Jumat, 16 Juli 2010

Fanfic The Future and the Past 43

-------------------------------------------------------------------------------------------------
FORTY THIRD SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Ho Jae: Go Yoon Hoo (memakai nama asli di FF)
Bakui: Jang Hee Woong (memakai nama asli di FF)
Kim Yong Soo : Park Jung Chul(nama asli): Jung Yong Soo (nama di FF)
Seok Pum: Hong Kyung In (memakai nama asli di FF)
General Ga Baek: Seo Bum Shik (memakai nama asli di FF)
Yeom Jong
-------------------------------------------------------------------------------------------------
─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

“Dia sudah keterlaluan...” ujar Yong Soo sambil menghempaskan koran yang dibacanya dengan kesal.

Aku menaikkan alisku dan memandang koran itu selintas. Tentu saja aku tidak perlu lagi membacanya. Aku sudah tahu isinya. Pria itu kabur lagi, dan kali ini ia meledakkan tempatnya untuk menghilangkan jejaknya. Akibatnya, tiga nyawa penduduk sekitar yang tidak sempat meloloskan diri dalam kebakaran itu pun melayang.

”Dia sudah tidak tertolong lagi...” tukasku, kecewa.

”Dia sudah bukan manusia lagi...” tambah Yoon Hoo. Tangannya meremas koran itu. ”Ups, sorry, maaf Nam Gil, aku lupa ini koran yang baru kau beli...”

”Tidak perlu mencemaskan hal-hal kecil...” ujarku, memutar bola mataku. ”Polisi bahkan sudah memberikan iming-iming hadiah bagi mereka yang melihatnya. Di mana lagi dia bisa sembunyi?” tanyaku, berusaha memutar otakku.

“Ada yang kau lupakan...” Hee Wong muncul di pintu dengan seulas senyuman. ”Seandainya seluruh dunia memusuhinya, dia masih punya satu bawahan setia. Pria itu, kau kenal dengannya, Nam Gil...”

Selintas ingatan memenuhi otakku. ”Menurutmu dia ada di tempat Hong Kyung In?” tanyaku, nyaris tidak percaya aku telah melupakan nama itu.

Hee Wong mengedikkan bahunya pelan. ”Aku tidak tahu, tapi tidak ada salahnya kita mencoba mencarinya di sana...”

”Telepon polisi...” ujarku datar. ”Hari ini akan menjadi hari yang panjang dan melelahkan...”


─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“Kau akan pergi?” entah keberapa kalinya kuutarakan pertanyaan itu. Dan suara di seberang, masih menanggapiku dengan sabar.

“Aku akan pergi untuk mengakhiri semua kejahatannya. Dan selanjutnya, kita berdua bisa menjalani semuanya dengan cara yang lebih baik. Lalu, kalau aku tidak pulang, tolong jaga Ibu dan adikku. Dan kemudian, jangan berbuat hal bodoh. Dan… kalau aku pulang, aku akan menemui keluargamu untuk meminta mereka menyerahkanmu padaku…”

Air mata menetes pelan dan jatuh ke punggung tanganku saat kuusap mataku pelan. “Kalau begitu, kau harus pulang. Kau harus pulang, karena kau juga sudah janji mau kencan tengah malam denganku tanggal 31 desember. Dan kita akan menghitung countdown bersama-sama…”

“Aku akan mengusahakannya Yo Won… Tentu saja aku juga ingin pulang....”

”Tidak akan terjadi apa-apa, kan?” tanyaku, mendesaknya agar mengucapkan janji untuk pulang. Aku takut mendengar semua rencananya. Aku takut tidak bisa mendengar suara ini lagi selamanya. ”Berjanjilah,” desakku.

”Aku janji aku akan berusaha keras agar bisa pulang. Aku juga masih ingin memelukmu...”;

”Kau sudah janji ya, Nam Gil...” ujarku, meletakkan tangan di mulutku dan mencegah agar tangisku tidak pecah.

Nam Gil tidak segera menjawab, lama kemudian, ia berkata dengan suara berbisik. ”Aku mencintaimu, Yo Won....”

”Tuuut... tuut... tuut....”

Begitu telepon ditutup, air mataku berderai jatuh. Aku mencintaimu Nam Gil, dan demi Tuhan, kau harus pulang....


─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

”Bagaimana?” tanya Yong Soo begitu aku menyusul mereka mengintip dari balik semak-semak. Tanganku meraih teropong dan meletakkannya di depan wajahku.

”Buruk,” jawabku dengan perasaan campur aduk. ”Dimana polisi?”

”Belum datang. Mungkin mereka meragukan kita...” Hee Wong menatap teropongnya dan mendesah. ”Masing-masing dari kita akan pulang, harus... aku sudah berjanji pada Ji Hyun...”

Kutatap teman-temanku dan mengangguk paham. Mereka mengalami keadaan yang sama denganku. Kami semua harus pulang hidup-hidup, tidak bisa tidak.

”Itu dia!!” desis Yoon Hoo tiba-tiba. Kami semua menatapnya kaget dan kemudian mengarahkan teropong kea rah pandangannya.

“Arah jam 3…” ujar Hee Wong. “Di lantai dua. Aku tidak yakin, tapi kurasa itu mirip dengan Yeom Jong…”

“Dia tidak terlihat persis pria pendek itu, tapi kurasa itu dia. Lihat topi dan kacamata hitam itu, terlalu mencurigakan…”

“Kita amati dulu? Bagaimana, Nam Gil?”

Kami semua mengamati rumah Hong Kyung In dengan perasaan berdebar. Di lantai dua, tempat semua pandangan kami tertuju, tampak dua sosok tubuh sedang saling berhadapan dan tampaknya, mereka sedang mendiskusikan sesuatu.

Pria yang satu jelas adalah Hong Kyung In. Dan satunya lagi, mengenakan sebuah topi dan kacamata hitam yang menyamarkan wajahnya, ia terlihat familiar. Dan sangat tidak asing. Tetapi, entah bagaimana kurasa itu bukan dia.

”Kurasa kita dijebak...” ujarku, nyaris terkejut dengan suaraku sendiri.

”Apa maksudmu?” mereka semua menatapku dengan perasaan kaget. ”Maksudmu, dia tidak berada di sini?”

”Begini, pria itu sangat licik. Dan, kurasa ia tidak sebodoh itu untuk sembunyi di rumah orang yang dengan jelas bisa dicurigai, seperti Hong Kyung In. Jadi, kurasa itu bukan dia. Dan seharusnya di tangannya masih ada luka tembak hadiah dariku sewaktu di Rusia...”

“Jadi, di mana dia...?” Yoon Hoo mendecak kesal dan kemudian terlonjak kaget. “Itu dia! Aku tahu dia di mana! Seharusnya, maksudku, mungkin...”

“Dimana?” tanyaku. “Baiklah, kalian berdua berjaga-jaga di sini untuk mencegah kemungkinan dugaanku salah. Dan aku akan bersama Yoon Hoo ke tempat yang dimaksudkannya. Dimana itu, Yoon Hoo?”

“Begini, tolong maafkan kalau analisisku salah Nam Gil, tetapi.. kau ingat, Nona Ri Chan cerita soal kejadian di restoran di mana Seo Bum Shik kelihatannya bermusuhan dengan Yeom Jong, kurasa itu titik pentingnya...”

“Ya, ya, benar!” aku menepuk pundak Yoon Hoo dengan kagum. ”Benar! Itu dia missing pointnya!! Seo Bum Shik selama ini dikenal sebagai bekingan Yeom Jong, tidak mungkin dalam sehari semalam mereka bisa bermusuhan!!”

”Syukurlah kalau memang aku benar. Ayo kita ke sana Nam Gil!!” Yoon Hoo menstarter motornya dengan penuh semangat. ”Kita akan pergi dan pulang dengan selamat!!” serunya.

”Ya, tentu saja!” seruku, terkejut dengan luapan energi tiba-tiba dari dalam diriku. ”kalian berdua, aku serahkan semuanya untuk berjaga-jaga di sini. Dan tolong telepon polisi dan Baek Do Bin untuk datang ke kediaman Seo Bum Shik!!”

Begitu kami tiba di kediaman Seo Bum Shik, tempat itu ternyata kosong melompong. Tidak lama ponselku bergetar.

”Ya, ada apa Do Bin...”

”Kabar buruk Nam Gil, lebih baik kau ke airport sekarang juga... seorang mata-mataku mengatakan kalau ada penerbangan ke Amerika atas nama Seo Bum Shik. Dugaanku bukan dia yang berangkat...”

”Aku mengerti, aku akan ke sana sekarang!” samar-samar kudengar kalau Do Bin berkata ia akan menyusul kami.

”Apa yang terjadi?” tanya Yoon Hoo. Ia menyusul motorku dengan sekejap begitu haluan kuubah secepat mungkin.

”Ada kabar kalau nama Seo Bum Shik tercantum dalam penerbangan ke Amerika...”

Yoon Hoo mengangguk panik. ”Do Bin ke sana?”

“Aku tidak yakin, tapi kurasa demikian…”

”Semuanya jadi serba sulit!” Yoon Hoo mengumpat kesal dan bersamaku meningkatkan kecepatan motornya.

”Berhenti!!” tukasku tiba-tiba. Yoon Hoo terlonjak kaget dan mengerem semampunya. Ia berjajar denganku, menatapku dengan pandangan tidak mengerti.

“Aku mengenali mobil itu….” ujarku, memastikan suaraku cukup kecil. Mobil yang sama dengan mobil yang menjemput Seo Bum Shik saat ditahan di polisi karena memukulku dulu.

Nafas kami berdua tertahan di tenggorokan. Ada dua Seo Bum Shik di sana, dan jelas salah satunya palsu. Salah seorang lantas memasuki mobil itu dengan gayanya yang angkuh. Dan dengan jelas, aku bisa melihat bekas luka bakar panjang ditangan kanannya.

”Yeom Jong...” desisku.

”Ikuti mobil itu?” tanya Yoon Hoo. Ia menelepon polisi dan memberikan nomor polisi dari mobil di depannya.

“Kita ikuti...” jawabku, berusaha mendinginkan kepalaku. Anak buah Seo Bum Shik tampak berkeliaran di sekeliling mereka. Tidak boleh ada tindakan ceroboh yang membawa kami berdua ke kematian yang sia-sia.

-to be continued-

Recommended for Holiday: watch this TV series!!


Plot Summary for
"Merlin" (2008) More at IMDbPro »

Young Merlin is a teenager, discovering and then learning to master his gift for magic. Magister Caius, the learned court physician of king Uther Pendragon to whom he's assigned as humble page, teaches him medicine, coaches his magical self-study and warns for Uther's vicious aversion from magic. Merlin becomes squire to the noble but imprudent crown prince, Arthur, whose fate is linked with Merlin's. Written by KGF Vissers


(source: http://www.imdb.com/title/tt1199099/plotsummary)


THE CAST


COLIN MORGAN, BRADLEY JAMES, ANTHONY HEAD
Merlin Cast - Merlin TV ShowMerlin Cast - Merlin TV ShowMerlin Cast - Merlin TV Show




ANGEL COULBY, KATIE MCGRATH, RICHARD WILSON
Merlin Cast - Merlin TV ShowMerlin Cast - Merlin TV ShowMerlin Cast - Merlin TV Show







JOHN HURT

Merlin Cast - Merlin TV Show





(source: http://www.merlintvshow.com/page/Merlin+Cast)


CAST:

COLIN MORGAN AS MERLIN



BRADLEY JAMES AS PRINCE ARTHUR

ANTHONY HEAD AS KING UTHERKATIE MCGRATH AS LADY MORGANA


ANGEL COULBY AS GUINEVERE / GWEN






SNAPSHOTS:

















Recommended for holiday: watch this anime!!

Titled is: WORKING
this is funny and enjoyable;

Working!! (TV)

Have you seen this? want to / seen some / seen all

[ adapted from Working!! (manga) ]

Alternative title:
ワーキング (Japanese)
Themes: Moe, Workplace
Plot Summary:
Set in a family restaurant in Hokkaido, the northern prefecture of Japan, 16 year old high school student Takanashi Souta works part-time along with his strange co-workers: Taneshima Popura, a high school girl who's a year older than Souta who's easily mistaken for a elementary/middle schooler, and Shirafuji Kyoko the 28-year old store manager who doesn't bother to do any work at all.
Sōta Takanashi found himself working in Wagnaria, a family restaurant run by Kyōko Shirafuji, the Manager; who cares more about her employees welfare than the customers. Along with the manager, Sota works with other co-workers that expresses unique personalities: Poplar Taneshima, whom has a height complex, Mahiru Inami, diagnosed with androphobia, Yoshiyo Todoroki, the chief that carries a katana, Jun Satō, the man with love trouble and Hiroomi Sōma, the gossip king.
User Ratings: 236 ratings have been given [details]



Masterpiece: 19 votes (sub:15, raw:2, dub:1, others:1
1 Spanish subtitled
)
Excellent: 51 votes (sub:48, raw:2, others:1
1 Korean subtitled
)
Very good: 91 votes (sub:86, ?:1, raw:1, others:3
3 Spanish subtitled
)
Good: 47 votes (sub:45, others:2
1 Tagalog dubbed
1 Polish subtitled
)
Decent: 16 votes (sub:16)
So-so: 6 votes (sub:6)
Not really good: 1 vote (raw:1)
Weak: 4 votes (sub:4)
Bad: 1 vote (sub:1)
Awful: -
Worst ever: -
Seen in part or in whole by 435 users, rank: #1291
Median rating: Very good
Arithmetic mean: 7.839 (Very good-.16), std. dev.: 1.3621, rank: #672
Weighted mean: 7.709 (Very good-.29), rank: #683 (seen all: 7.82 / seen some: 7.81 / won't finish: 3.74)
Bayesian estimate: 7.702 (Very good-.29), rank: #448
Number of episodes: 13
source: http://www.animenewsnetwork.com/


It's hilarious since Souta who's kind of guy who loves small and cute things ended up working in same place as Inami who have androphobia ( she hates man) and she always attack every man she sees

Fanfic The Future and the Past, side story 9

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
SIDE STORY 9
-A LONELY MAN-
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Karinna: Kim Rae Na
Ho Jae: Go Yoon Hoo (memakai nama asli di FF)
Fatimah: Kang Sung Fat
Kim Yong Soo : Park Jung Chul(nama asli): Jung Yong Soo (nama di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Kim Rae Na, Seoul, 2009─

“Hari ini makan apa ya…” Yoon Hoo menarik tanganku sambil menunjuk sebuah papan besar berwarna kecoklatan. ”Itu saja! ayo kita makan pizza!!”

Aku tertawa sambil mengikuti langkahnya. Entah keberapa kalinya kami berkencan, bergandengan tangan, dan makan bersama. Tapi, ia tidak juga menyatakannya. Hubungan kami masih tidak lebih dari sahabat yang super akrab.

Seolah kebaikannya tanpa batas untukku. Jangan-jangan.. dia memperlakukanku seperti adiknya? Hhh...

”Ada yang mengganggu pikiranmu ya?” tanya Yoon Hoo sambil menggigit pizzanya.

”Tidak juga,” elakku, mengaduk lemon tea milikku dan meminumnya. ”Kau sendiri kelihatan cemas...”

”Aku? Cemas? Tidak... tentu saja tidak...” ia tertawa kaget lalu memakan pizzanya lagi. Ia kembali terdiam dan menghela nafas. ”Baiklah, mungkin aku memang agak cemas...” cowok itu mengacak rambutnya pelan dan terlihat sangat gelisah di kursinya.

”Kau mau cerita padaku?” tanyaku, menatapnya langsung di matanya. “Aku tidak memaksa tentu saja...”

”Kau tahu kan, aku sudah cerita banyak padamu... soal Yeom Jong, soal Kim Nam Gil, dan Kang Sung Fat...”

Aku mengangguk dalam hening. Dunia berbahaya yang kukira hanya ada di film ternyata berada begitu dekat denganku. Yoon Hoo mengtakan Nam Gil membantu temannya untuk membubarkan kelompok mafianya, dan Yeom Jong mengacaukannya, mengakibatkan Kakak Sung Fat, sahabatku, meninggal. Perutku masih terasa mulas tiap kali mengingat masalah itu.

”Manusia bernama Yeom Jong itu...” aku bergidik sedikit saat menyebut namanya. ”Dia benar-benar...”

”Berengsek...” sambung Yoon Hoo, seolah memahami bahwa aku tidak akan sanggup memaki pria itu. aku mengangguk menanggapi ucapan Yoon Hoo. ”Dan dia, pria itu, dia gagal ditangkap. Aku cemas, akan keadaan Nam Gil...”

Aku mengangguk paham dan menyentuh tangannya. Yoon Hoo meremas tanganku dan membalas tatapanku. ”Kau harus berada di sampingnya dan melindungi sahabatmu. Ini saat yang sulit untuk kalian...”

”Ya, terimakasih Rae Na...” Yoon Hoo tersenyum sambil menatapku lembut. ”Aku bersyukur karena kau selalu ada di sampingku...”

”Begitu juga aku. Dan berkatmu, beratku naik tiga kilo bulan ini...”

Yoon Hoo tergelak kaget dan tertawa keras. ”Itu hal yang baik kan?” ia mengedipkan sebelah matanya padaku. ”Lagipula, aku suka gadis yang berisi...”

Candaanya selalu saja menyebalkan dan membuat pipiku terasa panas. Dasar Yoon Hoo. ”Kau menyebalkan,” ujarku, tentu saja tidak sungguh-sungguh.

”Tapi, kau menyukainya kan?” candanya lagi, masih dengan senyumannya yang sangat menggoda.

”Yah, lumayan...” jawabku sekenanya.


─Go Yoon Hoo, Seoul, 2009─

“Selamat malam!!” sapaku riang pada Nam Gil. Lee Yo Won duduk di sebelahnya. Tangannya berada dalam genggaman Nam Gil.

”Kau tidak mengajak pacarmu?” tanya Yo Won padaku.

Aku menggeleng dan menjawab dengan senyuman ringan. ”Belum, Rae Na masih belum jadi pacarku...”

”Kapan kau akan menyatakannya?” ujar suara yang lain, yang ternyata adalah milik Ye Jin. Ia muncul bersama Yong Soo dan tampak modis dalam mini dressnya.

”Semuanya berkumpul dan aku kesepian sendirian, ooh, kayaknya aku nggak bisa tertawa hahaha...” ujarku, merasa kering. ”Baiklah, karena semuanya sudah tahu situasinya, kita langsung mulai saja...”

”Aku akan menjaga Yo Won sepanjang waktu... dan Ye Jin akan dijaga Yong Soo... pokoknya selama Yeom Jong belum ditangkap polisi, pada masa kritis ini kita akan saling menjaga... pria itu licik dan kemungkinan besar ia akan menggunakan segala cara untuk membalaskan dendamnya...”

Pandangan Yo Won berubah cemas, dan Nam Gil menjawabnya dengan senyuman yang menenangkan. ”Tidak mungkin kan dia menyerang Rae Na?” tanyaku, tiba-tiba merasa tidak yakin dengan keamanannya.

”Kurasa tidak. Ia dendam padaku. Membenciku. Jadi... Aku harap, sebisa mungkin, aku tidak akan membawamu dalam bahaya, Yo Won...” ujar Nam Gil.

Yo Won menggeleng dan memintanya tidak cemas. Menyebalkan juga melihat adegan romantis tanpa siapapun disamping kita. Hh...

”Sekarang dia sudah menjadi buronan yang paling diincar polisi...” Yong Soo berujar pelan sambil berpikir dan menangkupkan tangannya. ”Siapapun yang melihatnya, segera hubungi polisi dan jangan bertindak sendirian...”

”Dan kuharap kau tidak gegabah, Nam Gil...” Yong Soo menatap Nam Gil dengan tatapan tajam. ”Aku tidak mau kehilangan calon adik iparku...” ujarnya. Mereka tertawa berbarengan.

”Bagaimana dengan Hee Wong? Tidak ada yang menghubunginya?” tanyaku. Kalau Hee Wong datang, ia pasti tidak akan membawa Nam Ji Hyun bersamanya. Dan itu berarti, aku tidak akan menjadi pria kesepian di sini.

”Hee Wong masih sibuk dengan Ji Hyun..” jawab Nam Gil pelan. ”Dan juga dengan pekerjaannya.. Ia sudah berjanji akan berhati-hati...”


─Kim Rae Na, Seoul, 2009─

”Dia masih belum tertangkap, rupanya...” Sung Fat tampak cemas dan menatapku pelan. ”Bagaimana mungkin dia bisa lari?”

”Aku tidak tahu... Tapi kurasa dia tidak sendirian. Pasti di antara para polisi itu ada penghianat. Tidak mungkin dia lolos tanpa bantuan orang dalam...”

“Kau cerdas, Rae Na...” Sung Fat menarik nafas pelan. “Biar bagaimana pun, aku ingin dia berada di penjara selamanya. Sudah cukup banyak penderitaan yang diakibatkannya ke orang lain...”

Aku mengusap punggung Sung Fat pelan saat matanya mulai berkaca-kaca. Ia sangat mencintai kakaknya, dan sampai sekarang pun, aku tahu ia masih mencintainya.

Tapi, keberadaan Ji Hoo sudah berhasil mengikis kepedihannya. Dan cowok itu menepati janjinya untuk setia dan selalu menjaga Sung Fat. Tidak ada yang bisa kusesalkan, bukan?

Dan Sung Fat... mencintai Ji Hoo dengan cara yang berbeda. Cinta, namun berbeda dengan cintanya pada Kakaknya.

“Padahal masa depan Kakakku seharusnya masih panjang di depan sana...” pelan Sung Fat menghapus dan menyembunyikan air matanya dariku. “Aku tidak ingin pria itu bebas di luar sana...”

“Aku juga tidak mau...” ujarku, menarik nafas pelan. ”Dia seharusnya mendapatkan ganjaran yang setimpal...”

”Sudahlah, kita hentikan saja pembicaraan ini...” sela Sung Fat tiba-tiba. ”Rasanya suasananya jadi berubah nggak enak. Begini saja, kita bicarakan soal kau. Bagaimana hubunganmu dengan Yoon Hoo?”

”Hah? Hubungan apa?” tanyaku, kaget. Hampir saja jantungku copot barusan

”Kalian belum pacaran juga?” Sung Fat memandangku curiga. ”Atau kau… masih belum bisa melupakan Ji Hoo?”

”Dasar bodoh, tentu saja tidak. Aku tahu pasti perasaanku...” jawabku. Beberapa waktu lalu, saat luka di hatiku begitu lebarnya karena Ji Hoo, Yoon Hoo terus berada di sampingku dan menghapus luka itu, menambal dan menggantinya dengan cinta.

”Kalau begitu, kau yang harus mengatakan perasaanmu!!” seru Sung Fat sambil menepuk pundakku kuat-kuat. ”Jadilah berani, Rae Na! Aku tahu kau benci menyatakan perasaanmu lebih dulu, tapi, kalau tidak dikatakan sekarang, kapan lagi? Apa kau mau melihatnya pergi sama cewek lain?”

Membayangkan Yoon Hoo menggandeng cewek lain membuatku merasa tidak nyaman. Rasanya ada yang menaruh semen di perutku. ”Tentu saja tidak mau...”

”Perasaannya padamu kan sangat jelas... Lagipula, kau dulu cerita.. dia pernah minta kau mempertimbangkannya kalau luka hatimu sudah sembuh kan?”

Uh, kalau soal yang satu ini Sung Fat sangat cepat tanggap. Menyebalkan...

”Ya, begitulah...” sahutku, merasa agak jengah dan sedikit menyesal karena sudah menceritakannya pada Sung Fat. Entah bagaimana cerita itu sekarang menjadi bumerang bagiku, menghantamku tepat di titik kelemahanku.

”Katakanlah, sebelum kau menyesalinya...”

Aku memandang mata Sung Fat dan menyadari maksud ucapannya. Ia mencintai Kakaknya, dan bertahun-tahun, demi menjaga keutuhan keluarganya, demi menjaga agar keluarganya tetap normal, ia merahasiakannya dari siapapun. Dan sekarang, Kakaknya sudah tiada.

Sampai akhir, Sung Fat tidak berhasil mengatakan cintanya. Sungguh sangat tragis. Selama ini mereka selalu bersama tanpa satupun kesempatan mengatakannya. Ketika saatnya tiba, ia sudah kehilangan kesempatan itu.

”Aku paham,” suaraku terdengar aneh di tenggorokanku. ”Aku akan menemuinya... sekarang juga....”

─Go Yoon Hoo, Seoul, 2009─

“Yoon Hoo… ada tamu yang mencarimu…” ujar Papa sambil mengetuk pintu kamarku. Aku bangkit dan melihat wajah Papa dengan heran. “Dia manis sekali, Papa setuju…” canda Papa sambil mengedipkan sebelah matanya.

”Huh, Papa nonton bola lagi saja deh...” kapan ya terakhir kali Papa menggodaku soal perempuan? Tapi, tentu saja, ia tidak pernah menyatakan apakah ia setuju atau tidak. Pokoknya malam ini Papa nggak seperti biasanya.

”Hai, malam...” sapa Rae Na sambil tersenyum manis. Mama duduk di depannya dan tampak menikmati obrolan ringan dengan gadis itu. jantungku berdebar. Apa maunya datang ke rumahku sore ini?

”Wah, Rae Na tahu banyak ya soal mode.. Nanti kapan-kapan Tante tanya lagi ya... Ayo, duduk Yoon Hoo... masa perempuan dibiarkan menunggu?” dan Mama berlalu secepat angin ke arah dapur.

Aku memandang kedua orangtuaku dengan bingung. Papa dan Mama nggak biasanya bersikap seramah ini pada tamu wanitaku yang lain.

”Apa yang kau lakukan sampai mereka bisa berubah seramah itu?”

”Aku? Aku tidak melakukan apapun... Hanya membawakan oleh-oleh saja ke sini.. tadi aku bawa soju dan buah0buahan. Ternyata orangtuamu asyik sekali ya!” puji Rae Na senang.

Soju? Pantas saja Papaku bisa berubah jadi begitu ramah. Dan Mama? Barangkali buah-buahan.. ah, tidak. Barangkali dari obrolan soal mode. Biasalah, namanya juga perempuan...

”Ada urusan apa?” tanyaku, mengambil posisi duduk di depannya.

”Begini, aku baru saja bicara soal Sung Fat. Dan aku memahami perasaannya pada Kakaknya...”

Aku emngangguk paham. Nam Gil pernah menceritakan kisah cinta tragis antara Sung Pil dan adiknya. Mereka selalu bersama tetapi cinta mereka akhirnya tidak bisa bersatu selamanya. Sangat ironis.

”Ya, lalu?”

”Begini, dulu... kalau aku tidak salah dengar... kau memintaku mempertimbangkanmu... apa itu benar?”

Tenggorokanku terasa disumbat. Apa yang harus kujawab? Ya, aku pernah mengatakannya, dan bagaimana kalau ia menolakku di tempat? Well, rasanya pasti benar-benar sakit. Kalau kukatakan tidak? Apakah ia akan marah padaku?

”Yoon Hoo? Apa aku salah dengar?” raut wajahnya berubah kecewa.

”Tidak, kau tidak salah dengar. Aku memang mengucapkannya. Maaf...” ujarku. Sialan, mungkin seharusnya kukatakan ia salah dengar. Kenapa ia malah terlihat serba salah?

”Aku...” tangannya bertaut dengan gugup. ”Aku berpikir... kau.. selalu saja mengalah dan mengajakku jalan. Saat Ji Hoo menyakitiku, kau yang mengobati lukaku. Dan aku... kurasa aku tidak bisa apa-apa kalau kau tidak ada di sampingku. Aku... sangat menyukaimu, Yoon Hoo...”

”Hah?” mulutku menganga lebar, membuat Rae Na terlihat kaget dan memandangku bingung. ”Kau... menyukaiku? Serius?”

”Maaf.. butuh waktu lama untuk memikirkannya, dan aku...”

Aku langsung melompat dan memeluknya secepat mungkin. Nyata, dan hangat. Aku tidak bermimpi kan? ”Akhirnya!! Akhirnya!!! Akhirnya!!” seruku gembira. ”Akhirnya aku bukan lagi si pria kesepian!!!”

”Kau ngomong apa sih, Yoon Hoo...?” tawa Rae Na terdengar menyenangkan di telingaku. “Kau kan tampan, pasti banyak yang mengejarmu…”

“Aku adalah pria kesepian! Sejak bertemu denganmu, semua wanita itu seperti kabut. Tidak nyata. Dan disinilah aku, kesepian di tengah kabut! Akhirnya, yeah, akhirnya!!” ulangku, merasa puas.

”Tunggu, nanti...” aku tidak mempedulikan ucapan Rae Na dan bibirku menyentuh bibirnya, menciumnya dengan seluruh luapan emosiku. ”Om dan Tante...” Rae Na terengah kaget di tengah ciuman kami, tetapi aku tetap tidak melepaskannya.

”Masa bodoh...” ujarku, memandangnya dan tersenyum. Tentu saja aku tahu, di balik pintu itu, Mama dan Papaku mungkin masih asyik menguping dan mengintip kami.

”Masa bodoh...” sahut Rae Na akhirnya. Binar matanya berubah cerah, dan tangannya disangkutkan ke leherku. Aku menarik pinggangnya dan mulai menciumnya lagi. Kali ini lebih lembut. Janji cintaku untuknya. Akhirnya... yeah!!!

-selesai-

Fanfic The Future and the Past, side story 8

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
SIDE STORY 2
-CINDERELLA AGAIN-
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
tita: Park Ri chan
Bo Jong Baek Do Bin : (memakai nama asli di FF)
Yeomjong (tetap memakai nama ini)
General Ga Baek: Seo Bum Shik (tetap memakai nama ini)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
─Park Ri Chan, Seoul, 2008─

Tanganku masih terasa gemetar. Kuatkan dirimu, Ri Chan, batinku. Dok Bin tertidur pulas di ranjang rumah sakit, dan nafasnya sayup-sayup terdengar. Ia masih hidup dan itulah yang harus kusyukuri.

“Kapan ia akan sadar?” tanya Nam Gil. Ia masuk sambil membawa keranjang buah dan makanan dalam plastik. “Kau makanlah, kau pasti perlu tenaga untuk menjaganya semalaman…”

“Ya, terimakasih…” senyumku, menerima makanan yang disodorkannya.

“Jadi, kapan…?” tanya Nam Gil.

“Oh, apa?” otakku sempat kacau sejenak. “Bisa kau ulangi? Aku tidak begitu fokus tadi…” ujarku sambil tersenyum kikuk.

“Kapan kalian akan menikah?” tanya Nam Gil, masih dengan intonasi yang sama. Dadaku berdebar naik turun mendengarnya, dan sekejap kemudian, air mataku sudah tumpah begitu saja.



“Aku minta maaf…” Nam Gil menyodorkan tissue padaku, entah keberapa kalinya. “Seharusnya aku agak peka…”

“Oh, tidak, bukan salahmu…” elakku. “Kau sudah sangat membantu di Rusia. Dan Dok Bin juga sudah mengatakan padamu kalau setelah urusan Rusia selesai, kami akan membubarkan grup mafia dan kemudian mengurus pernikahan…”

Samar-samar kulihat Nam Gil mengangguk. “Akulah yang tidak siap dengan pertanyaanmu… maaf….”

“Ya, tidak apa-apa kok…” ia tertawa lebar sambil menggaruk kepalanya. “Kulihat grup kalian sudah bubar baik-baik, dan itu membuatku sangat lega…”

“Ya,” sahutku, merasa lebih antusias. “Dengan uang yang kami bagikan―Do Bin menyebutnya pensiun―mereka setuju untuk mencoba cara hidup yang lebih baik…”

“Dan Yeom Jong… dia yang mengacaukan segalanya?” tanya Nam Gil dengan senyuman simpatik. Aku tidak dapat menahan anggukan kepalaku. Suasana hening meliputi kami.

Di kepalaku, semua tergambar sangat jelas. Kami sedang memilih undangan perkawinan.

“Yang ini lucu…” ujarku, mengangkat salah satu desain kartu berwarna pink.

“Terlalu kecewekan… yang ini saja, lebih keren…” Dok Bin mengangkat kartu berwarna keperakan.

“Tapi, kalau begitu sih… aku yang ini saja… lebih elegan!!” balasku, menyodorkan kartu berwarna keemasan.

Dok Bin tertawa dan meneliti kartu-kartu itu lagi. Lalu, tiba-tiba… pria itu masuk. Tatapan marahnya terlihat mengerikan. Matanya berkilat, dipenuhi dendam.

“Mau apa kau ke sini!!” seru kami berdua, terkejut.

“Hai Ri Chan…” ia kembali tersenyum mengerikan ke arahku. Dan Do Bin secepat kilat menarik tanganku, menyuruhku berlindung di belakangnya. “Dan Do Bin, kuharap kau tidak lupa, wakilmu itu, Kim Nam Gil dan Sung Pil sungguh merepotkanku di Rusia…”

“Semua akan baik-baik saja kalau kau tidak pernah muncul di Rusia, di Korea, atau di manapun! Kau membuat Sung Pil terbunuh!!”

“Oh, ya, ya…” ia tersenyum sambil merogoh saku celana panjangnya. “Aku tahu, adiknya yang manis itu pasti sedih, bukan? Dan kurasa, sebentar lagi Ri Chan juga akan merasakannya!!”

“Jangan!!!” pekikku sambil mendorong Dok Bin begitu Yeom Jong mengangkat pistolnya. Lenganku terasa panas. Rupanya peluru itu menyerempet lengan bajuku.

“Ri Chan!!” seru Dok Bin kaget. “Brengsek kau!!” ia menatap marah ke Yeom Jong yang tampak kaget melihat lenganku berdarah.

“Berikutnya kau!!!” sru Yeom Jong. Ia menarik pelatuknya dan detik itu juga jantungku nyaris lepas melihat Dok Bin terkapar di lantai sambil berguling-guling memegang perut dan bahunya.

“Polisi!!” seruku panik. Tanganku gemetaran saat menghubungi nomor polisi. Dan ambulans.

Yeom Jong melangkah dengan tenang keluar ruangan. “Sayang sekali kau miliknya, Ri Chan… padahal aku menyukaimu…”

“Kau pembunuh!” seruku. Air mata merembes dari mataku. “Kalau Dok Bin mati, aku bersumpah, tanganku ini yang akan membunuhmu!!”

“Coba saja, silahkan! HAHAHAHAHA…” tawanya bergema di seluruh ruangan. Sebelum benar-benar pergi, ia menambahkan. “Aku benar-benar tertarik pada wanita yang berani…”



“Dia biadab sekali…” komentar Nam Gil saat kejadian itu kuceritakan. Pagi itu, saat menghampiri rumahnya, aku hanya bisa menceritakan garis besarnya. Apalagi ada orangtua dan adiknya di sana. Mana bisa aku mengatakan semuanya.

“Benar, dan untungnya Dok Bin tidak apa-apa…” tanganku terasa gemetar saat menyisiri rambutku. “Dan bahunya juga… Dan ia juga tidak akan cacat…”

“Tentang Yeom Jong… aku rasa dia sangat malang. Sendirian dan tidak ada orang yang benar-benar ia percaya… Kau tahu sebabnya?”

Aku mengangguk sekali. “Dok Bin pernah cerita… keluarga pria itu kacau. Dan ia tinggal bersama pamannya, Seo Bum Shik, pria yang suka memakai kekerasan…” aku bergidik sedikit saat mengingat cerita Do Bin.

“Tidak heran wataknya seperti itu…” ujar Nam Gil sambil geleng-geleng kepala. “Kau ada rencana, Ri Chan?”

“Belum ada,” sahutku pendek. “Akan kucoba memikirkannya…” Ada begitu banyak pikiran di otakku saat ini.


─Baek Do Bin, Seoul, 25 Desember 2008─

Kalimat pertama yang kudengar begitu mataku terbuka, adalah, “Syukurlah kau sudah sadar, Do Bin…” Dan kegiatan pertamaku adalah tersenyum.



“Merry Christmas…” Ri Chan tertawa sambil menyuapkan sepotong biscuit ke dalam mulutku. “Hadiah natal dariku, kue kering buatanku sendiri…” ujarnya sambil tersenyum dan menyuapkan sepotong lagi.

“Enak,” gumamku sambil terus mengunyah. “Agak kurang manis, tetapi enak…”

“Hu… katanya nggak suka manis… dibikinin malah dibilang kurang manis… Ya sudah, untukku saja…” ia memasukkan sepotong ke mulutnya. Cepat-cepat kuambil bungkusan di tangannya.

“Hei!! Ini kan kado natalku… Untukku ya berarti untukku… Kenapa kau memakannya, kan jatahku jadi berkurang,” protesku sambil mendekap bungkusan itu dalam pelukanku. “Kau tidak pulang? Orangtuamu mungkin menantimu di rumah…”

“Ya, tapi ada seorang pria besar yang kesepian kalau kutinggal sendiri. Lagipula, Papa punya Mama yang menemani. Kau?”

Senyum mengembang di pipiku. “Karena sikapmu manis, aku berikan satu potong…” ujarku sambil menyuapkan sepotong ke mulutnya. Kami tertawa bersama sambil memakannya.

“Hm…. Do Bin, tentang pernikahan.. lebih baik kita mengundurnya, bukan?” tanyanya ragu. Aku memandangnya bingung. “Kebetulan, aku ada sesuatu yang harus diurus…” ujarnya, tampak gugup.

“Ya, aku tahu, kita harus benar-benar siap, bukan?” tanyaku.

“Dan besok, aku tidak bisa datang…”

“Oke, tidak masalah…” Tetapi, entah bagaimana, aku tidak bisa menyembunyikan rasa kecewaku. Apakah ia kecewa karena aku harus dirawat lama di rumah sakit ini?

Malam itu, sesudah Ri Chan pulang, aku menemui dokter dan menanyakan beberapa hal mengenai kemungkinan pulang lebih cepat. Di luar dugaan, dokter menyetujuinya!!


─Park Ri Chan, Seoul, 2008─

“Ada angin apa ini? Bisa-bisanya tunangan Do Bin mengajakku bertemu…” tawa mengejek mengembang di sudut bibirnya.

“Aku ingin bicara empat mata denganmu…” ujarku, berusaha tampak tenang. “Di kafe itu saja…”

“Oke, tidak masalah…” ia merangkulkan lengannya ke pundakku.

“Lepaskan tanganmu,” ujarku memperingatkan. Ia patuh dan membukakan pintu untukku.

“Apa yang mau kau tanyakan?” pria itu, Seo Bum Shik mulai menghisap rokoknya. “Silakan, tanya saja…”

“Apa kau tidak bisa mengurus keponakan sendiri?” aku memesan secangkir teh pada pelayan. “Bagaimana bisa dia mencoba membunuh calon suamiku?”

“Sejak kecil tingkahnya memang demikian. Kalau tidak mendapat apa yang diinginkannya, ia akan menggunakan segala cara untuk mendapatkannya. Bisa kutebak, kau adalah benda yang dia inginkan…” Bum Shik menyentuhkan tangannya ke atas tanganku. Aku ingin menariknya namun ia dengan kuat menekannya.

“Lepaskan…”

“Dan bisa kutebak, kau memang menarik…”

“Lepaskan!!” seruku dan tepat pada saat yang sama, sebuah pisau menancap di tangan Bum Shik.

“Anak jahanam kau!!” maki Bum Shik saat melihat Yeom Jong melangkah masuk dan menarikku. Kutepis tangannya tetapi gagal. “Sudah kukatakan, jangan muncul lagi di hadapanku! Kita tidak punya hubungan apapun!!” seru Bum Shik sambil mengerang dan menahan darahnya dengan serbet meja.

“Tapi wanita ini akan menjadi milikku. Cepat atau lambat. Dan kau menyakitinya,. Tidak mungkin aku diam saja…” suaranya terdengar bengis saat bicara. Bum Shik pergi keluar kafe dengan marah, sementara Yeom Jong masih saja memegang lenganku, menahanku tetap di tempat.

“Lepaskan!” makiku padanya. Ia tetap tidak bergeming. “Baik, terimakasih karena menolongku tapi aku tidak pernah minta ditolong oleh pria yang kubenci…”

“Sama-sama…” sahutnya sambil melepaskan tanganku. Dengan kesal, kuletakkan sejumlah uang di meja untuk membayar kafe itu. Dan kemudian, secepat mungkin, aku berlari meninggalkan tempat itu, sebelum akhirnya bertabrakan dengan seseorang.

“Do Bin!!” seruku, terkejut sampai nyaris mau pingsan.

“Dia melindungimu,” seulas senyum mengejek muncul di bibir Do Bin. “Kurasa aku benar-benar salah… atau kacau… Maaf, Ri Chan… sementara kita jangan bertemu dulu..” suara Do Bin sedingin siraman air es di kepalaku. Apakah hubungan kami harus berakhir seperti ini?


─Baek Do Bin, Seoul, 25 Desember 2008─

“Nam Gil, aku minta kau Bantu aku mengawasi Ri Chan…”

“Do Bin…” wajah Nam Gil terlihat serba salah.

Tugasnya sudah double, menjaga pacarnya dan menjaga adiknya Sung Pil. Dan kini kalau kutambahkan lagi, artinya tugasnya triple. Kurasa ia tidak akan sanggup.

“Baiklah, aku tidak akan memintamu…”

“Aku akan berusaha membantu. Tapi, kau tahu, tidak bisa 100 persen percaya padaku… Aku tidak bisa selalu di sampingnya… Kau lebih pantas menjaganya…”

“Aku masih seperti pria cacat, Nam Gil.” Kugerakkan tanganku dengan susah payah. “Dan melihat Yeom Jong yang ternyata melindunginya, aku makin membenci diriku sendiri…”

“Tapi, Ri Chan membutuhkanmu…”

“Seperti aku membutuhkannya…”

“Do Bin, kita perlu menyusun rencana untuk menjebak Yeom Jong…” tanganku kukibaskan pelan dan Nam Gil terdiam memandangku. “Kau sudah punya rencana, rupanya?”

“Tidak sulit,” jawabku enteng. “Kau hanya perlu ini…” tanganku kuketukkan pelan di kepalaku. “Dan uang plus koneksi, dan voila, kau dapat informasi!!”

“Perlu menghubungi polisi?”

“Sudah kulakukan,” jawabku. “Di saat orang lain bisa menggerakkan tangannya bebas, aku perlu mencari cara lain unttuk membuat Ri Chan terkesan padaku…” akuku jujur.

“Baiklah, jadi apa rencanamu?”

“Tiga hari lagi, Yeom Jong akan menyelundupkan narkoba dan minuman keras lewat tiga pelabuhan terpisah di Korea. Aku sudah menghubungi polisi dan mereka akan menangkapnya… Kurasa ia tidak bisa kabur lagi sekarang…”

“Pria yang menyedihkan… Tempat iti dikelilingi karang besar dengan ombak tinggi. Sulit untuk lari hidup-hidup…”

“Ya, sangat sulit…”

“Dan… tentang Ri Chan, kurasa aku berubah pikiran,” ujar Nam Gil tiba-tiba. “Aku tidak bisa menemaninya. Jadi bung, selamat bersenang-senang…” bersamaan dengan tepukan ringannya di bahuku, Nam Gil berlalu dan pergi.

Aku tidak dapat menahan senyumku. Nam Gil tidak pernah kalah cermat dariku. Kuambil surat beramplop perak dari meja dan membacanya pelan. Kapan Nam Gil melihatnya? Dasar sialan…


─Park Ri Chan, Seoul, 2008─

Akhir tahun adalah saat yang paling menyenangkan untuk pesta. Seharusnya, tentu saja. Dan sekarang, tanpa pria di sampingku, aku tidak merasa nyaman.

Rencana semula, pesta ini akan digunakan oleh Do Bin untuk mengumumkan hubungan kami ke semua relasi bisnis keluarga kami. Tetapi semuanya gagal dan hancur sekarang. menyebalkan sekali.

“Sampanye, nona?” dengan senyuman kutolak tawaran pelayan itu.

“Mungkin sebaiknya aku pulang saja,” pikirku kesal. Dan lagi-lagi, seorang wanita tidak sengaja menyenggolku sehingga nyaris saja aku jatuh kalau saja tidak berhasil meraih pinggiran meja itu.

“Wow, terimakasih…” pikirku malu saat sepatuku lagi-lagi terlepas tidak jauh dariku. Memang menyebalkan kalau memakai sepatu tanpa sling atau sangkutan… rasanya gampang sekali lepas. Dulu pun… pernah kejadian seperti ini… Dan…sekarang D Bin… tunggu, bukankah itu adalah…

Kurasakan nafasku naik turun tidak terkendali.

“Hello again Cinderella…” ujar Do Bin sambil mengambil sepatuku dan memakaikannya.

Beberapa orang berhenti berdansa dan menatap kami sambil berbisik-bisik. Bahkan MC datang dan mendekati kami sambil mengucapkan sepatah dua patah humor segar.

“Jadi, apa Anda akan berdansa dengan Cinderella?” goda MC sambil tersenyum.

Do Bin mengulurkan tangannya dan mengajakku berdansa pelan-pelan. Tanganku berada di atas bahunya, semuanya seperti mimpi.

“Bahumu tidak sakit lagi?” tanyaku kaget. Do Bin tersenyum sambil menuntunku berdansa. Musik masih mengalun, dan kini hanya kami yang berdansa di tengah ruangan.

“Kau cantik malam ini…” ujarnya kagum. “Bukan berarti malam sebelumnya tidak cantik. Hanya saja, hari ini kau lebih cantik dari biasanya…”

“Terimakasih,” suaraku terasa bergetar di tenggorokanku. “Aku sudah lama sekali tidak melihatmu…”

“Maaf, kalau cemburu, tindakanku sering kekanakan…” ia tersenyum mengakui. Kami berhenti berdansa. “Ayo kita ambil minum,” ajaknya.

“Tunggu, aduh…” ujarku, kesal. Do Bin menatap kakiku dan tertawa. Ia membungkuk lalu membantuku memasang sepatuku dengan benar. Dan detik itu, kulihat ia memakaikan gelang kakiku kembali.

“Do Bin…”

“Aku mengembalikannya…”

“Jadi, hubungan kita benar-benar sudah selesai?” tanyaku dengan mata nanar.

Do Bin menatapku bingung dan tertawa keras. Akhirnya, ia kembali berlutut dan mengeluarkan sebuah kotak dari sakunya. “Maukah kau menikah denganku, Cinderella?”

Air mata merembes keluar begitu saja. Dalam satu tarikan nafas, aku sudah melompat dan menghambur dalam pelukannya. “Ya, aku mau!!” seruku sambil menangis di bahunya. Do Bin menarikku dalam pelukannya dan menciumku.

Sebuah kalimat klasik melintas di kepalaku. Pangeran menikahi Cinderella, dan mereka hidup bahagia, selamanya. Apakah… kami juga akan mengalaminya? Ya!! Kurasa, ya!!!

-selesai-

Senin, 12 Juli 2010

my opinion about practice makes perfect

I know that phrase for sure

I hear that too many times, and I think I'm totally understood what it means, but I'm wrong... I guess I had it wrong until today, when I finally realize it's meaning

I was there, stood in kitchen, using a knife to cut onions, and hey, I'm just started to stare as my hands moves and cut the onion nicely, I thought, "Hey, it's better than before..."

when I started to see more, I realized that my hands moved better now, I can cut quicker and I can peel better.. yeah, now the phrase really got into my mind, like flowing air...

Practice makes perfect

yeah, i kinda feel "ooh.. so it's the meaning..." and when I remembered those times when I first tried to cut onions, my mum laugh at me, seeing that i cut it by removing so many layers... and, "that's too big, honey" she said those time

I feel I understand the meaning right now...

First time reading an English Book, it tooks an hour for me to translated it, another hour to read it again to understand the meaning.. but now, I love reading e-book just like the one, titled 'Animorphs' from K.A. Applegate.. full English, 52 books.. it's just... something like practice...

Do it again and again...

keep trying while moving forward and making a progress... that's how it's done..

and when u realized, u look back at your very first experience, and seeing how much you have progressed,

so, that's all..

and i guess, we, as human never stop practice... always, it's makes perfect ^^

Rabu, 07 Juli 2010

Fanfic The Future and the Past 42

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
FORTY SECOND SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Young Mishil: UEE: Kim Yoo Jin (Mishil legal daughter)
Mishil: Mishil: Go Hyun Jung (memakai nama asli di FF)
Bo Jong: Baek Do Bin : (memakai nama asli di FF)
tita: Park Ri chan
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

Penghujung tahun 2008 sudah di depan mata. Perasaanku aneh, antara bahagia sekaligus kehilangan. Ada yang kulupakan, tetapi aku tidak mampu mengingatnya. Masa laluku, aku bisa mengingatnya. Dan Yo Won di sampingku, sahabatku bersamaku, keluargaku mendukungku. Lantas, apa yang hilang dariku?

”Hari ini pun udaranya cerah sekali..” tawa Yo Won.

Kami berjalan bergandengan di tengah udara musim dingin yang serasa menusuk tulang. Nafas putih dan hidung Yo Won memerah karena udara dingin, aku tidak bisa berhenti mencubitnya dan wajah sebalnya justru sangat manis.

“Apa yang kau pikirkan, Nam Gil?” tanya Yo Won sambil mengetatkan pegangan tangannya.

Aku tersenyum membalas pandangannya. ”Terlalu banyak hal baik terjadi akhir-akhir ini. Dan kurasa, ada yang kulewatkan. Atau kulupakan. Atau apapun itu...”

”Maksudmu... semacam firasat buruk? Nam Gil, tahun 2008 hampir berlalu dalam hitungan jari, dan... kau punya firasat buruk tentang tahun depan?”

”Begitulah,” sahutku enteng. ”Sudahlah, kau jangan ikut memikirkannya. Kurasa aku terlalu banyak pikiran...” ujarku lagi. Tetapi.... firasat aneh itu tetap bertahan di sudut hatiku. Ada yang tidak beres, dan aku melupakannya.

Keesokan paginya, firasat burukku menjadi kenyataan.

”Secangkir kopi di pagi hari...” ujar Mamaku. Hyun Jung sambil meminum kopinya. ”Enak, seperti biasanya...” ujarnya sambil tersenyum menenangkan. Aku membalas senyumnya pelan dan menyesap kopiku.

“Pagi, Ma... Pagi, Kak...” Yoo Jin turun sambil menyeret langkahnya. Matanya masih tampak mengantuk. “Uh... aku juga mau minum kopi...” ia mengambil gelas dan mengisinya. ”Semalaman aku bergadang untuk belajar...”

“Ada kemajuan rupanya,” canda Mama. Kami tertawa bersamaan. Yoo Jin memang paling ogah belajar. Tetapi, karena pacarnya Sang Wook sudah pasti diterima di universitas top, rupanya ia sadar harus belajar demi memasuki kampus yang sama.

Tiba-tiba terdengar kegaduhan dari luar teras. Aku, Yoo Jin dan Mama berpandangan bingung. ”Nona, tunggu, jangan masuk sembarangan!!” seru seorang sekuriti. Kali ini kegaduhan tampaknya semakin tidak terkontrol.

”Biar aku yang keluar, Ma..” diikuti anggukan Mama, aku berjalan keluar, dan tepat saat langkahku mencapai pintu, seseorang bertabrakan denganku.

”Nam Gil!!” mata wanita yang bertabrakan denganku langsung berkaca-kaca saat melihatku.

”Nona Park Ri Chan...” seruku dengan suara tertahan. ”Ada apa? Tidak biasanya kau datang....”

”Tolonglah aku, maksudku... tolonglah... Do Bin...” ia mulai terlihat kacau dan gelisah. Tangannya yang mencengkeram lengan bajuku terasa gemetar.

”Apa yang bisa kulakukan?” tanyaku, bingung. ”Tolong ceritakan apa yang terjadi sebenarnya...”

Bibir Park Ri Chan bergerak dalam gemetar, menyuarakan rentetan kalimat yang panjang... cerita yang seolah membiusku... dan kemudian, satu hal yang kusadari. Firasat burukku telah menjadi kenyataan. Secepat ini!!
─Lee Yo Won, Gyeongju, 2008─

”Pagi Yo Won...”

Tidak biasanya Nam Gil menjemputku pukul enam lewat. Biasanya ia selalu sangat tepat waktu. Dan tidak biasanya wajahnya semurung ini. Senyumnya sama sekali tidak terlihat wajar di mataku.

”Kau sakit, Nam Gil?” tanyaku saat melepaskan helmku dan menatapnya bingung.

”Tidak,” sahutnya sambil tersenyum kikuk. ”Hm... kalau bisa, pulang nanti aku mau bicara...” suaranya terdengar kaku.

Aku memandangi sosok punggungnya yang berjalan menjauh tanpa mampu berkomentar apapun. Hanya satu kalimat yang terus berulang dalam otakku. Kurasa, firasat buruknya telah menjadi kenyataan.




”Kau mau bicara tentang apa?” tanyaku, sambil berusaha meminum tehku dengan santai. Kami berada di kafe yang tidak jauh dari rumahku.

”Aku tidak tahu harus cerita dari mana...” matanya terus memandang uap panas dari secangkir kopi di depannya. "Kurasa akan kumulai dari pertemuanku dan Sung Pil.. dengan pria bernama Baek Do Bin...”

Dadaku bergemuruh pelan. Tadinya aku merasa ketakutan sendiri. Jangan-jangan, ada wanita lain? Tetapi, syukurlah ternyata bukan. Seorang pria. Dan pria itu... aku pernah melihatnya di... di mana ya?

”Baek Do Bin itu... aku pernah bertemu, tidak?”

”Pernah, di pemakaman Sung Pil...” jawab Nam Gil, berusaha tampak tenang. Tetapi, ia jelas tidak mampu menekan kesedihan dalam matanya saat nama Sung Pil terucap di bibirnya.

”Ceritakan semuanya padaku...” pintaku.


─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

”Dan lusa, Yeom Jong akhirnya dibebaskan dari penjara di Rusia. Dibebaskan, hanya untuk kembali menjadi buronan. Ia pergi ke kediaman Do Bin kemarin, dan menembaknya. Untungnya luput, dan pria itu dilarikan ke rumah sakit dengan pendarahan luar biasa di bagian perut. Kata tunangannya, kondisinya sangat kritis...”

Kutatap Yo Won yang terlihat bingung. Wajahnya pucat, dan ketika kugenggam, tangannya terasa sangat dingin. ”Mereka minta aku membantunya... membantu menyusun rencana agar Yeom Jong kembali masuk penjara...”

”Kau... tidak bisa dilarang, bukan?” tanya Yo Won dengan mata pedih. Ia menatapku langsung, membuatku merasa serba salah.

”Yo Won, bukannya begitu, tetapi jasa mereka sangat besar bagiku. Dan... mereka sahabatku...”

”Aku terlalu memahamimu, Nam Gil...” Yo Won memadangku lekat-lekat. ”Kau selalu mementingkan temanmu, dan mementingkan keselamatan mereka dibanding nyawamu sendiri...”

Aku terdiam dan tidak mampu membalas semua kalimatnya. Itu benar, darahku menggelegak panas tiap kali mengingat Yeom Jong-lah yang membunuh Sung Pil. Walau secara tidak langsung, aku juga menyebabkan kematiannya.

”Kau pasti masih menyalahkan dirimu atas kematian Sung Pil...” tuduh Yo Won. ”Kau pikir Sung Pil bahagia melihatmu menderita sendirian begini? Kenapa begitu lama kau menyimpannya sendiri?”

”Aku tidak mau melibatkanmu lebih jauh dalam masalahku...”

”Kau tidak bohong ketika kau bilang mencintaiku. Tetapi, apa artinya kalau kita hanya berbagi kebahagiaan? Semua itu akan menjadi sesuatu yang semu... aku ada di sampingmu, selalu, bahkan di saat orang lain menjauh darimu...”

Kuraih tangan Yo Won. ”Aku tahu, maafkan aku...” ia memaksakan senyumannya di depanku.

”Apa rencanamu?” tanyanya lagi.

”Kurasa aku akan meminta bantuan teman-temanku dulu...” ujarku sambil berusaha memikirkan sebuah rencana cemerlang. ”Saat ini otakku masih buntu....”

Sejak bersama Yo Won, otakku kehilangan daya kekejamannya. Aku tidak tega menghianati kepercayaannya. Kurasa, ucapan Yong Soo yang mengatakan kalau sifatku sudah banyak berubah bukanlah kelakar.

Itu benar, sangat benar... Kim Nam Gil bukan lagi yang dulu. Yang selalu memandang dengan kaca mata hitam, kecurigaan, benci dan dendam. Smua itu disebabkan karena tiga orang terpenting dalam hidupku. Mereka yang mengubahku. Papaku, Sung Pil, dan Yo Won.

Tentu saja, tanpa dukungan sahabatku, dan keberadaan keluargaku, aku bukanlah siapapun. Tetapi, Yeom Jong berbeda denganku. Ia tidak punya siapapun. Ia hidup dalam dendam dan kecurigaan. Sungguh menyedihkan.

”Apa yang kau pikirkan, Nam Gil?” tanya Yo Won bingung.

”Tidak, hanya saja...” aku tersenyum kikuk sebelum berkata, ”Kurasa aku jauh lebih beruntung daripada Yeom Jong. Ia selalu hidup dalam bayangan gelap... Cukup menyedihkan...”

Yo Won tersenyum kecil sambil memandangku. ”Maaf, pikiranku kekanakan, bukan? Haha.. memang aneh, bisa-bisanya aku memikirkan hal semacam itu...”

”Tidak. Aku suka kok dengan jalan pikiranmu itu, Nam Gil...” ujar Yo Won sambil meremas tanganku, memompa jantungku pelan. ”Kau sudah lebih dewasa...” ujarnya dengan senyuman tulus. ”Seandainya Yeom Jong punya teman sepertimu...”

”Rasanya aneh kalau begitu...” dan memoriku tiba-tiba mengisi celah otakku. ”Kau kan ingat, dia juga yang dulu membuat kita berpisah. Rasanya aku membencinya, sekaligus kasihan padanya...”

”Aku tahu, kalau soal benci, aku juga...” Yo Won menutup matanya dan mencoba menekan perasaannya. ”Tetapi, yah, dia manusia juga. Semua manusia punya kesempatan untuk berubah. Iblis sekalipun bisa berubah menjadi malaikat...”

Aku hendak bercanda da mengatakan kalau Yeom Jong lebih dari sekedar iblis karena dia adalah Rajanya, tetapi ekspresi Yo Won membuatku bungkam. ”Aku akan mencoba mencari jalan keluarnya... Mungkin, ia masih bisa diselamatkan....”



-to be continued-

Fanfic The Future and the Past 41

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
FORTY FIRST SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Kim Yong Soo : Park Jung Chul(nama asli): Jung Yong Soo (nama di FF)
Seol Won : Jun Noh Min (Guru olahraga)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
─Lee Yo Won, Gyeongju, 2008─

”Bagaimana perasaanmu?” tanya pria di sampingku.

Masih acara bebas. Kami bergabung dengan rombongan, berusaha menikmati semuanya, berusaha santai ketika difoto. Tetapi, rupanya benar kata orang. Sulit sekali menipu diri sendiri. Perasaanku masih luar biasa galau.

“Kak Nam Gil, Yo Won! Ayo, lihat ke sini!” tukas Shin Woo tiba-tiba. Ia memotret kami dengan kamera digitalnya, kemudian kembali memotret anak lain dan pemandangan yang menurutnya keren.

“Hei, aku belum memotret Ye Jin!” tukasnya kaget. “Kalian lihat dimana Ye Jin? Pacarnya juga belum kufoto...”

”Biar kami cari dulu...” ujar Nam Gil sambil menarik tanganku. Ia menelepon Yong Soo tetapi tidak ada yang mengangkatnya. ”Mungkin mereka juga sudah menemukannya...” senyuman Nam Gil terlihat perih.

”Menemukan apa?” tanyaku, bingung.

”Jati diri mereka di masa lalu...” jawabnya.

Aku mengangguk dan berjalan dalam genggaman tangannya. Dulu, tidak memungkinkan bagi kami untuk berjalan bersama seperti ini. Tidak memungkinkan baginya untuk memanggil namaku. Dan...

”Yo Won? Kenapa menangis lagi?”

Mendengarnya memanggil namaku, hatiku tambah perih. Dulu... hanya untuk memanggil namaku, ia menjadi penghianat dan ditusuk mati. Rasa panas tertahan dan membakar tenggorokanku. ”Dulu... kau bahkan nggak bisa memanggilku...” ujarku kacau. ”Maaf ya, Nam Gil...”

”Sssh... sudahlah, mari kita lupakan yang lalu...” Nam Gil tertawa sambil menepuk pipiku dan menghapus air mataku dengan jemarinya ”Sekarang aku sudah bisa menghapus air mata di pipimu.. Dan aku masih hidup.. bukankah ini sangat luar biasa?”

”Ya,” anggukku. Kami berjalan melewati tempat di mana kami sering kali berpapasan dan beberapa kekonyolan Bi Dam masih jelas terasa di depanku. Itu bukan mimpi. Seperti sebuah kenangan pahit dan sekaligus indah. Sebuah pedang bermata dua. Tetapi, sesuai kata Nam Gil, tidak ada yang perlu disesalkan.

”Bunga itu sudah tidak ada, ya?” celetuk Nam Gil tiba-tiba. Aku memandang wajahnya dan tertawa. Bunga yang dulu dia berikan padaku? Mana mungkin masih ada sampai sekarang? Ia tersenyum, tampak menikmati tawaku.

”Ada apa?” tanyaku, malu.

”Hm... ada satu hal yang membuatku penasaran...” ujarnya. Aku menuntutnya bercerita dengan tatapanku, tetapi ia malah tertawa dan mengelak. ”Sudahlah, tidak perlu...”

”Katakan,” ujarku tegas.

Nam Gil tertawa melihatku. ”Kau masih suka main perintah rupanya, sekarang kau bukan ratu lagi...” ujarnya sambil menggeleng. ”Yah, aku hanya penasaran soal... Yu Shin. Kim Yu Shin...”

”Kenapa dengannya?” entah bagaimana aku punya feeling akan tidak menyukai apapun yang ia katakan.


─Kim Nam Gil, Gyeongju, 2008─

”Bagaimana perasaanmu... pada Kak Tae Wong? Apa kau...” aku berusaha memilih kalimatku dengan hati-hati. ”Apa... aku tidak menjadi pengganggu?”

Emosi Yo Won kelihatannya naik sampai ke kepala. ”Nam Gil, kau meragukanku?” tanyanya, mulai merasa sewot dan marah.

”Tidak, maka itu kukatakan tidak jadi tadi.. tapi, kau memaksaku mengatakannya...” sahutku, berusaha tampak santai. ”Sudahlah, ayo kita cari mereka lagi...” aku meraih tangannya dan membawanya berjalan ke tempat yang hampir setiap hari ia kunjungi.

Kuil tempat Chen Myeong dimakamkan.

”Benar kan, itu mereka...” ujarku sambil tersenyum bersemangat ke arah Yo Won. ”He...” suaraku tertahan di tenggorokan, begitu pula suara Yo Won.

Ye Jin, adalah Chen Myeong, kakak perempuan Deok Man, sekaligus kakak kembarnya. Semua ingatan itu berkelebat di benakku. Dan Yong Soo, sahabatku... kelihatannya adalah suaminya yang sudah meninggal dulu. Mereka berciuman mesra di depan kuil, benar-benar ciuman yang luar biasa.

”Ngg... mmm...” kami berdua jadi salah tingkah saat melihat adegan yang beberapa waktu lalu kami lakukan. ”Kita tunggu dulu di sini, ya...” ujarku dengan tenggorokan kering.

”Oke, tidak masalah...” jawab Yo Won, dengan wajah yang juga memerah, tidak jauh berbeda dari wajahku.

”Kalau dipikir, semuanya aneh sekali bukan?” tanyaku sambil memposisikan diriku di sebelah Yo Won. . ”Semua pertemuan kita, semua jalinan takdir, dan semua kenangan yang menempuh jarak ratusan tahun... Sungguh luar biasa...”

”Aku... tidak mau kau meragukanku lagi, Nam Gil.. selamanya... selama apapun...” ujar Yo Won sambil memandang diam rerumputan di depannya.

”Tidak akan, aku janji...” ujarku sambil meraih tangannya dan menciumnya.

”Hei, kalian di sini rupanya!” seru Kak Tae Wong sambil setengah berlari ke arah kami. Aku tersentak kaget dan buru-buru menariknya ke balik semak-semak tempatku dan Yo Won sembunyi.

”Aduh, Nam Gil, ada apa?” tanyanya, kaget.

”Kau tidka lihat, Ye Jin dan Yong Soo sedang pacaran!?” tukasku, kesal. ia melongo dari balik semak-semak dan dengan segera menunduk malu. Wajahnya memerah sampai telinga.

”Aduh, hampir saja aku mengganggu Yang Mulia Putri Chen Myeong...” ujarnya sambil tersenyum kasual. Aku tertawa bersamanya. Ia terdiam sejenak saat melihat Yo Won.

”Yang Mulia Ratu...” tukasnya, lalu ia menutup mulutnya kaget. ”Bukan, maksudku... Yo Won...”

”Tidak apa-apa Kak Tae Wong...” sahut Yo Won sambil tertawa geli. ”Kau masih saja sekaku dulu...”

Aku memandang dua sosok di depanku dengan hati terluka. Dulu pun, di dalam perpustakaan, hanya ada tawa mereka, pertukaran pandangan di antara mereka. Dan aku.. hanya penonton.

Nam Gil! Sadarlah! Bukankah Yo Won memintamu mempercayainya? Bukankah ia memintamu tidak meragukannya?! Dan apapun yang terjadi.. sekarang Yo Won adalah pacarku, ya, pacarku!

”Kau... tidak menyesal kan karena Dae Chi bukan bagian dari masa lalu kita?” tanyaku tiba-tiba. Gumpalan pertanyaan itu muncul entah dari mana.

”Tentu saja tidak,” jawab Kak Tae Wong tegas. ”Aku tidak membutuhkan luka lama.. Dan Dae Chi, ia akan menjadi masa depan untukku...” jawabannya terdengar mantap dan yakin. Dan tatapan matanya masih sama. Sama seperti tatapan mata Panglima Kim Yu Shin saat memimpin tentaranya maju berperang.

Kulihat Yo Won tersenyum dan mengacungkan jempolnya ke arah Kak Tae Wong. ”Buat Dae Chi bahagia!” serunya senang. Dan... akhirnya aku bisa melihatnya. Tatapan mata Yo Won pada Tae Wong adalah tatapan hormat, dan begitu pula sebaliknya. Kurasa perasaanku selama ini telah membutakanku.

Bisa kurasakan tangan Yo Won meremas tanganku pelan. Kami bertatapan dan tersenyum. ”Kurasa mereka sudah selesai pacaran sekarang,” ujarnya sambil tersenyum manis.

”Biar kupanggilkan!” seru Kak Tae Wong sambil bangkit dari duduknya. ”Hai! Putri Chen Myeong dan Bangsawan Yong Soo!!”

Yo Won bangkit dan berjalan di sampingku. Bisa kulihat wajah Ye Jin dan temanku memerah mendengar nama masa lalu mereka disebut. Aneh dan kacau. Tidak kusangka dunia demikian sempitnya...

”Hei, Yo Won,” pelan aku berbisik di sampingnya. Ia menoleh, dan bisa kurasakan luapan emosi kebahagiaan mendorongku untuk memeluknya dan menciumnya, tapi tidak, jangan sekarang. ”Aku ingin... melamarmu, begitu kuliahku selesai nanti... Eh, maksudku, aku dapat pekerjaan tetap...”

Wajah Yo Won memerah sampai telinga. Ia mengangguk malu dan menarik lengan bajuku, memintaku menunduk agar ia bisa berbisik di telingaku.

”Aku akan menunggumu....” itu jawabannya. Artinya, iya kan? Oh, jangan bilang tidak! Kenapa sih, jawabannya masih tidak jelas? Ya sudahlah, nanti toh akan kukatakan lagi begitu saatnya tiba.

Pucuk-pucuk daun muda terlihat indah di hamparan tanah Gyeong Ju saat itu. Hari ini dan seterusnya, semuanya adalah memori yang tidak akan terlupakan. Selamanya.

-to be continued-