Rabu, 22 Oktober 2014

FF Faithfully Yours



untuk my chinggu, Novita amalia :)
Hope you like it ya cantik :D
 
FF Faithfully Yours
Cast: Novita as Nae Ri
Cho Kyu Hyun Super junior as himself
---------------------------------------------------------------------------------------------------- 
“Sialan… sialan…” Kyu-hyun mengumpat sambil terus berlari. Dia akan marah lagi. Aku terlambat. Ini keberapa kalinya? Ah… sialan…
Akhirnya perempatan jalan yang familier terlihat. Kyu-hyun mendongak menatap langit senja yang berubah warna menjadi merah. Ah, sudah berapa lama semenjak hari itu? Kyu-hyun mengatur nafasnya sebelum memasuki pintu apartmen di depannya.
Seorang gadis membelakanginya, asyik mengerjakan sesuatu di dapur mungilnya. Melihat gerakan tangannya, Kyu-hyun menduga gadis itu sedang membersihkan sayur. Karena itu, ia berjingkat sedikit supaya bisa memberikan gadis itu kejutan.
Kejutan yang menyenangkan
“Kkyaa!”
Nae-ri terkejut karena Kyu-hyun memeluknya dari belakang. Cowok itu beraroma nano-nano. Keringat, lembab, kolonye, dan… aroma seorang Cho Kyu-hyun.
“Cho Kyu-hyun! Lepaskan aku!”
“Tidak mau… sebentar saja seperti ini…”
Kyu-hyun meletakkan pipinya di puncak kepala Nae-ri. Ia menikmati aroma gadisnya dengan mata terpejam. Nae-ri terasa tepat berada dalam pelukannya. Gadis itu memang seharusnya selalu berada di pelukannya. Batrenya. Energinya.
“Kau terlambat lagi…” gumaman Nae-ri terdengar setengah merajuk, setengah pasrah. “Padahal hari ini film itu terakhir kali diputar…”
“Hm… kita bisa nonton dvdnya bersama…” ucap Kyu-hyun. Ia memutar bahu Nae-ri untuk menatap wajahnya.
Nae-ri menampakkan wajah cemberut yang lucu. Kyu-hyun menangkup wajah Nae-ri, meletakkan jemarinya di kedua pipi gadis itu, memaksanya tersenyum.
Tawa di mata Nae-ri membuat Kyu-hyun ikut tersenyum dan menarik gadis itu dalam pelukannya, menghadiahi bibir penuhnya dengan ciuman panjang.
“Tunggu….” Nae-ri mengelak sedikit sambil mendorong dadanya. “K-kau masih bau…”
Tetapi Kyu-hyun tidak mengindahkannya. Ia menahan tangan Nae-ri di dadanya, sementara bibirnya masih mengulum bibir Nae-ri. Ia mencium sudut bibir gadis itu sebelum berhenti menciumnya.
“Kyu-hyun…” Nae-ri tidak tersenyum, sekalipun kedua pipinya merona akibat berciuman dengannya. “Aku harus kembali ke Amerika…”
Sejenak Kyu-hyun mengira gadisnya bercanda. Ketika wajah Nae-ri masih memandangnya dengan kedua mata yang bertanya-tanya, Kyu-hyun merasakan seluruh energinya habis disedot dari tubuhnya.
“Jangan pergi…” hanya itu yang mampu dikatakan olehnya. Bahkan sejenak, suaranya terdengar asing di telinganya sendiri.
Жжж
“Aku akan menikahimu kalau kita sudah dewasa nanti…”
Nae-ri tertawa sambil menebarkan bunga-bunga yang dipetiknya ke udara. Bersamaan dengan itu, ia melempar sekepalan tangan penuh ke wajah Kyu-hyun. Seluruh kepala Kyu-hyun dipenuhi bunga.
“Jangan bohong ya!”
“Kapan aku pernah berbohong! Aku ini oppa-mu yang hebat!”
“Kemarin kau baru saja berbohong! Katamu kau tidak melihat dimana snack-ku, ternyata kau menghabiskan semuanya sendirian! Padahal itu punyaku!”
“Salahmu! Sebelumnya tidak mengajakku makan bersama!”
Mereka saling mencibir, berlarian, berkejaran hingga senja. Bagi Kyu-hyun, Nae-ri adalah cinta pertamanya. Janji manis di masa kecilnya. Sebuah cinta monyet yang akan memudar seiring waktu. Kyu sendiri melupakan janji itu beberapa tahun kemudian.
Sampai suatu hari, Nae-ri bertabrakan dengannya di koridor sekolah. Nilai ujian baru saja keluar di penghujung akhir kelas 2 SMP.
Wajah Nae-ri tidak terlihat bagus. Matanya sembab, sudut bibirnya menekuk sedih, tidak terlihat bahagia. “Ah… Kyu…”
“Kenapa? Ada apa denganmu? Apa nilai matematikamu jelek lagi?“
“Tidak kok,” elak Nae-ri. Ia bermaksud menjauhi Kyu-hyun, tetapi cowok itu malah menghalangi jalannya dengan sengaja.
“Kenapa? Ada apa? Kenapa tidak cerita pada oppa?”
“Ehm…” Nae-ri terlihat ragu sejenak. Ia lama menatap lantai di bawahnya dengan mata nanar. “Tidak..” ia menggeleng pelan. “Sungguh, tidak ada apa-apa…”
Tetapi, Nae-ri berbohong.
Kyu-hyun menyadarinya. Seiring langkahnya yang menjauh dari Kyu-hyun, Nae-ri mengangkat tangan menutupi wajahnya. Nae-ri menangis. Nae-ri yang tegar dan sekalipun dijahili teman sekelasnya tidak pernah menangis, hari ini menangis.
Kyu-hyun merasakan perasaan tidak aman menggerogoti dadanya. Nae-ri menangis. Ada apa?
Seminggu kemudian, di suatu pagi, ayahnya berujar. “Aku akan kehilangan teman bermain golfku. Sayang sekali Pak Lee tidak bisa menetap di sini lagi…”
“Iya, benar. Sungguh disayangkan ya, mereka keluarga yang baik dan menyenangkan.”
Apa yang mereka bicarakan?
Kyu-hyun menatap kosong pada kedua orangtuanya. “Ada apa dengan keluarga Lee?” ada apa dengan Nae-ri.
“Bukankah kalian berdua sangat dekat? Apa Nae-ri tidak bercerita padamu? Ayahnya dimutasi ke Amerika…”
Nae-ri tidak cerita apapun…
Nae-ri hanya menangis… dan pergi…
Nae-ri pergi tanpa pemberitahuan padanya. Terlalu singkat, bahkan berpegangan tangan mengucapkan salam perpisahan pun tidak sempat.
 Kyu-hyun sempat kehilangan nafsunya bermain game selama beberapa bulan. Selama setahun, ia menjauh dari semua anak perempuan. Ia tidak mempercayai kaum perempuan. Nae-ri menghianatinya. Nae-ri meninggalkannya.
Bukankah… kau akan menikah denganku?
Setiap kali, saat melihat fotonya yang tertawa bersama Nae-ri, ingatan konyol masa lalu itu kembali pada Kyu-hyun. Janji masa kecil yang sama sekali tidak dianggap serius, bahkan oleh dirinya sendiri. Namun konyolnya, ia merindukan Nae-ri. Sampai sudut di dalam hatinya kadang terasa begitu nyeri. Ngilu.
Жжж
“Cho Kyu-hyun! Kau mau tidur sampai jam berapa!”
Kyu-hyun membuka matanya tiba-tiba. Udara bagaikan melesak masuk ke dalam paru-parunya. Semua sekaligus, berebutan. Ia menatap sosok di depannya dengan pandangan terkejut dan tidak percaya. Nyaris bagai mimpi.
“Lee Nae-ri?”
Nae-ri mengenakan sweater putih, rambutnya digelung ke atas, senyumnya melebar melihat wajah terkejut Kyu-hyun.
“Kau jelek sekali kalau baru bangun tidur, ilermu kemana-mana! Padahal sekarang kau anggota Super Junior yang terkenal!”
Kyu-hyun menatap gadis itu tertawa dan menyibak gorden kamarnya. Ia bahkan ikut tersenyum melihat gadis itu tersenyum.
Salah!
Seharusnya, ia membenci Nae-ri.
Seharusnya, ia menyalahkan Nae-ri.
“Kenapa kau kembali?” suaranya terasa parau. Apakah karena ia belum minum air? Atau karena perasaannya berhianat?
Kemudian gadis itu tersenyum, dan ingatan Kyu-hyun melayang ke hari itu. Ke janji masa kanak-kanak mereka.
“Bukankah, kau berjanji akan menikah denganku?” goda Nae-ri.
Kyu-hyun tidak menyadari apa yang dilakukannya. Ia menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Memeluknya erat-erat. Aroma yang disukainya. Aroma Nae-ri yang manis.
“Aku merindukanmu, dasar bodoh.”
Kyu-hyun tidak melihatnya, tetapi ia tahu pasti Nae-ri tersenyum. Bibirnya melekuk lembut membentuk senyuman di bahu Kyu-hyun.
Ayahnya masih berada di Amerika, tetapi karena Nae-ri ingin menuntut ilmu di universitas Korea, ia pun diberikan izin untuk tinggal bersama neneknya di apartemen.
Mereka menjalani masa kuliah bersama-sama sekalipun jadwal Kyu-hyun seringkali bolong-bolong. Tidak sedikit pria yang mengejar Nae-ri sampai Kyu-hyun panas dingin dibuatnya.
“Bukankah kau milikku!” seru Kyu-hyun marah ketika Nae-ri ditemukannya menjalani double date dengan teman sekelasnya.
“Kapan aku jadi milikmu?!”
Kyu-hyun menatap Nae-ri dalam-dalam.” Sejak usiamu lima tahun, kau sudah jadi milikku, Le NAe-ri.”
Nae-ri terkejut merasakan cowok itu mengurungnya sampai ia terpaksa bersandar ke tembok. “Kau terlihat menakutkan. Mundur! Aku tidak mau kau menakutiku.”
Kyu-hyun menarik dagu Nae-ri hanya untuk membungkamnya dengan ciuman bertubi-tubi. Nae-ri merasakan keterkejutan bagaikan ribuan kembang api meledak di kepalanya. Kyu-hyun menahan tengkuknya, sementara tangan Nae-ri tanpa sadar sudah meraih rambut di leher Kyu-hyun, merasakan teksturnya.
“Aku milikmu, sama seperti kau sudah jadi milikku, sejak usiamu lima tahun. Apa kau paham Lee Nae-ri?”
“Ya…” Nae-ri hanya berbisik perlahan, namun Kyu-hyun bisa memahaminya. Semenjak hari itu, Kyu-hyun sudah bersumpah untuk memenuhi janji masa kecilnya.
Tetapi…
Kyu-hyun menatap foto Nae-ri yang diambilnya diam-diam dengan ponselnya. Nae-ri lagi-lagi akan pergi meninggalkannya. Kemarin ia pergi selama lima tahun. Kali ini, akan berapa lama lagi gadis itu pergi?
ЖжжЖ
Nae-ri menatap kopernya dan mendesah. Ayahnya sakit keras. Ayahnya rindu setengah mati padanya. Nae-ri terlalu lama meninggalkan kedua orangtuanya karena memilih untuk bersama Kyu-hyun di Korea.
Bahkan setelah neneknya meninggal tahun lalu, Nae-ri bukannya memilih kembali ke Amerika, malah melanjutkan bekerja di Korea dan mendapatkan promosi jabatan.
Aku hanya ingin selalu bersama denganmu, apakah itu salah?
Setetes air mata bergulir di pipinya. Ia menangkat tangan untuk menghapusnya, ketika tiba-tiba sebuah suara terdengar begitu dekat di telinganya, dan dua buah tangan yang kuat merengkuhnya dalam pelukan.
“Kau selalu menyimpan semuanya sendirian dan meninggalkanku… Seperti itukah aku di matamu? Sosok yang tak cukup bisa diandalkan?”
Nae-ri menggeleng. Kyu-hyun memeluk gadis itu dari belakang, membenamkan wajahnya di rambut gadis itu. “Aku mencintaimu, sampai seringkali aku takut memikirkan berapa besar pengaruh keberadaanmu di hatiku.”
“Takut?” bisik Nae-ri.
“Takut karena rasanya aku bisa melakukan apapun yang tidak kuinginkan kalau kau pergi lagi. Jangan… jangan pergi lagi, Nae-ri.”
Nae-ri terdiam. Air mata mengalir di pipinya.
“Jangan pergi lagi. Ayo kita temui Ayahmu bersama-sama. Aku akan pergi bersama denganmu. Kita akan membicarakannya dengan orangtuamu. Bukan kau sendiri. Ada aku. Kita pergi berdua.”
“Kyu-hyun, kau punya tanggung jawab di Korea. Kau punya banyak fans di sini… aku tidak bisa…”
“Kalau menjagamu saja tidak bisa, kalau mempertahankan satu gadis di sisiku saja tidak bisa, bagaimana aku bisa mempertahankan fansku?”
Nae-ri terdiam.
Nae-ri sudah menyadari bahwa Kyu-hyun selalu menang dalam perang mulut mereka. Cowok itu selalu menang setiap kali adu argumentasi dengannya. Nae-ri menutup mata, membiarkan setetes air mata lagi jatuh di pipinya. Tangannya yang tadi terasa dingin kini menghangat dalam genggaman Kyu-hyun.
“Aku akan menemanimu…”
“Selalu?”
“Selamanya,” ucap Kyu-hyun sambil tersenyum. Ia mendaratkan kecupan di kening Nae-ri.
Nae-ri menatap pria di depannya dan tersenyum dengan mata berkaca-kaca, kabur oleh air mata. Nae-ri teringat bagaimana tatapan mata Kyu-hyun menembusnya bagaikan magnet malam itu. Cinta dan ketegasan ada di dalamnya.
” Sejak usiamu lima tahun, kau sudah jadi milikku, Le NAe-ri.”
Saat itu, yang ada di pikiran Nae-ri adalah… Sudah lama aku menunggumu mengatakannya, dasar bodoh.
Tetapi, Nae-ri bahagia. Karena Kyu-hyun ada di sampingnya. Karena Kyu-hyun menggenggam tangannya. Karena Kyu-hyun… memilih untuk tidak menyerah padanya. Bersama pria ini, Nae-ri yakin bisa menghadapi semua masalahnya dengan berani. Selama ada Kyu-hyun di sampingnya.

TAMAT

Kamis, 16 Oktober 2014

ONESHOT-LOVE IS IN THE AIR

ONESHOT-LOVE IS IN THE AIR


TITLE  : LOVE IS IN THE AIR
GENRE : FICTION, ROMANCE, SLICE OF LIFE
CAST:
YUN DONG WON
CHO KYU HYUN
PARK JAE SHI (AUTHOR: JESICA)
PARK YOO CHUN

-------------------------------------------------------------------------


─Yun Dong Won, Seoul, 2011─

               “Cepetan dong, Jae Shi!!” panggilku gemas. Temanku itu terlihat setengah mati kesulitan menembus arus manusia yang bergerombol di depan pintu masuk salah satu production house terkenal di Korea.

              Di sana, tengah diadakan pemotretan seorang model sekaligus singer terkenal, Cho Kyu Hyun. Ada begitu banyak bodyguard di sini, tetapi tetap saja para fans yang datang menonton berjumlah sangat banyak, sulit untuk dikendalikan.

             “Aduh, jumlah manusia di sini gila-gilaan nih,” protes Jae Shi sambil menggoyang-goyang kerah baju kaosnya, kepanasan. Udaranya memang terasa sumpek di sini.

             “Ya, seolah-olah semua remaja Korea berkumpul di sini…” sambil berceloteh, tanganku menariknya untuk kembali menerobos antrian. Alhasil, kami berada di barisan depan. Akhirnya! Akhirnya! Jeritku dalam hati.

             “Kyu Hyun!!!!” kupingku hampir tuli karena teriakan-teriakan yang memekakkan telinga.

             Cowok itu berdiri di sana, tampak sempurna dalam balutan kaos dan jeansnya. Di tengah hiruk pikuk jeritan para fans pun, ia tetap profesional dan tidak terlihat terganggu. Semakin melihatnya, dadaku semakin berdebar.

             “Eh,” kurasakan senggolan Jae Shi di tanganku. “Kau tidak berteriak memanggilnya?” tanyanya dengan senyuman jahil.

             “Aku tidak mau mengganggu pekerjaannya dong,” sahutku sambil berusaha tampak santai. Sebenarnya, aku sudah hampir menjerit pingsan saat melihatnya berpose dengan begitu kerennya.

                                                            =x=x=x=

             Pemotretan selesai sekitar pukul 2 sore. Kami berjalan ke toilet terdekat dan merapikan dandanan. Jae Shi menlirik ponselnya dengan panik. “Waduh, ada banyak banget misscall di sini…” serunya kaget.

             Jae Shi sudah berpacaran dengan Park Yoo Chun sejak dua bulan terakhir. Cowok itu playboy, tetapi tampaknya ia sudah memutuskan semua pacar lamanya supaya bisa pacaran dengan Jae Shi
.
             “Nggngngg…” Jae Shi menatapku ragu-ragu. “Kalau aku pergi, kau marah tidak?”

             “Tidak apa kok… Kau kan membatalkan kencan dengannya karena mau menemaniku hari ini… Aku bisa pulang sendiri. Thanks ya, sampaikan sori juga ke pacarmu itu…”

             “Iya, tentu saja. Nah, aku pulang dulu Yun…” dari pada memanggiku Dong Won, Jae Shi lebih suka memanggilku Yun. Memang aneh dia, hahaha…

             Tepat ketika keluar dari toilet cewek, tidak sengaja aku bertabrakan dengan cowok yang keluar dari toilet laki-laki di seberangku dengan tergesa-gesa.

             “”Sorry,” ujar cowok itu pendek. Saat ia hendak beranjak pergi, ia menarik topinya sampai menutupi wajah.

             “Kyu Hyun?” ujarku tanpa pikir panjang.

             Cowok itu tersentak kaget lalu menatapku heran. “Kau mengenaliku?” tanyanya lagi.

             Aku menatap cowok yang berkacamata hitam dengan topi menutupi sebagian wajahnya itu. Tidak jelas, tetapi… aku cukup yakin kalau itu adalah wajah yang tiap hari kupandang dari poster kamarku. Mana mungkin aku tidak mengenalinya?

             “Benar, kan?” cetusku tanpa pikir panjang.

             “Kyu Hyun!!!!!!!!!!!!” panggil seseorang dari belakang. Cowok itu mendorongku masuk lagi ke WC cewek, dan kami masuk ke salah satu ruangan kosong. Otakku belum bisa berpikir ketika tangannya memutar dan mengunci pintu toilet.

             “Kyu Hyun! Kau di mana?! Kau tahu tidak, masih ada pemotretan majalah?!” terdengar teriakan seorang pria dari luar.
             Cowok itu menatapku lekat-lekat dan meletakkan telunjuknya di bibirku, melarangku bicara. Nafasku nyaris habis di tempatnya. Setelah teriakan itu semakin jauh dan semakin tidak terdengar, cowok itu kemudian membuka pintu dan melangkah keluar.

             “Aku bebas!” serunya sambil merenggangkan kedua tangannya. “Akhirnya aku bebas!”

             “Anu…”

             Cowok itu menatapku seolah ia baru saja melupakanku. Dan kini, matanya menatapku dengan bimbang, mempertimbangkan apakah aku akan menghianatinya dan mengadukannya pada manager-nya atau tidak.

             “Tenang, aku tidak akan bilang siapa-siapa…” ujarku, berusaha tampak kasual. “Kau kenapa kabur?” tanyaku lagi.

             Cowok itu tersenyum dengan ramah, tetapi pergi tanpa menjawab pertanyaanku. “Kalau mau ke taman bermain, naik bus jurusan apa?” tanyanya tiba-tiba.

                                                  =x=x=x=

             “Wuoooo…. Asyik!!!!!!!!!!!!!!!!!!” cowok itu berseru gembira saat jet coaster menukik turun. Aku bahkan tidak berani membuka mataku. Perutku rasanya mulas kalau berada di ketinggian seperti ini.

             “Kau ternyata tidak sekuat penampilanmu,” ledeknya saat melihat wajahku yang pucat seusai permainan jet coaster itu.

             Sebelumnya kami juga bermain beberapa wahana mengerikan semacam ini. Yang benar saja, kok bisa sih dia tetap tenang begitu? Kurasa malah perutku sudah jungkir balik dari tadi.

             “Terima kasih, dan kau juga tidak sekalem penampilanmu…” sahutku sambil mengeluarkan tissu dan mengelap keringatku.

             “Jadi, apa kau sekarang tidak menyukaiku lagi?” tanyanya sambil tersenyum menggoda.

             “Eh? Apa maksudmu?!” pelan, kutinju lengannya.

             “Kau termasuk salah satu fansku kan?” cowok itu berhenti di depan kedai minuman dan membeli dua gelas softdrink. Sambil memberikan padaku satu gelas, ia berujar pendek, “Ah, aku kangen minuman ini…”

             “Tidak apa penyanyi minum minuman begini?”

             “Sekali-kali tidak apa kan?” ia tersenyum lagi, persis poster di dinding kamarku. “Kau belum menjawab pertanyaanku yang tadi. Kau termasuk fansku kan?”

             “Kau bisa tebak sendiri,” sahutku sambil berusaha menenangkan debaran jantungku.

             Kami berduaan. Di taman bermain. Rasanya seperti kencan. Aduh, apa yang kupikirkan? Dan dia membelikanku minuman. Di kepalaku entah ada berapa orang yang bersuara.

             “Soalnya, sebelumnya tidak ada yang mengenaliku saat aku sudah memakai topi dan kaca mata hitam. Tapi, kau masih. Apa kau termasuk yang fanatik?” ujar cowok itu sambil menatapku dari atas sampai bawah.

             “Hei, bagaimana kalau kita main yang itu!” seruku sambil menunjuk salah satu wahana terdekat, bianglala.

             “Kau tidak mau jawab ya?” cowok itu tersenyum jahil sambil menarik tanganku. Dengan perasaan tidak menentu, kutatap tanganku yang berada dalam genggamannya. “Ayo kita main!” serunya sambil tertawa.

             Pemandangan bergerak semakin kecil dan jauh saat gondola ku bergerak ke puncak. Cowok itu, tanpa mengalihkan pandangannya dari pemandangan di kaca, bertanya padaku. “Namamu?”

             “Yun Dong Won…”

             Ia memutar bola matanya dan berkomentar pendek. “Nama yang aneh.”

             “Biar mudah diingat,” sahutku lagi. Jantungku memukul-mukul dadaku dengan kencang.

             “Benar juga, mudah diingat…” ia tertawa dan menatapku dengan pandangan tajam. “Hari ini terimakasih banyak, ya…”
             “Eh?”

             “Kalau yang kutemui adalah gadis lain, dan bukan kau, mungkin tidak akan ada lagi kejadian seasyik hari ini. Thanks ya…”

             “Pekerjaanmu, berat sekali ya?” tanyaku sambil berusaha untuk tidak menatap matanya. Wajahku jadi terasa aneh.

             “Seperti tidak bisa bernafas… Terlalu banyak pekerjaan, sementara waktu terlalu sedikit. Karena itu, aku senang bisa melewatkan hari ini bersamamu…”

             Dadaku bergemuruh ketika akhirnya mataku bertatapan dengannya. “Kau akan pulang?” tanyaku dengan perasaan gundah.

             Tentu saja aku tidak mau ia melalaikan pekerjaannya, di luar sana entah ada berapa banyak fans yang menunggunya tampil. Tetapi, sulit untuk tidak memikirkan apapun selain perpisahan kami yang semakin dekat. Dan itu terasa sangat menyakitkan.

             “Manager­ku sudah melacak GPS-ku. Kurasa ia akan segera datang sebentar lagi…”

             “Ngg… semoga sukses…” ujarku, berusaha tersenyum. Anehnya, bibirku terasa kaku.

             “Terima kasih, Yun Dong Won…” cowok itu menepuk kepalaku lembut dan mengusapnya. Matahari terbenam dengan indah di ufuk sana. Pelan, mimpi indahku berakhir seiring dengan terbenamnya matahari senja.

                                                          =x=x=x=

             “Cho Kyu Hyun!”

             Manager datang dan menepuk kepala Kyu Hyun dengan sebal, lantas memandangku dengan tatapan serba salah. Aku menundukkan kepalaku sopan, dan ia membalasnya dengan canggung.

             “Nah, ayo kita pulang!!” seru manager itu sambil melirik arlojinya dengan kalut. “Showmu akan dimulai kurang dari dua jam lagi…”

             Cowok itu membisikkan sesuatu sebelum melangkah pergi. “Walau kau bukan fansku, cobalah untuk menyukaiku…” ia menjabat tanganku lalu tersenyum singkat. “Sampai bertemu lagi,” ujarnya.

             “Dasar bodoh,” umpatku sambil menahan senyum. Cowok itu mengacungkan jempolnya sambil terus berjalan pergi.

             “Mana bisa kita bertemu lagi…?” suaraku setengah serak saat mencoba berteriak protes padanya. Tetapi sesuatu yang terselip di tanganku membuatku menghentikan protesku.

             Sebuah kertas. Entah kapan cowok itu menyelipkannya. Di kertas itu, ada sebuah nomor telepon dan email yang ditulis tangan. Dan di sana, di bagian akhirnya, terdapat tulisan.


                   Apa kau percaya dengan cinta pada pandangan pertama?
                                                  Kyu Hyun


                                                  =x=x=x=

                                                     TAMAT

BEST SHOT FROM LOVE

BEST SHOT FROM LOVE

 
BEST SHOT FROM LOVE
Cast:
Ami Rachmi as Park Min Ra
Lee Hyuk Jae / Eun Hyuk as himself
Ye Sung
Patricia Jesica as Park Jae Shi


--Park Min Ra, Seoul, 1995--

“Min Ra… ayo lihat ke sini.. Senyum.., yaa….”

Ayah memotretku terus menerus, membiarkanku bermain dengan bonekaku sementara tangannya menekan tombol kamera dan terus mengambil fotoku.

“Ayah, kenapa terus memotretku? Apakah Ayah tidak bosan?”

“Karena Ayah mencintaimu, Min Ra…” sahut Ayah sambil tetap menjepretku dengan kameranya.

“Apa hubungannya, Ayah?” tanyaku sambil memainkan bonekaku di depan kameranya.

“Suatu hari,  entah kapan… kau akan memahaminya…” jawab Ayahku sambil tersenyum.


--Park Min Ra, Seoul, 2010—

“Kau sama sekali tidak menunjukkan perkembangan, Min Ra…” ujar Kak  Ye Sung sambil mengamati hasil bidikanku. “Kalau begini, rekomendasimu untuk berkarir di dunia fotografi akan semakin sulit… Ingat, portofoliomu harus bagus supaya bisa mendapat prospek yang bagus…”

Ia merupakan ketua klub fotografi di kampusku. Penilaiannya terhadap foto hampir sama akuratnya dengan penilaian dosen pembimbing klub kami. Karena itu, kalau tidak lolos menurut Kak Ye Sung, jelas, aku sama sekali tidak bernilai di mata pembimbingku. Nyaris mustahil untuk mendapat rekomendasi.

Pelan, kuangkat wajahku untuk menatap mata Kak Ye Sung yang terlihat tegas. “Tolong berikan aku waktu. Sedikit lagi. Aku jamin aku akan berhasil kali ini…”

Kak Ye Sung mempelajari ekpresiku sebelum akhirnya ia menjawab. “Seminggu…”

“Ya,” anggukku, “Seminggu…” Ya ampun…bisa apa aku dalam seminggu?

----------------------


“Kau bilang seminggu? Itu sih namanya gila…” seru Jae Shi sambil menatapku cemas. “Kau yakin bisa berhasil menemukan objek yang tepat dalam seminggu?”

“Tidak tahu…”

“Sebaiknya kau mulai memikirkannya, Min Ra…” ujar Jae Shi dengan gugup. “Waktunya cuma seminggu…”

“Ya ampun, aku tahu itu, Jae Shi… Dan karena itu, kuharap kau jangan membuatku semakin pusing.. Kepalaku sudah sakit memikirkannya…”

Jae Shi berteman akrab denganku sejak SD. Dan sekalipun teman-temanku menganggapku aneh karena begitu serius menekuni hobi fotografiku, Jae Shi hanya tersenyum dan tetap mendukungku. Ia mengenalku, dan ayahku, karena itulah ia memahamiku.

Ayahku meninggal ketika usiaku masih kecil. Dan satu-satunya benda yang mengingatkanku akan dirinya hanyalah kamera tuanya yang usang. Begitu banyak fotoku di lemarinya, di kamarnya, dan di meja kerjanya. Akan tetapi, Ayah hanya meninggalkan beberapa lembar foto dirinya saat bersama Ibuku. Hal itu membuat keluargaku panik luar biasa karena tidak menemukan foto yang tepat untuk digunakan dalam pemakamannya.

Karena itu, aku mau melihatnya. Aku mau melihat dunia seindah apa yang ada di balik  lensa kamera Ayahku. Awalnya begitu menyenangkan, namun, belakangan hal ini semakin menghimpitku, membuatku bertanya-tanya. Mungkin aku memang tidak berbakat dalam bidang ini, berbeda dengan Ayahku yang telah banyak memenangkan penghargaan di bidang fotografi.

“Maaf kalau aku panik…” Jae Shi tersenyum dan menggenggam tanganku lembut. “Aku hanya tidak ingin bakatmu berakhir dengan sia-sia…”

“Aku pikir aku tidak memiliki bakat itu. Aku berbeda dengan Ayah…”

“Kau hanya tidak menyadarinya saja…” sahut Jae Shi sambil tertawa. “Menurutku, kau sangat berbakat. Aku tidak pernah suka difoto. Hanya kalau kau yang memotretku baru aku mau. Menurutmu kenapa?”

“Karena kau sahabatku jadi kau tidak mau mengecewakanku?”

Jae Shi meledak dalam tawa. “Bukan….. tapi, karena kau bisa membuatku terlihat lebih cantik. Itu dia. Aku selalu merasa tidak pede, karena orang-orang tidak bisa menangkap sisi terbaikku. Tetapi, kau mampu menariknya…”

Kalimat Jae Shi mengobarkan semangat baru di dadaku. “Terima kasih, kayaknya aku jadi lebih bersemangat sekarang…” sahutku sambil menenteng kameraku dan bangkit berdiri.

“Selamat berjuang, Min Ra!!!!!!!!!!!” sambil berteriak, Jae Shi melambaikan tangan dengan gembira ke arahku.

                                                       -------

“Tidak bagus…” jawab Kak Ye Sung. “Tidak terlihat perasaan dalam foto ini…” ujar Kak Ye Sung lagi. Dengan langkah lunglai, kuucapkan terima kasih sambil berjalan ke luar lapangan parkir kampus. Gagal lagi, keluhku dalam hati.

“Ayo, apa kau berani, Hyuk Jae?!” seru suara dari sisi lapangan basket. Musik-musik berirama keras diputar dan mengalun bagaikan dentaman jantung.

Ada banyak gadis berkumpul di sana, kurasa tidak masalah untuk ikut menonton. “HYuk Jae! Hyuk Jae!” Seru gadis di sebelahku.

Seorang pria maju ke tengah lapangan dengan mengenakan jaket hoddie abu-abu. Ia tampak tenang dan percaya diri. Seorang pria lainnya maju dan menari di depannya dengan gaya mencemooh. Apa ini yang dinamakan dance battle?

Cowok yang dipanggil Hyuk Jae itu diam tak bergeming sampai lawan-lawannya mencemoohnya pengecut. Dan ketika irama mendadak terhenti sejenak, ia menyunggingkan senyum dan bergerak bersama musik baru yang lebih keras dan lebih hidup.

Tangannya dan kakinya bergerak bebas, terlihat energik. Mataku terus terpaku menatap gerakan-gerakannya yang lincah, dan tanpa sadar, tanganku bergerak memijit tombol kamera dan memotretnya. Sekali, dua kali, berulang-ulang.

Bersamaan dengan itu, jeritan para penonton semakin histeris. Kameraku bergerak cepat, dan akhirnya entah berapa kali aku memotretnya, terutama ketika kakinya melayang bagaikan terbang di udara.

“Sudah jelas, Pemenangnya adalah Hyuk Jae!!!!!!!!!!” seru MC yang berdiri di sudut lapangan.

Cowok itu tertawa lepas saat dirangkul oleh teman-temannya. Kemudian, saat hendak memasukkan kameraku ke dalam tas dan beranjak pergi, cowok itu tiba-tiba menatapku sambil mengernyit bingung.

“Hei!! Kau!!” serunya.

Spontan kutolehkan kepala ke kiri dan kanan, mencari orang yang dipanggilnya. Namun, cowok itu malah menunjukku dan mengulangi panggilannya, “Kau! Kau yang kumaksud, bukan orang lain, jadi berhentilah menoleh ke mana-mana…”

“A-ada apa?” tanyaku, masih terpaku dan tiba-tiba merasa bersalah karena telah memotretnya tadi. “A-aku… salah apa?”

Pria itu tertawa dan meletakkan tangannya di bahuku. “Kau memotretku ya? Akan kaujual berapa foto itu?”

“Aku… aku tidak mau menjualnya…” sahutku bingung.

“Ohh…” ia menangguk dan tersenyum puas. “Jadi, kau memotretku karena aku tampan?” tanyanya lagi.

“Ehhh… bukan…” sahutku jujur. “Aku memotretmu karena kau terlihat keren tadi…” jawabku.

Cowok itu tertawa dan memiringkan kepala memandangku. “Kau… aneh sekali…” ia memandangku lagi sebelum akhirnya berbalik pergi. “Kau memang cewek aneh, tapi, menarik juga…” ia berhenti dalam langkah yang ketiga. “Siapa namamu?”


“A-aku… Park Min Ra…”


--Lee Hyuk Jae, Seoul, 2010—

“Sampai kapan kau mau menjalani hobi menarimu itu?” tanya Papa dari telepon. “Tahun ini kau harus sudah lulus dan meneruskan bisnis Papa…”

“Ya, aku tahu, Pa…” sahutku sambil mematikan ponselku. Menghentikanku untuk menari? Rasanya tidak mungkin. Menari adalah bagian dari diriku. Dan obsesiku. Lagipula, seorang gadis mengatakan kalau aku terlihat keren.

Tunggu, siapa namanya tadi? Min Ra… Ya, Park Min Ra… Sebelumnya, tidak ada yang begitu jujur mengatakan di hadapanku mengenai penampilanku… Walaupun menurutnya, aku tidak tampan, sialan! Padahal, wajahku demikian miripnya dengan Won Bin!!


Gadis-gadis lain biasanya langsung menempel padaku dan memujiku berlebihan. Tteapi, gadis ini berbeda. Ya, memang agak aneh, tetapi sangat menarik.

--Park Min Ra, Seoul, 2010—

“Ini bagus…” ujar Kak Ye Sung sambil menangkat beberapa foto Hyuk Jae yang kujepret kemarin sore. “Pencahayaannya kurang, tetapi nuansanya sangat kental. Cocok sekali dengan backgroundnya.”

“Aku boleh memasukkannya di portofolio-ku?”

“Boleh, ini akan lulus seleksi.. Sudah ada perbaikan kalau begitu…” ujar Kak Ye Sung dengan senyuman lega. “Ini pria yang terkenal itu kan? Tidak kusangka kau memilih dia sebagai objek fotomu…”

“Hah? Terkenal bagaimana?”

Kak Ye Sung menertawakan ketidaktahuanku. “Penari breakdancer terbaik di kampus kita. Dia kan pernah memenangkan beberapa perlombaan…”

“Ohh… aku baru tahu… Pantas saja gerakannya terlihat indah…”

“Yang berlatar senja ini paling bagus, kau juga harus memasukkannya…” ujar Kak Ye Sung lagi. “Mungkin ada baiknya kau mendekatinya, supaya kau bisa mendapatkan objek foto yang bagus…”

“Bagaimana cara mendekatinya?”


Kak Ye Sung hanya tersenyum singkat. Tanpa menjawab, ia berbalik pergi. Dan sebelum keluar, ia kembali mengingatkanku. “Berusahalah, Min Ra… Masih ada beberapa hari untuk memenuhi album portofoliomu…”

--Lee Hyuk Jae, Seoul, 2010—

“Hoiii…” gadis yang kupanggil itu kembali celingukan dan mencari pemanggilnya. “Hoi, iya, kau! Aku yang memanggilmu…” ujarku sambil berjalan menghampirinya dalam langkah-langkah panjang.

“Eh, kenapa?” tanyanya bingung.

“Tenang, kau boleh menyimpan fotoku kalau aku memang sekeren itu…” wajahnya memerah mendengar ucapanku. Lucu. “Ayo makan…”

“Eh? Apa?” tanyanya sambil melongo bingung. “Siapa?”

“Kau, makan denganku. Ayo, aku lapar…” ujarku sambil menggandeng tangannya. Min Ra tersentak kaget dan menarik tangannya bingung. Wajahnya memerah dan tampak menggemaskan. “Sudah, jangan terlalu kasual padaku…”

“Tapi.. aku tidak biasa begitu.. Maksudku, aku nggak sama dengan gadis yang kemarin itu…”

Pelan kutatap penampilan sopannya dari atas sampai ke bawah. Baiklah, gadis ini memang unik. Berbeda dari gadis lainnya, ia justru terlihat menarik dan semakin misterius.

“Oke, tidak ada gandengan tangan? Mari kita makan…” ujarku sambil tertawa dan berjalan di sampingnya. “Tapi, kalau jadi pacar, boleh gandengan kan?” tanyaku lagi, dengan senyum terbaikku.

“Eh? I-iya…” jawab cewek itu kaget. Lalu, mendengar tawaku, wajahnya langsung menunduk malu, seolah menyesali jawaban spontannya itu. Menyenangkan. Gadis ini selalu saja membuatku terhibur.



--Park Min Ra, Seoul, 2010—

“Kau selalu membawa kamera itu kemana-mana, ya?” tanya Hyuk Jae sambil memandangku. Kami berjalan menuju pelataran parkir. Setelah mentraktirku, ia mengatakan hendak mengikuti dance battle lagi sore ini, dan menuntutku untuk menontonnya.

“Ya, ini milik almarhum Ayahku…” jawabku sambil tersenyum.

Wajah Hyuk Jae sejenak berubah dan tampak menyesal karena bertanya. “Maaf, aku tidak bermaksud untuk… yah, begitu, ngg… kau jadi sedih…” Hyuk Jae menyunggingkan senyum lebarnya dan tersenyum. “Kau tidak marah kan?”

“Oh, tidak apa-apa…” sahutku.

“Jadi kau jurusan fotografi?”

“Ya,” senyumku sejenak mengembang dan kemudian menghilang. “Aku tidak berbakat seperti Ayahku…”

“Kau berbakat, tenang saja… semua orang kalau memotretku pasti disebut berbakat…”

“Oh… tapi, fotomu memang mendapat pujian.,..” tukasku tiba-tiba. “Maaf, aku memotret tanpa ijin…”

Ia memandangku bingung sebelum akhirnya tertawa lagi. “Sudah kuduga, kau memang aneh. Eh, maksudku, unik.”

“Unik bagaimana?”

“Spontanitasmu. Aku menyukainya…” senyumnya membuatku berdebar-debar.

 Ia melambai ke arah seorang pria yang datang sambil membawa sebuah tas besar. “Aku akan segera menari. Tunggu aku di sini. Ingat, kau harus menonton…”

“Oke,” sahutku sambil tersenyum.

“Dan jangan lupa foto aku…”

Pertandingan dimulai sekitar setengah jam kemudian. Seperti biasanya, ada begitu banyak penonton di tempat ini. Seorang pria setengah baya duduk di sebelahku saat pertandingan berlangsung. Tanganku masih sibuk memotret ketika tiba-tiba pria itu menggumam.

“Apa yang kau foto dari pertandingan sembarangan ini?”

Kutatap pria itu dengan bingung. “Maaf, bukannya saya lancang Om… Tapi, menurutku, sangat keren!”

“Keren?”

“Rasanya dengan melihatnya saja, saya jadi ingin ikut menari! Bukankah mereka yang bergerak di tengah lapangan itu terlihat luar biasa? Seperti berasal dari dunia lain…” senyumku sambil terus berusaha membidik gerakan-gerakan Hyuk Jae yang terlihat dramatis.

“Begitukah?” Pria itu menatap kamera di tanganku dan menggeleng, “Anak muda memang selalu penuh impian. Apa kalian sadar kalau kalian sering kali menyusahkan orang tua kalian?”

“Saya… mengejar fotografi, karena Ayah saya. Saya ingin melihat apa arti dunia yang ada di balik lensa kameranya. Saya tidak tahu kenapa Om begitu pesimis dan antipatif terhadap dunia menari. Tetapi, tidakkah Om bisa merasakan kobaran semangat mereka?”

Pria itu tersenyum sejenak sambil memandangku. “Orang tuamu pasti sangat beruntung punya putri sepertimu…”

“Terima kasih, Om…” sahutku sambil tersenyum.

Sementara mataku kembali melihat pertandingan di depan, pria tua itu menghela nafas panjang. “Biar pun demikian, sebagai orang tua, sering kali kami hanya berharap kalau anak-anak kami memiliki masa depan cerah dan sukses…”

“Itu juga sebenarnya tidak sepenuhnya salah,Om…” sahutku. Sebelum sempat menyelesaikan kalimatku, tiba-tiba terdengar suara dari pengeras suara.

“PARK MIN RAAAA!!!!!!!!!!!!!”

Sebuah lampu menyorot wajahku, tepat ketika Hyuk Jae dengan bersemangat berteriak, “AKU MENYUKAIMU, JADILAH PACARKU!!!!!!” kontan, wajahku merah padam.

Hyuk Jae berjalan ke arahku sambil tersenyum. Ia tertawa melihat wajahku memerah sampai telinga. “Jadi, apa jawabannya adalah ‘ya’?”

“Eh… anu…” mendadak kalimat hilang dari lidahku.

“Hyuk Jae…” panggil pria setengah baya di sebelahku. Perlahan, ekpresi wajah Hyuk Jae menegang dan mengeras. Ia memandang kaget padaku dan kemudian kepada pria itu.

“Min Ra, kau mengenalnya? Kau mengenal Papaku?”

“Eh, baru saja kami mengobrol. “

Sebelum sempat mengatakan kalau aku baru mengetahui pria itu adalah Ayahnya, Hyuk Jae sudah memberikan tatapan marah dan sakit hati ke arahku. “Tidak kusangka kau bekerja sama dengan Papaku untuk menipuku…”



“Hasilnya semakin memuaskan,” tukas Kak Ye Sung sambil membantuku menata dan merapikan portofolioku. “Gosipnya sudah beredar…”

“Gosip apa?” tanyaku, bingung.

“Kau berpacaran dengan Hyuk Jae. Tidak kusangka kau mengikuti saranku untuk mendekatinya…”

Tiba-tiba dadaku terasa sakit dan perih. Ia marah. Ia salah paham padaku. Dan kemudian, pergi tanpa memberikanku kesempatan untuk menjelaskan. Rasanya ada yang bolong di hatiku.

Melihat wajahku yang muram, Kak Ye Sung menepuk bahuku dan mengelus kepalaku lembut. “Kenapa? Apa kalian bertengkar?”

“Dia marah padaku. Dia pasti benci padaku…”

“Kalau dia berani menyatakan perasaannya seperti itu, rasanya tidak mungkin ia membencimu. Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan, toh, kau sudah mendapatkan objek yang tepat untuk portofoliomu. Mungkin, kau bisa memberitahukan rahasia suksesmu padaku?”

“Eh? Rahasia sukses apa?”

“Hei…” sebuah suara dari pintu membuat kami menoleh. “Aku sudah mengetuk pintu tapi tidak ada jawaban…” ujar Hyuk Jae dengan suara rendah. “Aku mau bicara dengan Min Ra…”

“Baiklah, kutinggal dulu…”

Begitu pintu tertutup, Hyuk Jae langsung menyerangku dengan sejumlah besar pertanyaan. “Kau menipuku? Kau memanfaatkanku untuk portofoliomu?”

“B-bukan…”

“Kau membiarkanku mendekatimu juga hanya untuk portofoliomu itu?” wajahnya terlihat marah dan kecewa. “Kau memanfaatkanku?!”

“Hyuk Jae, dengarkan aku. Aku tidak merencanakan ini semua. Aku… aku baru kemarin bertemu dengan Papamu… dan aku… aku juga tidak merencanakan untuk memanfaatkanmu… Aku memotretmu karena naluri yang menggerakkanku untuk melakukannya…”

“Jadi, hanya itu? Naluri?” cowok itu mendesah dan memandangku dengan tatapan kecewa. “Kukira kau memiliki perasaan yang sama denganku. Ternyata aku salah…”

Pintu terbanting tepat sebelum sebuah kalimat meluncur dari bibirku. “Maafkan aku…”


--Park Min Ra, Seoul, 2011—

Sudah lebih dari setengah semester kami tidak lagi bertemu. Hyuk Jae tidak pernah lagi muncul di battle dance, bahkan di tempatnya biasa nongkrong dengan teman-temannya. Semenjak hari itu, mataku terbiasa menyusuri lapangan parkir, hanya untuk mencari sosoknya.

“Kau merindukannya, kan?” ujar Jae Shi sambil menepuk bahuku lembut. “Seharusnya kau mengakui hal itu padanya dulu… kalau kau juga menyukainya…”

“Aku tidak tahu bagaimana perasaan suka itu…”

“Kau tidak tahu? Bagaimana mungkin? Kurasa, setiap foto dirinya bisa begitu bersinar karena kau menyukainya…”

Perlahan, sebuah kalimat Ayahku terngiang di kepalaku. Sebuah percakapan pendek yang paling berkesan di hatiku.

“Ayah, kenapa terus memotertku? Apakah Ayah tidak bosan?”
“Karena Ayah mencintaimu, Min Ra…”

Setetes cairan hangat menetes jatuh di pipiku. “Suatu hari,  entah kapan… kau akan memahaminya…” Ya, aku paham. Aku bisa menangkap sisi terbaik Jae Shi karena aku menyayanginya sebagai seorang sahabat. Dan Hyuk Jae? Karena… aku menyukainya, aku menyayanginya.

Oh… kenapa baru sekarang? Kenapa baru sekarang aku menyadarinya?

“Aduh Min Ra… maafkan aku, lihat kau jadi menangis begini. Aaah.. Apa yang harus kulakukan?” Jae Shi mengobrak-abrik tasnya dan mencari tissu untuk diberikan kepadaku.

“Kalau kau memang begitu menyukaiku, seharusnya sejak awal kau mengatakannya, dasar bodoh!” seru seseorang sambil memelukku dari belakang. Dengan kaget, kuangkat wajahku dan menemukan sosok yang kurindukan di sana.

“Hyuk Jae…”

“Aku dimarahi Ayahku karena salah paham padamu… Dan, sebetulnya aku senang kau memanfaatkanku untuk fotomu. Tapi, aku marah padamu karena kau tidak mau mengakui perasaanmu hari itu. Aku jadi terpaksa meminta bantuan temanmu, kan…” ia mendengus kesal sambil mempererat pelukannya di bahuku.

“Eh? Bantuan temanku…?” di depanku, Jae Shi tersenyum sambil mengacungkan jempolnya.

“Jadi? Apa kau masih tidak mau bilang kalau kau menyukaiku? Asal kau tahu, aku ini tampan seperti Won Bin. Banyak yang mengantri untuk pacaran denganku…”

“Aku menyukaimu,” sahutku cepat. “Walaupun kau tidak setampan Won Bin…”

“Dasar kau ini…” Hyuk Jae terkekeh sambil menarikku dalam pelukannya dan menciumku. Dari sudut mataku, kulihat Jae Shi meraih kameraku dan mengabadikan momen itu dengan gerakan yang cepat. Hemm… aku harus berterimakasih padanya, nanti…

TAMAT

Minggu, 12 Oktober 2014

FF Lovely You, Hye Ri

Udah lama banget aku ga nulis FF...
Kali ini cast nya Lee Dong-hae super junior, si oppa tampan (hheehe...) kupersembahkan untuk temanku yang jujur dan lucu, Felicia F :)
 



Lovely You, Hye Ri

“Kali ini, pertimbangkan calon yang Mama ajukan…”
Dong-hae menghela nafas. Mamanya mengakhiri telepon sambil berjanji akan mengirimkan foto gadis yang disukainya. Dong-hae menghela nafas lagi mengingat ini kesekian kalinya Mamanya mengajukan calon potensial untuknya.
Usianya sudah 27 tahun. Sudah berapa lama ia tidak pacaran? Hmm... mungkin ia hanya terlalu sibuk dengan karirnya sebagai member Super Junior.
Semenjak syuting Extravagant Challenge rampung, ulah Mamanya semakin menjadi-jadi. Isu adanya adegan ciuman dengan seorang Choi Si-won, betapa banyaknya foto adegan ciuman mereka yang beredar―dari hasil kreatifitas fans―menambah sakit kepala Dong-hae.
Mamanya mungkin ketakutan anak tersayangnya ini homo, karena itu terburu-buru mencarikannya wanita setiap kali ada kesempatan. Padahal Dong-hae sudah berulang kali mengatakan pada Mamanya kalau dia masih pria normal yang menyukai wanita. Mamanya tampaknya makin hari makin meragukannya. Dong-hae kehabisan akal. Ia menghela nafas lagi.
Tetapi foto yang ditunggu tidak kunjung datang. Sebagai gantinya, Mamanya mengeluarkan ultimatum untuk datang ke sebuah café yang terletak di kawasan Apgujeong. Tidak masalah sebenarnya, aku akan sekaligus mengunjungi restoran milikku, pikir Dong-hae sambil menatap layar ponselnya. Hanya saja, bagaimana kau akan mengenali gadis yang bahkan fotonya saja tidak pernah kau lihat?

Hari Sabtu yang cerah. Langit terlihat biru dan udara tidak panas menyengat. Hari yang sempurna untuk kencan, sementara Dong-hae menatap arlojinya. Kalau memang ini bisa disebut kencan dan bukannya perjodohan paksa, pikirnya pahit.
Dong-hae memutuskan untuk memesan gelas kopi kedua ketika pintu berayun terbuka dan seorang gadis berwajah masam masuk. Gaunnya selutut berayun lembut di tungkainya ketika ia berjalan memasuki café.
Rambutnya panjang sepunggung, selaras dengan penampilannya yang feminim. Hanya saja, wajahnya yang masam mengurangi keseluruhan poin penampilannya yang menarik, pikir Dong-hae sambil lalu. Matanya kembali menatap menu. Bukannya ia peduli, ia hanya sekejap mengamati dan menganalisa, itu saja. Sampai suara itu menyapanya.
“Permisi, Lee Dong-hae ssi…”
Dong-hae mengangkat wajah dan tertegun. Gadis yang baru saja memasuki café itu menatapnya tajam dan tidak senang. Semua rasa tidak suka terlukis jelas di wajahnya.
Dong-hae segera memasang senyum sopan seribu watt nya. “Ada yang bisa saya bantu?”
Sejenak mata itu mengerling jenaka. Namun tampaknya perasaan itu kembali tertutup rapat, digantikan delikan kesal. “Kau akan sangat membantuku kalau kau mau menyetujui semua saranku.”
“Eh.. ehm… nona…”
“Park Hye-ri,” gadis itu mengulurkan tangan dan Dong-hae menyambutnya dengan sigap. “Boleh aku duduk di sini?”
“Ehm… sebetulnya saya ada janji…”
“Denganku,” ucap gadis itu sambil memaksakan sebuah senyum di bibirnya.
“Oh…” Dong-hae menatap gadis di depannya. “Ohhh…” Lagi-lagi hanya gumaman bodoh itu yang keluar dari bibirnya.
“Bibi Hyang baik sekali karena memikirkanku, tetapi sebenarnya tidak perlu. Aku merasa terhormat dikenalkan padamu, tetapi aku tidak menyukai situasi ini. Aku tidak mau dijodohkan dengan homo, apa kau paham perasaan itu?”
“Apa…”
Dong-hae merasakan mulutnya terbuka lebar. Apa yang baru saja gadis ini katakan?
“Aku paham keinginan Bibi untuk membersihkan namamu. Tapi aku hanya gadis biasa. Aku tidak suka popularitas. Aku tidak mau dikaitkan dengan media. Aku ingin menjalani hidupku dengan cara normal, wajar, menyenangkan apa-adanya.”
“Eh… Ehmmm… Park Hye-ri ssi?”
“Karena itu, aku mohon maaf padamu, aku tidak bisa membantumu. Kau kan idola terkenal, kau bisa minta banyak gadis lainnya, misalnya dari band SNSD. Bukankah kalian akrab? Ahh.. atau dari F(x) saja?”
“Tapi.. aku tidak…”
“Benar!” Park Hye-ri berhenti bicara dan mendadak tersenyum. Spontan ia menggenggam tangan Dong-hae dengan rasa sukacita luar biasa di wajahnya. “Aku tahu kau tidak akan memaksaku! Aku senang mendengarnya. Lagipula, aku punya banyak pekerjaan untuk diurus! Terimakasih banyak mau mengerti keadaanku!”
“Ah.. iya…” Dong-hae merasa agak linglung. Wajah gadis itu saat masam benar-benar tidak menyenangkan. Hanya saja ketika ia tertawa… Yah, ketika ia benar-benar tertawa tulus, seluruh senyum itu mengubah wajahnya. Bahkan Dong-hae bisa melihat kilauan matahari memandang balik padanya dari senyum itu.
“Karena itu, apakah aku bisa pamit sekarang? Pekerjaanku banyak dan..”
“Ehm…” Dong-hae hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Yah…”
“Baiklah! Selamat siang dan sampai jumpa!”
Gadis itu bangkit dari duduknya, menyambar tasnya dan berlari meninggalkan café dengan wajah gembira. Dong-hae sejenak melamun di tempatnya, berusaha mereka ulang apa yang baru saja terjadi.
Aku tidak mau dijodohkan dengan homo, apa kau paham perasaan itu?
Dong-hae menggebrak meja dengan keras, baru saja menyadari apa yang Park Hye-ri ucapkan panjang lebar sedari tadi.
“Aku bukan homo, dasar sial…” umpatnya.
Dong-hae melirik kiri kanan dan menyadari semua mata memandang kaget padanya. Ia merapatkan bibir dan mengeluarkan lembaran dari dompetnya. Ia berlari pergi mengejar gadis konyol itu. Satu gossip lagi dan predikatnya sebagai laki-laki normal akan hilang selamanya.
Seorang gadis berinisial PHR menolak seorang idol berinisial LDH karena mempertanyakan ketertarikan gender pria tersebut.
Dong-hae merasakan kepalanya berubah pusing. Ia mempercepat larinya tetapi tetap saja kehilangan jejak Park Hye-ri.
Kedua kakinya lebih pendek dariku, bagaimana bisa dia berlari sekencang itu? Keluh Dong-hae dalam hati.

Hye-ri mengangkat kertas yang baru diguntingnya dengan bangga. “Kalian harus menggunting mengikuti polanya, setelah itu Bu Guru akan mengajarkan cara melipat yang benar!”
Hye-ri menatap langit dan tersenyum. Anak-anak duduk di atas kursi-kursi kecil yang disusun rapi di atas halaman berumput. Mereka memandangnya dengan wajah antusias, gembira dengan kelas yang diadakan di halaman sekolah yang sejuk.
Anak-anak di depannya berseru setuju. Sampai seorang anak perempuan tiba-tiba menjerit. Disusul jeritan anak perempuan lainnya. Dan kegaduhan segera saja semakin parah ketika anak lelaki menunjuk-nunjuk sambil ikut bersorak.
 “Anak-anak… tenang dulu!”
Tetapi satu sama lain saling berteriak, bersorak, menjerit, dan berseru. Hye-ri kesulitan mengartikan ucapan mereka. “Lee Dong-hae!” cetus seorang anak.
“Super junior!”
Hye-ri merasakan tepukan ringan di bahunya dan menoleh. Pria itu menyunggikan senyuman lebar yang manis. Sejenak jantung Hye-ri berhenti berdetak. Pria ini jauh berbeda dengan pria yang terlihat bodoh di café tadi. Pria yang hanya bisa menggumamkan kata ya dan oh di depannya.
“Lee Dong-hae!” desis Hye-ri kaget.


Dong-hae menikmati pertunjukkan kecil itu sebagai akibat dari popularitasnya. Keuntungannya terkenal di kalangan anak kecil adalah tidak akan ada yang meneriakimu dengan sebutan homo, tentu saja.
Sampai gadis itu menoleh dan kaget melihatnya.
“Lee Dong-hae,” desisnya.
Dong-hae bisa melihat dua kata menari-nari di mata Park Hye-ri. Si homo. Si homo. Si homo. Terus dan berulang-ulang.
“Ehmmm… bagaimana kau menemukanku?” tanya Hye-ri gugup.
“Suara teriakan anak-anak ini kurasa bisa terdengar sampai desa sebelah. Aku kebetulan lewat, mendengar suara ribut-ribut dan kemudian memutuskan untuk memperbaiki salah paham di antara kita.”
“Memangnya ada salah paham di antara kita?” Hye-ri memandangnya dengan alis bertaut bingung.
Tetapi Dong-hae dengan jelas melihat Hye-ri masih memandangnya dengan tatapan menyebalkan itu. Si homo. Si homo. Si homo. Terus dan berulang-ulang.
“Kau salah paham,” ujar Dong-hae lantang. “Aku bukan homo, aku pria normal, aku masih tertarik pada wanita cantik dan walaupun kau bukan satu-satunya wanita paling menyebalkan dan aneh yang mengira aku homo, masih ada Mamaku…. Kalian berdua sama menyebalkannya. Tapi anehnya… ehmm… anehnya, aku tertarik padamu.”
Dong-hae menarik nafas panjang lalu melihat Hye-ri menganga kaget memandangnya. Kemudian teriakan anak-anak kembali heboh.
“Wahhh!! Apakah Bu Guru baru saja dilamar?”
“Selamat Bu Guru!”
“Semoga bahagia, Bu Guru!”
Hye-ri memandang sekeliling dengan bingung, kemudian memandang Dong-hae, dan sekejap kemudian, tawanya meledak. “Pfftt… Hahahahaha….”
Ahh… aku memang tidak memahami wanita…
Pikir Dong-hae sambil melihat Hye-ri tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Hye-ri bahkan sedikit mengeluarkan air mata dan buru-buru menghapusnya.
“Kau menarik,” ucap Hye-ri.
Senyum merekah di wajah gadis itu. Tanpa sadar, Dong-hae ikut tersenyum bersamanya. “Err… Terimakasih?”
“Kurasa, aku bisa menyukaimu…” ucap Hye-ri lagi.
Kali ini Dong-hae merasakan wajahnya ikut memerah. Gadis satu ini benar-benar tidak bisa ditebaknya. Tetapi ia tidak bisa membencinya, sebaliknya ia justru menikmatinya. Tidak setiap hari kau bisa diomeli, diberikan muka masam, dan kemudian tawa seriang itu. Semua dalam beberapa jam yang terasa singkat.
“Kurasa, aku juga bisa menyukaimu…” senyum Dong-hae.
Hye-ri tersenyum lagi. “Bagaimana kalau kau menemani kami belajar menggunting dan menempel?” Hye-ri menjejalkan gunting dan kertas warna berpola ke tangannya.
Dong-hae menatap benda di tangannya dan berbagai protes bergema di kepalanya. Katakan saja kau sibuk, ini hari libur berharga yang jarang bisa kau dapatkan, dan besok kau masih ada show di luar Seoul.
Tetapi sebaliknya, Dong-hae malah tersenyum dan mengambil tempat duduk di sebelah gadis itu. “Aku sudah lama tidak bermain sesantai ini.” Ucapnya tulus.
Angin memainkan rambut Hye-ri sementara gadis itu menyelipkannya di belakang telinga. “Tidak setiap hari kau bisa mendapatkan cuaca seindah ini untuk bermain di halaman… Ini hari yang berharga.”
Dong-hae menatap langit, menghirup udara yang berbau rumput dan tanah, kemudian menatap sekilas gadis di sampingnya. Senyum tersungging di bibirnya. “Ya,” ujarnya menyetujui. “Ini hari yang berharga…”


Tamat