-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
THIRTY FOURTH SCENE
FINALLY BUT NOT LAST
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Unni cantik sekali…” seru Deokman dengan senyuman tertahan. Ia memandang Chenmyeong dengan senyuman senang sekaligus sedih. Unni-nya itu tampak begitu serasi mengenakan gaun berpotongan A-line yang dengan indah membingkai tubuhnya. Rasanya waktu begitu cepat berlalu, begitu banyak yang sudah terjadi.
”Kau akan segera menyusulku bukan? Sampai mana persiapan kalian?” tanyanya dengan senyuman menenangkan.
”Sekitar 50 persen...” jawab Deokman. ”Mishil-shi, Munno-shi, dan kedua orangtua angkatku menyiapkan hampir semuanya... Dan melihat kesungguhan mereka, terutama Munno-shi, aku tidak sampai hati menolak...”
”Tentu saja, memang banyak hal mengejutkan terjadi akhir-akhir ini, bukan?” tanya Chenmyeong sambil menatap buketnya. ”Deokman, ingat, apapun yang terjadi, tangkap buket ini. Aku akan mendoakan kalian!!”
”Siap bos!!” jawab Deokman sambil meletakkan tangan di samping dahinya. Dengan segera tawa renyah memenuhi ruangan itu.
Di ruangan sebelah, Alcheon sedang asyik bercanda dengan Bidam, menikmati detik-detik pelepasan masa lajang Alcheon. ”Kau kelihatan senang...” tukas Bidam sambil memandang Alcheon dari atas sampai bawah.
”Oh ya? Kau tidak tahu, sebenarnya aku merasa sangat gugup!!” ia berbisik dan tertawa sambil memandang pantulannya di cermin. ”Dan dasi kupu ini membuatku terlihat konyol...”
”Hyung, kau aneh sekali. Biar kuberi tahu satu rahasia. Kau pantas dengan dasi itu. Percayalah...”
”Dasar anak ini!!” Alcheon meninju lengan Bidam pelan. Mereka tertawa lalu dalam sekejap tersenyum grogi. ”Berikutnya, aku juga akan mendoakan kebahagiaanmu... Bagaimana lamaranmu?”
”Oh hyung, kau jangan pernah meremehkanku!!!” jawab Bidam sambil memainkan alisnya. Mereka spontan tertawa terbahak-bahak. ”Tidak akan ada yang berubah, bukan?”
”Selamanya,” tegas Alcheon sambil mengangguk.
”Selamanya,” ulang Bidam. Dan mereka dengan kompak menempelkan kepalan tinju kanan mereka, tanda persahabatan sejati.
------------------------------============================----------------------------------------
”Wedding kiss yang indah...” puji Deokman sambil memandang panggung dengan terpesona. ”Dan mereka kelihatan sangat bahagia...”
”Mereka pantas mendapat yang terbaik, bukan?” tanya Bidam sambil tertawa. Ia menyuapkan sepotong kue dan Deokman mengunyahnya pelan. ”Sebentar lagi acara pelemparan buket, lohh...”
”Oh ya? Wahh... bisakah aku mendapatkannya?” tanya Deokman sambil memandang sekeliling dengan gugup. Ia berjinjit lalu menatap sekelilingnya. ”Mereka sudah berkumpul di sana! Ayo!!” ajak Deokman sambil menarik lengan Bidam.
”Loh? Aku juga?” tanya Bidam bingung. Namun ia menurut saja.
”Pengantin kita yang cantik akan segera melemparkan buketnya. Kira-kira siapakah sosok yang beruntung malam ini???” tanya MC itu dengan gayanya yang luwes. ”Baiklah, semuanya ambil posisi... pengantin silahkan ke tengah panggung...”
Chenmyeong berjalan ke tengah didampingi Alcheon. Berdua mereka memegang buket itu. Deokman menahan nafas ketika aba-aba untuk melempar dikumandangkan. Ia pun ikut menghitung dalam hati. Satu...dua...tiga...!!!!
Deokman memandang dengan kecewa saat buket tidak jatuh ke arahnya, namun Bidam dengan cepat bergerak di antara tangan-tangan yang masih memperebutkan buket. Ia bergerak ke kiri dan ke kanan... lalu... ”Berhasil!!” soraknya, lalu membawa buket itu dengan gembira.
”Berhasil!!” seru Deokman dengan mata berbinar-binar. ”Kau berhasil!!!” serunya senang lalu memandang kagum ke arah Bidam.
”Aku akan memberikannya padamu... seperti yang pernah kulakukan dulu...” ujar Bidam sambil disaksikan berpuluh-puluh pasang mata di samping mereka. Deokman menerima bunga itu dengan senyuman, dan dalam sekejap, semua yang hadir di sana bertepuk tangan, merestui kebahagiaan mereka.
---------------------------------------=========================-------------------------------------
”Bagaimana?” tanya penata rias itu sambil menatap ke cermin di depan mereka. Mishil yang berada di dekat pintu mengangguk puas. ”Sangat cantik,” ujarnya menyetujui. ”Deokman, kenakan gaunmu, sepertinya ada seorang tamu di luar...”
Deokman memandang wajahnya dengan terkejut di cermin, masih tidak percaya ia bisa dirias begitu cantik dan sekaligus natural. ”Siapa?” tanyanya sambil memandang Mishil bingung.
Dua orang gadis membantunya memakai gaun pengantinnya yang merupakan modifikasi princess gown dengan slim style. Kerut di pinggang dan lipit di bagian dada membuat tubuhnya tampak ideal sekaligus menonjolkan pinggangnya yang ramping. Detail gaun itu membuatnya tampak dewasa sekaligus anggun.
”Your best-man,” jawab Mishil sambil memberikan senyuman seperlunya. ”Dan dia cukup tampan,” lanjutnya sambil menambahkan sebuah senyum penuh arti.
”Yushin-shi?” tanyanya tidak percaya. ”Apakah ia boleh masuk?” ia bertanya seolah meminta ijin dari Mishil. Mishil mengangguk mengiyakan, dan dengan segera ia berlalu dari ruangan itu.
Terdengar ketukan tiga kali dan Deokman segera menyahut, meminta pria itu masuk. Yushin melangkah masuk dalam balutan jas formal, membuat penampilannya yang ditunjang oleh tubuh tegapnya semakin karismatik.
”Malam,” sapanya saat masuk. Ia memandang Deokman dan terpana sesaat. Segera setelah mampu mengendalikan diri, ia tersenyum santai. ”Kau sangat cantik,” pujinya. Dan ia memang tidak berbohong.
”Terimakasih,” sahut Deokman. ”Dan terimakasih juga karena kau mau datang.... dan menjadi pengiring laki-lakiku...” pria itu mengangguk dan tersenyum datar. ”Sudah bertemu Bidam?” tanya deokman, bermaksud mencarikan suasana yang kaku.
”Sudah, dia sangat tampan,” puji Yushin, lagi-lagi ia tidak berbohong, tentu saja. ”Dan ia terlihat bahagia...” ujar pria itu lagi. Wajahnya tersenyum tapi pandangan matanya terlihat muram. ”Aku turut senang atas kebahagiaanmu. Dan walaupun mungkin aku tidak akan muncul sementara waktu di hadapanmu... Atau mungkin aku butuh waktu untuk menerima ini semua, aku ingin mengatakan satu hal...”
Deokman menunggu dengan sabar sementara pria itu mencoba mengendalikan perasaannya, menghela nafas, menarik dan melepaskannya lagi, lalu akhirnya bicara. ”Aku senang bisa mencintaimu, dan aku juga senang bisa mengenalmu, dan lebih dari itu, apakah... kau bisa menerimanya?”
”Sebagai sahabat?” tanya Deokman sambil tersenyum dan mengulurkan tangan.
”Sebagai sahabat...” angguk Yushin. Ia tesenyum lalu memeluk gadis itu pelan. ”Semoga bahagia... Akhirnya kalian berdua bisa bersatu...”
”Ya,” jawab Deokman. ”Tapi ini bukan sebuah akhir... melainkan suatu permulaan untuk kita semua...”
---------------------------------===========to be continued===========---------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar