6 orang kompeten daripada 100 orang tapi tidak bisa apa-apa...” jawabku. Ye Jin tersenyum setuju, dan ikut mengangguk.

Biar bagaimanapun, festival olahraga sudah menjadi tradisi semester SMU West High. Dan menurut perkiraanku, Seung Ho tidak akan gagal karena festival ini, melainkan, festival inilah yang akan mengangkat namanya. Ia akan berhasil. Karena setidaknya, ia punya kami semua yang siap mendukung kesuksesan acara ini.



─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

”Nama pria itu adalah Seo Bum Shik. Kelihatannya dia ada hubungan keluarga dengan Yeom Jong. Kalau tidak salah, saudara sepupunya atau apalah itu...” ujar Hee Wong padaku.

”Kau menyelidikinya untukku?” tanyaku tidak percaya. ”Sudahlah, tidak penting. Dan kalau boleh kutambahkan, aku tidak kaget. Sifat brutalnya mengingatkanku pada Yeom Jong...”

”Yah,” Hee Wong mengedikkan bahunya sedikit. ”Sifatnya jadi menyebalkan juga mungkin karena tumbuh di keluarga semacam itu...” ia menghentikan langkahnya dan menunjuk ke depan. ”Lihat! Ada yang dikeroyok di sana...!!” serunya dengan wajah kesal. ”Kenapa mereka beraninya main keroyokan sih?”

”Tidak masalah, ayo kita bantu orang itu,” ajakku. Dan dalam waktu singkat kami sudah terlibat di sana, memukul dan meninju. Setelah selesai berkelahi dan orang-orang pengecut itu lari, aku baru ingat bahuku terluka. Sekarang lukanya berdenyut-denyut dan terasa menyakitkan.

”Nam Gil! Tanganmu!” seru Hee Wong kaget.

Kulihat darah kembali mengalir pelan. Dengan bantuan Hee Wong, kueratkan ikatan perban di lenganku. Semangatku langsung turun melihat sosok yang mati-matian kubantu, ternyata Kang Sung Pil. ”Apa sih yang kau lakukan?” tanyaku dengan jengkel.

”Aku tidak melakukan apapun, mereka tiba-tiba mencegatku dan menodongku. Enak saja, makanya aku melawan. Tahu-tahu aku dikeroyok yo...” jawabnya dengan wajah pucat. Sudut matanya biru dan beberapa bagian pipinya lebam.

”Tapi kau tidak minta bantuan Yeom Jong, kau lumayan jantan juga,” ucapku sambil menatapnya dan menggeleng kagum. ”Tampaknya kau lebih baik daripada teman-temanmu...”

Ia tersenyum bangga, tampaknya tidak menduga aku akan memujinya ”Terimakasih, yoo... dan terimakasih sudah membantuku.. Lukamu bagaimana, yo?”

”Oh? Ini? Tidak apa-apa.. sebentar juga sembuh...” ujarku pelan.

Ia menatapku dengan pandangan kagum. Entah kenapa aku tidak bisa menahan tawaku karena dalam sekejap tatapan matanya terlihat begitu lucu. ”Kau kenapa, sih?” tanyaku bingung. ”Ayo, Hee Wong, kita pergi...” ajakku sambil menolehkan kepala sedikit.

”Aku ingin jadi muridmu yo!!” teriaknya.

Sejenak aku memandangnya seolah ia manusia paling tidak waras di dunia. Mana mau aku menerima pengikut Yeom Jong sebagai muridku? Lagipula, sejak kapan aku jadi guru? Padahal aku sendiri punya guru, yaitu ayahnya Jung Yong Soo, Pak Jung Ho Bin. Jadi, mana mungkin?

”Aku tidak pernah punya murid,” senyumku. ”Tapi mungkin, sebagai teman?” tawarku. Ia tersenyum dan berdiri, lalu menjabat tanganku penuh semangat.

”Teman! Kau adalah temanku yo!!” ujarnya sambil tersenyum lebar. ”Aku janji akan setia padamu!!” jawabnya. Dengan senyum kubalas semangatnya. Yah, semoga saja kau bisa setia, bahkan walau di depan Yeom Jong sekalipun, pikirku.

”Ayo Hee Wong, Pak Jung menunggu kita,” ujarku sambil berjalan pergi. Luka di bahuku pelan-pelan berdenyut menyakitkan. Hah! Lagi-lagi! Kuharap bahuku sudah sembuh sebelum festival itu dimulai!!

---to be continued--

Tidak ada komentar: