Jumat, 26 Maret 2010

Fanfic The Future and the Past 10

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TENTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Kim Chun Chu: Yoo Seung Ho (memakai nama asli di FF)
Alcheon: Lee Seung Hyo (memakai nama asli di FF)
Bakui: Jang Hee Woong (memakai nama asli di FF)
Park Jung Chul: Kim Yong Soo: Jung Yong Soo
Moon No: Jung Ho Bin (memakai nama asli di FF)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

“Selamat datang, Nam Gil,” sapa Guru Jung sambil menepuk pundakku dan menatapku dengan bangga. ”Tampaknya kau tidak pernah menyia-nyiakan waktumu di Amerika. Ikut klub di sana?” tanyanya.

“Ya,. Basket, karate dan taekwondo...” jawabku bersemangat. ”Apakah hari ini aku boleh minta latihan tanding denganmu, Guru?” tanyaku antusias.

”Anu, Pa, aku pergi makan dulu dengan Hee Wong...” ujar Yong Soo sambil tersenyum kikuk. Ia tampak berusaha menghindari amukan Papanya.

Aku tertawa kecil dalam hati. Manusia kadang memang aneh. Aku bukan anak GuruJung, tetapi diam-diam, aku mengidolakannya, berharap ia menjadi Papa sekaligus Guruku. Tetap;i, Yong Soo tampaknya tidak demikian. Daripada Taekwondo, ia jelas lebih menyukai sepakbola dan sejenisnya.

”Pergilah,” ujar Guru Jung sambil menatapnya dengan pandangan─apa boleh buat kalau memang itu maumu─ dan lagi-lagi hanya mampu menghela nafas panjang. ”Jangan lupa belikan makanan untuk Nam Gil. Kurasa ia akan kelaparan nanti. Tidak keberatan kalau latihan kita sedikit berat?”tanyanya sambil tersenyum padaku.

”Tidak masalah, Guru...” jawabku yakin seyakin-yakinnya. Kulemaskan otot tanganku dan kulakukan beberapa gerakan pemanasan. Guru menunjuk bagian-bagian tubuhku dengan tongkatnya, membantuku membetulkan posisiku yang masih salah. Lalu, tak lama kemudian, kami sudah berdiri berhadapan.

”Aku akan mengajarimu beberapa gerakan kombinasi...” ujar Guru sambil membetulkan lipatan baju di lengannya. Ia menatapku dan mulai memasang kuda-kuda.

Aku menarik nafas panjang dan menatapnya kembali. Ini adalah pertempuran. Dan tidak ada kata main-main. Dalam pertempuran aku dan ia bukanlah guru dan murid. Dengan pandangan menyeluruh kuteliti setiap sudut gerakannya, berharap menemukan celah untuk menyerangnya.

”Siap?! Mulai!!” ujarnya sambil berteriak dan bergerak maju. Aku menghindari beberapa serangan kakinya namun sebagian adalah gerakan tipuan. Tidak terburu-buru, dengan cepat kutiru gerakan itu. Guru tersenyum puas saat menghindari gerakanku ke kanan.

”Tidak buru, Nam Gil...” pujinya. ”Hanya saja gerakanmu terlalu polos, aku bisa membacanya. Cobalah sedikit menggunakan gerak tipuan...” nasihatnya. Aku menyanggupi dan sejurus kemudian, kami sudah terlibat dalam latihan tanding yang sejak lama kuimpikan.

Setengah jam kemudian, aku berbaring terlentang di aula latihan dengan nafas naik turun. Keringat membanjiri tubuhku. ”Kau sudah lumayan terlatih, dan responmu sudah semakin baik. Jangan lupa melatih otot perutmu. Sudah baik, tapi akan lebih siap untuk menerima pukulan nantinya...”

”Baik,” jawabku sambil berusaha mengatur nafasku. ”Ngg.. Guru, aku ingin tanya.,..” ujarku sambil menatap matanya yang hangat, mata yang kuinginkan untuk menjadi Papaku.

”Silahkan,” jawabnya tegas. Ia menatap mataku dalam-dalam, menunggu pertanyaanku.

”Apakah aku sudah memiliki kualifikasi sebagai pengajar taekwondo untuk tingkat SMA?” tanyaku padanya. Ia tampak terkejut lalu menatapku langsung ke mataku, seolah sedang menyelidiki alasanku. Ia tidak perlu bertanya mengapa. Pertanyaan itu tampak jelas dimatanya.

”Aku hanya ingin... mencobanya... barangkali dengan demikian aku bisa mengembangkan kemampuanku?” tanyaku tidak yakin.

Ia mengalihkan pandangan dariku dan berdiri untuk mengambil handuk, lalu melempar satu handuk padaku. Sambil menyeka keringatnya, ia mulai berkata, ”Itu bukan alasanmu yang sebenarnya, bukan?” tanyanya.

Aku terhenyak dan berusaha mengelak, tetapi matanya menatapku lagi, menuntut kejujuran. ”Aku punya alasan sendiri,” ujarku membela diri.

”Sebaiknya alasanmu murni untuk pengembangan bakatmu, Nam Gil. Kalau boleh jujur kukatakan, kau cukup jenius. Kau mampu meniru gerakan yang tidak kuajarkan padamu dalam sekali lihat. Dan kau mampu mengembangkannya dengan baik. Aku bangga padamu, sebagai muridku. Sebagai seseorang yang sungguh mencintai taekwondo dan mempelajarinya dengan motivasi murni...”

Kalimat Guru Jung dengan tajam menghujamku. Aku memandangnya tanpa mampu berkata apapun, sampai akhirnya ia melemparkan sebuah perban ke arahku. ”Seharusnya kau jangan paksakan dirimu, obati lagi lukamu,bersihkan darah di bajumu... . Dan temui aku minggu depan, saat pikiranmu sudah lebih jernih...”

Guru Jung menatapku sejenak lalu tersenyum tipis. Ia membantuku membetulkan perbanku dan kemudian pergi tanpa berkata-kata. Setiap kalimat Guru Jung terus terulang di otakku.

Aku bangga padamu, sebagai muridku. Sebagai seseorang yang sungguh mencintai taekwondo dan mempelajarinya dengan motivasi murni..

”Aku punya alasan sendiri.” ujarku berulang-ulang.

Tapi di lain pihak, aku tahu apa yang dikatakan Guru adalah benar. Tidak masalah kalau apa yang kulakukan merugikan diriku sendiri. Tapi, kalau membuat Guru Jung membenciku? Rasanya tidak mungkin aku bisa melakukannya. Akan tetapi, bagaimana dengan perasaanku? Kemana perginya perasaanku? Dengan apa kemarahan ini bisa kuungkapkan?

”Nam Gil? Sedang apa? Tidak makan?” tanya Yoong So sambil mengulurkan sebuah kantong plastik berisi mie yang baru dibelinya. ”Kau paling suka mie ayam di restoran itu, bukan?” tanyanya sambil tersenyum cerah.

”Ya, terimakasih...” ujarku sambil menerimanya. Aneh, mie yang biasanya terasa begitu lezat kini terasa hambar. Rasanya selera makanku sudah hilang, padahal perutku benar-benar lapar.

”Tidak enak?” tanya Yoong So kecewa. Aku tersenyum dan melahap mie itu dengan cepat. Ia tersenyum puas menatapku. ”Latihannya berat?” tanyanya.

”Guru Jung sangat baik, aku menikmati latihan itu...” jawabku sambil menyeruput mie di depanku.

Ada begitu banyak kalimat yang berputar di otakku. Padahal kuharap Guru Jung akan mendukungku, kuharap ia akan menyetujuiku. Kuharap ia bisa mengerti keinginanku.

”Kurasa kau sudah jadi maniak taekwondo.. makanya otakmu sedikit tidak beres. Bisa-bisanya kau menerima pengikut Yeom Jong, si Sung Pil itu sebagai teman...” ujar Yoong So sambil bergidik ngeri. Hee Wong tertawa kecil di sebelahnya, tampak asyik menikmati mie-nya.

”Dia berbeda dari kedua orang lainnya, aku tahu itu,” ujarku.

Entah kenapa ketulusan cara pria itu mengatakan kata ’teman’ membuatku tergugah. Dan sorot matanya yang lucu memang sangat menggelikan, dan sekaligus... kesepian, aku tahu itu. Orang yang kesepian akan bisa mengenali sesamanya, dan jelas, aku termasuk dalam lingkaran itu. Punya keluarga, tetapi tidak benar-benar memilikinya...

”Konyol, kau jadi lembek akhir-akhir ini...” ujar Yoong So setengah menggumam.

”Oh ya? Mungkin sifatku jadi lebih baik darimu. Tapi soal kemampuan? Bagaimana kalau kta coba tanding satu ronde?” tawarku dengan girang.

Hee Wong langsung menggeleng secepat mungkin. Ia melirik ke kiri dan ke kanan, lalu cepat-cepat mengibarkan kain putih yang pertama dilihatnya. ”Menyerah, aku tahu itu. Baiklah, anggap aku salah bicara...” ia melirik Hee Wong, meminta bantuan. Tapi Hee Wong sudah tertawa terbahak-bahak melihat kelakuannya.


─Lee Yo Won, Seoul, 2008 ─

”Sponsor sudah setuju, dan kali ini, tema yang akan kita usung untuk festival olahraga ini mungkin akan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya...” Seung Ho mempresentasikan proposalnya dengan yakin.

”Apakah sponsor sudah konfirmasi? Dan bagaimana dengan stand-standnya?” tanya Kak Seung Hyo memastikan.

”Eun Bin sudah menghubungi mereka dan sudah fixed... kemudian, untuk jadwal acara, Kak Tae Wong dan Yo Won sudah membantuku menyusunnya...” ia menatapku dan Kak Tae Wong dengan tatapan berterimakasih, lalu kubalas dengan senyuman seperlunya.

”Untuk dokumentasi, Kak Ye Jin sudah meminta bantuan pada teman sekelasnya. Dan ini daftar nama tema yang dipakai oleh tiap kelas. Ada yang membuka kafe dan tempat jualan mainan, sementara klub drama dan radio bergabung dalam penyiapan lagu-lagu yang akan diputar dalam festival dan suguhan drama pendek tentang parodi penyelenggaraan festival...”

Aku menatap Seung Ho dengan mengulum senyuman. Berat sekali kalau mencari masalah dengannya. Entah bagaimana cara Seung Ho meyakinkan ketua klub drama untuk mementaskan parodi mengenai kemalasan dan boikot anggota OSIS terhadap dirinya dalam bentuk segar dan lebih humoris, menyindir tapi sekaligus menghibur.

Kak Seung Hyo tersenyum masam mengingat ide parodi itu, tetapi ia setuju. Beberapa tahun terakhir, anggota OSIS memang bertingkah kekanakan. Dan ia juga tidak menyukainya. Seringkali mereka harus dipanggil berkali-kali barulah mereka ikut rapat. Dan seringkali mereka bertingkah di hadapan murid-murid baru.

”Dan kemudian, mungkin ada baiknya kita membahas mengenai keamanan di festival ini. Aku tidak bisa membujuk anggota lain untuk membantu. Barangkali ada yang bisa memberikan masukan? Masalahnya, kalau bisa mendapat bantuan orang yang bisa dipercaya, mungkin tidak akan sulit. Lagipula, kita perlu mengatur konsumsi...” ujarnya sambil melihat rencana kerjanya. Saat-saat seperti ini, peran aktif OSIS sangat menentukan.

”Mungkin kita bisa meminta bantuan anak-anak klub karate...” ujar Kak Tae Wong tiba-tiba. Sedari tadi ia diam saja, tidak disangka akhirnya sebuah ide cemerlang keluar dari bibirnya.

Seung Ho menatap Kak Tae Wong dengan mata berbinar-binar. ”Itu dia! Itu yang kubutuhkan!! Jadi, kita akan menerapkan sistem rolling , atur saja sift keja mereka sehingga mereka bisa bergantian membantu keamanan festival ini...”

”Dan untuk konsumsi,” akhirnya akupun membuka mulutku. ”Kurasa aku bisa membantu. Aku punya sepupu yang ibunya mengelola restoran korea... kurasa ia mau memberi harga murah kalau kita membeli dalam partai besar,” sahutku.

Ye Jin menatapku dengan pandangan─astaga,tidak kupercaya ternyata kau hebat juga─dan wajah yang terlihat senang. ”Aku akan menghubungi Ji Hyun. Benar kata Yo Won, untuk konsumsi kami saja yang mengurusnya...”

Seung Ho menatapku dengan mimik lucu dan menggemaskan. ”Terimakasih karena lagi-lagi aku hanya merepotkan Kak Yo Won...”

”Tidak apa-apa, yang penting acaranya sukses,” ujarku.

Untuk acara ini, kami sudah bekerja mati-matian ibarat kerja romusha. Benar-benar deh, sebenarnya aku sudah berharap bisa tidur cepat malam ini. Tapi tampaknya susah, akan kuhitung berapa jumlah mulut yang harus diberi makan nanti. Ya sudahlah, toh aku sudah terlanjur repot!

Saat kusadari semua mata memandangku, dengan terpaksa kusinggingkan senyuman sepintas. Hh... semoga saja acara ini sukses. Eh, bukan! Maksudku, acara ini harus sukses, apapun yang terjadi!!

--to be continued--

Fanfic The Future and the Past 9

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
NINTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Alcheon: Lee Seung Hyo (memakai nama asli di FF)
Kim Chun Chu: Yoo Seung Ho (memakai nama asli di FF)
Bakui: Jang Hee Woong (memakai nama asli di FF)
Bo Rang: Park Eun Bin (memakai nama asli di FF)
General Ga Baek: Seo Bum Shik (memakai nama asli di FF)
San Tak: Kang Sung Pil (memakai nama asli di FF)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

”Nam Gil?” suara ketukan pintu membangunkanku. Kepalaku terasa sakit, demikian juga dengan bahuku. Secepat aku bangun, secepat itu pula rasa nyeri menghantam bahuku yang dipenuhi perban.

”Ya,” sahutku malas. Kedengarannya Papa. ”Masuk saja, Pa...” panggilku. Papa masuk beberapa detik kemudian, dan wajahnya tampak muram, semuram senja.

”Kau baik-baik saja...?” tanyanya sambil menatap bahuku yang penuh perban. Sial, seharusnya kugunakan saja kaos lengan panjang kemarin, bukannya kaos oblong seperti ini. ”Kelihatannya bahumu luka parah kemarin... Berkelahi?”

”Tidak,” jawabku cepat. ”Hanya orang aneh yang tiba-tiba mencari masalah...” jawabku. Yah, tidak ada salahnya kalau tidak menceritakan seluruh ceritanya bukan?

”Dulu Papa juga pernah seusiamu... kadang kala memang kami berkelahi, dan tidak jarang pulang babak belur,” ia menatapku dengan pandangan menerawang. ”Kalau kuingat, aku tidak pernah memarahimu, bukan?”

”Ya,” jawabku. Papa tidak pernah memarahiku, hanya menasihati panjang lebar. Dan ikat pinggang pun ia gunakan kalau amarahnya sudah melebihi ambang batas. Tapi itu dulu, dan untuk kesalahan yang tidak pernah kulakukan.

Ia menarik senyuman tipis dan menghela nafas. ”Apa kau ingin kumarahi, Nam Gil?” tanyanya dengan pandangan mata prihatin.

”Tidak perlu, kurasa,” jawabku sambil memutar bola mataku. ”Maaf merepotkan semalam...” ujarku menyesal.

Satu-satunya hal yang membuatku merasa tidak nyaman adalah karena perkelahian kami akhirnya melibatkan pihak kepolisian. Aku terpaksa ikut ke kantor untuk memberi kesaksian. Hee Wong dijamin oleh seorang wanita bernama Nam Ji Hyun. Dan aku? Tidak ada yang bisa kuhubungi selain Papa.

”Kudengar dari Tae Wong, kau berkunjung ke SMA tempatnya mengajar karate?” tanya Papa memastikan. Sialan, dia mengadu? Dengan malas aku mengangguk. ”Dia bilang seisi sekolah menanti kedatanganmu ke sana... Kudengar minggu depan mereka mau mengadakan festival olahraga...”

”Oh ya?” sejenak kurasakan siraman semangat memenuhiku. Apa mereka mulai mengakui keberadaanku? ”Apa aku boleh ke sana?” sejurus kemudian aku menyesali pertanyaanku itu. untuk apa kutanyakan? Sampai sekarang aku tidak tahu. Barangkali sikap Papa yang sejenak tampak seperti seorang Papa memicuku untuk melakukannya, meminta ijjinnya.

”Kenapa tidak?” jawabnya sambil tersenyum, tanpa rasa curiga setitikpun.

”Aku.. berpikir... mungkin sebaiknya aku ke sana lagi, dan mencoba melamar sebagai pelatih taekwondo, atau mungkin.. basket?” pancingku. Atau mungkin, karate? Tapi itu tidak kutanyakan. Terlalu mencurigakan.

”Olahraga merupakan penyaluran bakat yang positif, kenapa tidak? Cobalah!” ujarnya sambil tersenyum bangga. Aku membalas dengan senyuman. Setengah dadaku menyuarakan keraguan untuk pembalasan dendam.


─Lee Yo Won, Seoul, 2008 ─

Ketika pintu ruang rapat kubuka, kukira tidak ada seorang pun di sana. Tetapi, ternyata aku salah. Di pojok ruangan, Yoo Seung Ho duduk sambil menekuk lutut. ”Hai,” sapaku. Tapi ia hanya menatapku dengan pandangan dingin. ”Mana yang lain?” tanyaku, lalu cowok itu menghela nafas dan menutup matanya kesal.

”Kalau Kak Seung Hyo, dia latihan karate jadi dia tidak datang, sedangkan mereka? Tidak ada Kak Seung Hyo, mereka tidak mau datang,” jawabnya setengah berbisik, setengah menggumam. ”Kau bawa notulen yang kuminta?”

”Ya, tentu saja,” jawabku. Kuserahkan CD yang kubawa di tasku. ”Di sana juga ada proposal dan jadwal acara kegiatan tahun lalu, simpan saja, siapa tahu berguna...”

”Entahlah,” jawabnya malas. ”Cuma kau yang datang, apa kita masih perlu mengadakan rapat?”

”Seung Ho...” panggilku. Ia menatap ke kejauhan dengan wajah tertekuk.

”Mereka meremehkanku karena mengira usiaku terlalu muda untuk menjabat sebagai wakil OSIS!” ia menggebrak meja dengan perasaan dongkol. Aku menatapnya dengan pandangan kasihan.

”Kau tahu, dulu Kak Seung Hyo juga mendapat perlakuan yang sama. Jadi kau tidak boleh menyerah. Ia bisa membuktikan kemampuannya, jadi kurasa kau juga bisa. Lagipula, kau tidak sendirian... Ada aku...” tukasku, berusaha menyemangatinya.

Seung Ho hendak membantah ketika tiba-tiba sebuah suara ikut bicara. ”Ada aku juga!!” seru suara itu. Ternyata Park Eun Bin, seorang anggota OSIS baru, ia ditunjuk sebagai seksi seni. ”Maaf, aku terlambat. Tadi ada klub melukis,” jawabnya sambil tersenyum.

”Permisi,” ujar sebuah suara diiringi ketukan pintu. Ye Jin dan Kak Seung Hyo serta Kak Tae Wong masuk berbarengan. Bisa kurasakan wajah bingung mereka karena tidak ada anggota lain di ruangan itu. Kutatap mereka dan kemudian kutatap Seung Ho dengan puas. Dan bisa kurasakan binar mata Seung Ho mulai muncul kembali.

”Jadi, totalnya ada enam orang. Aku, Seung Ho, Eun Bin, Ye Jin, Kak Seung Hyo dan Kak Tae Wong.... bagaimana?”

Seung Ho menatapku dengan pandangan berterimakasih sekaligus puas. Ia menarik nafas dalam-dalam dan berujar dengan suara keras. ”Baiklah, semuanya duduk! Rapat dimulai sekarang!!”



”Menurutku anak itu hebat juga, ya...” puji Ye Jin untuk kesekian kalinya. Aku juga mengangguk, untuk kesekian kalinya. ”Dia tetap bersemangat walaupun anggota OSIS sebagian besar mengerjainya. Dasar, dari dulu mereka memang kekanak-kanakan!!” tanpa sadar, ia sewot sendiri.

Aku tertawa menanggapinya. ”Dia memang hebat,” kalau kuingat, beberapa saat lalu wajahnya masih tertekuk marah. Namun sedetik kemudian, hanya dengan 6 orang, semangatnya sudah kembali. Itu suatu awal yang baik, pikirku.

”Jadi, apa festivalnya bisa dilaksanakan tepat waktu ya, minggu depan?” tanya Ye Jin bingung. ”Kalau hanya kita berenam, apa bisa?”

”Lebih baik 6 orang kompeten daripada 100 orang tapi tidak bisa apa-apa...” jawabku. Ye Jin tersenyum setuju, dan ikut mengangguk.

Biar bagaimanapun, festival olahraga sudah menjadi tradisi semester SMU West High. Dan menurut perkiraanku, Seung Ho tidak akan gagal karena festival ini, melainkan, festival inilah yang akan mengangkat namanya. Ia akan berhasil. Karena setidaknya, ia punya kami semua yang siap mendukung kesuksesan acara ini.



─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

”Nama pria itu adalah Seo Bum Shik. Kelihatannya dia ada hubungan keluarga dengan Yeom Jong. Kalau tidak salah, saudara sepupunya atau apalah itu...” ujar Hee Wong padaku.

”Kau menyelidikinya untukku?” tanyaku tidak percaya. ”Sudahlah, tidak penting. Dan kalau boleh kutambahkan, aku tidak kaget. Sifat brutalnya mengingatkanku pada Yeom Jong...”

”Yah,” Hee Wong mengedikkan bahunya sedikit. ”Sifatnya jadi menyebalkan juga mungkin karena tumbuh di keluarga semacam itu...” ia menghentikan langkahnya dan menunjuk ke depan. ”Lihat! Ada yang dikeroyok di sana...!!” serunya dengan wajah kesal. ”Kenapa mereka beraninya main keroyokan sih?”

”Tidak masalah, ayo kita bantu orang itu,” ajakku. Dan dalam waktu singkat kami sudah terlibat di sana, memukul dan meninju. Setelah selesai berkelahi dan orang-orang pengecut itu lari, aku baru ingat bahuku terluka. Sekarang lukanya berdenyut-denyut dan terasa menyakitkan.

”Nam Gil! Tanganmu!” seru Hee Wong kaget.

Kulihat darah kembali mengalir pelan. Dengan bantuan Hee Wong, kueratkan ikatan perban di lenganku. Semangatku langsung turun melihat sosok yang mati-matian kubantu, ternyata Kang Sung Pil. ”Apa sih yang kau lakukan?” tanyaku dengan jengkel.

”Aku tidak melakukan apapun, mereka tiba-tiba mencegatku dan menodongku. Enak saja, makanya aku melawan. Tahu-tahu aku dikeroyok yo...” jawabnya dengan wajah pucat. Sudut matanya biru dan beberapa bagian pipinya lebam.

”Tapi kau tidak minta bantuan Yeom Jong, kau lumayan jantan juga,” ucapku sambil menatapnya dan menggeleng kagum. ”Tampaknya kau lebih baik daripada teman-temanmu...”

Ia tersenyum bangga, tampaknya tidak menduga aku akan memujinya ”Terimakasih, yoo... dan terimakasih sudah membantuku.. Lukamu bagaimana, yo?”

”Oh? Ini? Tidak apa-apa.. sebentar juga sembuh...” ujarku pelan.

Ia menatapku dengan pandangan kagum. Entah kenapa aku tidak bisa menahan tawaku karena dalam sekejap tatapan matanya terlihat begitu lucu. ”Kau kenapa, sih?” tanyaku bingung. ”Ayo, Hee Wong, kita pergi...” ajakku sambil menolehkan kepala sedikit.

”Aku ingin jadi muridmu yo!!” teriaknya.

Sejenak aku memandangnya seolah ia manusia paling tidak waras di dunia. Mana mau aku menerima pengikut Yeom Jong sebagai muridku? Lagipula, sejak kapan aku jadi guru? Padahal aku sendiri punya guru, yaitu ayahnya Jung Yong Soo, Pak Jung Ho Bin. Jadi, mana mungkin?

”Aku tidak pernah punya murid,” senyumku. ”Tapi mungkin, sebagai teman?” tawarku. Ia tersenyum dan berdiri, lalu menjabat tanganku penuh semangat.

”Teman! Kau adalah temanku yo!!” ujarnya sambil tersenyum lebar. ”Aku janji akan setia padamu!!” jawabnya. Dengan senyum kubalas semangatnya. Yah, semoga saja kau bisa setia, bahkan walau di depan Yeom Jong sekalipun, pikirku.

”Ayo Hee Wong, Pak Jung menunggu kita,” ujarku sambil berjalan pergi. Luka di bahuku pelan-pelan berdenyut menyakitkan. Hah! Lagi-lagi! Kuharap bahuku sudah sembuh sebelum festival itu dimulai!!

---to be continued--

Rabu, 24 Maret 2010

Fanfic The Future and the Past 8

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
EIGHTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Young Bakui: Joo Sang Won as Wolya brother (real name: Seo Sang Won)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Alcheon: Lee Seung Hyo (memakai nama asli di FF)
Wolya: Joo Sang Wook (memakai nama asli di FF)
Kim Chun Chu: Yoo Seung Ho (memakai nama asli di FF)
Bakui: Jang Hee Woong (memakai nama asli di FF)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Lee Yo Won, Seoul, 2008 ─

Padahal ia baru muncul kemarin, tapi hampir semua penghuni sekolah membicarakan desas-desus kemunculan cowok aneh itu, Kim Nam Gil.

“Kau mengenalnya, Yo Won?” Tanya Kak Seung Hyo padaku. Rasanya itu pertanyaan yang sudah kujawab untuk kelima kalinya hari ini. Sebelumnya Sang Won, Kak Tae Wong, Kak Sang Wook, dan bahkan si centil Yoo Jin sudah bertanya padaku. Itu belum termasuk Ye Jin yang berulang kali menanyakan detail pertemuanku dengan Kim Nam Gil. Dan anak-anak lain yang kujawab sambil lalu.

Aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Tidak mungkin kan kujawab, aku tidak mengenalnya, hanya kebetulan bertemu dengannya di depan WC pria, dan karena ia mulai tidak sopan, aku menendang selangkangannya.

Tidak mungkin kan? Kalau kukatakan begitu, entah berapa banyak orang yang akan mengataiku cewek barbar. Cukup satu yang mengatakannya. Dan selain Kim Nam Gil, yang ─dalam waktu dekat akan kubuat berhenti─memanggilku begitu, kuharap tidak ada jumlah panggilan aneh untukku.

”Aneh sekali ya? Dia sepertinya sama sekali tidak mirip dengan Kak Tae Wong, namun, sampai saat ini Kak tae Wong juga diam saja, tidak mengatakan apapun...” gumam Kak Seung Hyo. Sebagai ketua OSIS, ia juga sangat aktif di klub karate.

”Oh ya, wakil ketua OSIS kita, Seung Ho juga mau bertemu denganmu,” ujar Kak Seung Hyo sambil menatapku dalam-dalam.

”Baiklah, aku tahu, akan kutemui ia nanti... Aku harus membantu Ye Jin mencatat skor latihan dulu...” jawabku. Begitu latihan klub selesai, rupanya adik kelasku itu sudah menungguku di depan ruang aula.

”Tidak mengganggu, bukan?” tanyanya dengan sopan. Sikapnya sangat tepelajar dan terlihat intelektual. Selain itu, wajahnya juga cukup manis untuk ukuran cowok SMA. Bisa kutebak, ia pasti tipe cowok populer.

”Tidak, ada apa?” tanyaku sambil tersenyum dan melangkah keluar. Ia mengeluarkan map dan menilik isinya, lalu menatapku.

”Apakah kau menyimpan semua data notulen rapat tahun lalu?” tanyanya sambil memandangku dengan kedua bola matanya yang serius. Aku mengangguk cepat dan dalam sekejap senyum mengembang di wajahnya. ”Kalau begitu, bisa nggak aku minta print-out rapat festival olahraga tahun lalu?” tanyanya lagi.

”Baiklah, kapan mau diambil?” tanyaku sambil mengingat-ngingat nama folder tempat dokumen itu kusimpan. Hmm, kayaknya sih masih ada, bahkan karena saat itu aku takut sekali data itu hilang, aku membuat satu CD khusus.

”Besok, saat jam istirahat...” ujarnya, dan ketika aku mengangguk menyanggupi, ia segera pergi dengan bersemangat. Oh ya, pantas saja. Iini kan tanggung jawab pertamanya. Rasanya menarik juga melihat bagaimana caranya bekerja.

”Hei, Yo Won!!” panggil seseorang. Aku menoleh dengan malas. Siapa sih anak ini? Pikirku saat melihatnya. Dan begitu ia membuka mulutnya, mengemukakan pertanyaan yang sama, dengan kesal aku menjawab.

”Aku tidak kenal dengan cowok itu! Cukup dan jangan tanyakan apapun lagi padaku!!!”” jawabku dengan ketus. Dengan kesal aku melangkah pergi dari tempat itu.

─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

”Bagaimana?” tanya Hee Wong sambil meneguk birnya. Ia tertawa melihat wajahku yang puas. “Jadi? Kau sukses menorehkan jejakmu di sana?”

“Lumayan,” jawabku. Akhir-akhir ini tiap mengingat kesuksesanku, yang kerap terbayang di benakku adalah sosok gadis barbar itu. Hah! Kenapa harus dia sih?! Pikirku gemas. Dan kilasan aneh macam apa itu? Kenapa tiba-tiba aku bias membayangkan hal seaneh itu? Rasanya film seperti itu tidak pernah kutonton sebelumnya? Aah, mungkin aku terlalu banyak pikiran akhir-akhir ini…

“Nam Gil? Halloo…? Dengar suaraku tidak?” ia mengibas-ngibaskan tangannya jengkel di depanku. Aku segera tersenyum masam menanggapi caranya memanggilku.

”Menyebalkan, tahu. ” ujarku sambil memaksa tangannya bergerak turun. Ia tertawa lalu mendorong sekaleng bir ke arahku. ”Tidak, aku tidak minum...” elakku.

”Minum sedikit, kelihatannya kau banyak pikiran akhir-akhir ini...” tukasnya sambil tersenyum. Ia menghela nafas sebentar. Dan dari pandangan matanya yang menerawang, aku tahu ada sesuatu dalam pikirannya.

”Kau sendiri juga ada masalah,” ujarku sambil menerima kaleng itu dan membukanya. ”Wanita?” tebakku, dan dengan segera ia menyemburkan bir di mulutnya ke orang di samping kami.

”Uhuk-uhuk...” ia terbatuk sambil sibuk meminta maaf. Namun terlambat, wajah di samping kami terlihat sangat berang. ”aku minta maaf,” ujarnya lalu melirikku, memintaku membantunya bicara. Yah, apa boleh buat, biar bagaimana pun, aku yang membuatnya batuk seperti itu.

”Maaf, ia sedang mabuk,” ujarku bermaksud sopan. Namun orang itu tampaknya sudah kehilangan akal sehatnya. ”Jangan macam-macam,” ujarku ketika ia menarik kerah bajuku.

”Apanya?! Kau berani menantangku!? Kau kira temanmu ini tidak perlu bayar ganti rugi!? Kau tahu berapa harga bajuku?!” ia marah-marah.

Aku mengangkat daguku dan menatapnya tajam. Wajah orang ini sangat familiar untukku. Dan sikapnya yang menyebalkan ini, membuatku teringat akan Yeom Jong. Hah! Sialan! Untuk apa mengingat orang itu!

”Apapun itu, lepaskan tanganmu dari bajuku!” ujarku sambil menepis tangannya. ”Memangnya sulit menghapus noda bir dari bajumu? Rasanya tidak, dan kalaupun sulit...” aku mengeluarkan dompet dan melempar sejumlah uang ke wajahnya. ”Gunakan ini untuk biaya laundry-mu!!”

Wajah cowok itu merah padam sampai ke telinga, sementara Hee Wong pucat pasi melihat gayaku yang terlihat menantang dan angkuh. ”Brengsek!!” ia melompat dan berusaha menubrukku, secepat itu pula aku menghindar.

PRANGGGG!! PRANGG!! Ia jatuh dan menubruk beberapa meja dan menumpahkan semua yang ada di atasnya. Beberapa botol dan piring pecah berserakan. ”Hee Wong, ayo pergi,” ujarku sambil melangkah dengan cepat. ”Biar ia saja yang bertanggung jawab...”

”Nam Gil! Kurasa aku yang salah,” ujar Hee Wong sambil menatap pemilik kedai dengan iba. ”Biar kuganti kerugiannya...”

”Terserah, ” jawabku cuek. ”Kalau begitu, aku tunggu di sini saja...” ia buru-buru pergi dan memberikan uang ke si pemilik kedai.

Dari sudut mataku, aku melihat pria itu bangun dengan kepala memar. Beberapa kali ia mengusap kepalanya, dan kemudian matanya yang marah tertuju ke arah Hee Wong.

”Awas!!” seruku tepat ketika pria itu mengambil pecahan botol dan berlari kalap ke arah Hee Wong. Sekuat tenaga aku berlari untuk mencegahnya melukai sahabatku. Dan kemudian, rasa sakit yang teramat sangat menghujam bahuku.

”Nam Gil!!” seru Hee Wong.

Dalam sekilas, pemandangan sekitarku memudar, berganti menjadi sebuah lapangan tandus. Dan hari itu sore atau siang aku tidak tahu. Yang jelas, ada begitu banyak prajurit mengelilingiku. Dan ratusan anak panah terbang ke arahku. Aku meloncat dan menghindar, menggunakan tubuh seorang prajurit yang tergeletak dekatku sebagai tameng. Dan kemudian rasa sakit dan tajam akibat hujaman anak panah terasa di bahuku. Sebuah luka akibat gesekan dan tusukan sebuah anak panah.

”Nam Gil!? Kau tidak apa-apa?!” aku membuka mata dan menggeleng dengan cepat. Beberapa kali kukerjapkan mata. Rasanya kepalaku sakit dan sekaligus pusing.

”Tidak apa-apa,” jawabku sambil menatap Hee Wong. Ia menatap bahu kananku dengan ngeri.

”Bahumu!!” serunya sambil meringis.

”Tidak begitu sakit,” elakku. Kurasakan keringat dingin mengalir di pelipisku. Kilasan apa itu tadi? Kenapa rasanya begitu nyata? ”Mana pria itu?” tanyaku bingung. Suasana di depanku terlihat kacau.

”Beberapa pengunjung membantu menahannya... Gila, ia bahkan tetap menyumpah serapah dari tadi. Tapi, ngomong-ngomong, gerak refleksmu hebat sekali,” pujinya sambil berdecak kagum. ”Tidak salah Guru Jung kagum padamu...”

”Hebat bagaimana?” tanyaku bingung. Rasanya selama mengalami fase kilasan-kilasan itu, aku tidak sadar telah berbuat atau melakukan sesuatu, appaun itu.

”Begitu bahumu kau gunakan untuk menerima serangannya, tangan kirimu memutar lengannya, memiting dan menguncinya. Itu sebabnya orang-orang berhasil menahannya tadi...”

”Oh, begitu kah?” tanyaku, antara sadar dan tidak. Hee Wong lagi-lagi menatap tanganku dengan ngeri. Dengan bingung, kutatap lenganku. Hah! Pantas saja rasanya sakit, rupanya dari tadi darah terus mengalir dari bahuku, menciptakan aliran panjang, membuat lengan kemejaku yang tadinya biru kini berwarna merah kehitaman.

---to be continued--

Sabtu, 20 Maret 2010

Fanfic The Future and the Past 7

-------------------------------------------------------------------------------------------------
SEVENTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Young Bakui: Joo Sang Won as Wolya brother (real name: Seo Sang Won)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Alcheon: Lee Seung Hyo (memakai nama asli di FF)
-------------------------------------------------------------------------------------------------

─ Kim Nam Gil, Seoul, 2008 ─

Test masuk berjalan dengan baik, demikian pula pertemuanku dengan kawan lamaku. Kupikir semua itu akan menjadi pertanda baik bagiku. Hari ini mungkin langkah awalku untuk menorehkan nama di West High, tempat di mana Tae Wong menjadi instruktur karate. Dimana ia melangkah, aku akan menghapus bayangannya. Akan kubuktikan kalau aku bisa melebihi kemampuannya sebagai instruktur karate. Aku akan mengalahkannya di depan umum.

Tapi sepertinya rencanaku mulai kacau balau karena waktu kedatanganku tidak tepat. Begitu kakiku memasuki aula latihan, ia ternyata tidak berada di sana dan entah dimana dia. Tentu saja aku tidak akan membiarkan waktuku terbuang percuma.

Aku melangkah dan bertanya ke seorang gadis yang terlihat cukup menarik, duduk di ujung dengan mengenakan kaos putih dan name tag bertuliskan manajer. ”Apakah kau menajer di sini?” Pertanyaan konyol, Nam Gil, pikikrku geli.

Gadis itu mengangguk dan tersenyum. ”Ada yang bisa kubantu?” tanyanya sopan.

”Dimana Tae Wong?” tanyaku sambil menatap sekeliling. ”Dia tidak kulihat di sini...”

”Kak Tae Wong? Umm.. dia sedang menghadap kepala sekolah, ada rapat evaluasi,” jawabnya singkat. Ia tersenyum. ”Ada apa, ya?”

”Apa aku boleh mencoba melawan anak-anak di sini?” tanyaku sambil tersenyum terpaksa. Sialan, timingnya kurang tepat. Bisa-bisanya dia menghilang saat aku ingin menguji perkembangan taekwondo ku.

”Bukannya tidak boleh, tapi, bukankah seharusnya kau bicara dulu pada Kak Tae Wong?” tanyanya ragu. Tapi aku segera berjalan ke anak yang terdekat denganku. ”Hei, tunggu!” teriak gadis itu gugup.

Aku tersenyum pada anak di depanku dan bertanya apa aku boleh membantingnya. Tampaknya ia tersinggung dan dengan segera anak-anak itu berkeliling di sekitarku, menyerangku bersamaan. Hah! Mudah sekali menghasut mereka. Gadis itu berteriak menghentikan, namun usahanya sia-sia.

Aku bersiap di posisiku dan bergerak menghindar setiap kali mereka menyerang. Laki-laki hampir semuanya begitu. Walaupun para gadis melarang, kalau mereka terlanjur merasa diremehkan, mereka tidak akan menerimanya, dan itu wajar. Dalam sekejap kami sudah terlibat adu kekuatan di tengah lapangan.

Satu per satu kubanting dan berjatuhan. Namun semangat mereka lumayan juga. Ada satu yang paling lumayan di antara mereka. Cowok itu menatapku dengan matanya yang sipit. ”Kau tampaknya yang paling lumayan di sini,” pujiku. Bisa dibilang itu pujian tertinggiku hari ini. ”Siapa namamu?” tanyaku lagi.

”Seung Hyo,” jawabnya sambil tersenyum. Dan ia maju bergerak. Butuh waktu lebih untuk membantingnya.

”Akan kuingat namamu, Seung Hyo,” ujarku sambil berdiri. Lalu, tiba-tiba setelah beberapa anak berikutnya kubanting, terdengar suara seperti kursi dan benda lainnya jatuh. Semua perhatian teralih ke sana. Pertandingan usai, atau paling tidak, babak pertamaku selesai. Semua karena seorang gadis yang berdiri di sebuah kursi dekat gadis manajer itu jatuh.

Sejenak dadaku berdebar keras. Apakah gadis itu tidak apa-apa? Hhmm, aneh juga ya? Kenapa tiba-tiba ia jatuh? Ia tampaknya menoleh dan mengatakan pada manajer itu kalau ia tidak apa-apa, namun begitu kakinya bergerak, ia terhuyung ke arahku. Otomatis aku menangkapnya. Dan saat itu pula, tubuhku terasa kaku dan membeku.

Di dalam kilasan itu aku adalah seseorang, entah siapa. Dan dihadapanku ada seorang wanita. Dalam pelukanku, dan ia mendorongku, melepaskan pelukanku.

“Selama saya adalah penguasa tidak ada yang bisa memilikiku”, tegasnya. Aku merasakan perasaan aneh, seperti perasaan tersingkirkan, dan penolakan. Bisa kulihat bagaimana aku terhenyak dan terluka.

Namun kilasan lain muncul. Kali ini di dalam sebuah tempat yang rasanya asing sekaligus tidak asing. Sebuah ruangan dimana pendar cahaya lilin memenuhi ruangan itu. Wanita yang sama, dan kali ini ia tidak menolak pelukanku.

Kepalaku sedikit pusing saat kesadaranku kembali. Kutatap gadis yang masih berada dalam pelukanku. Ia juga tidak bergeming. Mungkin jatuhnya keras sekali tadi? Aku bahkan tidak melihat apakah ia jatuh dengan bokong terlebih dulu atau badan terlebih dulu? Well, dua-duanya sama sakitnya, tapi kalau boleh memilih, mungkin lebih baik jatuh dengan bokong lebih dulu.

”Kau tidak apa-apa?” tanyaku ragu. Ia mengangkat wajahnya dan dalam sekejap darahku naik ke kepala. Dia kan gadis yang waktu itu menendang selangkanganku!? ”Kau!?” tanyaku terkejut. ”Kau rupanya!?” dengan cepat aku melepaskan pelukanku. Ia sedikit terhuyung namun berhasil berdiri tegak. Dengan kesal kutatap matanya yang menatapku. ”Kalau aku tahu itu kau...”

”Kau tidak akan menolongku?” tanyanya, memotong kalimatku. Aku terdiam dan menatapnya. Apakah aku setega itu, tidak akan menolongnya? Rasanya tidak. Hah, Nam Gil, kau benar-benar anak baik! Pujiku pada diriku sendiri.

”Lupakan kalimatku! Kau baik-baik saja?” tanyaku cepat, sambil berusaha menekan nada suaraku sewajar mungkin. Jangan sampai ia mengira aku sudah memaafkan perbuatannya waktu itu.

”Tidak usah khawatir,” jawabnya pelan. ”Tidak apa-apa,” balasnya sambil tersenyum. Anehnya, perasaanku terasa sangat lega mendengar jawabannya. Buru-buru kutepis perasaan konyol itu.

”Siapa yang khawatir!” ujarku sengit. ”Bagus kalau tidak apa-apa! Konyol sekali tiba-tiba jatuh saat pertandinganku berlangsung!”

”Hei, kenapa sih kau kasar sekali!” tanyanya ketus. ”Baru saja aku merasa kau orang yang baik! Eh, nggak tahunya begini!”

”Terserah seperti apa aku di matamu! Yang jelas, penilaianku atas dirimu belum berubah, dasar gadis barbar!”

”Aku bukan gadis barbar!!” gadis itu menjawab dengan wajah memerah. Ia menatap sekeliling dengan malu. Beberapa berbisik, sepertinya membicarakannya. Membicarakan kami. Dan membicarakan apapun itu yang membuat mereka tertarik.

”Kau mengenalnya?” tanya si manajer. Kalau ia berdiri berdampingan dengan gadis itu, mereka berdua terlihat dekat. Dan rasanya ada sesuatu... mungkin mereka bersaudara?

”Ya, Ye Jin, dia pria yang kuceritakan itu. kau tahu, yang kutendang...” gadis itu berbisik pada si manajer. Oh, jadi namanya Ye Jin?

”Minta maaflah podanya,” bujuk si manajer. Lantas ia menatapku. “Apakah Yo Won ada hubungannya dengan kekacauan ini?” tanyanya heran.

“Tidak juga,” tukasku sambil menatap semua mata yang memandangku.

Aku baru ingat, namanya Yo Won. Yo Won... rasanya ada yang menggelitik saat mencoba menyebut namanya. Baiklah, sementara kupanggil gadis barbar saja. lagipula melihat wajahnya merah padam, rasanya lucu juga.

”Tae Wong masih lama tidak? Urusanku hari ini hanya dengannya. Tidak ada hubungannya dengan gadis itu..” ujarku sambil menunjuknya dengan daguku.

”Biasanya sih kalau bertemu kepala sekolah kami, paling tidak makan waktu satu jam...” jawab si manajer, maksudku, Ye Jin sambil melihat arlojinya. ”Yo Won,” ia menyenggol gadis barbar itu lagi. ”Minta maaf sana...”

”Tapi dia sudah mempermalukanku...” ujar si barbar dengan wajah merah padam. Tiba-tiba terdengar suara dari salah satu kerumunan.

”Ah!!” seru suara itu. ”Aku ingat sekarang!!” ujar seorang anak lelaki yang lantas maju dan menghampiriku, Ye Jin, dan si cewek barbar. ”Kau cowok yang waktu itu datang waktu pertandingan kan?” tanyanya. Ia masih ngos-ngosan dan berkeringat. ”Kalau tidak salah, yang waktu itu bersitegang dengan Kak Yo Won?” tanya anak itu lagi.

Aku menatap wajah itu dan mengenalinya. Ia anak laki-laki yang menghampiriku pada adegan paling memalukan dalam hidupku. Berlutut kesakitan karena bagian vitalku ditendang seorang gadis di depan WC pria. Sialan!




─ Lee Yo Won, Seoul, 2008 ─

“Oh, Sang Won, tidak perlu mengulangi kejadian itu…” tegurku sambil menatapnya marah. “Kalau kau membeberkan semuanya di sini, masalah bisa jadi lebih rumit,” ujarku kesal.

Sang Won menggaruk kepalanya malu. “Maafkan aku, Kak Yo Won, hanya saja aku baru ingat. Dia pria yang waktu itu kan? Yang berlutut di depan WC karena....”

”Sang Won!! Stop kataku!!!” teriakku kesal. Aku semakin terkejut karena cowok itu ikut menghardik Sang Won. Dan bahkan ia mengucapkan kalimat persis sama denganku. Dan memanggil Sang Won dengan nama seolah memang mengenalnya. Kebetulan yang aneh, sekaligus menyebalkan.

“Ups, sebaiknya aku menyingkir…” ujar Sang Won pada dirinya sendiri. Ia lantas tertawa dan tersenyum kagum pada si pria aneh. “Tapi, harus kuakui, kau sangat hebat! Teknik bantingan dan tendangan yang bagus! Kau belajar apa?”

“Taekwondo,karate, basket…” jawab cowok itu sambil menatap Sang Won dengan pandangan menyelidik. Sepertinya ia bersikap waspada, mengantisipasi agar Sang Won tetap menjaga mulutnya. “Kau juga punya kecepatan pukulan kanan yang bagus,” pujinya.

Aku menatap Ye Jin yang dengan segera menahan nafas. ”Kenapa?” tanyaku sambil meliriknya yang sedang menatap si pria aneh dengan sebutan kagum.

“Dia tahu kalau kelebihan utama Sang Won adalah kecepatan pukulan kanannya, padahal mereka hanya bertanding cepat..” jawab Ye Jin sambil melihat catatan yang dibuat oleh Kak Tae Wong sebagai pelatih.

Berarti dia bukan cowok sembarangan, pikirku. “Siapa sih dia?” tanyaku pada Ye Jin. Ye Jin hanya mengangkat bahunya, bingung. Kurasa ia sama penasarannya denganku.

“Apa-apaan ini!!” ujar seseorang dari arah pintu. Kami semua serentak menatap Kak Tae Wong yang berdiri dengan pandangan bingung sekaligus tampak berang karena suasana aula latihan benar-benar kacau.

“Hai, Kak...” sapa si pria aneh dengan senyuman samping. Harus kuakui, senyumannya sangat menarik. Entah kenapa, mataku tidak bisa berhenti melihat senyumannya, sekalipun senyum itu adalah senyum mencemooh untuk Kak Tae Wong.

”Nam Gil!” seru Kak Tae Wong sambil berjalan cepat ke arahnya. ”Apa-apaan ini! Kenapa kau di sini dan apa yang baru saja kau lakukan!?” tanyanya kesal, menuntut penjelasan dan merenggut bagian bahu baju cowok itu.

Oh, jadi ia bernama Nam Gil? Dan kelihatannya ia bersaudara dengan Kak Tae Wong. Tunggu, apa ya marga Kak Tae Wong? Hmm... Kang? Bukan. King? Bukan, oh ya, Kim. Jadi namanya... Nam Gil, Kim Nam Gil?

Entah kenapa sambil berpikir, kurasakan jantungku berdebar aneh. Kenapa sih hanya memikirkan namanya perasaanku jadi aneh.

”Hanya sekedar memberikan salam,” ia menepis tangan Kak Tae Wong sambil tersenyum tenang. ”Kapan-kapan aku datang lagi,” ujarnya sambil melenggang pergi begitu saja. ia membungkuk untuk mengambil tas ranselnya dan berjalan ke pintu lalu pergi.

Tanpa salam apapun, ia pergi begitu saja. Rasanya sebagian hatiku terasa jengkel. Sebagian lagi dipenuhi rasa penasaran yang begitu kuat. Bukankah mereka keluarga? Apa tujuannya bersikap begitu ke kakaknya sendiri? Benar-benar lelaki tidak sopan!!

”Cowok yang aneh,” gumamku, disusul anggukan Ye Jin.

”Tapi, menurutku dia keren!” puji Sang Won kagum. ”Dan dia benar-benar kuat!” lagi-lagi Ye Jin mengangguk.

Kali ini ia memandangku dengan serius. ”Menurutmu, kalau berhadapan dengan Kak Tae Wong, siapa yang menang di antara mereka?”

”Apa itu penting?” tanyaku bingung. Ye Jin kenapa malah tertarik hal semacam ini sih?

”Menurutku, mereka akan seimbang...” jawab Sang Won.

”Tapi, coba lihat dia! Dia mengalahkan murid sebanyak ini dan tidak terlihat lelah! Aku jadi ragu, jangan-jangan dia bisa mengalahkan Kak Tae Wong!!”

Aku mengangkat bahu dan diam. Tapi dalam hati, aku menyetujui pendapat Ye Jin. Cowok bernama Kim Nam Gil itu tampaknya benar-benar misterius. Dan selain itu, wajahnya tampan, walaupun tidak mirip sedikitpun dengan Kak Tae Wong.

Semakin kupikir, rasanya otakku semakin berkabut. Ah, masa bodohlah. Pertemuan pertama adalah bencana. Yang kedua musibah. Tidak akan ada yang ketiga!! Tidak akan!!

---to be continued---

PS: sumber dialog Deokman dan Bidam:
http://nana-catatanku.blogspot.com/p/queen-seon-deok.html
www.imperor-angel.blogspot.com

Fanfic The Future and the Past 6

-------------------------------------------------------------------------------------------------
SIXTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Park Jung Chul: Kim Yong Soo: Jung Yong Soo
Bakui: Jang Hee Woong (memakai nama asli di FF)
Ho Jae: Go Yoon Hoo (memakai nama asli di FF)
Park Jung Chul: Kim Yong Soo: Jung Yong Soo
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Yeom Jong (tetap)
San Tak: Kang Sung Pil (memakai nama asli di FF)
-------------------------------------------------------------------------------------------------

─ Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

“Test akan segera dimulai, harap semuanya menyiapkan kartu peserta dan alat tulis di meja..” ujar panitia mengumumkan.

Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan. Semalaman aku tidak berhasil belajar. Setelah Hee Wong menelepon, Jung Yong Soo dan Go Yoon Hoo ganti-gantian meneleponku hanya untuk menanyakan keadaanku dan memastikan kedatanganku ke tempat yang dijanjikan. Mereka kadang bisa kekanakan sekali. Hah! Kalau kali ini aku tidak bisa menjawab soal-soal, mereka harus mentraktirku habis-habisan!!

Panitia menatap sekeliling dan mengumumkan sudah tiba waktunya mulai mengerjakan. Bersamaan dengan itu, speaker di ruangan mengumandangkan bahwa ujian masuk sudah dimulai. Aku membalik soal dengan perasaan galau. Semoga saja... belum sempat berujar, rupanya doaku sudah terkabul. Kutatap soal-soal itu dengan pandangan tidak percaya.

Ini kan soal yang sering kukerjakan waktu di Amerika dulu! Syukurlah kebiasaan lamaku menyendiri di perpustakaan dan mengerjakan banyak macam latihan soal kini membuahkan hasil. Tidak sia-sia dulu aku melakukannya sekaligus untuk menghindari pertemuanku dengan Yeom Jong.

Dengan bersemangat soal-soal kukerjakan layaknya mengisi teka-teki silang. Wah, rasanya asyik juga kalau sola-soal bisa kukerjakan selancar ini. Eh, tunggu, soal ini begini kan? Dan begitu pensil kugores lagi, aku tersenyum puas saat lagi-lagi berhasil memecahkan soal berikutnya. Bel tanda selesai berbunyi tanpa ampun. Aku tersenyum lega karena selain menyelesaikan semuanya, aku sudah memeriksa keseluruhan. Dengan santai kuambil tasku dan berjalan santai keluar ruangan.

”Kenapa?” tanyaku bingung pada anak di sampingku.

”eh, nggak,” jawab anak itu malu dan dengan buru-buru menghitamkan jawabannya.

Dengan ragu kutatap ke sekelilingku. Kenapa mereka semua memandangku kaget begitu sih? Pikirku. Pandanganku melayang ke seluruh ruangan. Beberapa bersiap pergi. Hei, rupanya aku orang pertama yang menyelesaikan test-ku.

”Cepat sekali,” puji panitia di depanku. Aku hanya tersenyum seperlunya untuk menanggapi perkataannya. Namun entah mengapa, wanita itu tersenyum salah tingkah saat membalas senyumku.

Masa bodoh, pikirku cuek. Hee Wong, Yong Soo, dan Yoon Hoo sedang menungguku. Sebaiknya aku bergegas saja, pikirku sambil buru-buru melangkah. Siapa sangka saat sedang berlari keluar, lagi-lagi sosok menyebalkan itu mencegatku. Dan tidak lupa dengan gayanya yang pongah dan dua sahabat setia atau pengikut setianya.

“Hai, Nam Gil,” sapanya ramah. Aku mengangkat wajahku malas. “Kulihat kau tetap cekatan seperti dulu,” ia mulai berbasa-basi dan mengeluarkan kemampuannya menjilat. Aku tersenyum masam.

”Aku tahu apa yang ingin kau katakan. Tapi besok saja, atau besoknya lagi, atau kapan-kapan, bahkan kalau bisa nggak usah. Sorry...” tukasku sambil terus berjalan dan tidak mempedulikannya yang terus memanggil namaku.

”Sorry guys, nunggu lama?” tanyaku sambil berjalan ke arah meja di depanku. Tiga pria itu serentak menoleh dan tertawa melihat wajahku yang sedikit tertekuk. Kuletakkan tas ransel begitu saja di kursi.

”Ada hal buruk?” tanya mereka sambil dengan ramah menyapaku.

Kutatap tiga sahabat kentalku itu. Rupanya lama tidak berjumpa, mereka sudah sangat berubah. ”Kalau nggak janjian, kurasa aku tidak bisa mengenali kalian...” tukasku. ”Aku bertemu Yeom Jong tadi. Apa itu termasuk hal buruk?” tanyaku pada mereka.

Tentu saja mereka mengenal pria pendek pembuat masalah itu. Yem Jong sempat mengenyam pendidikan di asrama kami karena kudengar Ayahnya penyumbang dana terbesar di sana. Tetapi, karena hobinya berkelahi dan berjudi, tidak sampai setahun ia sudah dikeluarkan dari asrama. Namanya sudah dicap buruk di sana, kuharap ia tidak menambah panjang daftar masalahnya.

”Oh, anak menyebalkan itu?” tanya Hee Wong. Dari raut wajahnya jelas ia tidak suka.

”Dia? Si pembuat onar dan suka menyeret orang ke dalam masalah? Dia kuliah bersama denganmu?” Yoon Hoo dan Yong Soo menampakkan ekspresi kesal.

“Dia tidak pernah disukai orang, bukan? Sebaiknya berhati-hati dengannya...” ujar Yoon Hoo sambil meneguk kopinya. ”Oh ya, Nam Gil, bagaimana testnya? Kami sudah memesankan capuccino untukmu...”

”Oh, capuccino? Thanks.. dan … testnya?” tanyaku dengan ekspresi pura-pura kecewa. Tetapi dramaku tidak berhasil menipu Hee Wong.

”Dasar anak ini!” ia menepuk pundakku dengan gemas. ”Bisa-bisanya ekspresimu menjijikkan seperti itu! Mau mencoba menipuku?!”

Aku tertawa terbahak-bahak dan menunjukkan tanda oke dengan menempelkan jempol dan telunjukku. Spontan teman-temanku tertawa dan mengangkat gelasnya, bersulang untukku tepat saat minuman untukku datang.

”Kali lain kita harus kumpul-kumpul begini!!” ujarku sambil tertawa. Saat aku menoleh, kulihat seorang dari rombongan Yeom Jong masuk ke restoran. Ia melihatku dan PRANGGG!! Ia menjatuhkan gelasnya. Kalau tidak salah ingat namanya Sung Pil. Kulihat dari sudut mataku sepertinya ia bermaksud mengabarkan keberadaanku pada Yeom Jong. Tidak bisa kubiarkan!

” Nam Gil! Mau kemana?!” tanya teman-temanku. Dengan gesit aku bangkit dan berlari, menarik kerah bajunya dari belakang. Melihatku menarik Sung Pil ke meja kami, yang lain langsung memasang tampang serius. ”Siapa dia?”

”Salah satu anak buah Yeom Jong...” tukasku sambil menatap matanya tajam. Sung Pil sekejap berkeringat dingin dan mengalihkan matanya dariku. ”Namamu Sung Pil kan?”

”Ya, tapi aku jangan diapa-apakan yo...” ujarnya sambil melirikku dengan takut-takut. Wah, pria ini lucu sekali. Kalau tidak ada Yeom Jong, tingkah angkuhnya hilang entah kemana. Mungkin ini kesempatan bagus?

”Apa sih yang ia lakukan sampai kau mau menjadi anak buahnya?” tanyaku, tertarik untuk mengorek info darinya. Tiga temanku menatap diam dengan serius. ”Uang?”

”Yeom Jong membantu kami masuk universitas melalui jalan belakang, jadinya begitu yo...” jawabnya. Aku mengerling geli. Sepertinya sudah jadi kebiasaannya mengucapkan kata ’yoo’. ”Dan ia.. punya bekingan mafia, kalau kami dihajar, bagaimana?”

”Jadi itu alasannya? Rendah sekali! Pergi sana! Dan jangan katakan kalau kau melihatku di sini! Sebagai gantinya, aku juga akan menganggap tidak bertemu denganmu di sini. Sana pergi!!” perintahku. Pria itu serentak lari tunggang langgang.

“Oh, ya, teman-teman...” ujarku. ”Sepertinya sampai di sini dulu, ada tempat yang ingin kutuju.... Kebetulan ini saat tepat...”

“Tempat apa itu?” tanya Hee Wong sambil bersedekap. Aku tersenyum sekilas dan menyebutkan nama West High.




─ Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“Terlambat deh,” pikirku sambil menatap arloji-ku. “Ye Jin pasti marah deh,” pikikru sambil mempercepat langkahku. Langit sore terlihat menyilaukan. Rasanya lelah juga karena di luar hari biasa, bahkan hari Sabtu juga para anggota klub diwajibkan datang.

Dan parahnya, Ye Jin melupakan daftar absen yang disimpannya di rumah. Akhirnya ia memintaku membantunya membawakan daftar absen itu. Karena rapat OSIS dan jam mulai kegiatan klub sangat berdekatan, akhirnya aku menawarkan bantuan yang memang diperlukan Ye Jin. Dan berhubung jam mulainya klub dan jam berakhirnya rapat OSIS sangat dekat, kata ’terlambat’ sangat tidak terelakkan.

“Maaf, aku terlambat...” ujarku sambil membuka pintu ruangan klub. Tetapi pemandangan yang kulihat jauh berbeda dengan apa yang kubayangkan. Sebelumnya, biasanya anak-anak pria tampak berlatih dalam grup dan saling membantu memperagakan gerakan baru. Tetapi kini, kenapa mereka berkerumun di tengah lapangan? Dengan penasaran aku berjalan ke arah tengah lapangan.

“Ye Jin!!” seruku begitu melihat Ye Jin menatap ke tengah lapangan dengan raut wajah cemas, bingung, sekaligus kagum dan terpana.

Ia menatapku dan mengomentari keterlambatanku, “Kau terlambat sekali…” lalu kembali menatap ke tengah lapangan.

Apakah aku juga terlambat untuk menyaksikan apa yang terjadi? Pikirku bingung. “Apa sih yang terjadi?” tanyaku sambil berusaha berjinjit untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di tengah lapangan.

”Ada seorang pria yang sendirian, menerobos puluhan siswa kita dan memintanya maju satu-satu untuk melawannya. Entah siapa dia, tapi dia benar-benar hebat...” Ye Jin berdecak kagum sambil memandang ke tengah lapangan. ”Aah, dia bahkan membanting Seung Hyo!!” pekik Ye Jin.

Seorang pria sendirian menerobos puluhan siswa? Entah kenapa begitu mendengar kalimat itu jantungku berdentam keras. ”Aku tidak bisa lihat apa-apa nih! Kenapa sih mereka semua begitu antusias!?” protesku.

Ye Jin menarik tanganku dan membantuku berdiri di kursi yang biasa diduduki pencatat nilai. Dengan terkejut aku melihat pria yang berdiri di sana adalah pria yang pernah merasakan tendanganku di selangkangannya!! ”Dia?!” seruku kaget.

Namun sebelum bibirku mengatakan sesuatu pada Ye Jin, sebuah kilasan peristiwa, seperti sebuah slide film, berputar di kepalaku. Seorang pria, entah siapa dia, hanya dengan sebuah pedang berlumuran darah, maju menuju tempatku berdiri. Melihat matanya dadaku terasa hangat sekaligus nyeri. Jantungku berdebar dengan aneh, dan mataku menatap ke sekeliling. Entah bagaimana bisa kurasakan kalau Ia menerobos untukku! Dapatkah ia melaluinya dengan selamat?!

Pemandanganku berputar dan berputar. Kepalaku terasa begitu pusing, dan beberapa kali denyutnya terasa begitu menghantam. Tubuhku kehilamgan keseimbangan dan jatuh dengan suara keras. Secepat itu pula, tangan Ye Jin menahan laju tubuhku.

Tatapan semua orang kini beralih ke arahku, termasuk cowok aneh itu. Ia bahkan berjalan ke arahku. Aduh, apakah secara tidak sengaja aku mengacaukan acaranya? Pikirku panik.

”Yo Won!! Yo Won!!” panggil Ye Jin cemas. Ia mengguncang tubuhku dengan gugup. ‘Kenapa kau? Kenapa?!” tanyanya.

“Tidak apa-apa,” jawabku sambil berusaha tersenyum. “Hanya agak pusing…” ujarku sambil mencoba berdiri, tapi terhuyung-huyung. Nyaris jatuh, namun sebuah tangan kuat menarikku.

Sesaat aku rak mampu berkata-kata karena kali ini sebuah kilasan lagi-lagi memenuhi otakku. Seorang pria menatapku dengan penuh cinta. Wajahnya tampan dan matanya begitu dipenuhi kepedihan, membuat sebuah sayatan kecil dan dalam di dadaku. Seperti mengiris sebuah luka, aku bisa memahami kepedihannya, dan kemudian ia memelukku. Dalam pelukannya, kurasakan kedamaian. Namun di satu sisi, kurasakan bahwa ini tidak seharusnya terjadi.

”Kau tidak apa-apa?” tanya cowok itu sambil menatapku cemas. Aku menggeleng dengan kepala tertunduk. Apa yang baru saja kupikirkan? Tanyaku malu pada diri sendiri. Begitu kuangkat wajahku, cowok itu menatapku dengan terkejut. "Kau?!?!?!"

”Gawat deh,” saat itu hanya ada dua kata itu dalam pikiranku.

Cowok itu pasti sudah mengingatku sekarang. Sebagai seorang cewek yang menyamar jadi cowok beberapa waktu lalu. Dan bukan hanya itu saja, kebaikannya mungkin akan dirasakannya mubazir. Karena yang ditolongnya adalah cewek yang pernah menendang kemaluannya. Ooh, pikirku kalut. Sekarang semuanya sudah jadi kacau.

---to be continued--

Jumat, 19 Maret 2010

Fanfic The Future and the Past 5

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
FIFTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Bakui: Jang Hee Woong (memakai nama asli di FF)
Park Jung Chul: Kim Yong Soo: Jung Yong Soo
Moon No: Jung Ho Bin (memakai nama asli di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

”Kehadiranmu tidak diharapkan di sini...”
Hentikan!! Hentikan!! Hentikan!!! Aku menutup kedua telingaku, tidak berharap mendengarnya. Dan kemudian cambukan-cambukan terasa di tubuhku.

Sesaat kemudian, cambukan itu terasa semakin menyakitkan. Namun ketika kuangkat wajah dan kulihat diriku, bukan memar yang ada di sana, melainkan darah. Dan ketika kulihat dadaku, beberapa anak panah menghujam di sana. Nafasku terasa berat, dan kakiku tidak bisa kurasakan masih berpijak atau tidak. Dengan heran kurasakan tanganku terangkat, dan bibirku berulang kali bergetar, mengucapkan sesuatu.

─ Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

RRRRR…RRR…RRR…
Setengah mengantuk dan mengomel aku mengangkat kepalaku, tanganku terulur ke meja, mencari-cari handphoneku dan kemudian meletakkannya di telingaku. ”Ya?” tanyaku. Lalu tidak ada jawaban. Mataku kembali melihat ke layar. Nomor siapa ini?

”Hei...” akhirnya ada juga suara dari seberang. Aku menggeliat bangun lalu membuka gorden kamarku dan mengacak-ngacak rambutku. Pemandangan yang terasa sedikit janggal di mataku. Oh, ya, ini Seoul, bukan Amerika.

“Siapa?” tanyaku lagi. Lalu terdengar umpatan kesal sekaligus bercanda dari seberang. ”Apa aku mengenalmu?” tanyaku lagi.

” Nam Gil, kau benar-benar kelewatan...” terdengar decak kesal dari suara penelepon ku. Aku mengernyit bingung. ”Ini aku! Aku! Masa kau lupa pada sobatmu sendiri!!” ia tertawa renyah sementara otakku berusaha mengingat si pemilik suara.

”Masa masih tidak ingat?”

”Masih, ” sahutku malas-malasan. Aku menguap lagi dan lagi. Mungkin pagi ini minum kopi enak juga. Kemarin seharian merupakan hari menyebalkan. Bisa-bisanya bertemu Yeom Jong dan temannya, dan tambahan lagi, ditendang sama gadis yang tidak kukenal!!

”Akan kuberikan satu. Aku sering mengucapkan kalimat ini: ”aku tahu kebiasaanmu menjahili orang tidak akan hilang”, bagaimana sudah ingat?” tantangnya.

”Ahh!! Kau rupanya!!” aku tertawa sendiri setelah mengingatnya. Ternyata peneleponku adalah Jang Hee Wong. Teman satu kamarku saat aku pertama kali menginjakkan kaki di asrama saat masih berusia 4 tahun. Aku sering menjahili guru asrama bersamanya. Sayang sekali ia tidak ikut pindah ke Amerika bersamaku. Terakhir kali kudengar, karirnya sebagai aktor cukup sukses.

”Bagaimana kabarmu?” tanyaku sambil tersenyum. ”Bagaimana juga kabar Jung Yong Soo dan Go Yoon Hoo? Mereka baik-baik saja? Lalu bagaimana kabar ayahnya Yong Soo?”

Jung Yong Soo dan Go Yoon Hoo setahun lebih tua dariku. Sistem di asrama kami dulu menjadikan satu kamar terdiri dari 4 orang dimana dua di antaranya sebaya dan tidak. Yong Soo pernah suatu kali mengajak kami bertiga kabur dari asrama dan main di mall.

Siapa sangka di tengah jalan kami dipergoki ayahnya. Akhirnya, beliau bukannya memarahi kami, malah mengajak kami berlatih taekwondo untuk menghilangkan keinginan kami membuang-buang waktu. Menurut beliau, lebih baik energi kami yang berlebihan disalurkan ke olahraga. Dan walau awalnya enggan, harus kuakui, ternyata beliau guru yang baik. Dan alhasil, kini taekwondo sudah menjadi bagian hidupku.

”Hahaha.. mereka baik-baik saja. Bahkan mereka memaksaku untuk memintamu bertemu. Oh ya, Pak Jung, beliau yang membuatmu tertarik setengah mati sama taekwondo... dia baik-baik saja, sangat sehat...”

”Bagus kalau begitu. Kapan kita bertemu?” tanyaku santai. Rasanya tidak sabar ingin meminta Pak Jung mengajarkan gerakan-gerakan baru padaku. Dan aku ingin tahu sejauh mana kemajuanku. Soalnya di Amerika, tidak hanya taekwondo, aku juga mengikuti karate dan basket di tengah kesibukanku bekerja part time.

”Sekarang kau sudah kuliah?” tanyanya.

”Belum, tentu saja. Sabtu besok baru di test, doakan aku!!” gurauku, disambut tawa Hee Wong di seberang sana.

“Kau tidak perlu didoakan! Sialan, masih suka merendah saja kau! Dulu saja waktu sekelas denganmu aku dapat peringkat sepuluh dari bawah, sementara kau selalu nomor satu di kelas!! Sampai-sampai aku tidak percaya kau tidak menyontek! Soalnya aku tidak penah melihatmu belajar!”

”Hahaha... aku kebetulan saja ingat sama apa yang diajarkan guru saat ujian..” elakku. Dan kami sama-sama tertawa. ”Tapi, darimana kau tahu nomorku ini?” tanyaku.

”Oh, akan kujawab. Tapi jangan marah,” ujarnya waspada.

”Baiklah, akan kucoba,” tukasku bercanda. Ia menahan nafas dan sepertinya mempertimbangkan perlu mengatakan sebenarnya atau tidak. ”Aku sedang menunggu,” ujarku mengingatkannya.

”Oke, tadi pagi kutelepon rumahmu dan Kakakmu, Tae Wong yang mengangkat. Dan yah, dia yang memberitahuku...”

”Oh, Kakakku?” tanyaku. Aku bisa merasakan betapa janggal lidahku mengucapkan kata itu. Wajar mungkin, selama ini aku tidak merasakan kedekatan kami.

”Aku tahu hubungan dengan keluargamu sepertinya tidak begitu baik,” ujarnya hati-hati. ”Tapi paling tidak, akhirnya aku jadi bisa menghubungimu!” ia tertawa. ”Oh, bagaimana kalau besok, sesudah tesmu kita makan-makan?” tanyanya.

Aku mendekatkan telingaku, bingung. ”Apa katamu? Besok? Memangnya sekarang hari apa?” tanyaku lagi.

”Jumat,” jawabnya enteng. Aku menatap layar handphoneku dengan tidak percaya. Lalu segera mataku tertuju ke kalender. Dan lagi-lagi kulihat tanggal di layar handphoneku. Astaga! Secepat ini waktu berlalu? Aku bahkan tidak melakukan persiapan apapun untuk tes masuk besok.

”Oke, besok setelah tes, kita makan-makan. Sekarang aku mau belajar dulu...” dalam satu gerakan cepat aku mematikan pembicaraan. Kalau tes besok aku gagal, entah apa yang akan dikatakan keluarga ini lagi.


─ Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“Kau menendangnya?!” Ye Jin memandangku dengan mata terbelalak. Aku buru-buru menggunakan kedua tanganku untuk menutup mulutnya.

Saat ini malam sudah larut. Kedua orangtua kami seharusnya sudah tidur nyenyak. Tapi aku dan Ye Jin jelas belum. Kami selalu mengobrol dan berbagi cerita pada malam hari. Sebagai anak kembar, hampir tidak ada rahasia apapun di antara kami.

”Sst!!!” bisikku sambil meletakkan jari telunjuk di depan bibir. ”Habisnya... mau bagaimana lagi?” kali ini aku hanya mampu mengangkat bahu dengan bingung.

”Dari ceritamu saja aku rasa kau duluan yang bersikap menantangnya!!”

”Aku tidak menantang!!” tukasku kesal. ”Aku hanya sebal karena dia menganggapku banci. Jadi aku menatapnya begini!!” aku mengulangi caraku menatap pria itu ke arah Ye Jin. ”Dan aku bertanya padanya, ’menurutmu bagaimana’?’ Cuma itu saja kok!!” belaku.

”Kau tidak sadar? Sikapmu tadi jelas-jelas kelihatan menantang. Aah, aku tidak tahu deh,” ia menghela nafas panjang. ”Padahal wajahmu manis, kenapa tingkahmu kadang susah diduga sih?”

Aku mendengus kesal. Begitulah cara Ye Jin mengatakan kalau sikapku agak maskulin. Ia pasti akan mengatakan sikapku susah diduga. Oh ya, secara halus, tapi apa yang ia maksud, aku sangat memahaminya.

“Jadi bagaimana? Menurutmu ia marah padaku?”

Ye Jin menatapku kaget lalu mengeluarkan senyuman terpaksa. ”Kalau ada cowok yang nggak marah karena ditendang bagian vitalnya, kurasa otaknya agak nggak beres…”

“Baik, baik, itu salahku…” ujarku sambil menunduk. “Habisnya ia bersikap seolah-olah mau membuka semua bajuku! Itu kan refleks!!”

“Kan ia sudah mengatakan kalau ia ingin membuktikannya! Kurasa yang ingin ia lihat hanya reaksimu! Bukannya benar-benar ingin melakukannya!” Ye Jin bergerak-gerak dengan gelisah.

”Aduh, kenapa tidak mengaku saja sih kalau kau cewek! Dasar aneh!” akhirnya ia mengatakannya juga. ”Padahal kau punya otak pintar dan selau rebutan peringkat denganku. Kenapa bisa linglung begini?”

Aku hanya mampu terpekur. Diam. Benar juga ya? Kenapa dengan diriku? Tidak biasanya aku bersikap seaneh ini. Biasanya aku selalu bisa berpikir logis dalam situasi sesulit apapun. Dan biasanya aku bisa menjaga kepalaku tetap jernih. Memandang angkuh dan mencibir? Jelas itu bukan kebiasaanku.

Kalau dipikir-pikir, hanya di depan cowok itu aku jadi salah tingkah begini. Apa karena wajahnya yang tampan itu? Ah, kurasa tidak juga. Begitu banyak pria di luar sana. Tidak sedikit yang lebih tampan darinya.

Tapi, entah mengapa ada magnet aneh yang membuatku merasa konyol saat berdiri di depannya. Pokoknya, aku jadi bingung dengan diriku sendiri. Bisa-bisanya perbuatanku jadi gak logis begini!!!

”Yah sudahlah,” sahutku sambil menarik nafas panjang. ”Toh kemungkinan besar nggak akan ketemu dia lagi!!”

”Semoga saja begitu...” tutur Ye Jin cemas. Ia memandangku dengan pandangan menyelidik.

Dan ternyata, semua dugaanku salah. Atau setidaknya begitu, karena ternyata, kami bertemu lagi. Dalam situasi yang jauh berbeda.
---to be continued---

Senin, 15 Maret 2010

Fanfic The Future and the Past 4

-------------------------------------------------------------------------------------------------
FOURTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF*
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Yeomjong (tetap memakai nama ini)
Bakui: Jang Hee Woong (memakai nama asli di FF)
San Tak: Kang Sung Pil (memakai nama asli di FF)
Seok Pum: Hong Kyung In (memakai nama asli di FF)
-------------------------------------------------------------------------------------------------

─ Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

“Tes masuk akan diadakan hari Sabtu, dimulai jam delapan pagi. Harap membawa semua kelengkapan administrasi,” ujar wanita yang terus melirikku sambil tersenyum sembari memasukkan data ku ke komputernya.

“Baiklah, tentu saja, terimakasih,” jawabku sambil menerima map yang disodorkannya dan tersenyum sopan. Senyum lebar wanita itu semakin menjadi-jadi. Lebih baik aku segera pergi dari sini. Aneh sekali wanita itu, pikirku sambil mengeluarkan kunci mobil dan sebelum pintu mobil kubuka, sebuah suara memanggilku.

Aku memandang ke suara itu dengan tatapan tidak percaya. Nyaris mustahil ia bisa berada di sini, pikirku kesal.

“Hai, Nam Gil,” ia berjalan mendekatiku bersama dua orang lelaki di belakangnya. Belakangan kusadari dua orang itu pun tidak asing bagiku. ”Kau tidak melupakan kawan baikmu ini, kan?”

Aku mendengus kesal. ”Mana bisa aku melupakan tampangmu, Yeomjong?” ujarku sambil menolak jabatan tangan darinya. ”Tapi soal aku menjadi sahabatmu, itu lain urusan...”

”Oh, kurasa tidak demikian,” ia tertawa cengengesan. Aku selalu membenci caranya tertawa. “Kau ingat mereka? Kyung In dan Sung Pil. Teman seangkatan kita...” ujarnya sambil mengenalkan dua pria di sampingnya.

Ia berlagak seolah-olah sosoknya terlihat hebat dengan berjalan berbarengan bertiga. Dan yang membuatku lebih heran, bisa-bisanya dia tetap bebal walaupun jelas-jelas aku menunjukkan sikap penolakan padanya.

”Bergabunglah dengan kami, Nam Gil, aku ingat kau selalu dijuluki multitalented man di high school kita di Amerika...”

”Itu tidak penting,” jawabku. ”Sekarang aku mau tanya, apa kau ada urusan di kampus ini? Bukankah seharusnya kau masih berada di Amerika?” tanyaku.

”Aku tidak puas kau pergi begitu saja,” ia menunjukkan senyuman liciknya. ”Dan aku masuk ke kampus ini. Bukankah kita akan semakin akrab?” tanyanya, lagi-lagi sambil menyeringai licik.

”Terserah. Asal kau tahu, Korea berbeda dengan Amerika. Dan apa yang terjadi padamu tidak ada kaitannya denganku...”

Aku berbalik dan pergi. Sedikit banyak aku mendengar dua pria di belakangnya bertanya apakah seharusnya menyusulku atau tidak. Kalau pun mereka berani mencari masalah denganku, bukan aku yang akan rugi. Tapi mereka. Mereka punya keluarga yang masih bersedia menampung mereka, dan keluarga mereka itu yang akan menanggung malu apabila mereka melakukan kesalahan.

Sedangkan keluargaku? Hah! Aku bahkan tidak yakin mereka benar-benar keluargaku. Rasanya dendam semakin berkobar di dadaku. Hanya ada sato orang yang tidak ingin kusakiti di rumah itu. Dan orang itu adalah Papa. Dengan kesal aku menaiki mobilku dan membanting pintunya.

Kulirik buku tabunganku. Sebenarnya Papa tidak perlu bersusah payah mentransfer sejumlah uang untuk biaya kuliahku. Uang yang kukumpulkan dari kerja sambilanku di Amerika sudah lebih dari cukup. Tapi ia menuntut, memaksa, membuat Mama semakin kesal padaku. Akhirnya aku mengalah, membiarkan ia berperan sebagai orangtua bagiku. Setidaknya, dana pendidikanku masih ditanggungnya.

Aku melihat arloji di tanganku. Pukul dua siang. Masih ada waktu untuk berkeliling. Sebaiknya kemana ya? Aku melihat map daerah sekitar dari GPS mobil dan tiba-tiba mataku tertuju pada suatu objek. ”West High School,” pikirku sambil menatap peta di GPS mobil. ”Tidak jauh,” ujarku sambil mulai menyalakan mobil. Sebaiknya aku melihat-lihat sebentar di sana. Barangkali ada hal menarik nantinya.


─ Lee Yo Won, Seoul, 2008 ─

“Semua beres kan?” tanyaku cemas. Aku menatap kaca di depanku dan berpikir, ”tidak jelek juga.” Yang kulihat adalah seorang anak lelaki yang untuk ukuran seusianya mungkin sedikit kecil, namun ia benar terlihat seperti lelaki.

Ye jin memandangku dengan teliti dan akhirnya tersenyum puas. ”Cukup!! Lagipula, apa lagi yang bisa kita lakukan? Oh, aku tidak menyangka kau akan membantu Sang Won dengan cara begini. Kemarin malam saat kau cerita rasanya jantungku hampir lepas...”

”Jangan berlebihan dong,” ujarku sambil merapikan letak wig yang kukenakan. ”Jadi, bagaimana rencanaku? Oke kan?”

”Oke. Aku paham. Aku akan mengambil alih absensi. Dan kemudian, waktu namamu kupanggil, teman-teman Sang Won akan menutupimu yang duduk di baris kedua. Dan sebelum Kak Tae Wong menoleh untuk mengecek, aku akan menandai nama Sang Won...”

”Kedengarannya mudah kan?” tanyaku yakin. Ye Jin mengangguk ragu-ragu. Kadangkala ia memang suka cemas berlebihan sih... ”Kenapa lagi sih? Kok mukamu tertekuk begitu?” tanyaku sambil tersenyum geli.

”Oh ya? Mukaku seperti ini kan karena cemas. Kedengarannya memang mudah. Tapi kalau praktiknya tidak semudah itu?!”

”Kau jangan mengambil kesimpulan aneh-aneh dulu dong,” ujarku kesal. ”Pokoknya jalani saja dulu. Toh Sang Won Cuma akan terlambat sekitar setengah jam. Dan kurasa hanya duduk setengah jam dengan kepala tertunduk bukan masalah...”

”Kuharap sih, begitu...” ujar Ye Jin. ”Sudah ke WC belum?” tanyanya bingung.



Harus kuakui seharusnya aku mendengarkan saran Ye Jin tadi, bukannya malah menertawakannya saat menyuruhku ke WC. Sekarang rencana tahap awal sudah sukses. Kak Tae Wong memang tidak melihat wajahku karena teman-teman Sang Won sangat kompak saat menutupku, sehingga hanya tanganku yang terlihat. Dan sekarang, masalah kedua, aku ingin ke WC. Tapi, ke WC mana? Masa WC cowok? Aduh, ogah banget!!

Dengan langkah cepat aku berjalan melewati teman-teman Sang Won melalui jalan di belakang barisan. Cari mati namanya kalau berjalan di depan barisan. Karena Kak Tae Wong duduk di sana. Sambil menarik nafas lega karena sekarang kakiku sudah menginjak daerah lorong sekolah, aku memandang dua pintu di depanku dengan bingung.

Mataku menatap ke kiri. WC PRIA. Kemudian menatap ke kanan. WC WANITA. Aah, di saat seperti ini kayaknya hati nuraniku sebagai perempuan mulai diuji, keluhku.

Baiklah, karena penampilanku sebagai pria, mungkin sebaiknya aku masuk ke WC pria saja deh. Sambil menghela nafas kesal, aku memaksakan kakiku untuk melangkah masuk. WC pria, oh, semoga tidak ada orang di dalam, pikirku sambil celingukan.

Tetapi, begitu kakiku melangkah masuk, sebuah suara memanggilku dengan keras. “Hei!!!” dan saat itu juga, rasanya jantungku hampir copot karena kaget.


─ Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

“Hei!!” ujarku pada seorang anak lelaki pendek di depanku. Setelah melihat di aula kalau sepertinya ada pertandingan, kuputuskan untuk berjalan-jalan di sekitar sekolah ini. Dan kebetulan, aku memang mau ke toilet. Tapi apa benar ini toilet umum atau toilet khusus penghuni merupakan pertanyaan wajar di otakku.

’Halo?” panggilku lagi. Lelaki kecil di depanku tidak kunjung menoleh. Dengan kesal aku menarik bahunya. Aku cukup kaget saat bahunya terasa begitu kecil di tanganku. ”Aku mau tanya, apakah di sini toilet umumnya?”

Orang yang─sampai barusan─kukira lelaki, sepertinya tidak demikian. Ia memandangku dengan wajah pucat seperti habis kepergok melakukan sesuatu. Aku menatap matanya yang terlihat jernih namun dipenuhi keterkejutan. Ia pelan-pelan tersenyum saat melihat wajahku. Mungkin aku bukan orang yang dikiranya tadi.

”Iya, silahkan masuk,” ujarnya lalu membiarkanku berjalan duluan. Aku menatapnya curiga. Walaupun penampilannya benar-benar seperti pria, aku tidak yakin ia benar-benar pria. Tanpa sadar mataku turun ke arah dadanya. Rata sih, pikirku. Tapi aku kok masih tidak yakin?

”Lihat apa kau!” ia mendelik marah. Satu lagi kecurigaanku. Kenapa ia tidak masuk ke WC bersamaku? Padahal sepertinya ia mau masuk tadi.

”Kau nggak mau masuk?” tanyaku sambil memandangnya. Untuk ukuran cowok─maksudku, kalau ia benar-benar cowok─ia cukup manis. Dan untuk ukuran cewek? Entahlah. Kurasa aku harus mencari tahu. Entah kenapa anak ini membuatku penasaran.

”Nanti saja,” elaknya. Membuat kecurigaanku semakin besar.

“Aku penasaran. Kau sebenarnya wanita? Pria? Atau banci?” tanyaku. Ia memandangku dengan tersinggung.

“Menurutmu?!” tanyanya menantang. Aku tersenyum melihat sorot matanya yang tajam.

”Karena tidak tahu, sebaiknya aku membuktikannya sendiri bukan?” tanyaku sambil menarik kerah baju karatenya.

Namun, begitu tanganku mulai menarik, tangan kanannya bergerak maju ke pipiku. Aku menangkisnya dengan tangan kiriku sambil tersenyum. Sekarang tangan kananku meneruskan pekerjaannya. Ia memandangku dengan marah, namun aku tersenyum tidak peduli.

Rasanya ia benar-benar perempuan. Kalau begini, gawat juga. Bisa-bisa aku dituduh melakukan pelecehan. Dan kemudian, tahu-tahu tangan kirinya yang bergerak menamparku. Otomatis tangan kananku yang menangkis.

”Berarti kau memang wanita...” ucapanku terpotong karena dalam sekejap ia melancarkan tendangan ke selangkanganku. Aku jatuh berlutut sambil mengumpat.

Tidak lama terdengar suara seorang anak lelaki. ”Kak Yo Won!!” aku masih mengaduh kesakitan saat kuangkat wajahku pelan. Anak lelaki itu cukup tampan dan berjalan mendekati anak lelaki palsu di hadapanku.

”Terimakasih sudah menggantikanku! Sekarang kau boleh ganti baju lagi. Eh, siapa pria ini?” tanyanya sambil memandang pria palsu itu dan aku bergantian..

Pria palsu yang sepertinya bernama Yo Won itu mengangkat bahu dengan acuh sambil membetulkan letak kaosnya. ”Entah, aku tidak kenal,” jawabnya sambil emalngkah dengan cuek.

”Sialan kau!!” umpatku. Ia berbalik dan mendelik marah padaku. Aku menggeram sambil berusaha bangkit. Cewek sialan! Kasar sekali dia! Beraninya menendang bagian vitalku! Hah!!! Bagus sekali! Ternyata di sekolah ini musuhku bukan hanya Kak Tae Wong, tapi juga cewek barbar itu!


---to be continued--





Fanfic The Future and the Past 3

-------------------------------------------------------------------------------------------------
THIRD SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Kim Seo Hyun : Jung Sung Mo: Kim Sung Mo (as Kim Nam Gil and Uhm Tae Wong father)
Young Mishil: UEE: Kim Yoo Jin (Mishil legal daughter)
Young Bakui: Joo Sang Won as Wolya brother (real name: Seo Sang Won)
Alcheon: Lee Seung Hyo (memakai nama asli di FF)
Kim Chun Chu: Yoo Seung Ho (memakai nama asli di FF)
-------------------------------------------------------------------------------------------------
─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“Benarkah Kak Yo Won akan membantuku?” Tanya Sang Won sambil berlari kecil menghampiriku. Aku mengangguk dan tersenyum. Ia tertawa lebar sambil mengucapkan terimakasih dengan tulus. “Terimakasih, aku tahu Kak Yo Won pasti bisa memahami kalau pertandingan ini sangat penting artinya bagiku. Dan tanpa memandang kalau yang meminta bantuan Kakak adalah Kak Yoo Jin, aku yakin tanpa dia yang meminta pun, Kak Yo Won akan bisa memahami maksudku…”

“Aku tahu itu,” aku tertawa sambil menenteng buku-buku yang akan kukembalikan ke perpustakaan. “Walau rasanya agak bete karena dia yang minta,” gumamku.

”Aku sudah bilang kalau aku akan minta tolong sendiri pada Kak Yo Won. Tapi, Kak Yoo Jin menawarkan diri dan memaksa. Aku tidak bisa apa-apa...” ia mengangkat bahu lalu buru-buru membantuku membawa buku. ’Biar kubawakan,” katanya sambil memindahkan seluruh beban ke tangannya. ”Sekali lagi terimakasih, Kak Yo Won...” ia pamit pergi setelah kami tiba di perpustakaan.

Sang Won anak yang baik, itulah salah satu penyebab mengapa aku setuju membantu. Kalau sekedar untuk memenuhi kepuasan Yoo Jin, mana mau aku disuruh-suruh begitu saja? Begitu ingat telah melupakan sesuatu, aku buru-buru memanggil Sang Won. ”Wig!!” ujarku berteriak. ’Aku tidak punya wig untuk menutupi rambutku!!”

Sang Won tertawa jenaka lalu menaikkan salah satu tangannya dan mengacungkan jempolnya. ”Beres! Akan kusiapkan!!” serunya sambil berlari ke arah ruangan kelasnya. Nampaknya ia punya urusan lain. Yah, dan hal semacam ini bukan hal yang sulit. Sedikit banyak aku tahu, menjadi lelaki memang tidak mudah. Tapi bukankah, hal tersebut sangat menantang?

”Hai, Yo Won!” Kakak kembarku, Ye Jin menepuk pundakku sambil tersenyum riang. “Kenapa tadi kulihat Sang Won bersamamu?” ia melihat kea rah tempat Sang Won berbelok pergi. “Jangan bilang kau ada hati padanya…”

“Ya ampun, kau ini!!” aku sering sebal karena ia selalu menggodaku untuk hal remeh semacam itu. “Kau sendiri habis darimana? Membantu Kak Tae Wong lagi? Atau membantu OSIS?” tanyaku sambil memandang penampilannya yang selalu terlihat modis.

“Aku baru saja diminta membantu mendata anak-anak baru yang berminat masuk ke klub karate…” ia mengetok-ngetok pundaknya yang pegal. “Cukup banyak juga ya, peminatnya… Mungkin karena pelatihnya tampan kali ya?” ia bertanya sambil tersenyum penuh arti. Aku tertawa menanggapi kalimatnya.

”Jangan bilang kalau kau tertarik pada Kak Tae Wong...” aku tertawa sambil memberikan buku yang kupinjam ke petugas perpustakaan. Ye Jin sudah menjabat sebagai manajer klub karate sejak bulan lalu. Dan tidak ada salahnya, memang. Dia sangat cocok dengan pekerjaan semacam itu. Namun aku seringkali bingung. Aku saja merasa mengurus tugas OSIS repotnya setengah mati, apalagi kalau ditambah dengan menjadi manajer klub seperti Ye Jin.

”Kau akan membaca buku-buku tebal itu hari ini?” Ye Jin memandangi buku yang kupeluk dengan mata membelalak kaget. Ye Jin adalah tipikal gadis yang pandai, namun ia tidak begitu suka membaca buku. Sedikit berbeda denganku, karena aku suka sekali membaca buku. Dan lebih aneh lagi, walaupun kembar, wajah kami sama sekali tidak mirip. Hanya ada satu kemiripan kami. Tanda lahir berbentuk bulan sabit di belakang telinga kami.

”Tentu saja, akhirnya aku bisa juga meminjam buku ini...” seruku sambil tersenyum puas. ”Kemarin ada yang meminjamnya, tidak tahu siapa. Dan oh, ada yang mau kuceritakan padamu. Tapi, nanti saja deh...” semburku.

Ye Jin mengerutkan kening dengan bingung. ”Kau bicara terlalu cepat Yo Won, aku sama sekali tidak paham. Tapi baiklah, ayo kita bicara nanti saja. di rumah. Setelah jam istirahat ini, aku harus kembali ke ruang OSIS...”

Aku mengangguk paham. Tentu saja aku akan ikut rapat itu. Sebagai anak kelas dua, kami akan merekomendasikan beberapa teman kami sekaligus beberapa anak baru untuk menggantikan anggota OSIS yang sudah berhenti masa jabatannya sekaligus yang dinilai tidak layak digunakan karena tidak memberikan kontribusi apapun. Dan seringkali hal ini sangat berat, banyak iri hati dan protes dimana-mana. Dan disanalah kesulitannya. Kuharap ketua OSIS kami yang baru, Kak Lee Seung Hyo bisa mengambil keputusan secara bijaksana.




”Sudah mencatat semuanya, Yo Won?” tanya Kak Seung Hyo sambil menatapku. Aku mengangguk mengiyakan. Kak Seung Hyo cukup berdedikasi sebagai ketua. Dan aku juga puas dengan pemilihan anggota OSIS kali ini. Terlebih dengan pemilihan Kak Sang Wook sebagai ketua seksi olahraga dan adiknya, Sang Won sebagai wakil. Dan lebih puas lagi karena yang ditunjuk sebagai wakil ketua OSIS adalah murid yang meraih peringkat tertinggi dalam tes masuk sekolah ini, Yoo Seung Ho.

”Oke, kalau begitu, kita akhiri rapat hari ini sampai di sini. Harap besok kita semua bisa hadir tepat waktu karena kita akan mulai menyusun agenda kegiatan apa saja yang akan kita selenggarakan selama satu tahun jabatan kita ke depannya...”

Setelah Kak Seung Hyo menutup rapat, semua segera bubar dengan tertib. Kulihat Ye Jin masih asyik mengobrol dengan Kak Seung Hyo, jadi kuputuskan untuk meninggalkan mereka berduaan. Di saat-saat semacam ini, naluriku untuk menjahili orang rasanya tiba-tiba muncul.

Aku melingkari buku agendaku dengan tinta merah di tanggal minggu depan. Tinggal beberapa hari lagi menuju pengalamanku dalam menyamar sebagai lelaki. Tidak kuduga hari itu akan menjadi hari yang mengubah hidupku.


─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─
“Baru pulang, Nam Gil?” Tanya Papa sambil menurunkan Koran yang dibacanya begitu melihatku. Aku mengangguk. ”Ada yang mau Papa berikan untukmu,” ujar Papa sambil berdiri dari duduknya dan menggerakkan kepalanya, seolah memintaku mengikutinya.

Aku berjalan mengikuti Papa ke arah garasi. Di sana pria itu memberikan sebuah kunci padaku. “Ini kunci mobil ini,” ia membuka kain penutup mobil itu. Sebuah mobil sport berwarna hitam. Hmm.. harus kuakui, seleranya bagus. “Mulai hari ini, mobil ini milikmu...” ujarnya.

“Terimakasih, Pa...” ujarku sambil tersenyum “Modelnya keren,” sahutku. Aku segera mencoba membuka pintunya dengan girang. Ketika kuelus joknya, dengan segera aku tahu mobil ini masih baru.

“Kalau Papa memberikan ini, apa tidak masalah bagi Mama?” tanyaku sambil menatapnya ragu. Sejenak sinar matanya terlihat hangat.

“Mamamu kelewat keras padamu. Dan aku kelewat lama tidak berbincang denganmu. Bahkan kedatanganmu ke sini sama sekali tidak dirayakan...”

”Oh,” aku tertawa sinis. Ulangtahunku saja sejak kecil tidak dirayakan, untuk apa aku berharap kedatanganku akan dirayakan? Toh ada atau tidaknya aku di sini sama sekali tidak ada pengaruh baik untuk Mama. ”Tidak apa-apa,” jawabku sambil berusaha menekan nada sinis dalam suaraku. Biar bagaimanapun, aku akan tetap menunjukkan sopan santunku.

”Hati-hati,” ujar Papa sambil menepuk pundakku lembut. Aku membalasnya dengan senyuman terimakasih.

”Sudah menemukan universitas yang tepat?” tanya Papa sambil menatapku tiba-tiba. ”Sekadar informasi, Tae Wong kuliah bisnis di Universitas A. Dan saat ini ia juga menjabat sebagai instruktur karate sementara di West High School...”

”Oke, thanks...” jawabku sambil diam-diam berpikir bahwa universitas itulah yang harus kuhindari nantinya. Aku ingin memulai kehidupanku dengan lebih baik lagi, dan pelan-pelan, aku ingin melepaskan diri dari mereka, dari perasaan benci mereka dan dari dendam dalam dadaku. Cukup sudah kebencian menggerogotiku.

Malam itu aku membuka situs-situs universitas terkemuka dan dengan kesal aku menyadari. Tae Wong cukup cerdik untuk memilih universitas A. Karena selain merupakan salah satu dari sekian universitas ternama, kualitas dan kredibilitasnya juga tinggi. Dan selain itu, lokasinya tidak jauh dari rumah. Dengan kesal kuhempaskan diriku ke kasur.

”Baiklah, siapa takut?” pikirku sambil memencet tombol download dan sejurus kemudian, form pendaftaran itu sudah ku print dan sedang kuisi di mejaku. Tae Wong mungkin bisa masuk ke sana, dan kenapa aku tidak bisa? Lagipula walau menyebalkan dan suka ikut campur, dan walau tidak pernah bersikap seperti kakak, ia tidak pernah berlaku kasar padaku.

Sebuah rencana berputar di otakku. Rasanya baru saja tadi aku memutuskan untuk membuang kebencianku. Tapi, setiap menutup mataku, yang terbayang di otakku hanya perlakuan kejam yang kuterima semenjak kecil.

Rasanya mustahil kalau otakku tidak dipenuhi dengan keinginan untuk membalas dendam. Dan kalau balas dendam pada orangtua begitu berbahaya, kenapa tidak pada anaknya? Aku punya kemampuan, dan aku tahu itu. Akan kubuktikan kalau aku bisa lebih daripada Tae Wong. Dan mereka tidak punya alasan untuk merendahkanku. Sedikitpun!

----to be continued---

Fanfic The Future and the Past 2

-------------------------------------------------------------------------------------------------
SECOND SCENE
Im Ye jin : as Kim Nam Gil and Uhm Tae wong mother
Jung Sung Mo: Kim Sung Mo (as Kim Nam Gil and Uhm Tae Wong father)
Kim Yoo Shin: Kim Tae Wong (real name: Uhm Tae Wong)
Bi Dam: Kim Nam Gil
Deok Man: Lee Yo Won
Wolya: Joo Sang Wook
Young Bakui: Joo Sang Won as Wolya brother (real name: Seo Sang Won)
UEE: Kim Yoo Jin (Mishil legal daughter)
Mishil: Go Hyun Jung
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Lee Yo Won, Seoul, 2008Rata Penuh

”Pagi Yo Won!!” sapa Yoo Jin riang. Aku menatapnya sambil lalu dan melepaskan sepatuku.

“Pagi,” jawabku sambil meletakkan sepatuku di loker. Yoo Jin cantik dan ramah, namun di sisi lain, aku tahu dia hanya mendekatiku kalau memerlukan sesuatu. Ibunya adalah seorang aktris terkenal. Tidak heran kalau anaknya juga sangat cantik dan modis, bahkan rambutnya yang dicat saja tidak pernah diprotes guru.

“Hari ini tidak bersama dengan Kakak kembarmu?” tanyanya sambil menatap ke sekelilingku. Oh, pikirku kesal. Memangnya dia harus celigukan begitu supaya bisa melihat kalau kakak kembarku tidak berada di sampingku? Kurasa itu hanya supaya rambut indahnya bisa tergerai dalam gerakannya.

”Tidak,” jawabku singkat, lalu menyampirkan tasku di pundak. ”Aku sedang buru-buru nih,” protesku saat melihatnya menghalangi jalanku.

”Dan aku ada penawaran bagus untukmu...” ujarnya dengan wajah berseri-seri. ”Kau pasti tertarik deh...”

Sayangnya tidak tuh, pikirku sebal. Aku sudah cukup kesal karena sebulan lalu ia memintaku menyampaikan surat cinta untuk kakak kelas kami, Joo Sang Wook. Dan akhirnya cowok itu mengira surat itu dariku dan malah mengajakku jalan beberapa kali tapi kutolak. Sebagai gantinya, Yoo Jin memata-mataiku dan mengataiku penghianat. Sekarang sih katanya dia sudah menyatakannya dan sudah jadian dengan Joo Sang Wook.

Bagus untuknya bukan? Dan apa yang bagus untuknya tidak selalu dan nyaris tidak pernah bagus untukku. Jadi jawabannya adalah... ”Tidak, terimakasih,’ ucapku sambil berjalan melewatinya.

”Tunggu! Tunggu!” ia menarik lenganku dan aku terpoksa mundur beberapa langkah agar bisa berada dalam posisi sejajar dengannya. Karena kalau tidak, aku takut ia akan ganti menarik tali tasku sampai putus. ”Paling nggak dengar aku dulu dong...” protesnya manja.

Aku memaksakan senyum dan memandangnya lurus-lurus. ”Baik, bicara saja. sekarang. Aku dengar...”

”Kenapa sih kau serius sekali Yo Won?” tanyanya sambil menatapku heran. ”Begini, kau suka karate bukan?”

Aku memandangnya dengan tatapan tidak percaya. Suka karate? Kesimpulan ngaco darimana itu? “Siapa bilang?” tanyaku ketus.

“Baiklah, mungkin kau tidak suka sekali, tapi paling tidak kau tertarik sama karate...” ia mencoba mengoreksi untuk membenahi perasaan BT-ku.

“Lanjutkan, aku mendengarkan...” sambungku sambil berpura-pura capek. Rupanya siasatku berhasil. Ia melanjutkan permintaan─maksudku, pemaksaannya─dengan segera.

”Adiknya Kak Sang Wook, Sang Won, dia kan mau ikut tanding minggu depan, tapi katanya bakalan telat. Nah karena itu, sementara bisakan kau membantunya?”

Aku mengernyitkan dahi, bingung. Kenapa gadis ini selalu punya cara aneh untuk menyusahkanku sih? ”Maksudmu, kau mau aku mengantikannya absen?”

”Benar sekali! Kau tahu sendiri kan pelatih karate kita yang masih muda itu, Kak Tae Wong? Dia kan orangnya nggak asik banget, padahal dia tampan. Gini nih kalau memakai mahasiswa sebagai pelatih, jadinya kan ribet. Dia terlalu ketat pada peraturan sih...”

”Baik, baik, jadi kau mau aku membantumu bagaimana? Menyamar jadi adikmu? Memangnya kau pikir tidak akan ketahuan? Kan kau sendiri yang bilang kalau Kak Tae Wong itu orangnya disiplin...” aku cepat-cepat memotong kalimatnya sebelum ia terlalu asyik berceloteh sendiri.

”Tidak akan, aku akan minta bantuan teman-temannya Sang Won untuk membantu menyembunyikanmu. Jadi tenang saja...”

Aku menatapnya dengan kesal. Bisa-bisanya ia seyakin itu semuanya bakal berjalan dengan mudah. ”Kalau memang semudah itu, kenapa kau tidak melakukannya sendiri?” tuntutku dengan kesal.

”Yah, kau kan tahu sendiri. Penampilanku terlalu cewek, beda denganmu...” ia menghentikan kalimatnya begitu melihat raut wajahku mulai sebal. “Maksudku, badanmu kan ramping, bajunya juga pasti bisa cocok dengan ukuranmu...” buru-buru ia meralat ucapannya. “Lagipula, dulu kan waktu di klub drama kau pernah memerankan peran pangeran muda. Saat itu kan kau terlihat oke...”

Sudahlah, pikirku sambil menghela nafas. Semakin ia jelaskan, rasanya semakin bete. Lagipula Sang Won anak yang baik, tidak apa-apa sih menolongnya. Tapi kalau mengingat semua itu demi mendekatkan hubungan Yoo Jin dan Kak Sang Wook, rasanya malas sekali.

”Sebagai gantinya, kau tidak boleh meminjam pe-erku selama seminggu ya,” ujarku santai. Biar bagaimana pun, di dunia ini nggak ada yang gratis kan?

‘Tapi...” ia terlihat akan memprotes lalu kembali terdiam, “Baiklah, “ ujarnya menyerah. Aku tersenyum setuju. Rasanya menyenangkan tidak perlu melihat wajahnya setiap pagi di depan mejaku hanya untuk meminjam pe –erku.



─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

“Ada orang di rumah?” tanya seseorang dari arah pintu. Aku tersentak kaget dan menghentikan lamunanku.

Tak lama langkahnya mendekati dapur. Aku mencoba memperbaiki posturku agar terlihat lebih santai dan tidak kaku. Suara pria, mungkinkah itu... Papa?

”Hai, kau rupanya!!” ujar Kak Tae Wong sambil tersenyum. Ia meletakkan tas ranselnya di lantai dan maju untuk memelukku pelan. Aku tidak suka dengan caranya yang sok bersahabat. Sok dekat. Padahal sejak kecil, ia tidak pernah bersikap layaknya seorang kakak padaku.

”Ya, ini aku. Kau tampak biasa-biasa saja...” ujarku, bermaksud menyindirnya. Namun ia hanya tersenyum simpul, mengira aku mengajaknya bercanda.

“Setelah tiga tahun menetap di asrama. Kau dapat rekomendasi beasiswa ke Amerika, hebat sekali!” ia berdecak kagum saat melihat penampilanku. “Bagaimana kabarmu?” tanyanya sambil menepuk pundakku. Aku memaksakan seulas senyum seperlunya.

”Baik,” jawabku. ”Di sana makanannya lebih enak,” sambungku. Daripada di rumah ini, sahutku dalam hati. “Mana yang lain?”

“Yang lain?” ia mengerutkan kening, tidak suka mendengar caraku menyebut orangtua seperti itu. “Mereka sedang keluar, mungkin malam nanti baru kembali,” jelasnya.

“Oh? Kalau begitu lebih baik aku ke kamar dulu...” ujarku sambil menarik ransel yang kuletakkan dekat tangga.

“Nam Gil!” ia berseru saat saat aku menaiki anak tangga rumah. “Nanti malam ikutlah makan malam dengan kami...”

”Kurasa, kalaupun aku mau,” jawabku. ”Semua tergantung kalian. Apakah kalian mengharapkan kehadiranku atau tidak...” suaraku terdengar parau saat mengucapkannya.

Biar bagaimana pun aku masih tidak bisa melupakan masa-masa kecilku yang buruk. Dan keberangkatanku ke Amerika saja tidak ada yang mengantar. Itukah yang namanya keluarga?

Besok aku sebaiknya mulai berkeliling untuk mencari universitas yang tepat untukku. Biar bagaimanapun, yang mereka tahu hanya soal kebutuhan uangku. Hanya itu yang mereka penuhi. Sisanya nol. Tidak ada yang kuharapkan dari mereka. Dan demikian pula mereka. Tidak ada yang mereka harapkan dariku.

Malam itu, aku menolak untuk makan di rumah. Lagipula tidak ada yang mengajakku makan. Setelah aku pulang, Mama menungguku di pintu depan dengan sorot mata penuh amarah. Apakah ia mau memarahiku lagi entah untuk keberapa kalinya??

”Kau tahu ini sudah jam berapa!?” tanyanya sambil menunjuk jam.

Aku mengikuti arah pandangnya dan menjawab dengan enteng. ’”Jam sepuluh?” tanyaku sambil tersenyum. Semakin aku tersenyum, Mama semakin dongkol.

“Kau berani melawan sekarang?” ia mengangkat tangan dan bermaksud untuk menamparku. Aku bergerak sedikit sehingga tangannya hanya menampar udara. ”Selamat malam,” ujarku sambil berjalan melewatinya.

Papa menatapku dari ruang tamu, Beliau menutup koran yang sedang dibacanya. Aku mengangguk pelan dan beliau membalas dengan anggukan pelan juga. Hanya itu salamku di rumah ini. Dan hanya sejauh itu pula keberadaanku di sini.


---to be continued---

Fanfic The Future and the Past 1

Finally Fanfics yang dimulai oleh Sista dangyunhaji dan diakhiri olehku selesai juga
senang banget karena banyak komen dan kesan menyenangkan yang kudapatkan.. apalagi respon sista2 sekalian juga bagus banget

Masih terkena sama era fanfics, kali ini aku mutusin untuk ngasih versi yang lebih berbeda dari fanfics sebelumnya yang cenderung bertema dewasa *secara, aku juga belom dewasa jadi masih konyol kalau bayangin dunia orang dewasa, masih belom bisa mengembangkan cerita dengan tepat deh istilahnya.*


Judul Fanfics kali ini The Future and The Past
Nama tokoh yang aku pakai kali ini nama aslinya, bukan nama pemain di QSD... lagi2 supaya nggak ada bentrok dengan kisah sejarah dan kemungkinan penyelipan adegan flash back... hehe.. kalau yang FF kemarin, itu aku cuma ngikutin sista Dangyunhaji yang udah memberikan ketetapan lebih awal

Anyway, that's it. ide cerita masih muter2 di otak aku.. dan sekarang aku masukin bagian pengantarnya dulu ya...

moga2 semuanya bisa lebih seneng sama cerita aku di sini dan moga2 aku juga lebih bisa berekspresi di sini ^^

oh ya. dan untuk aktor dan pemerannya, gak cuma terbatas sama yang ada di QSD. ada kemungkinan aku akan masukin beberapa dari yang terkenal di mata kalian ^^ moga2 berkesan

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Title: THE FUTURE AND THE PAST
MAIN ACTOR: LEE YO WON and KIM NAM GIL
PLACE: Seoul, South Korea
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ketika melihat matamu, aku tahu ada kebenaran di sana
Dan ketika menyentuh tangamu, aku tahu selalu ada harapan

Bahkan ketika roda nasib berputar
puluhan, ratusan kali, bahkan ribuan
aku tidak ingin tangan ku kau lepaskan
Dan aku tidak ingin air matamu kau tahan

Di hadapanmu aku mampu
Dan dihadapanmu aku adalah aku
Ketika seluruh dunia memandangku rendah
Kau disana, menarikku agar tidak menyerah

Aku ingin menjadi kekuatanmu
dan di saat lemah, menjadi airmatamu
di saat kesepian, menghangatkanmu
dan di saat gelap, menghapus ketakutanmu


aku menginginkan kebahagiaanmu
sesederhana itu,
namun bagiku,
itu lebih dari seluruh hidupku


─SEOUL, 2008, KIM NAM GIL─

“Tuan muda sudah pulang?” tanya pelayan setia keluargaku, Jukbang. Ia sudah bekerja di keluarga ini sejak usiaku masih kecil. Dan ia saksi hidup penderitaanku, kalau boleh kukatakan begitu.

“Ya,” sahutku datar. ”Mama Papa dimana?” tanyaku sambil memandang ke ruang keluarga.
”Mereka pergi?” tanyaku sambil mengangkat alis.

Jukbang mengangguk mengiyakan.”Tidak lama mereka akan kembali. Tuan muda pertama juga sedang pergi…”

”Baik kalau begitu,” ujarku sambil mengibaskan tangan pelan. ”Aku mau jalan-jalan sebentar...” ujarku sambil mengelilingi ruang tamu dan halaman. Mobil kami sudah diganti menjadi mode terbaru rupanya, seulas senyum sinis terbias di bibirku. Aku menatap dapur yang kini tertata lebih indah. Sudah berapa lama aku tidak ke sini? Pikirku sambil menyentuh perabot di sana. Tanpa sadar pikiranku kembali ke belasan tahun silam, saat usiaku baru 4 tahun.

─SEOUL, 1993, KIM NAM GIL─

Park Ji Bin as young Kim Nam Gil
Lee Hyun Woo as young Uhm Tae Wong
Im Ye jin as Kim Nam Gil and Uhm Tae wong mother
Jung Sung Mo as Kim Nam Gil and Uhm Tae Wong father

"Apakah ulangtahunku yang keempat akan dirayakan, Ma?" tanyaku pada mamaku yang sedang sibuk memasak untuk makan malam. Aku melihat ke dapur dan dengan insting anak kecil, aku menyadari bahwa makanan yang sedang dimasak saat itu tidak jauh berbeda dengan makanan yang kemarin kami makan. Sup dan ikan. Itu saja.

“Tidak,” jawab Mama singkat. ”Tidak akan ada pesta, dan kau, kembalilah ke kamarmu... dan jangan jadi anak nakal...”

Aku menggeleng cepat. ”Tapi Nam Gil tidak nakal seharian ini Ma...” jawabku sambil menunduk. Mama dengan cepat mengerling padaku, marah. Aku menutup mulutku dengan takut. Mama mudah sekali marah-marah padaku, entah apa penyebabnya. Aku menutup mata dan dalam sekejap, apa yang kutakutkan terjadi.

Aku menatap ke arah halaman. Jukbang sedang mencuci mobil kami yang jumlahnya banyak. Anak lain bahkan tidak punya mobil sebanyak kami. Tapi mereka bisa merayakan ulangtahun dengan meriah. Ada kue, ada balon, ada eskrim...

”Anak nakal! Dasar anak nakal! Beraninya melawanku!!” Mama memukul pantat dan pahaku bertubi-tubi. Aku menutup mata dan menangis memberontak. Mama sering memukulku sesepele apapun kesalahanku.

”Ada apa Ma?” tanya Kak Tae Wong sambil berjalan menghampiri kami. Mama menghentikan pukulannya dan berkacak pinggang. ”Apakah Nam Gil nakal?” tanyanya bingung saat melihat pahaku merah bekas pukulan.

”Aku tidak nakal!!” protesku. Lalu kulihat Mama kembali mendelikkan matanya padaku. Rasanya dadaku sesak. Aku berlari ke kamar dan menangis. Anak laki-laki harus kuat. Harus kuat. Begitu kata guru olahraga di sekolah. Tapi, aku tidak tahan. Apa salahku? Kenapa aku yang dipukul? Kenapa ulangtahun Kak Tae Wong selalu dirayakan sementara ulangtahunku tidak!!

Aku membenamkan kepalaku di bantal dan menangis sekeras-kerasnya. Malam itu aku tidak bisa tidur semalaman. Besok teman-teman akan mengejekku karena aku satu-satunya anak di TK yang ulangtahunnya tidak dirayakan. Dengan kesal aku mengambil bantal kepalaku dan memukulnya sampai puas.

”Dia sudah tidur...” sama-samar terdengar suara Mama dari luar. Aku buru-buru mengambil bantal dan berpura-pura tidur.

”Apakah kita akan merayakan ulangtahunnya, besok?” tanya Papa. Aku sayang papa!! Jeritku dalam hati. Papa tidak pernah memukulku. Kalau Mama mengatakan aku nakal, ia hanya akan mengajakku bicara dan memangkuku di pangkuannya, menasihatiku lama sekali. Aku lebih sayang sama Papa. Tetapi, kalau Mama mengatakan aku sangat nakal, Papa akan memukulku dengan ikat pinggang. Dan selama seminggu warna biru di paha dan betisku tidak akan hilang. Aku menutup mata cepat-cepat, rasanya terlalu seram membayangkannya.

”Pesta!?” suara Mama lagi-lagi terdengar marah. ”Tidak akan ada pesta untuk anak itu! Lagipula dia tidak minta padamu kan!!”

”Tapi anak-anak kan butuh pesta ulangtahunnya dirayakan...” ujar Papa sabar. Airmata membasahi bantalku. ”Dan Nam Gil, dia juga butuh kasih sayang. Sudah berapa tahun kau bersikap begitu kejam padanya?”

”Aku tidak pernah kejam padanya! Memang dia saja yang nakal!!” ujar Mama membela diri. Aku menarik selimut menutupi kepalaku. Besok Mama bisa lebih kesal lagi padaku kalau Papa membelaku. Entah apalagi bagian tubuhku yang bakal pedis-pedis besok? Tanpa sadar aku meringis.

Buru-buru kupejamkan mata sebelum Papa membuka pintu kamarku dan mengecek apakah aku sudah tidur atau belum. Namun sebelum pintu terbuka, terdengar suara Mama yang kesal. ”Daripada aku terus-menerus kau tuduh menyiksa anak jahanam itu, lebih baik kau masukkan dia ke asrama!!!”

Aku tersentak kaget. Asrama? Bukankah asrama adalah tempat anak-anak nakal? Tapi, tapi aku bukan anak nakal! Aku bukan anak nakal! Aku tidak mau kesana! Tidak ada siapa-siapa di sana! Aku tidak mau! Aku tidak mau!!

Aku buru-buru bangkit dan meraih handle pintu. Namun sebelum tanganku menyentuh dan memutar handle pintu, suara Papa terdengar berat dan bijaksana. ”Baiklah kalau itu maumu... Mungkin ia juga bisa mendapat pendidikan lebih baik di sana...” ujar Papa sambil menghela nafas panjang. Lalu langkah kaki mereka terdengar menjauh.

Aku menundukkan kepala dan menatap lantai di bawahku. Kakiku terasa dingin menginjak lantai rumahku. Mungkin sejak awal tidak ada yang menyukaiku di sini. Aku melihat air menetes dan jatuh di lantai. Kuangkat kepalaku, mengira air dari pendingin ruangan yang jatuh. Namun ternyata, begitu menyentuh pipi, air itu berasal dari air mataku sendiri. Sambil duduk memeluk lutut, aku menangis semalaman.

Aku teringat Mama pernah mengatakan satu hal padaku. ”Kehadiranmu tidak diharapkan di sini...” dan entah bagaimana, dadaku terasa begitu nyeri mendengarnya.


-----to be continued-------