Minggu, 02 September 2012

fanfic wine, man, love special episode

WINE, MAN, LOVE, SPECIAL EPISODE

by Patricia Jesica on Monday, September 26, 2011 at 11:12am ·

Special episode
Wine, man, love
―After Marriage―

―Scarlet Bar, Seoul―
“Jadi ini bar kebanggaanmu itu?” Tuan Hong memasuki bar dengan bantuan tongkat di tangannya. “Wah, tempat ini memang jadi bagus sekali…”

“Terima kasih, Ayah…” Nam-gil pun tersenyum. Ia sudah terbiasa dengan nama Nam-gil, jadi biarlah nama Tae-song terkubur bersama masa lalunya yang kelam. “Akan kusiapkan minuman special untuk Ayahku…”

“Hahahah… senang mendengarnya…” tawa Tuan Hong.

“Sebelum minum-minum, Ayah harus makan dulu…” Yo-won berjalan keluar dari dapur dengan membawa nampan di tangannya. “Karena belum jam buka, kurasa kita bertiga bisa makan bersama di sini…”

“Ahahaha… ya, kau benar…” Tuan Hong tersenyum dan duduk di tempat yang disediakan sementara Yo-won dengan cekatan menyiapkan hidangan satu per satu. “Aku senang menantuku cantik dan pandai memasak…”

“Wine adalah teman yang paling tepat untuk makanan apapun… aku sudah menyediakan merek wine kesukaan Ayah hari ini…” Nam-gil membuka tutup wine dan menuangkannya ke tiga gelas yang terdapat di depannya.

“ Wah, sayang sekali Tae-ra dan Mo-ne sedang sibuk. Mereka jadi tidak bisa makan makanan seenak ini…” puji tuan Hong lagi. “Oh ya, ada apa tiba-tiba kau mengundangku kemari? Tentunya bukan hanya untuk memperlihatkan bar ini padaku, bukan?”

“Dari dulu Ayah memang jeli sekali,” senyum Nam-gil sambil mengiris daging di hadapannya. “Begini, kami ada kabar gembira untuk Ayah…”

Yo-won mengangguk malu di samping Nam-gil, membuat Tuan Hong memandang pasangan itu dengan penasaran.

“Kau saja yang sampaikan,” kilah Yo-won pada suaminya.

“Tidak, kau saja…” balas Nam-gil.

“Siapapun boleh, ayolah, aku sudah penasaran sekali… Kalian membuatku semakin curiga saja…” gurau Tuan Hong lagi.

“Begini,” mereka akhirnya bicara hampir bersamaan. “Kami akan segera memberi Ayah cucu…”

“Benarkah?” Tuan Hong berseru kaget sambil memandang keduanya. “Benarkah? Laki-laki? Perempuan? Yang mana?”

“Masih belum dipastikan,” sahut keduanya malu. “Tapi, kuharap ini berita yang menggembirakan untuk Ayah…”

“Oh… ya… itu sudah pasti dong…” tawa Tuan Hong meledak seketika. “Berita sebagus ini memang selayaknya dirayakan dengan wine seenak ini!!!”


Lima bulan kemudian…
―Nam Gil Family’s House―
“Kau sudah memutuskan untuk membantu usaha Ayahmu?” tanya Yo-won sambil memasangkan dasi suaminya.

“Ya,” jawab Nam-gil. “Kulihat tidak ada karyawan yang kompeten di sana untuk menggantikan posisi Ayahku. Lagipula, dulu aku yang menghancurkannya. Sedikit banyak aku bertanggung jawab atas hal itu…”

“Tidak usah menyesali masa lalu,” tegur Yo-won. “Kau sudah berubah. Lakukan saja yang menurutmu baik, dan berusaha saja semampumu. Aku yakin Ayahmu sudah cukup senang dengan bantuanmu…”

“Aku akan berusaha keras agar layak menjadi penggantinya…” sahut Nam-gil lagi. “Kakakku Tae-ra mengalami kesulitan karena ia seorang wanita…”

“Ya, aku tahu itu…” senyum Yo-won. “Kadang kala wanita dianggap remeh…”

“Tetapi tidak denganmu,” Nam-gil mencubit pipi Yo-won gemas. “Kau akhir-akhir ini sangat hebat sewaktu menggantikanku menjadi pemilik di Scarlet bar… Kudengar Eric Moon datang dan mengajukan lamaran menjadi manajer operasional kita…”

“Jangan memujiku,” ujar Yo-won. “Aku cuma seorang wanita yang berusaha membantu suaminya. Ini juga supaya kita bisa lebih banyak bersama… Dan soal Eric, ya, dia sudah menyesal dan kali ini tampak sungguh-sungguh. Berkat dirinya penjualan kita semakin bagus…”

“Ah, ya, soal itu…” Nam-gil menampakkan ekspresi menyesal. “Kita memang seharusnya lebih banyak menghabiskan waktu bersama… maafkan aku…”

“Itu tidak masalah,” gumam Yo-won. Sedetik kemudian ia mencengkeram lengan Nam-gil kuat-kuat. Wajahnya pucat seperti kertas. “Ahh…” erangnya sambil memegang perutnya.

“Astaga! Kau kenapa, Yo-won? Ayo kita ke rumah sakit!!” Nam-gil dengan segera membopong Yo-won sambil menelepon ambulans.

Tidak lama ambulans datang dan menjemput istrinya. Selama di mobil, Nam-gil terus menggenggam tangan Yo-won dan mendoakan keselamatan anaknya. Tidak lama kemudian ponselnya berdering.

“Halo? Ah, Ayah? Maafkan aku, aku sedang berada di perjalanan ke rumah sakit. Mungkin Yo-won akan melahirkan…”

“Kalau begitu aku akan ke sana…”

“Apa? Apa tidak masalah Ayah meninggalkan kantor?”

“Dasar anak bodoh! Tentu saja aku harus melihat kelahiran cucuku!” jawab Ayahnya panik.

Satu jam kemudian…

“Selamat! Bayinya laki-laki” seru seorang perawat.

“Laki-laki? Benarkah? Terima kasih, suster…” Nam-gil dan Ayahnya buru-buru menghampiri Yo-won di tempat tidurnya.

Nam-gil mencium tangan Yo-won dan tersenyum penuh haru melihat anak itu berada di samping Ibunya. “Terima kasih, Yo-won… kau melahirkan anak kita dengan selamat… Aku sangat bahagia…”

“Anakmu tampan…” Tuan Hong menangis terharu. “Aku senang sekali melihatnya begitu sehat…”

“Ya, Ayah…” sahut Nam-gil sambil tersenyum senang. “Bisakah ayah memberinya nama?”

“Aku? Apa boleh?” tanya Tuan Hong hati-hati.

“Tentu saja,” senyum Yo-won. “Apa Ayah juga mau menggendongnya?”

“Ya…” Tuan Hong meraih anak itu dalam pelukannya dan menimangnya dengan hati-hati. Air mata haru menetes di pipinya. “Rasanya ajaib sekali… aku sangat bahagia bisa menjadi kakek untuk bayi kecil ini…”

Nam-gil dan Yo-won berpegangan tangan sambil tersenyum. Sementara itu, Tuan Hong mengamati bayi dalam gendongannya dengan penuh kasih. Ia yakin, yang dinamakan kebahagiaan itu pastilah keadaan seperti ini.

“Ah, bagaimana kalau dia diberi nama….”

Di luar, langit begitu biru dan awan bergulung-gulung lembut. “Semoga suara kebahagiaan bisa meraih hati semua orang…” doa Yo-won dan Nam-gil dalam hati. “Seperti kami yang berbahagia… kalian pun, berbahagialah!”



-tamat-




fanfic wine, man, love 7

WINE, MAN, LOVE 7

by Patricia Jesica on Monday, September 26, 2011 at 10:55am ·
Chapter7
Wine, man, love
-Reunited and Beloved-

―Shim Gun Wook’s House―
Beberapa hari terakhir Nam Gil menghabiskan waktunya di rumah ini. ia terus memikirkan mengenai masa lalu, masa sekarang, dan masa depan untuknya. Apapun yang ia katakan atau lakukan, bagaimana pun langkah yang dipilihnya, semua tetap akan tersakiti.

Nam gil menghela nafas panjang, ia memutuskan untuk membakar semua foto yang berada di hadapannya. Bukti masa lalu yang kejam.

Semua data yang berada di komputernya masih lengkap. Semua rencana yang terusun rapid an detail. Dan di antara data-data itu, ada sebuah folder yang tidak tega dihapusnya. Foto Jae-in. Lalu ada juga foto mereka berdua di taman hari itu.

Nam-gil menarik nafas. Ponselnya dibiarkan mati beberapa hari ini. Yo-won pasti akan merasa cemas dan memarahinya nanti.

Ia meraih jasnya dan berjalan ke luar rumah. Setelah berjalan-jalan sejenak, Nam-gil memutuskan untuk pergi ke taman. Di sana ia melihat Jae-in tengah berbincang dengan seorang pria.

Pria itu pergi tidak lama kemudian. Nam-gil bisa melihat betapa murungnya wajah Jae-in yang memandang kepergian pria itu.

“Jae-in…” panggil Nam-gil.

Jae-in terkesiap kaget dan secepat itu pula berusaha menghindar.

“Jae-in…” Nam-gil bergegas mengejar gadis itu ketika ia berlari meninggalkannya begitu saja. “Kumohon, jangan begini. Ini akan menyulitkan kita berdua…”

“Apa kau datang hanya untuk mengucapkan selamat tinggal padaku?” tanya Jae-in pedih.

Nam-gil menggeleng tidak berdaya. “Ayo, kita bicara dulu…” bujuknya sambil tersenyum.

Jae-in menggeleng, menolak. “Pria tadi itu… teman kerjaku yang baru… dan dia melamarku…”

Nam-gil memandang Jae-in dalam diam.

“Bodohnya. Seharusnya langsung kuterima tawarannya…” Jae-In menutup wajahnya dengan tangan. Ia lantas tersedu-sedu ketika Nam-gil maju untuk memeluknya.

“Apa kau menyukainya?”

“Aku tidak tahu itu…” bisik gadis itu lemah. “Hanya saja… setiap kali mau membuka hatiku pada orang lain… Aku terus saja memikirkan dirimu…”

“Maafkan aku…”

“Terus dan berulang-ulang. Bagaimana kalau Gun-wook kembali nantinya? Bagaimana seandainya ia datang?”

“Maafkan aku… Selama ini aku membuatmu susah,…”

“Aku tahu itu…” Jae-in menangis dalam pelukan Nam-gil. “Sejak hari itu bertemu denganmu dan gadis itu di mall. Aku sudah tahu tidak ada lagi tempat untukku…”

“Tidak benar, kau selalu punya kedudukan special di hatiku…”

“Apa artinya? Yang kau cintai bukan aku lagi…” Suara Jae-in terdengar bergetar sebelum akhirnya ia menangis. “Sementara ini, kita jangan bertemu dulu… aku… aku perlu menenangkan diriku…”

“Jae-in!” panggil Nam-gil. Gadis itu memalingkan wajahnya ke samping, tidak mau menatap pria di depannya. “Kudoakan semoga kau bisa bahagia…”

“Terima kasih…” Jae-in memaksakan senyuman sebelum akhirnya berlari pergi.


―Shim Gun Wook’s House―

Nam-gil memandang kunci di tangannya sebelum akhirnya mengunci tempat itu dan menggemboknya.  Kali ini selamat tinggal untuk selamanya, bisiknya pelan.



―Lee Family’s House―
“Ada tamu untukmu, Yo-won!” panggil Mamanya dari pintu depan.

Yo-won sesegera mungkin menuruni tangga begitu mendengar namanya dipanggil. Ia langsung menyongsong Nam-gil dalam pelukannya begitu melihat pria itulah yang berdiri di depan pintunya.

“Kau hanya sekali menelepon untuk mengatakan kau baik-baik saja! Dan setelah itu sama sekali tidak ada kabar!” tuntut Yo-won.

“Maaf, banyak hal yang kubereskan sebelumnya. Berkat pertemuan dengan gadis itu, aku mengingat masa laluku dan semuanya. Lalu, aku pergi menceritakan semua ke keluarga angkatku. Tidak lama aku pindah dari rumah itu menuju rumahku yang sebenarnya…”

Yo-won menatap Nam-gil dengan pandangan ingin tahu. “Kau akan cerita padaku? Aku takut sekali kau tidak kembali…” Yo-won menunduk menyembunyikan air matanya. “Dari wajahmu barusan, aku tahu gadis yang kau temui hari itu bukan sembarang gadis. Dia dari masa lalumu, bukan? Dan kalian punya hubungan khusus…”

“Ya, benar…” Jawaban Nam-gil yang begitu jujur terasa menyakitkan. Namun Yo-won memahami, itulah salah satu kebaikan Nam-gil. Dia tidak akan berbohong. Lebih baik jujur daripada disembunyikan. Hal itu nantinya malah memperumit masalah. “Aku datang untuk memperlihatkanmu surat ini… dan menceritakan masa laluku…”

“Surat?” Yo-won menatap bingung kartu undangan di tangannya. “Ini seperti undangan pernikahan…”

“Ada surat di dalamnya… bacalah…” Yo-won membalas tatapan Nam-gil sebelum akhirnya dengan tangannya yang gemetar, ia mulai membuka surat itu.

Untuk Nam Gil.
Kuputuskan menerima lamaran dari pria lain begitu menyadari kisah kita sudah berakhir.
Tetapi, setelah lama merenung dan berpikir, kuputuskan untuk berbesar hati menerimanya
Mungkin awalnya menyakitkan untukku karena kurasa aku terlalu terkejut dengan semua ini
Tetapi, setelah kupikir lagi, semua itu akan menjadi kenangan yang medewasakanku
Kudoakan kebahagiaanmu dengan gadis itu.
PS: aku akan sangat senang seandainya kau bisa datang ke pernikahanku
Salam, Moon Jae-in.

Yo-won mengangkat wajahnya dengan penuh tanda tanya. “Sudah berakhir? Sungguh?” ia merasakan pelukan Nam-gil yang hangat seperti menguatkannya. “Aku juga sudah banyak berpikir selama kau tidak memberiku kabar…”

“Apa itu?” Nam-gil menatap Yo-won dan tersenyum simpul. “Memikirkanku?”

“Ya,” sahut Yo-won malu. “Kalau aku tidak mengakui kalau aku menyukaimu, aku pasti sangat bodoh. Aku tidak mau kehilangan dirimu lagi…”

“Aku tahu itu…” Nam-gil tersenyum sambil mendekatkan wajahnya ke arah Yo-won. “Jadi, kapan kau mau menikahiku?”

“apa…” Sebelum Yo-won mampu menjawab, ia sudah menempelkan bibirnya, membungkam gadis itu dalam ciuman panjang.



―Grand Hotel, Seoul―
“Kau terlihat cantik, Jae-in, selamat ya…” peluk Mo-ne sambil tersenyum dan mengamati wajah Jae-in. “Sayang sekali pasanganmu hari ini bukan Gun-wook oppa…”

“Ssh! Kau jangan bicara begitu ya, di depan suamiku!” gurau Jae-in sambil tertawa lepas.

Mo-ne cekikikan kecil menanggapi ucapan Jae-in. “Apa kau sudah bisa melupakannya?”

“Tentu saja tidak bisa. Aku akan mengingatnya sebagai kenangan yang indah daripada dikatakan kenangan yang menyedihkan.” Jae-in menghela nafas dan tersenyum. “Lagipula, suamiku menawarkan kebahagiaan padaku. Aku tidak berani menolaknya. Dan sejak hari itu kami terpisah, jalan kami berdua sudah berbeda,”

“Astaga, lihat siapa yang bicara…” komentar Tae-ra sambil berjalan memasuki ruangan dalam balutan black dress yang anggun. “Kau terdengar sangat dewasa…” Di tangannya ia menggandeng Son Dam Bi yang terlihat menggemaskan dalam gaun pink princess-nya.

“Wah, aku senang sekali, kau datang!!” Jae-in tersenyum gembira sambil mencubit pipi anak kecil itu dengan gemas. “Cantik sekali hari ini…”

“Apa kita akan masuk?” bisik Yo-won sambil mengintip ke pintu. “Apa aku boleh masuk?”

“Dia kan sudah mengundang kita,” jawab Nam-gil sambil tersenyum.

“Tapi…”

“Ayolah, sampai kapan kita akan menunggu di sini?” ajak Nam-gil sambil menggandeng tangan Yo-won masuk.

Di dalam, Jae-in tersenyum cerah menyambut kedatangan Nam-gil yang pernah dicintainya. Ia juga akan mendoakan kebahagiaan Nam-gil.

Sekalipun terlahir dari kematian, seorang pria tetap bisa hidup bahagia selamanya. Dengan gadis yang dicintainya.


-tamat-







fanfic wine, man, love 6

WINE, MAN, LOVE 6

by Patricia Jesica on Wednesday, September 14, 2011 at 5:47pm ·

Chapter6
Wine, man, love
-Fact and Truth-


―Hong Family’s House―
“Ada apa ini?” seru seorang wanita. “Tae-song?” ia menatap Nam-gil kaget dan langsung memeluknya. Wanita ini tampak cantik dengan rambut pendeknya. “Kenapa? Apa dia sakit?” tanyanya pada Jae-in dengan nada cemas.

“Aku tidak tahu…” jawab Jae-in. “Dia tidak mengenalku. Dia tidak tahu siapa itu Tae-song… siapa itu Gun-wook…” nada suara Jae-in terdengar putus asa. “Aku tidak tahu ada apa dengannya?”

“Apakah itu anakku?” tanya suara yang lainnya. Nam-gil mengangkat wajahnya dengan terkejut. Seorang pria tua memandangnya dengan mata penuh kasih. “Tae-song? Kau pulang?” pria itu menyongsongnya dalam pelukan.

Nam-gil tidak tahu apa yang terjadi. Sampai mulutnya sendiri menghianati otaknya. “Ayah…” tukasnya.

Jae-in dan Tae-ra berpandangan dengan bingung. Sedetik kemudian, Nam-gil mencengkeram kepalanya yang terasa sakit seperti mau meledak. “Argh! Hentikan! Hentikan!!!” ia merasakan kepalanya sakit seperti dihantam. Ribuan memori datang menghampirinya.

“Jangan! Jangan!” pintanya memohon. Dalam benaknya, seorang wanita datang mencekiknya. Setiap hari. Setiap malam. Kali ini lehernya yang terasa sakit. Ia bisa merasakan kebencian mendalam dari wanita itu.

“Kenapa? Ada apa dengannya?” Tae-ra dan Jae-in berpandangan dengan bingung.

Mo-ne berlari dari dalam rumah, menghampiri keributan di luar. “Ada apa? Ribut sekali di luar…” keluhnya. Seketika tangannya terangkat menutup mulut ketika melihat siapa yang berada di luar gerbang. “Kak Gun-wook! Tidak mungkin!” desisnya. “Aku sudah membunuhnya!”

“Apa katamu!” Tuan Hong memandang marah ke arah Mo-ne. “Nanti saja bicaranya! Panggil dokter!” Tuan Hong maju dan memeluk Nam-gil yang menggelepar dan terus mencengkeram kepalanya yang terasa sakit seperti ditusuk. “Tenanglah, tenanglah Tae-song, ada Ayah di sini…”

“Hong Tae-song… mulai hari ini margamu Hong…”

“Kau berbohong? Kau membohongiku?” tanya pria tua itu marah. Siapa? Dia… ayah? “Bukan… bukan… aku tidak berbohong…Jangan usir aku!!”

Kilasan lain muncul lagi di kepalanya. “Minggir!” seorang pria mendorongnya sampai jatuh menimpa lemari kaca. “Argh!!!” luka yang seharusnya sudah sembuh itu kini terasa tajam menusuk.

“Aku Moon Jae-in… Apa kau Hong Tae-song?” Nam-gil merasakan bibirnya terangkat membentuk senyuman. Ia tahu jelas gadis ini sengaja berpura-pura menubruknya. “Kalian akan hancur…” suaranya sendiri terdengar kejam dan kesepian saat menatap ribuan foto di hadapannya.

“Siapa aku? Suatu waktu di masa kecilku aku bernama Tae-song… dan sekarang, namaku adalah Gun-wook. Shim Gun wook…”

“Apa kau menipuku? Jadi, sebenarnya di sinilah rumahmu?” gadis itu menatapnya marah. Jae-in yang terlihat cantik sekalipun sedang marah.

“Malam ini kau yang terindah…” Astaga, ia mengenal kode dan isyarat tangan itu. Wanita berambut pendek yang dimaksud olehnya tampak terkejut dan segera memalingkan wajah. Siapa dia? Tidak seharusnya aku mendekatinya, tapi… Tae-ra. Ya, dia… kakakku?

“Marahi saja aku… Anggap aku Tae-song. Kau boleh memukulku…” Jae-in mengangkat wajahnya yang dipenuhi air mata. Kesesakan yang sama memenuhi dada Nam-gil. Ia tidak bisa menahan diri untuk maju dan mencium gadis itu…

“Kau pasti lelah bukan?” tangis gadis itu. Selalu saja ia menangis untukku, batin Nam-gil bingung. Kali ini lokasi mereka terlihat seperti di sebuah rumah sakit jiwa. Ruang isolasi. Tidak, aku tidak gila… ini hanya sandiwara…

“Ada aku…” senyum gadis itu. Mereka berpelukan dan berciuman. Saat itu segalanya terasa begitu indah… Walaupun tanganku sudah dipenuhi dosa…

“Kau membuatku jadi kejam, Kak!” cetus seorang gadis. Siapa dia? Siapa? Oh… ya… Mo-ne. Mo-ne. Itu namanya… sedetik kemudian, gadis itu menarik pelatuk pistolnya. Semuanya gelap… gelap…

“Memandang dunia… dari mata kekasih…”

Kali ini, gadis lain duduk di hadapannya. Tersenyum hangat. “Masa lalu memang penting, tapi yang lebih penting lagi adalah sekarang dan masa depan…”

Gadis itu adalah… Yo-won.

―Seoul Hospital―

Nam-gil membuka matanya yang dipenuhi air mata. Di samping kiri kanannya, Ayahnya, Tae-ra, Jae-in, dan Mo-ne menunggunya sadar. Juga seorang wanita separuh baya dengan senyuman menenangkan. Wanita itu adalah… bibi pengasuhnya dulu saat tinggal di rumah keluarga Hong.

“Bibi,” panggilnya sambil tersenyum. “Senang bisa melihatmu lagi…”

“Tuan muda, syukurlah…” Bibi itu maju dan menyerahkan sebungkus permen ke tangannya.

“Ya, terima kasih Bibi.” Nam-gil menerimanya dengan tangan gemetar. Dibukanya bungkus permen itu perlahan dan dimasukkannya ke dalam mulut. Air matanya menetes begitu rasa yang familiar itu menyentuh lidahnya. “Aku ingat rasa ini…” tangisnya.

“Kenapa tidak ada kabar selama ini?” tanya Ayahnya sedih sambil merangkulnya. “Bukankah kau pergi ke Amerika?”

“Aku tidak pergi ke Amerika sebenarnya…” tutur Nam-gil.

Mo-ne lebih dulu mengakui kesalahannya, “Aku menembak Kak Gun-wook… maksudku, Kak Tae-song malam itu…”

“A-apa katamu!?” Tae-ra, Jae-in, dan pria tua itu menatap putrinya dengan keterkejutan yang tidak dapat disangkal. “Kenapa?”

“Sudahlah, itu tidak penting lagi… Mo-ne memang menembakku malam itu, tapi itu karena salah paham saja. Ia mengira aku menghancurkan keluarganya. Dan sebagian besar hal itu benar. Aku yang salah…” senyumnya pedih. Mo-ne memalingkan wajahnya karena malu dan menyesal.

“Tapi sekarang lukanya sudah sembuh. Aku sudah tidak apa-apa. Pendeknya, aku lahir lagi dari kematian. Sebuah keluarga mengadopsiku dan memberiku nama baru. Ingatanku hilang total, dan baru saja aku mengingat semuanya…”

“Benarkah? Lukanya sudah sembuh?” wajah Tae-ra dan Jae-in sama cemasnya. Nam-gil mengangkat kaosku dan memperlihatkan pada mereka. “Maaf sudah membuat kalian semua khawatir… Sekarang, apa aku boleh pinjam telepon?”

“Kau mau menelepon gadis tadi? Adikmu, ya?” tanya Jae-in sambil tersenyum.

“Bukan,” balas Nam-gil. Lehernya terasa kering saat memaparkan fakta itu, mengingat dulu mereka sempat saling menyukai. “Dia tunanganku…”

Sejenak Tae-ra dan Jae-in tampak syok mendengarnya. “Tunanganmu?” tanya mereka tidak percaya. Mo-ne ikut memandang Nam-gil dengan tatapan kaget. “Maaf Jae-in…”

“A-aku pulang dulu…” gadis itu menyambar tasnya dan  berlari keluar.

Tae-ra memandang Nam-gil dengan cemas. “Dia menunggumu selama ini…” Di matanya juga terbersit ungkapan yang sama, bahwa Tae-ra sebenarnya juga memaksudkan hal itu untuk dirinya. “Kau mau menelepon keluargamu yang sekarang juga?” tanyanya sambil mengulurkan ponselnya.

“Ya,” Nam-gil tersenyum berterimakasih. “Aku senang bisa bertemu kalian lagi… dan kau juga, Mo-ne. Aku bersalah padamu…”

“Itu tidak benar, Kak…” Mo-ne menghambur ke pelukan Nam-gil dan menangis. “Sejak hari itu aku terus menyesal dan tidak bisa tidur. Aku merasa sangat berdosa…”

“Kenyataannya aku tidak apa-apa…” Nam-gil mengelus kepala Mo-ne dan tersenyum tulus padanya. “Kita saling memaafkan saja…” bujuknya, disambut anggukan antusias dari Mo-ne.

“Ya, ya! Aku merindukanmu, Kak…” tangis Mo-ne di dadanya.

―Shim Gun Wook’s House―
“Ternyata benar dugaanku, kau pasti akan kemari…” Nam-gil tersenyum dan memutar posisi kursi tempatnya duduk ketika Jae-in melangkah memasuki rumahnya.

“Aku selalu tidak tega kalau tidak membersihkan tempat ini…” Ucapan Jae-in membuat hati Nam-gil terasa ditikam rasa bersalah. “Aku selalu mengira-ngira kapan kau pulang. Aku tidak mau kau pulang dan semuanya terlihat kotor…”

“Aku akan menjual tempat ini, Jae-in…” tukas Nam-gil. “Jadi, seterusnya kau tidak perlu repot-repot membersihkannya.

“Apa maksudmu!” Gadis itu menatapnya marah. “Kau tidak senang aku kemari?”

“Bukan, hanya saja…” Nam-gil memilih kata-katanya sebelum bicara. “Tempat ini menyisakan masa lalu yang buruk dan kejam. Aku tidak mau kembali ke dendam yang sama…”

“Tapi ini juga tempat di mana pertama kalinya aku memasak untukmu! Dan sebelum kau pergi ke Amerika, bukankah kita sudah saling memahami? Maksudku… kita saling mencintai. Benar kan?”

Nam-gil menutup matanya. Ia jelas mengingat semua itu sekarang. Malam itu sebelum Mo-ne menembaknya, mereka sempat bertukar perasaan dan mengakui perasaan mereka dalam sebuah ciuman panjang.

Ia mencintai gadis itu. Maksudnya… dulu… ia pernah sangat mencintainya. Begitu mencintainya sampa-sampai ia mendoakan kebahagiaan gadis itu setiap hari. Jae-in adalah satu-satunya orang yang ia harap tidak mengetahui kejahatannya, masa lalunya yang kejam, dan semua kepedihannya.

Tapi… bagaimana dengan… Yo-won?

Bayangan Yo-won sejenak memenuhi diri Nam-gil. Betapa ia menyukai tawa gadis itu, senyumnya, dan matanya yang terlihat jernih dan jujur.

“Sekarang tidak sama lagi, maafkan aku…” Nam-gil meminta-maaf dengan penuh penyesalan. “Aku memang sangat mencintaimu dulu…”

“A-apa maksudnya itu?” Gadis itu bertanya dengan air mata mengambang. “Sekarang tidak lagi? Kenapa? Karena ada gadis itu di sampingmu?”

“Sebagian benar,” Nam-gil mengulum senyuman terpaksa. “Maafkan aku, Jae-in…”

“Kau juga dulu pernah… terlibat hubungan menyesatkan dengan Tae-ra… Jadi, ucapanmu itu tidak akan kudengar. Mungkin saja hubunganmu dengan gadis itu hanya perasaan sesaat. Aku tahu, di antara kita bukannya tidak ada apapun. Aku akan menunggu sampai kau sadar, Nam-gil…”

“Jae-in… Kau sudah tahu, bukan…”

“Mari kita bicara lain kali saja…” elak Jae-in sambil menyambar tasnya dan pergi. sebelum benar-benar melangkah keluar, ia menyentuh kenop pintu dan mulai terisak kecil, membuat Nam-gil merasa tidak tega. “Kau… jangan menjual tempat ini…”

Blam.

Pintu yang tertutup itu seperti menggemakan sebuah luka di dada Nam-gil. Apakah memang begini caranya? Seandainya tidak ada Yo-won, tidak ada penembakan dari Mo-ne… apakah ia akan menghabiskan seluruh sisa hidupnya bersama Jae-in?

Lantas… siapa yang bisa disalahkan?

Siapa yang harus… tersakiti nantinya?


-to be continued-


fanfic wine, man, love 5

WINE, MAN, LOVE 5

by Patricia Jesica on Tuesday, September 6, 2011 at 11:02am ·
Chapter5
Wine, man, love
-That Girl-


―Scarlet Bar, Seoul―
“Aku adalah seorang pria yang terlahir dari kematian…” tukas Kim Nam-gil sambil menatap Yo-won dalam-dalam. “Dan aku adalah pria tanpa masa lalu…”

“Apa…”

“Aku ditemukan oleh polisi di suatu malam, dalam keadaan terluka parah karena luka tembak di bagian perut…” Nam-gil memandang gelasnya dengan mata menerawang. “Bekas lukanya masih ada…”

Nam-gil mengangkat kaosnya sedikit dan Yo-won bergidik ngeri melihat bekas luka yang seperti lubang dalam di perutnya yang berotot. “Pelurunya sudah dikeluarkan?” tanya Yo-won dengan suara bergetar.

“Sudah,” sahut Nam-gil sambil membetulkan kaosnya. “Awalnya mereka memasukkanku ke mobil jenazah, mengira aku sudah mati…”

Yo-won tidak mampu menanggapi kisah itu. Ia berpikir sendirian. Kalau begitu… karena itukah Nam-gil mengatakan dirinya lahir dari kematian?

“Beruntung, seorang petugas medis melakukan pemeriksaan akhir untuk memastikan kematianku. Walaupun lemah, ia bisa merasakan denyut nadiku masih ada. Kemudian, mereka mengirimku ke rumah sakit terdekat…”

“Luka di punggung itu…” Yo-won tiba-tiba saja memikirkannya. “Apakah luka itu juga karena peristiwa malam itu?”

“Bukan…” Nam-gil menjawab dengan helaan nafas panjang. “Luka ini sudah mongering ketika aku ditemukan malam itu. Mungkin, luka ini sudah ada sejak aku kecil… Sampai sekarang aku tidak tahu kenapa…”

“Begitu…” Yo-won menutup mata membayangkan luka sebesar dan sedalam itu sudah ada sejak pria ini masih kecil. Luka sedalam itu ditanggung seorang anak kecil. Kedengarannya sangat pedih dan menyakitkan. “Kau tidak tahu masa lalumu?”

“Tidak, aku tidak bisa mengingatnya… Menurut dokter, mungkin dikarenakan trauma… Atau ada benturan lain yang pernah kuderita malam itu sebelum aku ditemukan. Entahlah,” Nam-gil mengangkat bahunya. Ia sendiri tidak mampu member penjelasan.

“Lalu, keluargamu yang sekarang….?”

“Oh, mereka.” Senyumnya seketika kembali hangat. “Papa angkatku―maksudku, Papaku yang sekarang―adalah dokter bedah yang mengeluarkan peluru dari perutku malam itu… Dia kasihan padaku karena tidak ada yang mengaku mengenalku padahal pengumuman sudah dipasang dimana-mana…”

“Oh…” Yo-won memainkan jarinya dengan bingung. Ia ingin sekali menghibur pria ini, namun tidak tahu harus berkata apa. “Tapi, kulihat keluargamu yang sekarang sangat menyayangimu…”

“Ya, aku tahu itu. Setiap ada kesempatan Papa selalu bilang kalau ia merasa beruntung telah mengadopsiku…”

Yo-won tersenyum lega ketika ekspresi pria itu tidak lagi murung. “Mungkin aneh kalau aku berkata begini. Tapi, seandainya mustahil untuk mengingat masa lalumu, sebaiknya kau menghargai keluargamu yang sekarang. Masa lalu memang penting, tapi yang lebih penting lagi adalah sekarang dan masa depan…”

“Ya.” Kali ini Nam-gil meraih tangan Yo-won dan mendekapnya. “Aku sudah cerita banyak padamu. Sekarang, apa kau mau menerima pria sepertiku? Bisa saja dulunya aku ini orang jahat. Aku sendiri tidak tahu…”

“Red wine itu… seperti dirimu, Nam-gil…” cetus Yo-won tiba-tiba.

“Kenapa begitu?”

“Karena…” Yo-won kesulitan merangkai kata-katanya. “Dari luar terlihat menggoda dan sempurna. Sepertimu, kelihatannya tanpa cela. Namun, ketika diminum, rasanya manis dan sedikit masam. Seperti masa lalumu… hidupmu… Semua orang pasti punya kelemahan, masa lalu yang buruk ataupun pahit. Namun, hal itulah yang membuatmu bisa dewasa dan semakin menjadi manusia yang utuh…”

“Artinya?” Nam-gil menaikkan alisnya sedikit.

“Asrtinya…” Yo-won menundukkan wajahnya yang memerah. “Untukku, kau seperti itu. Walaupun wine itu masam, aku tetap ingin mencicipinya… Aku ingin bersamamu…”

Nam-gil tersenyum dan menarik Yo-won dalam pelukannya. “Aku akan berusaha membahagiakanmu…”

“Ya…” sahut Yo-won. Ia membalas pelukan Nam-gil. Namun, ketika tangannya menyentuh punggung pria itu, mendadak ia merasakan ketegangan mengalir di punggungnya. Dan kelegaan…

“Astaga, kenapa lagi kau menangis?” Nam-gil melepas pelukannya ketika dirasanya bahunya basah.

“Aku hanya… membayangkan… dulu pasti rasanya sakit sekali…” Yo-won terisak sambil mengelus punggung Nam-gil. “Sekarang… syukurlah sudah tidak lagi… kau pasti dulu menderita… aku sedikit lega membayangkan kau tidak perlu mengingat rasa sakit itu lagi…”

Nam-gil tersenyum dan membiarkan Yo-won menangis di dadanya. “Ternyata kau cengeng juga…” ujarnya sambil menenangkan Yo-won. “Terima kasih, aku senang dengan perasaanmu itu…”

♦♦♦

―Kim Family’s House―
“Bersulang! Selamat untuk pertunangan kalian berdua!!!”

Suasana tampak meriah malam itu. Yo-won dan Nam-gil tampak tersenyum malu-malu di samping piramida berisi sampanye yang baru saja mereka tuang dan sekarang mulai diedarkan ke para undangan yang hadir.

“Selamat Yo-won! Akhirnya kata-kataku terbukti juga! Kaulah yang sebenarnya ditakdirkan dengan Kim Nam-gil malam itu!” Ye-jin berbisik sambil tersenyum senang di sebelah Yo-won.

“Ah, kau bisa saja. Eh, bagaimana dengan hubunganmu dan Kak Seung-hyo?”

“Tidak masalah,” senyum Ye-jin. “Mama sudah mulai mengerti dan mau menerimanya. Lagipula, kenapa tidak? Seung-hyo kan pandai dan tampan, tidak sulit untuk menyukainya…” Ye-jin tampak senang membanggakan pacarnya.

“Selamat untukmu juga…” Yo-won mengedipkan mata sambil tersenyum penuh arti.

“Aku belum bilang, kau sangat cantik malam ini. Gaun yang kau pakai juga cocok untukmu…” Nam-gil bergeser sedikit dan berbisik ke telinga Yo-won. “Ayo, ikut aku ke balkon…”

“Eh, tapi, nanti mereka bingung kalau kita menghilang…”

“Tidak masalah…” jawab Nam-gil tenang. “Kita akan kembali sebelum mereka mulai mencari kita…”

“Aku tidak yakin…” gumam Yo-won. Diliriknya suami istri Kim yang sedang asyik mengobrol dengan Papa dan Mamanya. Kendati demikian, ia tetap berjalan mengikuti Nam-gil.

Begitu tiba di balkon, Yo-won memandang langit malam Seoul dengan takjub. Sementara tangannya menempel di pinggiran balkon. Nam-gil memeluknya dari belakang.

“Nam-gil…”

Benar kata Mamanya, dipeluk pria seperti Nam-gil membuat jantungnya terasa aneh, seperti mau melompat keluar. Debarannya terlalu kencang, seperti memukul dadanya. Semoga Nam-gil tidak mendengarnya, pikirnya kalut.

“Aku pernah bilang akan membuatmu jatuh cinta padaku…” bisik Nam-gil di telinganya, membuat perut Yo-won mulas karena gugup.

“Aku tahu itu…”

“Tapi, kenyataannya, kaulah yang membuatku jatuh cinta padamu…” ujar Nam-gil dengan suara berat.

Yo-won tidak bisa menahan diri untuk menatap mata Nam-gil. Ia menoleh dan mendapati mata itu terus menatapnya dalam-dalam. Yo-won merasa nafasnya terhenti ketika Nam-gil mendekatkan wajahnya untuk menciumnya.

Ketika bibir mereka bertemu, sesaat Yo-won melupakan segalanya. Seperti melambung berdua di langit, pikirnya, berusaha membalas ciuman pria itu. Yo-won mengalungkan tangannya di leher Nam-gil, memperdalam ciuman mereka.

Kemudian, Nam-gil menempelkan dahinya di dahi Yo-won dan tersenyum. “:Lipstikmu berantakan…” guraunya sambil mengelap bibir Yo-won dengan jemarinya.

“Di bibirmu juga ada…” balas Yo-won sambil mengelap sisa lipstiknya di bibir Nam-gil. “Ayo, kita masuk saja…”

“Nanti saja…” Nam-gil kembali menarik Yo-won ke dalam pelukannya. “Aku belum puas menciummu…”

♦♦♦

“Apakah di masa lalumu ada seorang wanita?” Seminggu kemudian pertanyaan itu muncul di benak Yo-won ketika mereka berdua sedang bergandengan tangan dan berkencan di mall.

“Tidak tahu, aku kan tidak ingat…” Nam-gil menjawab dengan santai.

“Mungkin ada….” Yo-won mulai gelisah. Pria setampan dirinya mustahil tidak punya satu atau dua wanita.

“Tidak usah cemas begitu…” Nam-gil tersenyum menenangkan.

Yo-won bermaksud membalas senyuman itu, ketika sebuah suara tiba-tiba membuyarkan senyumannya. Suara wanita. “Gun-wook?”

“Siapa?” tanya Yo-won ketika seorang wanita yang cantik berjalan ke arah mereka.

“Tidak tahu. Aku tidak kenal,” Nam-gil mengernyitkan dahinya dengan bingung.

“Aku mencarimu kemana-mana!” seru wanita itu kesal. Sekalipun demikian, ia tetap berusaha tersenyum. “Aku sangat merindukanmu…” senyumannya berubah menjadi kalimat yang begitu menusuk hati Yo-won.

“Siapa kau…” tanya Nam-gil bingung.

“Apa…” Yo-won bisa melihat wajah wanita di depannya memucat ketika mendengar Nam-gil tidak mengenalinya sedikitpun. “Kau… tidak mengenalku, Gun-wook?”

“Siapa juga Gun-wook itu? Namaku Kim Nam-gil.” Nam-gil menjelaskan dengan ramah. “Mungkinkah kau salah orang?”

“Kau yakin tidak mengenalku? Namaku Moon Jae-in!” wanita itu menampakkan ekspresi wajah kecewa dan terluka.

“Maaf, aku tidak mengenalmu…”

Nam-gil mengernyitkan dahinya bingung. Kendati demikian, hatinya diliputi pertanyaan. Wanita ini serasa tidak asing untuknya. Wajahnya, cara bicaranya, suaranya. Yang lebih gila lagi, ia merasa merindukannya. Padahal, mengenalnya saja tidak pernah!

Yo-won memandang dua orang di depannya dengan debaran dada yang tidak menentu. Firasat buruknya menjadi kenyataan, namun dia tidak menduga akan secepat ini.

Apakah wanita ini… merupakan wanita dari masa lalunya Nam-gil?

Apakah Gun-wook adalah… namanya di masa lalu?

“Hong Tae-song…” panggil wanita itu.

Kim Nam-gil segera menoleh begitu mendengar nama itu disebut. “Kau memanggilku apa…” tanyanya.

“Tae-song…” senyum Jae-in sedih sambil menahan tangisnya. “Itu namamu dulu… sebelum kau menggantinya menjadi Gun-wook… Kau bisa ingat soal itu?”

“Maaf, aku…” Nam-gil menggeleng dengan bingung. “Yo-won, aku temui gadis ini sebentar… nanti kita bicara lagi…”

“Baiklah,” Yo-won berusaha tersenyum walaupun bibirnya terasa kaku. “Aku pulang dulu… Kalian bicaralah yang tenang…”

Yo-won melangkah pergi sementara hatinya terus diliputi berbagai pertanyaan dan rasa takut. Ia takut wanita itu adalah kekasih Nam-gil dulu. Akankah mereka kembali bersama setelah ingatannya kembali? Apa yang harus kulakukan kalau itu terjadi?


-to be continued-

pertemuan yg mengejutkan

yo-won yg pulang dengan sedih

fanfic wine, man, love 4

WINE, MAN, LOVE4

by Patricia Jesica on Monday, August 29, 2011 at 9:33pm ·
Chapter4
Wine, man, love
-Engagement-

Cast:
Kim Nam-gil
Lee Yo-won
Lee Seung-hyo
Park Ye Jin as Lee Ye Jin (Yo Won’s cousin)
Kim Hyu Na


Disclaimer:  I didn’t own the characters; this is just fan fiction that I made because I’m not satisfied with the Bad Guy ending

―Scarlet Bar, Seoul―

Seulas senyum tipis membayang di wajah Nam-gil. “Rupanya kau salah paham…” ujarnya setengah menggumam. Dirangkulnya bahu wanita di sebelahnya itu untuk mendekat, “Ini Kim Hyu Na. Kenalkan, dia adikku…”

“Apa….” Kali ini, Yo-wonlah yang kehabisan kata-kata. Ditatapnya kedua sosok di hadapannya dengan mulut menganga.

“Benar kan, kau salah paham?” tanya Nam-gil lagi. Kali ini dia tersenyum lega.

“Ta-tapi…” Yo-won menatap dua sosok di depannya dengan bingung. “Kalian sama sekali tidak mirip…” tukasnya kaku. Sedetik kemudian Yo-won sadar telah melakukan kesalahan.

“Memang kenapa kalau tidak mirip?” Hyu-na bertanya dengan nada berang.

“Sudahlah, Hyu-na…” bujuk Nam-gil. “Kau ini sedikit-sedikit marah. Jangan begitu…”

“Maaf, aku salah bicara…” Yo-won menunduk dalam-dalam. Ia sangat menyesal. Ia melupakan kenyataan kalau Nam-gil anak angkat. Karena itulah pria itu tidak mirip dengan adiknya. Sekarang pasti kata-katanya itu sudah menyakiti dua orang di depannya.

“Tidak apa,” Nam-gil pun tersenyum sambil menepuk pundak Yo-won. “Aku akan mengantar Hyu-na pulang. Ayo, sekalian kuantar kau pulang. Aku bawa mobil…”

“Tidak perlu, tidak apa-apa…” tolak Yo-won. Ia bisa membayangkan suasananya akan tidak nyaman di sana.

“Bagaimana kalau aku memaksa?” tanyanya. Hyu-na sudah mau melotot namun keburu ditahan oleh Nam-gil. “Bersikap baiklah pada calon tunanganku…” pintanya.

Kali ini Hyu-na dan Yo-won sama-sama melotot kaget. “Apa maksudmu?” tanya mereka hampir bersamaan.

“Kalau mau mendengar cerita lengkapnya, lebih baik kau ikut pulang denganku…”

“Tidak mungkin…” dengan gelisah kucari tempat di mana Ye-jin sebelumnya berada. Ia terlibat pembicaraan serius dengan Mamanya. Di sebelahnya Kak Seung-hyo berdiri menemaninya.

“Apa yang terjadi?” tanyaku. “Tadi Ye-jin bilang dia akan mengumumkan hubungannya dengan Seung-hyo…”

“Aku bisa menjelaskan,” potong Nam-gil sambil memainkan kunci mobilnya dengan telunjuk. “Sekarang pilihannya ada padamu. Ikut? Atau tidak?”

Yo-won menatap kunci itu. Matanya lalu bertatapan dengan pandangan tidak suka dari Hyu-na. “Aku ikut,” ujarnya putus asa.

♦♦♦

“Kemarin begitu mengajak Hyuna pulang dari hotel, aku bicara pada orangtuaku…” Nam-gil menatapku sekilas sambil tersenyum. Rupanya ia tahu aku membuntutinya kemarin. “Dan kuberitahukan pada mereka soal Ye-jin…”

“Soal Ye-jin? Maksudmu?”

“Tentang pacarnya. Dan kemudian… tentangmu. Tidak sulit meyakinkan orang tuaku tentang pilihanku…”

Di kursi belakang, Hyu-na berdehem canggung. “Kau masih belum mendapat persetujuanku, Kak. Aku tidak suka Nona ini yang jadi kakak iparku nantinya…”

“Diam dululah, Hyu-na. Sopan sedikit padanya…” tegur Nam-gil. “Kemudian, tadi kau bisa melihat ada ketegangan antara Ye-jin dan Mamanya. Kurasa dia sedang membicarakan tentang pacarnya ke Mamanya. Bisa kutebak, dia tidak akan mengumumkan ke publik malam ini. Kudengar Mamanya marah dan tidak mengijinkannya mengumumkan itu sembarangan.”

“Tapi… mereka bahkan sudah mengatur acaranya…”

“Tunggu sampai pembatalan pertunangan itu disampaikan oleh orang tuaku, mungkin tuntutan Mamanya Ye-jin akan mengendur. Lagipula, nantinya yang akan menikah kan Ye-jin, bukan orangtuanya. Dia tidak bisa terlalu dipaksa…”

“Aku setuju itu…” sahutku. Mataku memandang kegelapan malam di sepanjang jalan. Lampu-lampu berwarna-warni mencerahkan jalanan di malam hari. Setelah mendengar semua penjelasan cowok ini, perasaanku pun meringan.

“Kau tidak keberatan kan, bertunangan denganku?” tanya cowok itu tiba-tiba.

“Eh… soal itu…” Dengan gugup kupilin rokku. “Rasanya… bukan masalah…”

“Oh… aku setuju…” Nam-gil tertawa kecil di sampingku. “Nanti kau juga akan jatuh cinta padaku…” tukasnya sambil mengulum senyum.

“Percaya diri sekali…” komentarku. Kami saling tertawa dan menatap dari kaca spion depan.

“Ehem-ehem!” Hyu-na pun berdehem di belakang. “Kalian jangan lupakan keberadaanku, ya. Ingat, kalian kan belum resmi tunangan. Baru direncanakan… jangan terlalu mesra begini, rasanya aku jadi jengah…” ia mulai mengomel dengan kesal.

♦♦♦

―Lee Family’s House―
“Selamat malam, Tante…” Nam-gil tersenyum ramah sambil mengantarkanku masuk.

“Astaga, kau putra Pak Kim itu, kan? Wah, memang sangat tampan… Terima kasih sudah mengantar Yo-won… Tidak mau mampir dulu untuk minum teh?” Mama tersenyum gembira sambil menawarkan.

“Tidak perlu repot-repot Tante…” Nam-gil menolak dengan senyuman sungkan. “Hari sudah malam dan saya juga masih harus mengantar adik saya pulang…”

“Oh ya? Begitukah? Sayang sekali, ya… Kalau ada waktu mampirlah kemari…” senyum Mama lagi.

Yo-won memandang mamanya dengan bingung. Kenapa Mama harus kelewat gembira begini hanya karena pria ini datang, sih? “Hati-hati di jalan…” ujar Yo-won sambil membukakan pintu. “Terima kasih sudah mengantarku tadi…”

“Mimpikan aku.” Cowok itu mengedipkan sebelah mata dan berbisik tepat sebelum pintu kututup. Nyaris jantungku lepas melihatnya.

“Ya ampun, dia memang tampan dan tinggi. Wah, itu namanya bibit unggul…” Mama berdecak kagum sambil memandangi kepergian Nam-gil. “Badannya juga bagus. Dipeluk pria seperti itu pasti rasanya bagaimana gitu Yo-won…”

Sepintas Yo-won bergidik mendengar nada genit dari suara mamanya. “Ingat-ingat Papa dong, Ma…” tukasnya sambil menghela nafas.

“Idih… kok bicara begitu pada Mama?” Mamanya mengomel kesal. “Dulu Papamu juga gagah dan berotot seperti itu. banyak yang suka padanya, tapi dia hanya tertarik pada kencantikan Mama. Mama kan sudah pernah cerita padamu…”

“Ya, ya, aku ingat…” Yo-won menyimpan sepatunya dan berjalan pergi. Menunggu cerita Mamanya selesai bisa memakan waktu seharian penuh. “Aku capek, Ma. Aku tidur ya. Pa, selamat malam…” Yo-won melongokkan kepalanya ke ruang tamu sebelum akhirnya menaiki selasar tangga menuju kamarnya.

♦♦♦

―Scarlet Bar, Seoul―
“Katamu mau mengajakku ke tempat yang bagus, kenapa malah ke sini?” Yo-won memprotes ketika cowok itu memarkir motornya di bar miliknya.

Kemarin tiba-tiba Nam-gil datang hanya untuk mengajaknya kencan. Pertunangan mereka belum dipestakan secara resmi, namun sudah diterima oleh kedua pihak. Bukan main senangnya hati Ye-jin mendengarnya. Mamanya pun sudah mundur dan tidak terlalu keras pada hubungannya dengan Seung-hyo.

“Aku mau cerita sesuatu yang penting padamu…”

Kim Nam-gil tersenyum santai sambil melepaskan helm-nya. “Di dalam lebih enak, nyaman, dan ada minuman gratis…”

“Aku tidak mau minum alkohol lagi. Kemarin itu kepalaku sakit…”

“Masih untung yang kau minum cuma anggur merah. Kalau yang lainnya, jangan harap kau masih bisa berjalan…”

“Yah…” Yo-won memasuki bar itu setelah kuncinya dibuka oleh Nam-gil. “Lain kali aku tidak akan sebodoh itu…”

“Tapi aku sedikit senang karena kau cemburu padaku…” Nam-gil mengambil gelas dan memasukkan beberapa es batu ke dalamnya. “Minum jus saja….” Nam-gil mengeluarkan sekaleng jus lalu menuangkan isinya ke dalam gelas.

“Terima kasih…” Yo-won meminum jusnya dengan gembira. “Jadi? Apa yang mau kau ceritakan padaku?”

“Kau punya insting tajam, Yo-won. Aku bisa melihatnya dari matamu. Saat pertama kali aku bertemu denganmu dan menolongmu, kau melihatku berganti baju di ruangan staff itu. Kurasa, kau sudah melihat luka di punggungku…”

Tanpa sadar Yo-won meminum jusnya. “Apa seharusnya aku… tidak melihat luka itu?” tanyanya. Tangannya sedikit gemetar saat mengingat bekas luka itu. Luka semacam apa yang akan meninggalkan bekas sedalam itu? Pasti luka itu sangat parah dulu…

“Aku bingung kenapa aku bisa langsung bercerita begini padamu.” Nam-gil berdehem malu. “Mungkin, sejak melihatmu hari itu, aku sudah jatuh cinta padamu…”

Yo-won menelan ludah dengan gugup. “A-aku tidak tahu harus jawab apa…” Ia bisa merasakan wajahnya terasa begitu panas.

“Nantinya kau juga akan mencintaiku…” senyum Nam-gil lagi.

Yo-won berusaha keras menahan debar di dadanya. Untung Nam-gil tidak menyadari satu hal. Sebenarnya, dialah yang terlebih dahulu tertarik pada pria itu sejak melihatnya pertama kali.

“Kita kembali ke topik awal saja…”

“Ya…” Yo-won mengangguk setuju. “Luka itu kenapa?”

“Aku tidak tahu luka itu kenapa…” jawab Nam-gil kaku. Wajahnya terlihat bingung. “Aku… sebenarnya aku anak angkat…”

“Ya…”

“Kenapa kau tidak terlihat kaget?” tanyaNam-gil. “Kau sudah tahu soal ini?”

“Ya, maaf.” Yo-won meminta maaf dengan perasaan bersalah. “Kemarin juga aku sudah salah bicara, mengatakan kalian tidak mirip. Aku merasa tidak enak pada kalian kemarin….. Sebenarnya Mamaku yang bilang padaku kalau ia curiga kau diangkat anak karena sebenarnya temannya itu tidak bisa hamil…”

“Sudahlah, tidak apa. Memang, Mamaku yang sekarang, Mama angkatku tidak bisa hamil. Hyu-na dan aku sama-sama anak angkat. Kendati demikian, aku menghormati kedua orang tua angkatku itu. Berkat mereka, aku bisa hidup…”

Eskpresi Yo-won menegang mendengar penuturan pria itu. “Apa maksudmu?”

“Aku adalah seorang pria yang terlahir dari kematian…” tukas Kim Nam-gil sambil menatap Yo-won dalam-dalam. “Dan aku adalah pria tanpa masa lalu…”

“Apa…”



-to be continued-







fanfic wine, man, love 3

WINE. MAN, LOVE 3

by Patricia Jesica on Monday, August 22, 2011 at 9:10am ·
Chapter3
Wine, man, love
-Underestimating You-

Cast:
Kim Nam-gil
Lee Yo-won
Lee Seung-hyo
Park Ye Jin as Lee Ye Jin (Yo Won’s cousin)
Kim Hyu Na


Disclaimer:
 I didn’t own the characters; this is just fan fiction that I made because I’m not satisfied with the Bad Guy ending


―Lee Yo Won, Seoul Street ―
Aku telah salah menilai pria itu rupanya! Dia sama brengseknya seperti Eric!

Yo-won meletakkan tangannya di dada, berusaha menekan amarahnya. Tidak, masuk ke hotel bukan berarti memang dia akan melakukan itu dengan seorang wanita. Yo-won menggeleng lalu mencoba tersenyum untuk menguatkan diri.

Mungkin dia punya bisnis di sini! Ya, pasti itu! Dia punya bar, bukan tidak mungkin ada urusan bisnis di tempat ini! Yo-won tersenyum puas dengan pemikirannya sendiri. Ya, dia bukan pria semacam itu!

Namun, belum lama Yo-won melangkah pergi, terdengar suara rengekan perempuan yang bernada manja.

“Ayolah, Kak…”

Yo-won dengan terkejut menyembunyikan diri ke gang terdekat. Ia mengawasi sambil memasang kupingnya tajam.

Seorang wanita dengan pakaian berwarna merah jambu bergelayut di tangan Nam-gil. “Maafkan aku, ya? Ya?” pinta wanita itu manja. Rambutnya panjang sepunggung, dan ia tampak menggoda dalam pakaian seminim itu serta belahan dada yang rendah.

“Kau jangan mencoba merayuku…” tukas Nam-gil kesal. “Bagaimana kalau ada yang melihat? Ini memalukan!”

“Tapi, aku tidak…” wanita itu terdiam setelah mendapat tatapan marah Namg-gil. “Baiklah, aku tahu… kau yang terbaik…” wanita itu menyenderkan kepalanya di bahu Nam-gil.

“Sudahlah,” Nam-gil berdecak kesal. “Pikirkan sebuah alasan untuk diceritakan ke orangtuamu!” perintahnya. “Rasanya aku selalu naik darah setiap kali melihatmu! Kenapa juga harus di sini? Kau ini…” Nam-gil tampak kehabisan kata-kata menghadapi wanita itu.

“Aku minta maaf…” senyum wanita itu. Ia lantas berjinjit untuk mencium Nam-gil. “Asal kau membelaku, aku akan balas budi padamu…”

Yo-won menyaksikan Nam-gil mendengus pelan sambil menyetop taksi. Sampai kedua sosok itu menghilang, barulah Yo-won berani melangkah keluar dari tempatnya bersembunyi. Amarah menggumpal di dadanya.

Apa-apaan itu tadi? Dengan mata nyalang ditatapnya taksi yang menjauh itu. Laki-laki di mana-mana sama saja! Siapa wanita itu? Wanita itu tampaknya sangat mengenal Nam-gil. Mereka tampak dekat dan sangat… mesra.

Yo-won menggigit bibir kesal dengan pemikirannya sendiri. Selesai sudah! Akan kuperingatkan Ye-jin untuk menjauh dari Nam-gil. Dengan kesal, Yo-won berjalan pergi sambil menghentakkan kakinya.

Tidak! Yang seharusnya marah adalah Ye-jin. Yang dijodohkan adalah Ye-jin. Kenapa juga aku harus marah? Dengan heran Yo-won berusaha mengusir amarah itu dari dadanya. Namun sepanjang perjalanan, ia terus memikirkan pria itu. Dan kekecewaannya. Kenapa juga harus kecewa, pikirnya. Namun, perasaan itu juga terus melekat tanpa henti, membuatnya terus bertanya-tanya dalam hati.

♦♦♦

―Seoul University―
“Bagaimana kemarin? Menyenangkan tidak?” Ye-jin menampakkan senyuman lebar tanpa dosanya sambil menghampiri meja Yo-won ketika gadis itu tengah membereskan bukunya.

“Kau memang menyebalkan,” ucap Yo-won sambil menatap langsung ke mata Ye-jin. “Kim Nam-gilmu itu… mungkin dia memang tampan dan menarik, tapi…”

“Astaga,” sebelum ucapan Yo-won selesai, Ye-jin keburu memotongnya. “Jadi benar, kau tertarik padanya?” Matanya berbinar senang mendengar penuturan Yo-won.

“Bisa tidak kau dengarkan aku sampai selesai? Dia itu…”

“Kita akan bertemu lagi dengannya!” seru Ye-jin tiba-tiba. “Mama berharap aku bertemu dengannya, sehingga ulang tahunku nanti akan diadakan di sana! Tentu saja minuman yang dihidangkan akan dibatasi jadi soft drink, minuman beralkohol rendah, dan juice, tapi kau tahu, tempat itu sangat keren!”

“Aku tahu itu, tapi…”

“Dan Yo-won, aku juga boleh mengundang siapapun! Aku tentu saja akan mengundang Kak Seung-hyo juga! Dan di sana, akan kuumumkan soal hubungan kami…”

“Ye-jin…” Yo-won mulai mendesah. “Bisa tidak kau dengarkan aku sebentar…”

“Aku tahu kok,” senyum Ye-jin mengembang gembira. “Anak-anak cowok pasti senang datang ke sana! Dan kalau kuumumkan soal hubungan kami, Mama juga tidak bisa bilang apa-apa. Lalu, Kim Nam-gil akan jadi milikmu!”

“Ye-jin!” dengan kesal Yo-won menggebrak mejanya. Apa-apaan maksudnya dengan Kim Nam-gil akan jadi milikku? Apa aku gila? “Jangan seenaknya memutuskan. Dengarkan aku dulu…”

“Semua akan berjalan dengan baik, tenang saja Yo-won… Cuma, kau perlu bantu aku memikirkan kata-kata yang tepat untuk kuucapkan saat Kak Seung-hyo mengumumkan hubungan kami. Aku tahu kau mencemaskanku, tapi tenang saja. Semua akan lancar…”

“Terserahlah,” kali ini Yo-won bahkan terlalu malas untuk bicara. “Aku mau pulang dan tidur….” Dengan langkah gontai ditinggalkannya Ye-jin yang kini sibuk menyebarkan undangan atas ulang tahunnya.

♦♦♦

“Kau tidak datang?” Ye-jin mulai mengomel di ponselnya. “Datanglah… acaranya akan kumulai ketika kau datang. Ya? Ya? Sekarang bahkan sudah segini ramainya…”

Yo-won menatap ponselnya dengan rasa malas. Diliriknya putih dengan rok tutu yang sudah dibelikan mamanya demi acara ini. Gaun itu begitu pas membungkus badannya dan membuat kakinya terlihat jenjang. Entah mengapa mamanya begitu senang mendengar Ye-jin yang menceritakan kalau dia akan mengadakan pesta di tempat Kim Nam-gil itu.

Aneh sekali, padahal yang ulang tahun Ye-jin. Untuk apa Mama begitu bersemangat? Saat mendengar Mamanya menyebut-nyebut nama Kim Nam-gil mungkin hadir di pesta itu, dengan segera Yo-won memahami maksud mamanya.

Sejak dulu mamanya memang berinsting tajam. Begitu mendengar penuturan Ye-jin, sepertinya wanita itu menyadari bahwa Ye-jin tidak tertarik pada Kim Nam-gil. Oleh karena itu ia mulai mendorong anaknya untuk mendekat. Apalagi temannya itu termasuk golongan kaya. Tidak heran mamanya begitu tertarik menjodohkannya dengan Kim Nam-gil.

“Ayolah, aku akan telepon Mamamu supaya meminta supir mengantarmu…” Ye-jin mulai mengeluh lagi di telepon. “Kukira kau senang dengan tempat ini… di samping itu, ini kan ulang tahunku, kau tega sekali, Yo-won…” Ye-jin mulai merengek memintanya datang.

“Aku malas sekali, Ye-jin. Hadiahmu kuberikan besok saja, bagaimana?” tawar Yo-won. Ia takut begitu melihat cowok itu ia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengomel.

“Aduh Yo-won. Masa kau mengira aku hanya mau hadiah darimu?” Ye-jin memprotes dengan kesal. “Pesta tidak akan kumulai sebelum kau datang!” ancamnya. “Jadi kau tentukan saja, mau menghancurkan hari ulang tahun sahabatmu, atau berbaik hati dengan datang dan melancarkan segalanya? Datanglah, Yo-won…” bujuk Ye-jin lagi.

“Baiklah! Baiklah! Aku datang…” sahut Yo won, melempar ponselnya ke tempat tidurnya. Ia pun beranjak bangun dan mulai mengganti pakaiannya. Dari jauh ia bisa membayangkan Ye-jin bersorak senang. Hah… kenapa aku selalu saja begini mudah dibujuk!

♦♦♦

―Scarlet Bar, Seoul―
“Hore!! Selamat datang Yo-won!”

Ye-jin memeluknya dengan gembira. Gadis itu bergerak dengan anggun dalam balutan gaun chiffon pink selututnya yang terlihat glamour tetapi tetap mengutamakan detail yang simple. Khas Ye-jin.

“Selamat ulang tahun,” senyum Yo-won sambil menyerahkan hadiahnya.

“Aku ingin kau menjadi saksi penting dalam pengumuman hubunganku dengan Kak Seung-hyo. Karena itu, aku senang sekali kau bisa datang….” Ye-jin tersenyum sekilas pada Kak Seung-hyo yang berdiri tidak jauh darinya.

“Aku ikut senang kalau Mamamu bisa menyetujuinya…” sahutku. “Sekarang, kau bisa memulai pestanya, bukan?”

“Tentu saja!” senyum Ye-jin kembali mengembang. “Oh! Sekadar informasi, pria itu ada di sana! Sedang merekomendasikan minuman untuk para tamu!”

“Aku tidak menanyakan di mana pria itu,” Yo-won membelalakkan matanya kesal. “Simpan saja informasimu itu untuk semua gadis yang mengerubunginya!”

“Astaga,” Ye-jin menyimpan senyumnya. Jadi dia sudah melihatnya dan cemburu? “Baiklah, aku tidak akan bicara lagi. Aku tidak mau kau marah padaku. Kau sangat cantik hari ini, Yo-won…”

“Terima kasih,” senyum Yo-won.

Ia sedikit merasa tidak nyaman saat teringat mamanya membelikan gaun itu karena berharap putrinya dilirik Kim Nam-gil. Terdengar menyedihkan karena sepertinya mengandung harapan palsu. Padahal pria itu sudah punya kekasih!

“Selamat menikmati pestanya, aku senang kau datang Yo-won…”

“Ya, aku juga senang bisa datang….” Selama aku tidak bertemu dengan pria itu.

Ye-jin melambai pergi dan menghampiri tamu lainnya untuk menyapa mereka. Yo-won mengamati dari jauh sambil tersenyum hambar. Yo-won berjalan ke pinggir dan menoleh ke panggung yang terletak di bawah.

Seorang gadis berambut panjang sepunggung tampak berada di atas panggung itu, mengenakan pakaian ketat, dan celana pendek yang memamerkan kakinya. Sekalipun dari jauh, Yo-won tahu gadis itu cantik.

Suaranya enak didengar saat menyanyikan beberapa lagu untuk menghibur para tamu.Yo-won tersenyum sambil mengamati ketika tiba-tiba ia merasa sosok gadis itu familier. Sejurus kemudian tatapannya sudah terkunci ke wajah gadis itu.

Bukankah dia gadis yang kulihat bersama Nam-gil waktu itu? Berani benar gadis itu bernyanyi di pesta calon tunangan Kim Nam-gil. Siapa yang menyuruhnya? Apakah Kim Nam-gil itu?

Dengan gusar Yo-won mencoba mengenyahkan pikiran itu dari kepalanya. Selama gadis itu berada di sini tidak untuk mengganggu acara Ye-jin, ia tidak punya hak untuk meminta gadis itu turun dari panggung. Sama sekali tidak punya hak untuk mencelanya. Yo-won menghela nafas dan berjalan ke tempat minuman disuguhkan.

“Hai, Yo-won…” sapa Kim Nam-gil tersenyum begitu melihat gadis itu melintas. Gadis lain mengaduh kesal ketika perhatian cowok itu beralih ke Yo-won.

Yo-won bahkan tidak mau repot-repot menoleh. Ia berjalan ke bartender lain dan meminta direkomendasikan minuman.

Nam-gil memandang Yo-won dari samping dengan bingung. Gadis itu tampak menarik dalam balutan gaun putih semacam itu. Sedari tadi ia berusaha untuk menghampiri gadis itu tetapi tidak berhasil. Terlalu banyak gadis datang minta dilayani dan rasanya tidak ada habisnya.

Sekarang Yo-won datang. Tetapi, ekspresi gadis itu berbeda dari sebelumnya. Bahkan gadis itu tidak mau memandangnya, tidak mau bicara dengannya, dan malah memilih bartender lain. Nam-gil mengamati dengan bingung.

“Red wine….” Hanya itu yang dikenal Yo-won. Ia bisa merasakan pandangan Nam-gil masih tertuju ke arahnya.

“Terima kasih,” ujarnya sambil menerima gelas itu. Yo-won meminumnya dengan tegukan cepat. Beberapa kali ia tersedak. “Tambah,” ujarnya. Minuman itu masam dan sedikit manis. “Tambah.” Hebatnya lagi, minuman itu bisa membantunya melupakan tatapan Nam-gil. Ia merasa lebih bersemangat. Badannya bahkan terasa panas.

“Tambah lagi,” ujar Yo-won.

“Hentikan.” Sebuah tangan menghentikannya. “Terlalu banyak wine bisa mengganggu lambungmu. Apa kau sudah makan? Kau bisa merasakan badanmu terasa hangat, tetapi sebenarnya ototmu akan terasa lebih lemas…”

“Tidak perlu ikut campur,” sergah Yo-won. Diambilnya gelas dari tanagn Nam-gil. “Kau tidak tahu apa-apa…” tukas Yo-won setengah menggumam.

“Kau kenapa??” Nam-gil menolak menyerahkan gelas Yo-won yang baru saja diisi oleh bartender itu. Dengan isyarat dari Nam-gil, bartender itu menarik diri dan menggantikan posisi Nam-gil sebelumnya.

Kali ini ia menggandeng tangan Yo-won, mengajak gadis itu pindah tempat. Mereka berada di lorong yang dekat dengan toilet. Melihat keadaan Yo-won, Nam-gil takut gadis itu sewaktu-waktu muntah.

“Kau mau tahu apa masalahku?” Yo-won menatap pria itu dengan marah. “Karena aku kecewa! Aku marah! Dan aku tidak punya tempat untuk menceritakannya!”

“Kau bisa cerita padaku,” tegas pria itu sambil tersenyum.

“Mana bisa aku cerita padamu! Kaulah sumber masalahku!” sembur Yo-won dengan penuh amarah.

“Kak? Sedang apa kau di sini?” seru seorang wanita. Ia tersenyum pada Nam-gil dengan senyuman manja. Sekejap kemudian ia sudah bergelayut di lengan pria itu. “Aku capek menyanyi, kita pulang, ya?”

Membayangkan pria itu akan menghabiskan malam dengan wanita itu, Yo-won menatapnya marah. “Kau lihat? Inilah masalahnya. Kau dan wanita ini! Padahal kau sudah punya Ye-jin! Teganya kau!”

“Apa-apaan sih gadis aneh ini!” gerutu wanita di samping Nam-gil dengan tatapan kesal. “Apa yang kau katakan? Kapan aku membuat masalah denganmu?”

Seulas senyum tipis membayang di wajah Nam-gil. “Rupanya kau salah paham…” ujarnya setengah menggumam. Dirangkulnya bahu wanita di sebelahnya itu untuk mendekat, “Ini Kim Hyu Na. Kenalkan, dia adikku…”

“Apa….” Kali ini, Yo-wonlah yang kehabisan kata-kata. Ditatapnya kedua sosok di hadapannya dengan mulut menganga.



-to be continued-


fanfic wine, man, love 2

Wine, man, love2

by Patricia Jesica on Wednesday, August 17, 2011 at 6:00pm ·

Chapter2
Wine, man, love
-Twisted Meeting-

Cast:
Kim Nam-gil
Lee Yo-won
Eric Moon
Lee Seung-hyo
Lee Ye Jin (Yo Won’s cousin)

Disclaimer:
 I didn’t own the characters; this is just fan fiction that I made because I’m not satisfied with the Bad Guy ending


―Lee Family’s House―

“Selamat pagi!”

Yo-won mengernyitkan dahinya sejenak. Sinar matahari yang tiba-tiba muncul dari gorden yang disibakkan oleh Mamanya membuat matanya terasa silau.

“Semalam kau pulang jam berapa? Apa Eric yang mengantarmu?” Mamanya duduk di sisi ranjangnya dan menyentuh lengannya. “Papa kaget melihat kamarmu kosong dan  menunggumu sampai jam sebelas…”

“Aku pulang sekitar jam dua belas…” jawab Yo-won, menggosok matanya dan menguap. “Bukan Eric yang mengantarku, tapi…” Yo-won terdiam sejenak. Rasanya sungkan kalau harus melibatkan pria itu―Kim Nam-gil―dalam masalahnya lagi. “Pokoknya bukan Eric yang mengantarku…”

“Kenapa? Bukannya dia yang mengajakmu pergi?” Mamanya bertanya dengan bingung. “Apa dia membuatmu pulang sendirian?”

“Selengkapnya akan kuceritakan sesudah aku mandi ya, Ma?” Yo-won bangkit berdiri dan mengambil handuknya. “Rasanya semua kejadian kemarin nyaris seperti mimpi buruk…” keluhnya sambil memasuki kamar mandi.

Mamanya hanya menatapnya sambil tersenyum bingung dan menggeleng-gelengkan kepala tidak mengerti.



“Dia mencoba membuatku mabuk,” Yo-won menjelaskan pada orang tuanya sambil sesekali mengunyah sarapannya. “Dan itu bukan tindakan pria sejati. Heran sekali. Dia benar-benar berubah dari Eric yang dulu kukenal…”

“Padahal dari dulu Mama tahu dia anak yang baik. Mungkin pengaruh pergaulannya…” Mama mendesah kecewa. “Kalau begini, Mama terpaksa membatalkannya…”

“Ya, batalkan saja!” Papa mengangguk setuju. “Papa tidak setuju kalau anak Papa diaapa-apakan olehnya! Untung saja ada yang menolongmu…”

“Siapa namanya?” tanya Mama, menatapku.

Yo-won menarik nafas. Memang sulit merahasiakan sesuatu dari keluarganya ini. “Kim Nam-gil, itu namanya.”

“Apa menurutmu dia masih muda? Atau sudah tua? Tampan?” Mama mengajukan pertanyaan bertubi-tubi, membuat Yo-won melotot dengan heran.

“Kenapa Mama menanyakan itu?” tanya Yo-won sambil menatap Mamanya curiga.

“Mama beritahu satu rahasia,” Mamanya tersenyum jahil saat mengucapkannya. “Sebenarnya, dia itu calon pria yang akan dijodohkan dengan sepupumu, Ye-jin.”

Yo-won nyaris tersedak saat meminum jusnya. “Apa? Mama yakin? Mungkin hanya namanya saja yang sama?” Yo-won berusaha memastikan.

“Tidak, tidak. Mama yakin. Mamanya adalah teman Mama. Dan suaminya memang pemilik bar Scarlet itu. Kim Nam-gil itu anak angkat.…”

“Hah?” semua fakta di hadapannya semakin membuat Yo-won bingung. “Memangnya teman Mama itu bilang kalau dia anak angkat?”

“Papa juga baru tahu kalau dia anak angkat, Ma…” gumam Papanya sambil berpikir.

“Tidak dong, tentu saja. Mama tahu itu, karena teman Mama itu tidak bisa melahirkan…” sahut Mamanya dengan wajah percaya diri. “Tapi, pria itu bertemu dengan Ye-jin di sana. Wah, seperti takdir saja…”

Yo-won terdiam dengan dada berdebar. Takdirkah yang mempertemukan Ye-jin dengan Nam-gil? Bukan dengannya?

“Jangan-jangan kau juga tertarik pada pria itu ya, Yo-won?” Mamanya memasang senyum jahil.

“Bukan kok!” elak Yo-won buru-buru. “Karena dia menyelamatkanku, ya, aku agak kepikiran! Itu saja kok!”

“Mama lihat fotonya dia cukup tampan, sayang juga ya, kalau diberikan pada Ye-jin. Haa…. Padahal anak Mama baru putus dari tunangannya…”

Yo-won hanya mampu tersenyum masam mendengar kalimat Mamanya. “Berarti Mama Cuma mengetesku dengan menanyakan macam-macam hal tentang cowok itu…”

Melihat senyum Mamanya, Yo-won hanya bisa terdiam. Kembali terpikir olehnya, Ye-jin akan dijodohkan. Dan… olala, apa yang akan dikatakan Ye-jin soal ini? Sejak awal, ia dan Kak Seung-hyo memang pacaran diam-diam. Mungkin sekarang saatnya Ye-jin mengakui kalau ia sudah punya pacar.

Tapi, itu semua urusan Ye-jin, bukan urusanku, pikir Yo-won sambil meminum jusnya sampai habis.

♦♦♦
“Ini mimpi buruk! Ini pasti mimpi buruk!” Ye-jin bergerak dengan gelisah di kursinya. “Katakan padaku ini tidak benar!”

“Sayangnya,” Yo-won membalik halaman bukunya dengan acuh tak acuh, “Ini semua bukan sekedar mimpi buruk dan benar-benar kenyataan…”

“Astaga…. Aku tidak mau! Kau tahu, dia memang tampan, dan badannya bagus. Dan kudengar dia memang menolong kita… Tapi…” Ye-jin mengibas tangannya di depan pipinya yang memerah dan menggigit bibirnya malu. “Aku cuma menyukai Kak Seung-hyo…”

“Nah, katakanlah itu pada orang tuamu…” sahut Yo-won santai.

Ia melirik arlojinya. Sekitar lima menit lagi kuliah akan dimulai. Berarti masih lima menit lagi ia harus bertahan dengan semua keluhan Ye-jin. Kenapa sih sepupunya ini harus mengambil jurusan yang sama dan sekelas bersamanya? Bersama Ye-jin kadang kala menyenangkan dan kadang kala bisa menyebalkan.

“Aku tidak bisa! Kau ingat kan, dulu, waktu aku masih SMA! Begitu aku bilang aku punya pacar, Papa menunggu di luar rumah keesokan harinya dengan ikat pinggang di tangan! Akhirnya aku tidak jadi kencan dengannya dan putus! Aku tidak mau hal yang sama terulang untuk Seung-hyo… tolonglah aku, Yo-won…” Ye-jin mulai merengek di sebelahnya.

“Sekali ini tidak bisa, Ye jin. Kemarin saja aku hampir mati kutu waktu menjelaskan kejadian waktu kita ditolong! Kau tahu kan, aku tidak bisa melibatkan Kak Seung-hyo! Menyebutkan dia ada tetapi tidak bisa melindungimu saja bisa membuat Papamu naik darah!”

“Iya aku tahu, terima kasih Yo-won. Tapi, aku masih butuh bantuanmu… Ayolah, lakukan sesuatu untukku… Ya? Ya? Lagipula, pria itu lebih cocok untukmu! Kau kan belum pacaran! Sedangkan aku, aku sudah punya pacar!”

“Haish! Kau ini ada-ada saja!” Yo-won melirik arlojinya lagi. Lima menit sudah berlalu. Ke mana dosen itu? Menyebalkan sekali kalau begini! Mungkin Dosen itu sengaja terlambat supaya dirinya jadi menderita dalam ocehan dan keluhan Ye jin.

“Ayolah, lagipula dia kan lebih tepat disebut penolongmu daripada penolongku! Ya, kan? Dia menolongmu dua kali. Dari Eric dan dari laki-laki brengsek lain. Sedangkan aku, Cuma sekali! Yo-won….”

“Aduuuh….” Yo-won memukulkan tangannya ke meja dengan kesal. “Kau jangan mulai lagi ya, Ye jin. Aku capek dari dulu menjadi penggantimu kemana-mana. Kau selalu melempar tanggung jawab tidak enak padaku. Entah membantu menyampaikan penolakanmu ke cowok, atau kalau malas jalan sama cowok kau bilang ada janji denganku! Ini semua sangat menyebalkan!” geram Yo-won kesal.

“Ini yang terakhir! Ayolah, masa kau tidak tertarik pada pria setampan itu? Kalau belum punya Kak Seung-hyo aku pasti juga tertarik padanya…. Kali ini saja, gantikan aku menemui cowok itu! Eh, maksudku, gantikan aku bertunangan dengannya…”

“Dasar gila kau…” umpat Yo-won kesal. Bersamaan dengan itu, Dosen pengajar mereka masuk dan Yo-won terpaksa membungkam mulutnya.

Masa kau tidak tertarik pada pria setampan itu?

Sejenak ingatan Yo-won kembali tertuju pada luka panjang yang terdapat di punggung pria itu. Nama bar itu… Scarlet… Apakah dari kata Scar yang berarti luka… Nama yang cocok untuk pria itu. rasanya dia terlalu misterius. Namun, di sanalah daya tariknya.

“Kau sedang memikirkan pria itu, bukan?” senyum Ye-jin sambil berbisik di sebelahnya.

“Aku tidak sedang memikirkan Kim Namgil-mu itu tahu…” sahut Yo-won.

“Aku tidak bilang pria itu Kim Nam-gil. Berarti benar, dia yang ada di pikiranmu? Astaga, akui saja Yo-won, kau suka padanya…”

“Awas kau nanti…” geram Yo-won. Dalam hati ia menyesalkan kebodohannya. Mustinya dia benar-benar mencerna pertanyaan Ye-jin sebelum menjawabnya. Jebakan! Ini memang jebakan! Yo-won mengomel lagi sambil membuka bukunya.

Aku pasti gila kalau benar-benar menuruti keinginan Ye-jin untuk menggantikanny menemui pria itu! Tidak mungkin! Dan tidak akan!
♦♦♦
Dan di sinilah Yo-won sekarang berada. Merasa sudah dibodohi oleh Ye-jin. Baru saja anak itu meneleponnya untuk mengajak Yo-won pergi shopping berdua. Mereka janjian bertemu di kafe, namun sampai sekarang Yo-won sudah dua jam menunggu. Sekarang, begitu teringat kalimat Mamanya tentang pertunangan, sadarlah bahwa ia sudah dijebak Ye-jin.

“Anak itu benar-benar gila! Dasar kurang ajar…” maki Yo-won sambil setengah menggeram. Bisa-bisanya aku dijebak begini olehnya!

“Loh? Kukira aku akan bertemu tunanganku di sini…” tukas seorang pria.

Yo-won mengangkat wajahnya dengan terkejut. “Hah…”

“Hai, senang bertemu lagi,” pria itu tersenyum sambil menarik kursi dan duduk di depannya. “Wajahmu tidak terlihat senang…”

“Ya, memang suasana hatiku sedang buruk,” sahut Yo-won sambil menarik nafas. “Kau pasti sudah tahu, Ye-jin sudah punya pacar. Yang kemarin bertemu denganmu di bar itu kekasihnya…”

“Oh, ya, aku tahu…” cowok itu masih tersenyum, namun kini tangannya bergerak memanggil pelayan. “Kau mau pesan apa? Aku sedang buru-buru tidak apa, ya?”

“Oh, ya tidak apa.” Apa dia kira aku berharap bisa kencan dengannya? Memikirkan itu membuat pipi Yo-won langsung memerah malu. “Aku minum teh saja. Ice Green tea…”

Nam-gil memesankan minuman Yo-won dan segelas kopi untuk dirinya sendiri. “Ye Jin itu yang kemarin di bar, bukan? Aku sudah tahu dia punya pacar, makanya aku kaget melihat aku dijodohkan dengannya. Secara pribadi sih, aku lebih tertarik padamu…” tutur cowok itu tanpa basa-basi.

“Apa…” Yo-won mengangkat wajahnya dengan terkejut.

“Tidak ada maksud lain, hanya berpikir begitu saja…” pria itu tertawa santai. “Kau terlihat kaget sekali…”

“Bohong kalau aku tidak kaget…” Yo-won mendengus karena mengira pria itu mempermainkannya. Tetapi, diam-diam hatinya merasa senang. “Ye-jin menjebakku untuk daang kemari…”

“Menyakitkan juga kalau langsung ditolak begini,” ujar cowok itu tiba-tiba. Ia tersenyum senang melihat Yo-won yang mendadak gugup. “Bercanda, kau lumayan menyenangkan untuk digoda.” Ia tersenyum pada pelayan dan berterimakasih sambil meminum kopinya pelan.

“Dari tadi kau mempermainkanku terus!” omel Yo-won. “Jadi semuanya cuma bercanda, kan?”

“Ada yang benar juga kok…”

“Apa…”

Pria itu tertawa lagi melihat wajah Yo-won memerah karena kaget. “Mungkin tidak sopan, tapi… bisakah kau membantuku dengan lebih cepat menghabiskan tehmu? Aku sedang ada urusan yang tidak bisa ditunda…”

“Baiklah, tentu saja…” Yo-won bersyukur dalam hati karena yang dipesannya adalah minuman dingin. “Walaupun daritadi kau mengerjaiku terus, tapi aku senang bisa mengobrol denganmu. Paling tidak aku tidak sia-sia datang ke sini…” ujar Yo-won sambil terus menghabiskan minumannya.

“Aku juga senang bisa mengobrol denganmu,” cowok itu menghabiskan kopinya dalam satu tegukan cepat. “Walaupun aku cukup menyesal karena waktunya kurang panjang…”

“Aku tidak bisa mengantar, maaf…” Kim Nam-gil membungkukkan badan dan tersenyum sopan. “Sampai bertemu lain kali…”

“Ya,” sahut Yo-won.

“Dan kapanpun kau senggang, datanglah ke bar itu…” pria itu mengedipkan matanya cepat dan berlalu pergi.

“Sekarang baru jam empat…” tukas Yo-won sambil melihat arlojinya. Bukankah bar buka pada malam hari? Karena penasaran, Yo-won memutuskan untuk membuntuti pria itu.

Mau ke mana dia? Pikir Yo-won begitu pria itu mulai melangkah memasuki gang-gang kecil. Yo-won melihat pria itu memasuki sebuah gedung yang terlihat berbeda di ujung jalan. Saking terkejutnya, otomatis Yo-won menutup mulutnya dengan tangan.

Sebuah hotel!

Untuk apa pria seperti Kim Nam-gil memasuki tempat semacam itu? Yo-won metasakan cabikan amarah di dadanya. Aku telah salah menilai pria itu rupanya! Dia sama brengseknya sepetti Eric!


-to be continued-


fanfic wine, man, love 1

WINE, MAN, LOVE CHAPTER1

by Patricia Jesica on Monday, August 8, 2011 at 1:59pm ·

Chapter1
Wine, man, love
-Furious Greetings-

Cast:
Kim Nam Gil
Lee Yo Won
Eric Moon
Lee Seung Hyo

Disclaimer:
I didn’t own the characters; this is just fan fiction that I made because I’m not satisfied with the Bad Guy ending

―Scarlet Bar―
“Eric, lepaskan aku!” Yo won berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman Eric, namun pria itu tetap kukuh memegangnya.

“Ayolah, kita bersenang-senang sedikit Yo won… Kau kan jarang-jarang bisa keluar rumah seperti ini…” bujuk Eric sambil tetap menarik tangannya memasuki ruangan diskotik yang gemerlapan dengan lampu.

Kenapa juga pria seperti ini yang ditunjuk jadi tunanganku? Yo won menggosok tangannya yang terasa sakit karena ditarik paksa dari tadi. Eric adalah sepupu jauh dari keluarganya, dan pria itu memang cukup tampan. Mungkin faktor fisik itu yang membuat Yo won tidak sanggup membantah ketika Mamanya menjodohkannya dengan Eric.

“Lagipula, ada Ye Jin juga di sini…” Eric menggerakkan kepalanya ke ujung ruangan. Tampak di sana saudara sepupunya, Ye Jin bersama pacarnya, Seung Hyo.

“Kenapa mereka bisa ada di sini?” tanya Yo Won bingung. Ia merasa situasinya tidak normal karena di depan Seung Hyo tampak banyak botol bir yang kosong.

“Mereka hanya bersenang-senang sedikit… Jadi, kau juga santai saja, oke?”

“Baiklah. Asalkan tidak terlalu malam…” sahut Yo won, merasa malas berdebat lagi untuk mala mini.

“Nah, kau tunggu aku di sini dulu… mau pesan minum apa?” tanya Eric sambil menarik kursi di dekat meja bar yang di depannya terdapat berbagai macam botol aneka merek dan warna.

Yo won mengambil buku menu dan melihat-lihat. Baginya nama-nama di menu itu terlihat aneh dan asing. Apa itu Joker?  Beberapa bahkan terdengar lucu. Seperti Tom and Jerry, Mickey Slim, dan Brass Monkey. Ia tidak mampu memilih karena ia tidak pernah mencoba satu pun.

“Aku tidak biasa minum,” sergah Yo won bingung. “Kau saja yang pilihkan…”

“Baiklah, tentu saja. Percayalah padaku karena seleraku bagus…” jawab pria itu sambil mengedipkan matanya. Ia langsung berpaling ke bartender dan berbisik.

“Kau tidak ke toilet? Biasanya wanita senang ke sana…” tanya Eric sambil tersenyum manis.

Yo won ganti melirik Eric dengan bingung. Tidak biasanya pria menyuruh wanita ke toilet, bukan? “Apa penampilanku berantakan?” tanya Yo won bingung.

“Ya, sedikit…” Eric menyentuh ujung rambut Yo won dan memiringkan wajahnya. “Tidak ada salahnya sedikit lebih cantik lagi kan, untukku?” pinta Eric manis.

Yo won menghela nafas dan mengambil tasnya. “Baiklah, aku tidak akan lama…” ujar Yo won sambil menanyakan arah toilet pada bartender.

Bartender itu masih memunggunginya. Hanya menunjukkan arah toilet yang dimaksud dengan gerakan telunjuk. Namun, dalam sekilas pandang, Yo won bisa melihat bahwa bentuk wajah bartender itu cukup tampan.

Di toilet, Yo won mengamati penampilannya dengan bingung. Ia mendengus sebal dan merasa sangat yakin dengan penampilannya. Tidak ada yang salah, pikirnya. Akhirnya ia memilih untuk memoles bedak dan menambahkan sedikit lipstick di bibirnya.

“Di mana dia?” Yo won menoleh dengan bingung ke kiri dan kanan. Pandangannya tertumbuk pada gelas yang kini berada di depan kursi yang ditinggalkannya. “Maaf, apa ini milikku?” tanya Yo Won pada si bartender.

“Ya, Tuan itu sudah membayarnya tadi…” jawab pria itu, masih menunduk untuk mengelap gelas-gelas kaca di depannya.

“Begitu?” Yo won memiringkan gelasnya dan tersenyum melihat warna-warni yang cantik di gelasnya. Namun, begitu tangannya terangkat untuk meminum cairan di gelas itu, tangan bartender itu maju untuk mencegahnya.

“Lebih baik kau tidak meminumnya…” nasihat pria itu.

Yo Won tertegun karena itulah pertama kalinya ia melihat langsung wajah pria itu. Tatapan matanya terlihat tajam. Dan ia sangat tampan.

“Eh, kenapa?” tanya Yo won beberapa saat kemudian, saat otaknya kembali berpikir. “Kenapa tidak boleh kuminum?”

“Sebaiknya aku tidak bicara banyak…” pria itu kembali menunduk dan memusatkan perhatiannya pada gelas-gelas di hadapannya. “Tapi aku banyak melihat pria semacam itu meracuni para gadis muda yang tidak pernah minum dengan membuat mereka mabuk…”

“Eh?” Yo won kembali menatap gelas di hadapannya. “Memangnya kadar alcohol minuman ini tinggi?”

“Minuman itu namanya Vodka Martini, dibuat dari campuran vodka. Kalau tidak pernah minum, bisa langsung teler setelah meminumnya. Dan…” tiba-tiba pria itu menyorongkan sebuah gelas ke tangan Yo won. “Ini lebih aman untuk diminum… Traktiran. Dariku. Gratis.”

“Apa ini?” tanya Yo Won. Cairan merah di gelas itu berkilau indah dan tampak manis.

“Anggur merah. Red Wine. Kadar alkoholnya hanya satu persen. Otakmu akan tetap bekerja kalau minum itu… dibandingkan vodka dan entah serbuk apa yang dimasukkannya tadi…”

“Serbuk?” Yo won mengangkat salah satu alisnya dengan terkejut. “Ada serbuk di minuman dari Eric?”

“Yah,” pria itu tersenyum samar, nyaris terlihat menggoda. “Mungkin karena itulah ia menyuruhmu ke toilet…”

“Astaga…” Yo won menutup matanya, mencoba membayangkan apa yang akan terjadi seandainya ia meminum minuman dari Eric itu. Mungkin pria itu akan melakukan… hal-hal yang tidak diinginkannya.

“Sebaiknya jauhi pria semacam itu…” gumam bartender itu lalu pergi sambil lalu. Yo won menyesap wine-nya sedikit dan tersenyum. Tidak seindah penampilannya, wine itu terasa masam, walaupun ada sedikit sensasi manis di dalamnya.

“Terima kasih sudah memperingatkanku…” ujar Yo won sambil mengangkat gelas yang berisi minuman dari Eric. “Bisa kaujaga wine itu untukku?”

“Nona?” Bartender itu kini bersedekap dan berkacak pinggang memandangnya. “Tidakkah kau belajar dari pengalaman? Peraturan nomor satu di bar adalah: jangan pernah menerima minuman dari pria asing. Dan yang kedua, jangan pernah meminum apa yang sudah kau tinggalkan di meja. Kau tidak pernah tahu siapa yang sudah menyentuhnya ketika kau tidak ada…”

“Kalau begitu, terima kasih untuk traktirannya…”sahut Yo Won, ia mengambil tas dan jaketnya lalu pergi meninggalkan mejanya. Di tangan kirinya terdapat gelas berisi minuman pemberian Eric.

“Dasar gadis aneh…” senyum bartender itu sambil mengambil gelas berisi wine itu dan meletakkannya ke baki cuci piring.



Yo won berjalan mengitari ruangan sambil mencari Eric. Tidak sulit menemukan pria itu. Ia sedang duduk di sofa yang terdapat di sudut ruangan. Di kanan-kirinya terdapat gadis-gadis berpakaian minim yang asyik tertawa bersamanya. Tidak jauh darinya duduk beberapa pria yang juga ditemani gadis-gadis berpakaian minim. Di sebelah mereka juga terdapat Ye Jin dan Seung Hyo. Keduanya tampak tidak wajar.

“Hai, Yo won…” sapa Eric senang begitu melihat Yo won datang mendekat. “Oh, kukenalkan dulu. Ini teman-teman kuliahku…” ujar Eric sambil berusaha berdiri.

“Aku mau mengembalikan minuman ini padamu…” tukas Yo won. “Aku sudah mau pulang…”

“Astaga. Kenapa cepat sekali?” Eric tertawa dan menarik tangan Yo won lembut. “Temani aku sebentar saja.. Dan sambil menemaniku, kau bisa mencoba minuman yang sudah kupilihkan untukmu. Bukankah mubazir kalau tidak diminum walaupun sudah dibayar?”

“Hei, dengar ya…” Yo won menarik dasi Eric agar pria itu mendekat ke arahnya. “Aku lebih baik membuang minuman semacam ini daripada berakhir di kamar hotel denganmu!”

Wajah Eric berubah kaget mendengar kalimat Yo won. Dengan segera ekspresinya mengeras dan berubah kelam. “Memangnya kenapa kalau itu terjadi? Kau kan tunanganku!”

“Sudahlah. Aku malas bicara denganmu…” Yo won menepis tangan Eric dengan kesal. Ia segera beranjak kea rah Ye Jin dan membangunkannya. “Ye Jin, Kak Seung Hyo. Ayo pulang…”

“Tidak secepat itu…” Eric menolehkan kepala ke teman-temannya, dan mereka langsung bergerak ke arah Yo won dan Ye jin.

“Hei, mau apa kalian?” bentak Yo won sambil meronta. Seorang pria menahannya dari belakang. Di sudut matanya, ia bisa melihat dua pria lain berusaha mendekati Ye jin. “Hentikan! Kalian mau apa!”

“Sebaiknya kulakukan di sini saja daripada di hotel. Bukan begitu?” tanya Eric, tersenyum sinis padanya. “Lagipula, contohlah Ye jin. Lihat, dia penurut sekali… Berikutnya giliranmu…”

Eric bergerak mendekati Ye jin sambil melonggarkan ikat pinggangnya. Seung hyo yang terbangun karena keributan tadi langsung menerjang Eric dengan marah. “Apa yang kau lakukan! Jangan sentuh pacarku!” teriaknya.

Eric dan Seung hyo mulai bergumul dan saling meninju. Namun situasi tidak menguntungkan bagi Seung hyo yang belum sepenuhnya pulih dari mabuk. Eric mendorong Seung hyo dengan keras sampai jatuh menimpa meja kaca dan memecahkannya.

Pengunjung mulai panik dan berlarian pergi. Dengan beringas Eric kembali ke tempat Ye jin, sementara pria yang tadinya membantu memegangi Ye jin berganti posisi dan memukuli Seung hyo yang belum dalam posisi siap untuk berkelahi.

“Lepaskan!” Yo won meronta. Ia semakin takut ketika tangan pria di belakangnya mulai meraba punggungnya dan bermaksud menarik ritsleting itu. “Hentikan!!”

Tepat ketika Yo won bermaksud berteriak meminta tolong, sebuah tangan mencengkeram bajunya; dan di saat bersamaan, tangan pria brengsek itu terlepas dari punggungnya. “Pakai ini,” ujar pria penolongnya dengan suara berat, sambil menyampirkan sebuah jas hitam ke bahu Yo Won.

“Pak bartender…” gumam Yo won sambil menutup mulutnya kaget.

Pria itu maju dan memukul jatuh beberapa pria lainnya. Yo won memang tidak tahu banyak tentang bela diri, namun dalam sekali pandang, ia bisa menilai. Pria ini jago bela diri. Bahkan Eric tumbang hanya dalam satu pukulan. Dan kemudian Seung hyo dibantunya berdiri

“Perlawananmu cukup bagus,” puji bartender itu.

“Terima kasih… kau membantuku… dan membantu pacarku…” tutur Seung hyo dengan kalut. “Kalau kau tidak ada…”

“Hei! Panggil manajer tempat ini! Kau tahu tidak, tamu adalah raja! Bartender macam apa kau, menyerang tamumu sendiri!” Eric mengumpat marah sambil menendang kursi di depannya.

“Kebetulan sekali, kau sedang berhadapan dengannya.” Bartender itu menjentikkan jarinya dan dalam sekejap lima pria berbadan tegap dengan jas dan kacamata hitam muncul di belakangnya. “Akulah manajer tempat ini. Dan aku berhak menentukan tamu mana yang boleh masuk dan sebaiknya tidak boleh masuk tempat ini…”

“Apa?!”

Bahkan Yo won ikut terkejut mendengar pernyataan pria itu. manajer? Pria ini manajer? Bagaimana mungkin bartender bisa menjadi manajer? Tetapi, ucapannya sepertinya serius, bukan sekedar gertak sambal.

“Mungkin kalian perlu diantar? Masih ingat di mana letak pintu keluar?” tanya pria itu lagi sambil menjentikkan jarinya. Pria-pria tegap itu dengan segera menempatkan diri mereka di sebelah Eric dan teman-temannya. “Selamat malam…”

“Sialan! Lepaskan! Aku bisa sendiri!” bentak Eric dengan geraman amarah. Sulit dipercaya harga dirinya begitu tinggi sekalipun ia sudah dipermalukan demikian.

“Kau bisa membawa temanmu ke tempatku… Mungkin kalian bisa menelepon jemputan dari sana…” pria bartender itu tersenyum ramah sambil menarik tangan Yo won yang terduduk lemas di lantai. “Bisa berdiri atau mau kugendong?” tawarnya sambil tersenyum ramah.

“Bisa…” jawab Yo won, namun lututnya terasa goyah ketika berdiri.

“Ahh…” pria itu manggut-manggut sambil tersenyum paham. “Ada solusi ketiga. Mau kupapah?”

“Terima kasih,” bisik Yo won ketika pria itu membantu menarik tangannya dan memapahnya.

―Scarlet Bar, Staff’s Room―

“Duduk saja. Anggap rumah sendiri…” pria itu berujar sambil menuntun Yo won ke sofa terdekat. Seung hyo dan Ye jin duduk di kursi lain.

“Terima kasih…” Seung hyo mengangguk hormat pada pria tegap yang membantunya membawa Ye jin. Sebentar kemudian pria itu telah berlalu dan keluar dari ruangan itu.

“Sebenarnya…” Yo won memecah kesunyian dengan memulai bicara. “Kau ini bartender atau manajer?” tanyanya malu.

“Bagaimana kalau keduanya?” pria itu membalas bertanya. “Walaupun aku pemilik tempat ini, kadang-kadang mengamati tamu dan berpura-pura menjadi bartender itu sangat mengasyikkan…” pria itu mulai membuka kunci lokernya dan memilih-milih pakaian di dalamnya.

“Berarti kau benar adalah manajer sekaligus bartender…” Yo won mengamati rompi yang dikenakan pria itu. “Bahkan penampilanmu itu memang membuatmu terlihat seperti bartender tulen…”

Pria itu hanya menoleh lalu tersenyum singkat. Yo won menatapnya dengan bingung. Terlalu misterius, pikirnya. Pria itu membuka bajunya dan menampakkan sederetan otot yang terlihat terlatih.

Yo won memalingkan muka karena terkejut. Bukan hanya karena melihat tubuh atletis itu, namun juga karena sebuah luka panjang yang terdapat di punggungnya. Entah bagaimana Yo won merasa luka itu adalah hal yang seharusnya tidak dilihatnya.

“Kau tidak bilang kalau kau akan mengganti bajumu…” Yo won memprotes dengan pipi memerah.

“Kukira kau bisa menebaknya…” balas pria itu sambil tertawa kecil. Yo won sibuk mengibas-ngibaskan tangannya seolah merasa kepanasan.

“Kau tidak menelepon temanmu?” tanya pria itu lagi kepada mereka.

Seung hyo mengangkat ponselnya dan menggeleng. “Aku bawa motor…. Kalau Ye jin, kurasa ia tidak membawa ponselnya, tapi aku bisa mengantarnya pulang. Bagaimana denganmu, Yo won?”

“Sebentar…” Yo won mengambil ponselnya dan menunggu jawaban. “Tidak ada yang angkat. Wajar sih, sudah jam setengah dua belas, mungkin sudah pada tidur…”

“Baiklah,” pria itu menyambar sebuah jaket hitam. “Apa lagi yang perlu ditunggu? Aku akan mengantar kalian… Kalau kau tidak bisa pulang sendiri…”

“Tenang saja, aku sudah tidak semabuk tadi. Petugasmu membantuku memuntahkannya di kloset…” Seung hyo menyentuh perutnya. “Sudah lebih baik. Aku tidak akan merepotkan…”

“Oh ya? Tidak jadi masalah…” pria itu menanggapi dengan santai. “Dan Nona Yo won? Kau ikut denganku?”

“A-ah, ya…” Yo won mengambil tasnya dan berjalan mengikuti pria itu. Namun, belum beberapa langkah, pria itu sudah berbalik dan memutar tubuhnya, langsung menatap mata Yo won tajam.

“Aku belum tahu nama lengkapmu…” pria itu menyodorkan tangannya dan tersenyum. “Namaku Kim Nam Gil.”

“Itu nama aslimu, kan?” Yo won mencoba bercanda ketika mengingat profesi pria itu tidak mudah ditebak. Namun, ekspresi kaku yang ditunjukkan pria itu dalam sekejap membuat Yo won kaget. Dengan segera Yo won membalas uluran tangan itu dan tersenyum. “Lee Yo Won…”

“Nama yang bagus,” ujar pria itu sambil lalu. Ia menyerahkan sebuah helm ke tangan Yo won. “Karena hanya kau yang kuantar, lebih cepat dengan motor…” tukasnya pelan.

Yo won tersenyum sambil mengenakan helm itu di kepalanya. Ia dengan canggung meletakkan tangannya di pinggan pria itu. Masih jelas dalam ingatannya betapa panjang bekas luka itu di punggung pria ini.

Kenapa?

Dan kenapa pula wajahnya terlihat kaget ketika aku menanyakan keaslian namanya?

Yo won menatap ekspresi tajam pria itu di kaca spion motornya. Biar bagaimana pun, pria ini terlalu misterius.



-to be continued-







my recent artwork


i guess everbody loves Claire from harvest moon, here I made two of Claire picture.
I usually paired Claire with Kai or Gray. 
I used to love play Harvestmoon, but since I have to work-sigh-I stopped playing them.
Lately, I just found out that doctor character (Trent) in harvest moon quite charming too (what a stupid girl) hahaha




 i like Len and Rin kagamine. Especially after i watched KOKORO song. It's good and teary. I was so moved by the song. Guess that's the reason behind these two pictures i made.
As usual, I'm not good at coloring using computer or digital technique


So I just draw the picture manually using the 2B pencil, did the line art with the pen, and use eraser to remove the pencil line.
Then i used pastel soft color and watercolor to color it.
I use scanner and all I did with Photoshop was just using a brush for several detail (i will give the detail next), and did the color balance for finishing touch.
 the brush i used at:
- the flower on Claire head in first picture
- the clouds, dandelion, and grass at second picture
- the water ripple background in third picture
- the blue petal on fourth picture


all of this picture can be found at my deviantart page
this is the link
deviantart link