Tampilkan postingan dengan label Fanfic the future and the past. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fanfic the future and the past. Tampilkan semua postingan

Kamis, 12 Agustus 2010

Fanfic The Future and the Past 45

-------------------------------------------------------------------------------------------------
FORTY FIFTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Ho Jae: Go Yoon Hoo (memakai nama asli di FF)
Bakui: Jang Hee Woong (memakai nama asli di FF)
Kim Yong Soo : Park Jung Chul(nama asli): Jung Yong Soo (nama di FF)
lady Ma Ya (King Jinyeong's wife) : Yoon Yoo Sun (Ibu dari Yo Won dan Ye Jin, memakai nama asli di FF)
General Ga Baek: Seo Bum Shik (memakai nama asli di FF)
Yeom Jong
-------------------------------------------------------------------------------------------------

─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“Dia akan lumpuh selamanya…” tukas dokter itu sambil membetulkan letak kacamatanya.

Aku memandang pria yang sudah merenggut nyawa Nam Gil dari kaca luar. Sekujur tubuhnya terbalut perban. Luka bakarnya terlihat parah dan beberapa hantaman merusak saraf penggeraknya.

Dari surat kabar dikatakan kalau Pamannya, Seo Bum Shik langsung tewas di tempat saat mesin mobil mereka komplikasi dan menabrak pembatas jalan, berulang kali terguling sampai akhirnya meledak.

“Kurasa itu karena tembakan yang dilakukan Nam Gil di mesin mereka… Kukira meleset, ternyata tidak… Pria itu akan lumpuh selamanya. Menyedihkan…”

Perasaanku sudah membeku. Bahkan ucapan Yoon Hoo yang mengasihani mereka tidak membuatku tersentuh. “Mereka pantas mendapatkannya,” ujarku dengan suara dingin dan kaku.

“Ya, dalam keadaan seperti itu, lebih baik mati daripada cacat seumur hidup…” Yoon Hoo menepuk pundakku dan Ye Jin yang berdiri di sebelahku merangkulku lembut.



Seoul, dua tahun kemudian…

─Lee Yo Won, Seoul, 2010─

“Yo Won, kau sudah siap?” tanya Ye Jin sambil mengintipku. “Oh, waw, kau cantik sekali, Yo Won…”

“Thanks, tapi aku sebetulnya masih malas pergi…” balasku sambil menghela nafas panjang.

Hari ini adalah hari pernikahan Baek Do Bin dan Park Ri Chan. Mereka mengatakan kalau kedatanganku ke sana sama seperti kedatangan Nam Gil sendiri. Terpaksa aku menerima undangan mereka, walaupun rasanya seperti membuka luka lamaku.

“Kau masih mengingatnya?”

“Aku tidak mungkin melupakannya. Sampai kapanpun…”

“Kau cantik Yo Won. Dan pria di dunia ini ada ribuan…” Ye Jin memelukku dan menepuk pipiku lembut. “Sudah saatnya kau bergerak maju…”

“Entahlah, Ye Jin…” jawabku, meraih tasku dan pergi.

Ye Jin ada kencan hari ini dengan Yong Soo dan sudah sepantasnya aku tidak mengajaknya. Sebagai gantinya, aku meminta Yoo Jin, adik Nam Gil menemaniku. Semenjak kepergian kakaknya, kami jadi sangat dekat.

Entahlah, sampai detik ini aku tidak bisa menyebutnya kematian. Aku percaya ia masih ada di sampingku, dan semua ini hanya mimpi buruk. Oleh karena itu, aku hanya mampu menyebutnya… ‘kepergian’, bukan ‘kematian’.

“Hai Yo Won, kau cantik…” puji Yoo Jin sambil memelukku dan menunjukkan mobil tunangannya padaku.

“Ke Hotel Grand Hyatt Seoul…” ujar Yoo Jin sambil tersenyum pada si supir yang tidak lain tidak bukan adalah Kak Sang Wook yang dimintanya untuk mengantar kami.

“Maaf merepotkan Kak Sang Wook…” ujarku berbasa-basi.

“Tidak apa Yo Won… kebetulan searah dengan jalanku ke apartemen adikku…” jawabnya sambil tersenyum kasual. Yoo Jin mengedipkan mata dan mereka tertawa bersama.

Aku masih tidak bisa melihat kebahagiaan semacam itu. Ada rasa sakit mendalam saat melihat keakraban orang di sampingku dengan pasangan mereka masing-masing. Rasanya… entahlah, terlalu menyakitkan. Aku tidak boleh iri, aku tahu itu. Sebagai gantinya, rasa sakit mendalam menusuk hatiku.

“Sudah sampai, dan selamat bersenang-senang Yo Won… Dan Yoo Jin, ingatlah aku kalau ada cowok tampan di sana…” canda Sang Wook sambil melajukan mobilnya.

“Kuharap kami tidak membuatmu sakit hati, Yo Won…” ujar Yoo Jin sambil memandangku dengan sepasang mata bulatnya. Senyumannya terlihat resah.

“Tidak apa-apa, Yoo Jin… aku paham kok…” jawabku, berusaha menenangkannya. Tentu saja aku berbohong.

“Semoga pestanya menyenangkan! Lihat, tempatnya semewah ini, pasti makanannya lezat!” seru Yoo Jin sambil melangkah dengan gembira. Aku mengiringinya sambil tersenyum.

“Yo Won, sebentar, aku ke toilet dulu untuk merapikan dandananku ya…” ujar Yoo Jin sambil tersenyum manis.

Aku berdiri di samping pintu, kemudian berbisik pada Yoo Jin. “Aku cari minum dulu…” ia menjawab ya dan kemudian kakiku bergerak ke tempat minuman. Rasanya tiba-tiba haus sekali.

“Ups, maaf…” ujarku kaget, ketika mendadak tanganku menyentuh tangan seorang pria saat kami bermaksud mengambil gelas yang sama.

Tanganku mendadak terasa aneh. Tidak mungkin, tetapi… rasanya sentuhan itu begitu familiar… rasanya… aku mengenalnya… Pelan, kuangkat kepalaku dan jantungku nyaris lepas melihat pria di depanku begitu mirip dengan Kim Nam Gil.

“Nam Gil?” tanyaku, nyaris pingsan dan tidak mempercayai penglihatanku sendiri. Tanganku berusaha mengingat sentuhan sekilas tangannya di kulitku. Rasanya begitu nyata… ini bukan mimpi…

Alisnya yang tebal bertaut bingung, namun senyumannya tetap seramah biasanya. Kalimat berikut yang meluncur di bibirnya membuat nafasku terhenti beberapa detik.

“Apa aku mengenalmu?”







─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

Wanita cantik di depanku tersenyum kaget. Ia memandangku dari atas sampai ke bawah. “Kau… Kim Nam Gil?” tanyanya lagi.

Ada yang salah dengan wanita ini. Suaranya… wajahnya… gerak-geriknya… semuanya menimbulkan sensasi aneh di dadaku. Rasanya begitu sulit mengambil nafas saat ia berdiri di depanku dan menatapku dalam-dalam.

“Benar, kalau tidak salah memang itu namaku…” jawabnya. “Tapi Nam Gil, cukup Nam Gil saja…”

Aku masih berusaha mengingat sentuhan tangannya di kulitku. Rasanya seperti kejutan listrik. Seperti biasanya… kepalaku terasa sakit lagi… Selalu saja begini tiap kali ada peristiwa kecil yang terasa tidak asing denganku.

Aku mengenali sentuhan itu. Entah bagaimana aku cukup yakin dengan pikiranku itu. Dan melihatnya, mendnegar suaranya, tenggorokanku terasa panas. Aneh, aku merasa… ingin menangis saat membalas tatapan matanya.

“Yo Won, ternyata kau di sini…!!” seru seorang gadis cantik sambil menghampirinya. Gadis ini juga memandangku dengan kaget. “Kak Nam Gil?!” serunya kaget.

“Kau mengenalku?” tanyaku lagi. Kali ini mereka berdua terdiam.

“Apa yang terjadi?” tanya gadis itu pada wanita pertama.

“Dia bilang namanya Nam Gil. Itu saja… dan dia bertanya apa aku mengenalnya atau tidak. Yoo Jin, mungkin aku gila, tapi.. rasanya dia benar-benar Kim Nam Gil…”

“Yo Won, kalau dia tidak mengenalmu, berarti dia memang bukan kakak… Tapi, ada berapa orang yang nama dan wajahnya sama di Korea?”

Namanya… Yo Won… dadaku berdentam keras mendengarkan nama itu. Dan Yoo Jin… rasanya aku sering mendengarmya. Entah di mana.

“Selamat datang, Yo Won…” ujar seorang pria di belakangku. Aku mengangguk hormat ke arahnya dan tersenyum. “Kalian sudah bertemu, rupanya…”

“Baek Do Bin, mungkin kau bisa jelaskan padaku ada apa ini sebenarnya…” ujar wanita itu dengan suara tegas dan dalam.

“Dia Kim Nam Gil, aku menyelamatkannya, dari kebakaran yang dibuat Yeom Jong. Dan ingatannya hilang, karena tembakan di pelipisnya dan gumpalan darah akibat pukulan-pukulan keras di kepalanya…”

Dadaku berdebar keras mendengar penuturan Baek Do Bin. Selama dua tahun terakhir, bekerja dengannya sebagai general manager di perusahaan miliknya, ia merahasiakan identitasku karena tiap kali menceritakannya, kepalaku terasa sakit seperti mau meledak.

Apakah… aku mengenal wanita ini seperti halnya ia mengenalku? Jantungku terus berdebar. Ada amarah yang tidak bisa kusembunyikan saat mendengar nama Yeom Jong disebutkan. Kenapa?

“Yo Won!” Yoo Jin berteriak kaget saat melihat wanita bernama Yo Won mendadak limbung.

Sebelum wanita itu jatuh pingsan, aku keburu menangkapnya. Dan detik itu juga, bagai sambaran petir, kepalaku terasa sakit luar biasa.

“Arrgh…” erangku sambil memegangi kepalaku.

“Ada apa? Kenapa dia?” Yo Won menatapku bingung dengan matanya yang berkaca-kaca. “Baek Do Bin! Kenapa dia!?”

“Selalu begitu setiap kali aku berusaha mengingatkannya akan masa lalunya…”

“ARRGGHHH!!” sakit kepalaku bertambah hebat ketika Yo Won menyentuhku dan memelukku. Aku mengerang dan bergerak liar dalam pelukannya. Sakit kepala menghentak-hentak kepalaku seperti akan memecahkannya.

“Seseorang, tolonglah dia… hentikan.. kau sudah tidak eprlu mengingatnya.. Lupakan… lupakan saja aku…” serunya dengan air mata tertahan.

Tanganku terangkat menghapus air matanya. Ia memandangku ragu sebelum akhirnya menyebutkan sebuah nama… “Bi Dam…”


Berbagai ingatan merembes masuk ke otakku. Rasanya menyakitkan seperti pukulan-pukulan berkali-kali di kepalaku.

Suara-suara bergantian mengisi kepalaku.

“Kau sudah tamat, Kim Nam Gil….”

“Kau sudah janji Nam Gil.. kau akan pulang…”

“Maafkan aku, Yo Won…”

“Kak Nam Gil!!”

“Aku mencintaimu…”

“Bi Dam…”

“Deok Man…”

Dan detik itu, kepalaku terasa ringan, pemandangan berputar dan segalanya menghitam.


─Lee Yo Won, Seoul, 2010─

“Kapan dia akan sadar?” tanyaku pada Dokter jaga di klinik itu. Untunglah tidak sulit menghubungi Hee Wong. Yoo Jin terus bersamaku dan dialah yang mengucapkan salam pada Baek Do Bin dan Ri Chan lalu mengucapkan pamit pada mereka.

Dalam sekejap Hee Wong dan Yoon Hoo, serta Yong Soo dan Ye Jin sudah berkumpul di tempat itu.

“Dia akan sadar ketika obat penenangnya habis… mungkin sekitar dua tiga jam lagi…”

“Maafkan aku karena merusak kencanmu, Ye Jin…” ujarku sambil menatap Ye Jin.

Saudariku menatapku simpatik dan tersenyum. “Sudahlah, yang penting semuanya baik-baik saja. Dan ternyata dia masih hidup…”

Tiga pria itu memandang Nam Gil yang terbaring tidak sadar dengan ekspresi senang. “Jadi dia masih hidup, brengsek Baek Do Bin tidak cerita apapun.,. Tetapi, syukurlah…”

“Ya, hebat juga Do Bin…” puji dua lainnya. “Dan syukurlah, dia masih hidup…”

Yong Soo menatapku dan tersenyum. “Soal kenangan, kalau dia masih tidak bisa mengingatnya, kau buat saja yang baru bersamanya…”

“Aku tahu itu,” jawabku menyetujui. Kenyataan kalau dia masih hidup adalah hal terindah dalam hidupku.

“Pengunjung dpersilakan masuk…” ujar perawat itu. Aku mengangguk dan mempersilakan Yoo Jin dan sahabat Nam Gil masuk, namun mereka menolak dan menyuruhku segera masuk.


Nafasnya terdengar teratur, walaupun wajahnya masih terlihat pucat. Nam Gil pria yang kuat. Belum pernah aku melihatnya begitu menderita seperti tadi. Seolah kepalanya akan pecah tadi. menyedihkan…

Aku menyentuh tangannya dan mengusapnya pelan. “Kau janji… kau akan pulang… Mungkin terlambat dua tahun, tetapi kau memenuhinya… terimakasih, Nam Gil…” air mata meluncur turun dari pipiku.

Tiba-tiba sebuah tangan mengusap pipiku lembut dan menghapus air mataku. “Kau masih saja cengeng, Yo won…” ujar suara itu.

Aku memandang raut wajah di depanku dengan mimik tidak percaya. “Kau… mengingtku… Nam Gil?” tanyaku dengan suara bergetar.

“Maaf, Yo Won…” tangannya bergerak menyusuri tulang pipiku. “Mungkin terlambat, tetapi… aku sudah pulang….”

Aku memeluknya dan menangis sesunggukan di pelukannya. Nam Gil tersenyum dan ia mengusap punggungku, berusaha meredakan tangisku. “Maaf membuatmu menunggu lama…”

“Lama sekali, tahu…” balasku setengah mengomel.

“Kalau begitu, apa kuucapkan sekarang saja?” tanyanya sambil mencium dahiku lembut. “Aku… ingin menikahimu, Yo Won…”

Mataku kututup perlahan dan bibirnya menekan bibirku lembut. Awalnya bibirnya hanya menyentuh bibirku bagai sapuan ringan marshmallow. Namun, ketika tanganku kulingkarkan di lehernya, ciumannya bergerak semakin mendalam dan semakin menuntut.

Dentang lonceng kebahagiaan berkumandang di kepalaku. Saat menoleh ke samping, wajahku serta merta memerah melihat Yoo Jin, Ye Jin, Yong Soo, Hee Wong dan Yoon Hoo bersorak dari kaca rumah sakit.

Nam Gil tertawa dan memelukku sambil mengeluarkan tanda victory dengan jarinya. Kali ini kami takkan terpisahkan lagi, selamanya, selamanya, dan selamanya. Aku tahu itu…





TAMAT



Note: fyuhh... finally, it's done...

Fanfic The Future and the Past 44

-------------------------------------------------------------------------------------------------
FORTY FOURTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Ho Jae: Go Yoon Hoo (memakai nama asli di FF)
Bakui: Jang Hee Woong (memakai nama asli di FF)
Kim Yong Soo : Park Jung Chul(nama asli): Jung Yong Soo (nama di FF)
lady Ma Ya (King Jinyeong's wife) : Yoon Yoo Sun (Ibu dari Yo Won dan Ye Jin, memakai nama asli di FF)
General Ga Baek: Seo Bum Shik (memakai nama asli di FF)
Yeom Jong
-------------------------------------------------------------------------------------------------
─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

“Yong Soo? Bagaimana keadaan di sana?” Yoon Hoo melakukan hal yang sama denganku, menggunakan handsfree dan tidak melepaskan pandangannya dari mobil di depan kami. Mereka memasukkan sejumlah bagasi dan bersiap pergi. “Di rumah itu tampaknya tidak ada perubahan? Oke, ya, kami sudah menemukan mereka. Kalian segeralah kemari. Tempatnya di….”

“Mereka bergerak…”

“Kalian menyusullah selagi sempat…” ucapan Yoon Hoo terputus begtiu saja. Ia segera meraih motornya dan menghidupkan mesin. Sebisa mungkin kami menjaga jarak.

Tidak lama giliran ponselku yang bergetar. “Do Bin?” sebuah suara menjawabku dari seberang.

“Tampaknya penerbangan mereka sejam lagi. Kalian sudah menemukannya?” tanya Do Bin.

“Ya, sekarang ia berada di pom bensin yang jaraknya sekitar 200 meter dari bandara…” Do Bin menyarankan diri untuk ikut dan aku tidak sempat menjawabnya karena pria itu sudah bergerak lagi. “Nanti kuhubungi lagi…” ucapnya saat memutuskan teleponnya.

“Mereka ke sana…” Yoon Hoo mengikuti petunjukku. Pria itu pandai memanfaatkan jalan-jalan sempit untuk mencapai tempat tujuannya. Tampaknya rencana ini sudah mereka siapkan dari dulu.

“Jalan buntu!!” tukasku dan Yoon Hoo bersamaan. Dari belakang, suara deruman mobil mengejutkan kami. Yoon Hoo memandangku dengan wajah pucat pasi.

“Kita terjebak…” ujarku dengan suara bergetar.

“Bukan, dia yang menjebak kita… Ternyata dia tidak sebodoh dugaanku…” suara Yoon Hoo terdengar panik, namun ia mengusahakan eskpresinya tetap tenang.

Mobil itu berhenti di depan sudut jalan dan menghalangi kami kabur. Aku berpandangan dengan Yoon Hoo, dan kami berdua bergerak turun dari motor. Dua orang Seo Bum Shik turun dari mobil dan mengamati kami dengan senyuman menyeringai.


─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“BLAMMM!!!”

“Ye Jin! Kalau tutup pintu pelan-pelan, dong…” gerutuku sambil menghembuskan nafas kesal. “Perasaanku lagi nggak enak nih!!”

“Perasaanku juga nggak enak, Yo Won. Sorry…” sahut YeJin sambil menghempaskan tubuhnya ke kasur. “Apa yang mereka lakukan sekarang?”

“Tidak tahu. Kita hanya bisa menunggu kabar dari mereka…” jawabku dengan perasaan campur aduk. “Kenapa sih sementara para pria maju ke medan perang, para wanita hanya bisa menunggu dengan perasaan kacau setengah mati?”

“Tidak tahu, Yo Won...” ucapan Ye Jin terhenti saat melihat wajahku. “Ya ampun, coba lihat wajahmu! Kau seperti hantu!!”

“Aku memang akan jadi hantu kalau ia pergi meninggalkanku….”

“Sama denganku…”

─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

“Akhirnya aku bisa membalas sakit hatiku, Kim Nam Gil…” ujar Yeom Jong. “Seharusnya kau tidak perlu membantu Do Bin…”

“Kau yang seharusnya tidak perlu merusak hidup orang lain. Dan kau membunuh orang hanya supaya kau bisa melarikan diri…”

“Itu bukan urusanmu. Dan sekalian kukenalkan, Pamanku, Seo Bum Shik yang ternyata juga pernah sakit hati padamu…”

“Bahumu tidak sakit lagi kan?” tanyanya sambil tersenyum culas. “Tapi hatiku masih sakit dan jujur saja, melihatmu, darahku semakin mendidih…”

“Terimakasih untuk salamnya yang hangat…” jawabku sambil meludah ke tanah di depan mereka. “Kau menjebakku karena menyadari aku mengintaimu?”

“Aku menyadarinya dari pom bensin…” Yeom Jong tertawa culas. “Dan temanmu, apa aku kenal? Oh, ya, dia si pria di asrama dulu… Hmm… aku tidak punya dendam padanya, tetapi sayang sekali, dia berada dalam posisi tidak tepat…”

“Kalian pecundang…” ujar Yoon Hoo. Ia mengeratkan kepalan tangannya dan memandang dua pria di depannya dengan berani.

“Kau jangan gegabah. Sebaiknya kau melarikan diri dan membantuku memanggil bantuan…” bisikku ke Yoon Hoo begitu dua pria itu saling mendiskusikan cara terbaik membunuhku, kalau aku tidak salah dengar.

“Mereka hanya berdua…” protes Yoon Hoo sambil setengah berbisik.

“Pria macam mereka tidak akan bergerak hanya dengan dua orang. Dengarkan aku, begitu aku maju dan menyerang mereka, kau lari dan memanggil bala bantuan. Percayalah, larimu sangat cepat…”

“Tapi Nam Gil…” Yoon Hoo terlihat mencemaskan keadaanku.

“Dengarkan saja aku. Dan kemudian, kalau ada sesuatu yang terjadi padaku, kau berikan ini pada Yo Won…” secepat kilat kuselipkan sebuah surat ke saku jaket hitam Yoon Hoo. “Kau harus ingat janjimu pada Rae Na…”

“Hati-hatilah Nam Gil…” ujar Yoon Hoo sambil menatapku dengan pandangan serba salah. Ia bersiap di tempatnya, menunggu aba-aba dariku.

“Halo? Kalian ke sini sekarang…” ujar Yeom Jong di teleponnya.

Secepat kilat kakiku kulangkahkan ke arah mereka. Memanggil bawahan pasti butuh waktu. Dan waktu adalah hal terpenting untuk membantu Yoon Hoo pergi dari sini.

“Brengsek!!” ujar Yeom Jong saat tendanganku mengenai perutnya. Seo Bum Shik membekukku dari belakang dan begitu kuputar tubuhku, kakinya malah menghantam keponakannya sendiri.

“Pergilah, Yoon Hoo!!” seruku begitu tanganku menahan kerah baju Yeom Jong dan menjatuhkan pukulan bertubi-tubi ke arahnya. Dalam waktu yang sekejap itu, pistol Yeom Jong kutembakkan ke mesin mobilnya.

“Tembakanmu meleset, Nam Gil!!” seru Seo Bum Shik puas. Ia menghantamku dan secepat itu pula kubalas pukulannya.

Yoon Hoo berlari pergi dengan langkah lebar dan memanjat kap mobil lalu melompat lari dari lorong kami. Bafasku berangsur lega ketika sosoknya tidak lagi terlihat.

“Jangan biarkan dia lolos!!” seru Seo Bum Shik. “Mana anak buahmu!!” serunya gusar pada Yeom Jong. Ia berlari namun kuhempaskan tubuhku menubruknya.

“Lepaskan! Lepaskan aku!!” serunya kalap. Dengan gusar ia meraih benda apapun untuk melempariku. “Yeom Jong! Kejar! Kejar temannya itu!”

Yeom Jong menggosok kepalanya dan menggerakkannya. Ia terlihat sempoyongan dan dengan mudah terjatuh ketika kakiku menjegalnya. “Aku tidak akan biarkan kalian melukainya…” seruku marah.

“Kalian! Lama sekali kalian datang!!”

Wajahku memucat melihat beberapa pria bertubuh besar datang ke hadapanku. Jumlah mereka sekitar 10 orang. Kalau kondisiku baik, mungkin aku masih bisa menghadapi mereka.

Tapi, selain keadaanku terjepit, kondisiku juga tidak lagi prima. Apakah keputusanku menyuruh Yoon Hoo pergi adalah keputusan yang salah? Tidak. Tidak. Ini adalah masalahku sendiri. Dan aku… harus bisa mengatasinya sendiri. Maafkan aku, Yo Won… mungkin… aku tidak bisa pulang…

Pria itu mengepungku dan memukuliku. Aku membalas sekuat tenaga tetapi tenagaku semakin habis sementara jumlah mereka semakin bertambah. Akhirnya aku kalah dan semakin terdesak. Tubuhku dioper ke kiri dank e kanan, dan dihadiahi pukulan di sekujur tubuhku.

“Kau tamat Nam Gil…” Yeom Jong mengeluarkan tawanya yang licik. Ia menjentikkan jarinya dan beberapa anak buahnya menyiramkan minyak ke kardus-kardus di dekatku.

“Selamat tinggal…” perlahan, Yeom Jong mengangkat pistolnya dan mengarahkannya ke kepalaku. Mataku nyaris buram oleh darah dari kepalaku. Ia menarik pelatuknya dan nafasku tersangkut di tenggorokanku.

Maafkan aku, Yo Won… mungkin… aku tidak bisa pulang…

─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

Beberapa tubuh perkasa mengelilinginya dan menjatuhkan sejumlah pukulan bertubi-tubi ke tubuhnya. Wajahnya pucat namun dipenuhi darah… hentikan.. cukup… cukup…

“Jangan! Jangan! Jangan!”

“Yo Won! Yo Won! Bangunlah!!” Ye Jin mengguncang tubuhku beberapa kali, membangunkanku dari mimpi.

“Hah! Apa… apa yang terjadi…?” tanyaku, memegang dahiku dan menyentuhnya. Keringat membasahi peluhku.

“Kau mimpi buruk?” tanya Ye Jin. Aku mengangguk. “Masih kilasan itu?”

“Bukan.. mimpi itu sudah lama sekali tidak muncul sejak ingatanku kembali… Aku memimpikan Nam Gil… dia.. dikeroyok…”

“Doakan saja semoga ia tidak apa-apa…” Ye Jin memelukku dan menepuk punggungku beberapa kali, mencoba menenangkanku.

“Masih belum ada kabar?” tanyaku dengan suara getir.

“Belum…” ujar Ye Jin sambil memaksakan senyuman di bibirnya. “Barangkali….” Namun, belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, sebuah suara memanggil nama kami berdua.

“Ye Jin! Yo Won! Ada tamu!!” seru Mama dari lantai bawah. Kami berpandangan dan dengan segera berlarian dan berebutan menerobos turun tangga.

Yoon Hoo, Hee Wong dan Yong Soo berdiri di depan pintu dengan wajah kuyu. Ye Jin langsung melompat ke pelukan Yong Soo dan menangis bahagia karena lega.

“Apa yang terjadi? Bagaimana?” suaraku bagai melayang tidak menentu. “Mana… Nam Gil? Kenapa aku tidak melihatnya?”

“Yoon Hoo, bicaralah…” ujar Hee Wong menyenggol siku Yoon Hoo yang berdiri kaku di sampingnya. Wajahnya muram.

“Nam Gil menghadapi mereka sendirian… dan ia menyuruhku pergi memanggil bantuan. Ketika aku kembali.. di sana sudah jadi lautan api…”

Aku memandang pria tegap itu dengan perasaan tidak percaya. Wajahnya terkena beberapa luka bakar. “Kau… menemukannya? Kau menemukannya, iya kan?”

“Maaf Yo Won…” tangis Yoon Hoo meledak seketika. Ia meletakkan tangannya di bahuku dan mengeraskan rahangnya. “Aku tidak menemukannya….dalam lautan api itu…”

“Apa…” suaraku hilang bagai tercekik. “Kau.. bohong kan…” aku nyaris tidak bisa mengenali suaraku sendiri. “Kau bohong! Katakanlah kau bohong padaku!!”

“Aku juga tidak percaya! Seharusnya aku menemaninya!” Yoon Hoo memukuli dadanya sendiri dengan perasaan hancur. “Seharusnya aku tidak mendengarkan perintahnya!!” ia menyalahkan dirinya sendiri.

Bahunya berguncang-guncang dengan pedih. Teman-temannya menahannya agar tidak jatuh. Kakiku terasa begitu lemasnya sampai-sampai Ye Jin membantuku tetap berdiri.

“Kembalikan… Nam Gil.. tidak..” tangisku meledak di bahu Ye Jin. “Dia janji… akan kencan denganku… kami akan menghitung countdown bersama…” nafasku terasa naik turun di dadaku. “Dan dia… dia sudah janji… akan pulang…”

“Nam Gil menitipkan ini untukmu…” Yoon Hoo mengulurkan sebuah surat yang tersimpan rapi di sakunya. Tanganku bergetar saat mengenali tulisan yang rapi dan tegas menuliskan namaku. Tulisan Nam Gil.

Yo Won,

Saat kau menerima surat ini, mungkin aku tidak lagi bersamamu…
Aku menjanjikan akan pulang, tetapi, maaf karena aku tidak bisa memenuhi janji itu. Sebagai gantinya, saat malam tiba, kau bisa memandang bintang dan menemukan aku ada di sana…

Mencintaimu selamanya, dan akan terus mencintaimu, berapa kalipun reinkarnasi, kurasa aku akan terus mencintaimu…


Air mataku tumpah tiada henti. Ye Jin memelukku dari samping. Aku bahkan masih bisa mengingat ciuman darinya, genggaman tangannya, dan suaranya. Suaranya bahkan masih terasa begitu dekat denganku. Dan… aku tidak bisa melihatnya lagi….


-to be continued-

Jumat, 16 Juli 2010

Fanfic The Future and the Past 43

-------------------------------------------------------------------------------------------------
FORTY THIRD SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Ho Jae: Go Yoon Hoo (memakai nama asli di FF)
Bakui: Jang Hee Woong (memakai nama asli di FF)
Kim Yong Soo : Park Jung Chul(nama asli): Jung Yong Soo (nama di FF)
Seok Pum: Hong Kyung In (memakai nama asli di FF)
General Ga Baek: Seo Bum Shik (memakai nama asli di FF)
Yeom Jong
-------------------------------------------------------------------------------------------------
─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

“Dia sudah keterlaluan...” ujar Yong Soo sambil menghempaskan koran yang dibacanya dengan kesal.

Aku menaikkan alisku dan memandang koran itu selintas. Tentu saja aku tidak perlu lagi membacanya. Aku sudah tahu isinya. Pria itu kabur lagi, dan kali ini ia meledakkan tempatnya untuk menghilangkan jejaknya. Akibatnya, tiga nyawa penduduk sekitar yang tidak sempat meloloskan diri dalam kebakaran itu pun melayang.

”Dia sudah tidak tertolong lagi...” tukasku, kecewa.

”Dia sudah bukan manusia lagi...” tambah Yoon Hoo. Tangannya meremas koran itu. ”Ups, sorry, maaf Nam Gil, aku lupa ini koran yang baru kau beli...”

”Tidak perlu mencemaskan hal-hal kecil...” ujarku, memutar bola mataku. ”Polisi bahkan sudah memberikan iming-iming hadiah bagi mereka yang melihatnya. Di mana lagi dia bisa sembunyi?” tanyaku, berusaha memutar otakku.

“Ada yang kau lupakan...” Hee Wong muncul di pintu dengan seulas senyuman. ”Seandainya seluruh dunia memusuhinya, dia masih punya satu bawahan setia. Pria itu, kau kenal dengannya, Nam Gil...”

Selintas ingatan memenuhi otakku. ”Menurutmu dia ada di tempat Hong Kyung In?” tanyaku, nyaris tidak percaya aku telah melupakan nama itu.

Hee Wong mengedikkan bahunya pelan. ”Aku tidak tahu, tapi tidak ada salahnya kita mencoba mencarinya di sana...”

”Telepon polisi...” ujarku datar. ”Hari ini akan menjadi hari yang panjang dan melelahkan...”


─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“Kau akan pergi?” entah keberapa kalinya kuutarakan pertanyaan itu. Dan suara di seberang, masih menanggapiku dengan sabar.

“Aku akan pergi untuk mengakhiri semua kejahatannya. Dan selanjutnya, kita berdua bisa menjalani semuanya dengan cara yang lebih baik. Lalu, kalau aku tidak pulang, tolong jaga Ibu dan adikku. Dan kemudian, jangan berbuat hal bodoh. Dan… kalau aku pulang, aku akan menemui keluargamu untuk meminta mereka menyerahkanmu padaku…”

Air mata menetes pelan dan jatuh ke punggung tanganku saat kuusap mataku pelan. “Kalau begitu, kau harus pulang. Kau harus pulang, karena kau juga sudah janji mau kencan tengah malam denganku tanggal 31 desember. Dan kita akan menghitung countdown bersama-sama…”

“Aku akan mengusahakannya Yo Won… Tentu saja aku juga ingin pulang....”

”Tidak akan terjadi apa-apa, kan?” tanyaku, mendesaknya agar mengucapkan janji untuk pulang. Aku takut mendengar semua rencananya. Aku takut tidak bisa mendengar suara ini lagi selamanya. ”Berjanjilah,” desakku.

”Aku janji aku akan berusaha keras agar bisa pulang. Aku juga masih ingin memelukmu...”;

”Kau sudah janji ya, Nam Gil...” ujarku, meletakkan tangan di mulutku dan mencegah agar tangisku tidak pecah.

Nam Gil tidak segera menjawab, lama kemudian, ia berkata dengan suara berbisik. ”Aku mencintaimu, Yo Won....”

”Tuuut... tuut... tuut....”

Begitu telepon ditutup, air mataku berderai jatuh. Aku mencintaimu Nam Gil, dan demi Tuhan, kau harus pulang....


─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

”Bagaimana?” tanya Yong Soo begitu aku menyusul mereka mengintip dari balik semak-semak. Tanganku meraih teropong dan meletakkannya di depan wajahku.

”Buruk,” jawabku dengan perasaan campur aduk. ”Dimana polisi?”

”Belum datang. Mungkin mereka meragukan kita...” Hee Wong menatap teropongnya dan mendesah. ”Masing-masing dari kita akan pulang, harus... aku sudah berjanji pada Ji Hyun...”

Kutatap teman-temanku dan mengangguk paham. Mereka mengalami keadaan yang sama denganku. Kami semua harus pulang hidup-hidup, tidak bisa tidak.

”Itu dia!!” desis Yoon Hoo tiba-tiba. Kami semua menatapnya kaget dan kemudian mengarahkan teropong kea rah pandangannya.

“Arah jam 3…” ujar Hee Wong. “Di lantai dua. Aku tidak yakin, tapi kurasa itu mirip dengan Yeom Jong…”

“Dia tidak terlihat persis pria pendek itu, tapi kurasa itu dia. Lihat topi dan kacamata hitam itu, terlalu mencurigakan…”

“Kita amati dulu? Bagaimana, Nam Gil?”

Kami semua mengamati rumah Hong Kyung In dengan perasaan berdebar. Di lantai dua, tempat semua pandangan kami tertuju, tampak dua sosok tubuh sedang saling berhadapan dan tampaknya, mereka sedang mendiskusikan sesuatu.

Pria yang satu jelas adalah Hong Kyung In. Dan satunya lagi, mengenakan sebuah topi dan kacamata hitam yang menyamarkan wajahnya, ia terlihat familiar. Dan sangat tidak asing. Tetapi, entah bagaimana kurasa itu bukan dia.

”Kurasa kita dijebak...” ujarku, nyaris terkejut dengan suaraku sendiri.

”Apa maksudmu?” mereka semua menatapku dengan perasaan kaget. ”Maksudmu, dia tidak berada di sini?”

”Begini, pria itu sangat licik. Dan, kurasa ia tidak sebodoh itu untuk sembunyi di rumah orang yang dengan jelas bisa dicurigai, seperti Hong Kyung In. Jadi, kurasa itu bukan dia. Dan seharusnya di tangannya masih ada luka tembak hadiah dariku sewaktu di Rusia...”

“Jadi, di mana dia...?” Yoon Hoo mendecak kesal dan kemudian terlonjak kaget. “Itu dia! Aku tahu dia di mana! Seharusnya, maksudku, mungkin...”

“Dimana?” tanyaku. “Baiklah, kalian berdua berjaga-jaga di sini untuk mencegah kemungkinan dugaanku salah. Dan aku akan bersama Yoon Hoo ke tempat yang dimaksudkannya. Dimana itu, Yoon Hoo?”

“Begini, tolong maafkan kalau analisisku salah Nam Gil, tetapi.. kau ingat, Nona Ri Chan cerita soal kejadian di restoran di mana Seo Bum Shik kelihatannya bermusuhan dengan Yeom Jong, kurasa itu titik pentingnya...”

“Ya, ya, benar!” aku menepuk pundak Yoon Hoo dengan kagum. ”Benar! Itu dia missing pointnya!! Seo Bum Shik selama ini dikenal sebagai bekingan Yeom Jong, tidak mungkin dalam sehari semalam mereka bisa bermusuhan!!”

”Syukurlah kalau memang aku benar. Ayo kita ke sana Nam Gil!!” Yoon Hoo menstarter motornya dengan penuh semangat. ”Kita akan pergi dan pulang dengan selamat!!” serunya.

”Ya, tentu saja!” seruku, terkejut dengan luapan energi tiba-tiba dari dalam diriku. ”kalian berdua, aku serahkan semuanya untuk berjaga-jaga di sini. Dan tolong telepon polisi dan Baek Do Bin untuk datang ke kediaman Seo Bum Shik!!”

Begitu kami tiba di kediaman Seo Bum Shik, tempat itu ternyata kosong melompong. Tidak lama ponselku bergetar.

”Ya, ada apa Do Bin...”

”Kabar buruk Nam Gil, lebih baik kau ke airport sekarang juga... seorang mata-mataku mengatakan kalau ada penerbangan ke Amerika atas nama Seo Bum Shik. Dugaanku bukan dia yang berangkat...”

”Aku mengerti, aku akan ke sana sekarang!” samar-samar kudengar kalau Do Bin berkata ia akan menyusul kami.

”Apa yang terjadi?” tanya Yoon Hoo. Ia menyusul motorku dengan sekejap begitu haluan kuubah secepat mungkin.

”Ada kabar kalau nama Seo Bum Shik tercantum dalam penerbangan ke Amerika...”

Yoon Hoo mengangguk panik. ”Do Bin ke sana?”

“Aku tidak yakin, tapi kurasa demikian…”

”Semuanya jadi serba sulit!” Yoon Hoo mengumpat kesal dan bersamaku meningkatkan kecepatan motornya.

”Berhenti!!” tukasku tiba-tiba. Yoon Hoo terlonjak kaget dan mengerem semampunya. Ia berjajar denganku, menatapku dengan pandangan tidak mengerti.

“Aku mengenali mobil itu….” ujarku, memastikan suaraku cukup kecil. Mobil yang sama dengan mobil yang menjemput Seo Bum Shik saat ditahan di polisi karena memukulku dulu.

Nafas kami berdua tertahan di tenggorokan. Ada dua Seo Bum Shik di sana, dan jelas salah satunya palsu. Salah seorang lantas memasuki mobil itu dengan gayanya yang angkuh. Dan dengan jelas, aku bisa melihat bekas luka bakar panjang ditangan kanannya.

”Yeom Jong...” desisku.

”Ikuti mobil itu?” tanya Yoon Hoo. Ia menelepon polisi dan memberikan nomor polisi dari mobil di depannya.

“Kita ikuti...” jawabku, berusaha mendinginkan kepalaku. Anak buah Seo Bum Shik tampak berkeliaran di sekeliling mereka. Tidak boleh ada tindakan ceroboh yang membawa kami berdua ke kematian yang sia-sia.

-to be continued-

Fanfic The Future and the Past, side story 9

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
SIDE STORY 9
-A LONELY MAN-
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Karinna: Kim Rae Na
Ho Jae: Go Yoon Hoo (memakai nama asli di FF)
Fatimah: Kang Sung Fat
Kim Yong Soo : Park Jung Chul(nama asli): Jung Yong Soo (nama di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Kim Rae Na, Seoul, 2009─

“Hari ini makan apa ya…” Yoon Hoo menarik tanganku sambil menunjuk sebuah papan besar berwarna kecoklatan. ”Itu saja! ayo kita makan pizza!!”

Aku tertawa sambil mengikuti langkahnya. Entah keberapa kalinya kami berkencan, bergandengan tangan, dan makan bersama. Tapi, ia tidak juga menyatakannya. Hubungan kami masih tidak lebih dari sahabat yang super akrab.

Seolah kebaikannya tanpa batas untukku. Jangan-jangan.. dia memperlakukanku seperti adiknya? Hhh...

”Ada yang mengganggu pikiranmu ya?” tanya Yoon Hoo sambil menggigit pizzanya.

”Tidak juga,” elakku, mengaduk lemon tea milikku dan meminumnya. ”Kau sendiri kelihatan cemas...”

”Aku? Cemas? Tidak... tentu saja tidak...” ia tertawa kaget lalu memakan pizzanya lagi. Ia kembali terdiam dan menghela nafas. ”Baiklah, mungkin aku memang agak cemas...” cowok itu mengacak rambutnya pelan dan terlihat sangat gelisah di kursinya.

”Kau mau cerita padaku?” tanyaku, menatapnya langsung di matanya. “Aku tidak memaksa tentu saja...”

”Kau tahu kan, aku sudah cerita banyak padamu... soal Yeom Jong, soal Kim Nam Gil, dan Kang Sung Fat...”

Aku mengangguk dalam hening. Dunia berbahaya yang kukira hanya ada di film ternyata berada begitu dekat denganku. Yoon Hoo mengtakan Nam Gil membantu temannya untuk membubarkan kelompok mafianya, dan Yeom Jong mengacaukannya, mengakibatkan Kakak Sung Fat, sahabatku, meninggal. Perutku masih terasa mulas tiap kali mengingat masalah itu.

”Manusia bernama Yeom Jong itu...” aku bergidik sedikit saat menyebut namanya. ”Dia benar-benar...”

”Berengsek...” sambung Yoon Hoo, seolah memahami bahwa aku tidak akan sanggup memaki pria itu. aku mengangguk menanggapi ucapan Yoon Hoo. ”Dan dia, pria itu, dia gagal ditangkap. Aku cemas, akan keadaan Nam Gil...”

Aku mengangguk paham dan menyentuh tangannya. Yoon Hoo meremas tanganku dan membalas tatapanku. ”Kau harus berada di sampingnya dan melindungi sahabatmu. Ini saat yang sulit untuk kalian...”

”Ya, terimakasih Rae Na...” Yoon Hoo tersenyum sambil menatapku lembut. ”Aku bersyukur karena kau selalu ada di sampingku...”

”Begitu juga aku. Dan berkatmu, beratku naik tiga kilo bulan ini...”

Yoon Hoo tergelak kaget dan tertawa keras. ”Itu hal yang baik kan?” ia mengedipkan sebelah matanya padaku. ”Lagipula, aku suka gadis yang berisi...”

Candaanya selalu saja menyebalkan dan membuat pipiku terasa panas. Dasar Yoon Hoo. ”Kau menyebalkan,” ujarku, tentu saja tidak sungguh-sungguh.

”Tapi, kau menyukainya kan?” candanya lagi, masih dengan senyumannya yang sangat menggoda.

”Yah, lumayan...” jawabku sekenanya.


─Go Yoon Hoo, Seoul, 2009─

“Selamat malam!!” sapaku riang pada Nam Gil. Lee Yo Won duduk di sebelahnya. Tangannya berada dalam genggaman Nam Gil.

”Kau tidak mengajak pacarmu?” tanya Yo Won padaku.

Aku menggeleng dan menjawab dengan senyuman ringan. ”Belum, Rae Na masih belum jadi pacarku...”

”Kapan kau akan menyatakannya?” ujar suara yang lain, yang ternyata adalah milik Ye Jin. Ia muncul bersama Yong Soo dan tampak modis dalam mini dressnya.

”Semuanya berkumpul dan aku kesepian sendirian, ooh, kayaknya aku nggak bisa tertawa hahaha...” ujarku, merasa kering. ”Baiklah, karena semuanya sudah tahu situasinya, kita langsung mulai saja...”

”Aku akan menjaga Yo Won sepanjang waktu... dan Ye Jin akan dijaga Yong Soo... pokoknya selama Yeom Jong belum ditangkap polisi, pada masa kritis ini kita akan saling menjaga... pria itu licik dan kemungkinan besar ia akan menggunakan segala cara untuk membalaskan dendamnya...”

Pandangan Yo Won berubah cemas, dan Nam Gil menjawabnya dengan senyuman yang menenangkan. ”Tidak mungkin kan dia menyerang Rae Na?” tanyaku, tiba-tiba merasa tidak yakin dengan keamanannya.

”Kurasa tidak. Ia dendam padaku. Membenciku. Jadi... Aku harap, sebisa mungkin, aku tidak akan membawamu dalam bahaya, Yo Won...” ujar Nam Gil.

Yo Won menggeleng dan memintanya tidak cemas. Menyebalkan juga melihat adegan romantis tanpa siapapun disamping kita. Hh...

”Sekarang dia sudah menjadi buronan yang paling diincar polisi...” Yong Soo berujar pelan sambil berpikir dan menangkupkan tangannya. ”Siapapun yang melihatnya, segera hubungi polisi dan jangan bertindak sendirian...”

”Dan kuharap kau tidak gegabah, Nam Gil...” Yong Soo menatap Nam Gil dengan tatapan tajam. ”Aku tidak mau kehilangan calon adik iparku...” ujarnya. Mereka tertawa berbarengan.

”Bagaimana dengan Hee Wong? Tidak ada yang menghubunginya?” tanyaku. Kalau Hee Wong datang, ia pasti tidak akan membawa Nam Ji Hyun bersamanya. Dan itu berarti, aku tidak akan menjadi pria kesepian di sini.

”Hee Wong masih sibuk dengan Ji Hyun..” jawab Nam Gil pelan. ”Dan juga dengan pekerjaannya.. Ia sudah berjanji akan berhati-hati...”


─Kim Rae Na, Seoul, 2009─

”Dia masih belum tertangkap, rupanya...” Sung Fat tampak cemas dan menatapku pelan. ”Bagaimana mungkin dia bisa lari?”

”Aku tidak tahu... Tapi kurasa dia tidak sendirian. Pasti di antara para polisi itu ada penghianat. Tidak mungkin dia lolos tanpa bantuan orang dalam...”

“Kau cerdas, Rae Na...” Sung Fat menarik nafas pelan. “Biar bagaimana pun, aku ingin dia berada di penjara selamanya. Sudah cukup banyak penderitaan yang diakibatkannya ke orang lain...”

Aku mengusap punggung Sung Fat pelan saat matanya mulai berkaca-kaca. Ia sangat mencintai kakaknya, dan sampai sekarang pun, aku tahu ia masih mencintainya.

Tapi, keberadaan Ji Hoo sudah berhasil mengikis kepedihannya. Dan cowok itu menepati janjinya untuk setia dan selalu menjaga Sung Fat. Tidak ada yang bisa kusesalkan, bukan?

Dan Sung Fat... mencintai Ji Hoo dengan cara yang berbeda. Cinta, namun berbeda dengan cintanya pada Kakaknya.

“Padahal masa depan Kakakku seharusnya masih panjang di depan sana...” pelan Sung Fat menghapus dan menyembunyikan air matanya dariku. “Aku tidak ingin pria itu bebas di luar sana...”

“Aku juga tidak mau...” ujarku, menarik nafas pelan. ”Dia seharusnya mendapatkan ganjaran yang setimpal...”

”Sudahlah, kita hentikan saja pembicaraan ini...” sela Sung Fat tiba-tiba. ”Rasanya suasananya jadi berubah nggak enak. Begini saja, kita bicarakan soal kau. Bagaimana hubunganmu dengan Yoon Hoo?”

”Hah? Hubungan apa?” tanyaku, kaget. Hampir saja jantungku copot barusan

”Kalian belum pacaran juga?” Sung Fat memandangku curiga. ”Atau kau… masih belum bisa melupakan Ji Hoo?”

”Dasar bodoh, tentu saja tidak. Aku tahu pasti perasaanku...” jawabku. Beberapa waktu lalu, saat luka di hatiku begitu lebarnya karena Ji Hoo, Yoon Hoo terus berada di sampingku dan menghapus luka itu, menambal dan menggantinya dengan cinta.

”Kalau begitu, kau yang harus mengatakan perasaanmu!!” seru Sung Fat sambil menepuk pundakku kuat-kuat. ”Jadilah berani, Rae Na! Aku tahu kau benci menyatakan perasaanmu lebih dulu, tapi, kalau tidak dikatakan sekarang, kapan lagi? Apa kau mau melihatnya pergi sama cewek lain?”

Membayangkan Yoon Hoo menggandeng cewek lain membuatku merasa tidak nyaman. Rasanya ada yang menaruh semen di perutku. ”Tentu saja tidak mau...”

”Perasaannya padamu kan sangat jelas... Lagipula, kau dulu cerita.. dia pernah minta kau mempertimbangkannya kalau luka hatimu sudah sembuh kan?”

Uh, kalau soal yang satu ini Sung Fat sangat cepat tanggap. Menyebalkan...

”Ya, begitulah...” sahutku, merasa agak jengah dan sedikit menyesal karena sudah menceritakannya pada Sung Fat. Entah bagaimana cerita itu sekarang menjadi bumerang bagiku, menghantamku tepat di titik kelemahanku.

”Katakanlah, sebelum kau menyesalinya...”

Aku memandang mata Sung Fat dan menyadari maksud ucapannya. Ia mencintai Kakaknya, dan bertahun-tahun, demi menjaga keutuhan keluarganya, demi menjaga agar keluarganya tetap normal, ia merahasiakannya dari siapapun. Dan sekarang, Kakaknya sudah tiada.

Sampai akhir, Sung Fat tidak berhasil mengatakan cintanya. Sungguh sangat tragis. Selama ini mereka selalu bersama tanpa satupun kesempatan mengatakannya. Ketika saatnya tiba, ia sudah kehilangan kesempatan itu.

”Aku paham,” suaraku terdengar aneh di tenggorokanku. ”Aku akan menemuinya... sekarang juga....”

─Go Yoon Hoo, Seoul, 2009─

“Yoon Hoo… ada tamu yang mencarimu…” ujar Papa sambil mengetuk pintu kamarku. Aku bangkit dan melihat wajah Papa dengan heran. “Dia manis sekali, Papa setuju…” canda Papa sambil mengedipkan sebelah matanya.

”Huh, Papa nonton bola lagi saja deh...” kapan ya terakhir kali Papa menggodaku soal perempuan? Tapi, tentu saja, ia tidak pernah menyatakan apakah ia setuju atau tidak. Pokoknya malam ini Papa nggak seperti biasanya.

”Hai, malam...” sapa Rae Na sambil tersenyum manis. Mama duduk di depannya dan tampak menikmati obrolan ringan dengan gadis itu. jantungku berdebar. Apa maunya datang ke rumahku sore ini?

”Wah, Rae Na tahu banyak ya soal mode.. Nanti kapan-kapan Tante tanya lagi ya... Ayo, duduk Yoon Hoo... masa perempuan dibiarkan menunggu?” dan Mama berlalu secepat angin ke arah dapur.

Aku memandang kedua orangtuaku dengan bingung. Papa dan Mama nggak biasanya bersikap seramah ini pada tamu wanitaku yang lain.

”Apa yang kau lakukan sampai mereka bisa berubah seramah itu?”

”Aku? Aku tidak melakukan apapun... Hanya membawakan oleh-oleh saja ke sini.. tadi aku bawa soju dan buah0buahan. Ternyata orangtuamu asyik sekali ya!” puji Rae Na senang.

Soju? Pantas saja Papaku bisa berubah jadi begitu ramah. Dan Mama? Barangkali buah-buahan.. ah, tidak. Barangkali dari obrolan soal mode. Biasalah, namanya juga perempuan...

”Ada urusan apa?” tanyaku, mengambil posisi duduk di depannya.

”Begini, aku baru saja bicara soal Sung Fat. Dan aku memahami perasaannya pada Kakaknya...”

Aku emngangguk paham. Nam Gil pernah menceritakan kisah cinta tragis antara Sung Pil dan adiknya. Mereka selalu bersama tetapi cinta mereka akhirnya tidak bisa bersatu selamanya. Sangat ironis.

”Ya, lalu?”

”Begini, dulu... kalau aku tidak salah dengar... kau memintaku mempertimbangkanmu... apa itu benar?”

Tenggorokanku terasa disumbat. Apa yang harus kujawab? Ya, aku pernah mengatakannya, dan bagaimana kalau ia menolakku di tempat? Well, rasanya pasti benar-benar sakit. Kalau kukatakan tidak? Apakah ia akan marah padaku?

”Yoon Hoo? Apa aku salah dengar?” raut wajahnya berubah kecewa.

”Tidak, kau tidak salah dengar. Aku memang mengucapkannya. Maaf...” ujarku. Sialan, mungkin seharusnya kukatakan ia salah dengar. Kenapa ia malah terlihat serba salah?

”Aku...” tangannya bertaut dengan gugup. ”Aku berpikir... kau.. selalu saja mengalah dan mengajakku jalan. Saat Ji Hoo menyakitiku, kau yang mengobati lukaku. Dan aku... kurasa aku tidak bisa apa-apa kalau kau tidak ada di sampingku. Aku... sangat menyukaimu, Yoon Hoo...”

”Hah?” mulutku menganga lebar, membuat Rae Na terlihat kaget dan memandangku bingung. ”Kau... menyukaiku? Serius?”

”Maaf.. butuh waktu lama untuk memikirkannya, dan aku...”

Aku langsung melompat dan memeluknya secepat mungkin. Nyata, dan hangat. Aku tidak bermimpi kan? ”Akhirnya!! Akhirnya!!! Akhirnya!!” seruku gembira. ”Akhirnya aku bukan lagi si pria kesepian!!!”

”Kau ngomong apa sih, Yoon Hoo...?” tawa Rae Na terdengar menyenangkan di telingaku. “Kau kan tampan, pasti banyak yang mengejarmu…”

“Aku adalah pria kesepian! Sejak bertemu denganmu, semua wanita itu seperti kabut. Tidak nyata. Dan disinilah aku, kesepian di tengah kabut! Akhirnya, yeah, akhirnya!!” ulangku, merasa puas.

”Tunggu, nanti...” aku tidak mempedulikan ucapan Rae Na dan bibirku menyentuh bibirnya, menciumnya dengan seluruh luapan emosiku. ”Om dan Tante...” Rae Na terengah kaget di tengah ciuman kami, tetapi aku tetap tidak melepaskannya.

”Masa bodoh...” ujarku, memandangnya dan tersenyum. Tentu saja aku tahu, di balik pintu itu, Mama dan Papaku mungkin masih asyik menguping dan mengintip kami.

”Masa bodoh...” sahut Rae Na akhirnya. Binar matanya berubah cerah, dan tangannya disangkutkan ke leherku. Aku menarik pinggangnya dan mulai menciumnya lagi. Kali ini lebih lembut. Janji cintaku untuknya. Akhirnya... yeah!!!

-selesai-

Fanfic The Future and the Past, side story 8

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
SIDE STORY 2
-CINDERELLA AGAIN-
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
tita: Park Ri chan
Bo Jong Baek Do Bin : (memakai nama asli di FF)
Yeomjong (tetap memakai nama ini)
General Ga Baek: Seo Bum Shik (tetap memakai nama ini)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
─Park Ri Chan, Seoul, 2008─

Tanganku masih terasa gemetar. Kuatkan dirimu, Ri Chan, batinku. Dok Bin tertidur pulas di ranjang rumah sakit, dan nafasnya sayup-sayup terdengar. Ia masih hidup dan itulah yang harus kusyukuri.

“Kapan ia akan sadar?” tanya Nam Gil. Ia masuk sambil membawa keranjang buah dan makanan dalam plastik. “Kau makanlah, kau pasti perlu tenaga untuk menjaganya semalaman…”

“Ya, terimakasih…” senyumku, menerima makanan yang disodorkannya.

“Jadi, kapan…?” tanya Nam Gil.

“Oh, apa?” otakku sempat kacau sejenak. “Bisa kau ulangi? Aku tidak begitu fokus tadi…” ujarku sambil tersenyum kikuk.

“Kapan kalian akan menikah?” tanya Nam Gil, masih dengan intonasi yang sama. Dadaku berdebar naik turun mendengarnya, dan sekejap kemudian, air mataku sudah tumpah begitu saja.



“Aku minta maaf…” Nam Gil menyodorkan tissue padaku, entah keberapa kalinya. “Seharusnya aku agak peka…”

“Oh, tidak, bukan salahmu…” elakku. “Kau sudah sangat membantu di Rusia. Dan Dok Bin juga sudah mengatakan padamu kalau setelah urusan Rusia selesai, kami akan membubarkan grup mafia dan kemudian mengurus pernikahan…”

Samar-samar kulihat Nam Gil mengangguk. “Akulah yang tidak siap dengan pertanyaanmu… maaf….”

“Ya, tidak apa-apa kok…” ia tertawa lebar sambil menggaruk kepalanya. “Kulihat grup kalian sudah bubar baik-baik, dan itu membuatku sangat lega…”

“Ya,” sahutku, merasa lebih antusias. “Dengan uang yang kami bagikan―Do Bin menyebutnya pensiun―mereka setuju untuk mencoba cara hidup yang lebih baik…”

“Dan Yeom Jong… dia yang mengacaukan segalanya?” tanya Nam Gil dengan senyuman simpatik. Aku tidak dapat menahan anggukan kepalaku. Suasana hening meliputi kami.

Di kepalaku, semua tergambar sangat jelas. Kami sedang memilih undangan perkawinan.

“Yang ini lucu…” ujarku, mengangkat salah satu desain kartu berwarna pink.

“Terlalu kecewekan… yang ini saja, lebih keren…” Dok Bin mengangkat kartu berwarna keperakan.

“Tapi, kalau begitu sih… aku yang ini saja… lebih elegan!!” balasku, menyodorkan kartu berwarna keemasan.

Dok Bin tertawa dan meneliti kartu-kartu itu lagi. Lalu, tiba-tiba… pria itu masuk. Tatapan marahnya terlihat mengerikan. Matanya berkilat, dipenuhi dendam.

“Mau apa kau ke sini!!” seru kami berdua, terkejut.

“Hai Ri Chan…” ia kembali tersenyum mengerikan ke arahku. Dan Do Bin secepat kilat menarik tanganku, menyuruhku berlindung di belakangnya. “Dan Do Bin, kuharap kau tidak lupa, wakilmu itu, Kim Nam Gil dan Sung Pil sungguh merepotkanku di Rusia…”

“Semua akan baik-baik saja kalau kau tidak pernah muncul di Rusia, di Korea, atau di manapun! Kau membuat Sung Pil terbunuh!!”

“Oh, ya, ya…” ia tersenyum sambil merogoh saku celana panjangnya. “Aku tahu, adiknya yang manis itu pasti sedih, bukan? Dan kurasa, sebentar lagi Ri Chan juga akan merasakannya!!”

“Jangan!!!” pekikku sambil mendorong Dok Bin begitu Yeom Jong mengangkat pistolnya. Lenganku terasa panas. Rupanya peluru itu menyerempet lengan bajuku.

“Ri Chan!!” seru Dok Bin kaget. “Brengsek kau!!” ia menatap marah ke Yeom Jong yang tampak kaget melihat lenganku berdarah.

“Berikutnya kau!!!” sru Yeom Jong. Ia menarik pelatuknya dan detik itu juga jantungku nyaris lepas melihat Dok Bin terkapar di lantai sambil berguling-guling memegang perut dan bahunya.

“Polisi!!” seruku panik. Tanganku gemetaran saat menghubungi nomor polisi. Dan ambulans.

Yeom Jong melangkah dengan tenang keluar ruangan. “Sayang sekali kau miliknya, Ri Chan… padahal aku menyukaimu…”

“Kau pembunuh!” seruku. Air mata merembes dari mataku. “Kalau Dok Bin mati, aku bersumpah, tanganku ini yang akan membunuhmu!!”

“Coba saja, silahkan! HAHAHAHAHA…” tawanya bergema di seluruh ruangan. Sebelum benar-benar pergi, ia menambahkan. “Aku benar-benar tertarik pada wanita yang berani…”



“Dia biadab sekali…” komentar Nam Gil saat kejadian itu kuceritakan. Pagi itu, saat menghampiri rumahnya, aku hanya bisa menceritakan garis besarnya. Apalagi ada orangtua dan adiknya di sana. Mana bisa aku mengatakan semuanya.

“Benar, dan untungnya Dok Bin tidak apa-apa…” tanganku terasa gemetar saat menyisiri rambutku. “Dan bahunya juga… Dan ia juga tidak akan cacat…”

“Tentang Yeom Jong… aku rasa dia sangat malang. Sendirian dan tidak ada orang yang benar-benar ia percaya… Kau tahu sebabnya?”

Aku mengangguk sekali. “Dok Bin pernah cerita… keluarga pria itu kacau. Dan ia tinggal bersama pamannya, Seo Bum Shik, pria yang suka memakai kekerasan…” aku bergidik sedikit saat mengingat cerita Do Bin.

“Tidak heran wataknya seperti itu…” ujar Nam Gil sambil geleng-geleng kepala. “Kau ada rencana, Ri Chan?”

“Belum ada,” sahutku pendek. “Akan kucoba memikirkannya…” Ada begitu banyak pikiran di otakku saat ini.


─Baek Do Bin, Seoul, 25 Desember 2008─

Kalimat pertama yang kudengar begitu mataku terbuka, adalah, “Syukurlah kau sudah sadar, Do Bin…” Dan kegiatan pertamaku adalah tersenyum.



“Merry Christmas…” Ri Chan tertawa sambil menyuapkan sepotong biscuit ke dalam mulutku. “Hadiah natal dariku, kue kering buatanku sendiri…” ujarnya sambil tersenyum dan menyuapkan sepotong lagi.

“Enak,” gumamku sambil terus mengunyah. “Agak kurang manis, tetapi enak…”

“Hu… katanya nggak suka manis… dibikinin malah dibilang kurang manis… Ya sudah, untukku saja…” ia memasukkan sepotong ke mulutnya. Cepat-cepat kuambil bungkusan di tangannya.

“Hei!! Ini kan kado natalku… Untukku ya berarti untukku… Kenapa kau memakannya, kan jatahku jadi berkurang,” protesku sambil mendekap bungkusan itu dalam pelukanku. “Kau tidak pulang? Orangtuamu mungkin menantimu di rumah…”

“Ya, tapi ada seorang pria besar yang kesepian kalau kutinggal sendiri. Lagipula, Papa punya Mama yang menemani. Kau?”

Senyum mengembang di pipiku. “Karena sikapmu manis, aku berikan satu potong…” ujarku sambil menyuapkan sepotong ke mulutnya. Kami tertawa bersama sambil memakannya.

“Hm…. Do Bin, tentang pernikahan.. lebih baik kita mengundurnya, bukan?” tanyanya ragu. Aku memandangnya bingung. “Kebetulan, aku ada sesuatu yang harus diurus…” ujarnya, tampak gugup.

“Ya, aku tahu, kita harus benar-benar siap, bukan?” tanyaku.

“Dan besok, aku tidak bisa datang…”

“Oke, tidak masalah…” Tetapi, entah bagaimana, aku tidak bisa menyembunyikan rasa kecewaku. Apakah ia kecewa karena aku harus dirawat lama di rumah sakit ini?

Malam itu, sesudah Ri Chan pulang, aku menemui dokter dan menanyakan beberapa hal mengenai kemungkinan pulang lebih cepat. Di luar dugaan, dokter menyetujuinya!!


─Park Ri Chan, Seoul, 2008─

“Ada angin apa ini? Bisa-bisanya tunangan Do Bin mengajakku bertemu…” tawa mengejek mengembang di sudut bibirnya.

“Aku ingin bicara empat mata denganmu…” ujarku, berusaha tampak tenang. “Di kafe itu saja…”

“Oke, tidak masalah…” ia merangkulkan lengannya ke pundakku.

“Lepaskan tanganmu,” ujarku memperingatkan. Ia patuh dan membukakan pintu untukku.

“Apa yang mau kau tanyakan?” pria itu, Seo Bum Shik mulai menghisap rokoknya. “Silakan, tanya saja…”

“Apa kau tidak bisa mengurus keponakan sendiri?” aku memesan secangkir teh pada pelayan. “Bagaimana bisa dia mencoba membunuh calon suamiku?”

“Sejak kecil tingkahnya memang demikian. Kalau tidak mendapat apa yang diinginkannya, ia akan menggunakan segala cara untuk mendapatkannya. Bisa kutebak, kau adalah benda yang dia inginkan…” Bum Shik menyentuhkan tangannya ke atas tanganku. Aku ingin menariknya namun ia dengan kuat menekannya.

“Lepaskan…”

“Dan bisa kutebak, kau memang menarik…”

“Lepaskan!!” seruku dan tepat pada saat yang sama, sebuah pisau menancap di tangan Bum Shik.

“Anak jahanam kau!!” maki Bum Shik saat melihat Yeom Jong melangkah masuk dan menarikku. Kutepis tangannya tetapi gagal. “Sudah kukatakan, jangan muncul lagi di hadapanku! Kita tidak punya hubungan apapun!!” seru Bum Shik sambil mengerang dan menahan darahnya dengan serbet meja.

“Tapi wanita ini akan menjadi milikku. Cepat atau lambat. Dan kau menyakitinya,. Tidak mungkin aku diam saja…” suaranya terdengar bengis saat bicara. Bum Shik pergi keluar kafe dengan marah, sementara Yeom Jong masih saja memegang lenganku, menahanku tetap di tempat.

“Lepaskan!” makiku padanya. Ia tetap tidak bergeming. “Baik, terimakasih karena menolongku tapi aku tidak pernah minta ditolong oleh pria yang kubenci…”

“Sama-sama…” sahutnya sambil melepaskan tanganku. Dengan kesal, kuletakkan sejumlah uang di meja untuk membayar kafe itu. Dan kemudian, secepat mungkin, aku berlari meninggalkan tempat itu, sebelum akhirnya bertabrakan dengan seseorang.

“Do Bin!!” seruku, terkejut sampai nyaris mau pingsan.

“Dia melindungimu,” seulas senyum mengejek muncul di bibir Do Bin. “Kurasa aku benar-benar salah… atau kacau… Maaf, Ri Chan… sementara kita jangan bertemu dulu..” suara Do Bin sedingin siraman air es di kepalaku. Apakah hubungan kami harus berakhir seperti ini?


─Baek Do Bin, Seoul, 25 Desember 2008─

“Nam Gil, aku minta kau Bantu aku mengawasi Ri Chan…”

“Do Bin…” wajah Nam Gil terlihat serba salah.

Tugasnya sudah double, menjaga pacarnya dan menjaga adiknya Sung Pil. Dan kini kalau kutambahkan lagi, artinya tugasnya triple. Kurasa ia tidak akan sanggup.

“Baiklah, aku tidak akan memintamu…”

“Aku akan berusaha membantu. Tapi, kau tahu, tidak bisa 100 persen percaya padaku… Aku tidak bisa selalu di sampingnya… Kau lebih pantas menjaganya…”

“Aku masih seperti pria cacat, Nam Gil.” Kugerakkan tanganku dengan susah payah. “Dan melihat Yeom Jong yang ternyata melindunginya, aku makin membenci diriku sendiri…”

“Tapi, Ri Chan membutuhkanmu…”

“Seperti aku membutuhkannya…”

“Do Bin, kita perlu menyusun rencana untuk menjebak Yeom Jong…” tanganku kukibaskan pelan dan Nam Gil terdiam memandangku. “Kau sudah punya rencana, rupanya?”

“Tidak sulit,” jawabku enteng. “Kau hanya perlu ini…” tanganku kuketukkan pelan di kepalaku. “Dan uang plus koneksi, dan voila, kau dapat informasi!!”

“Perlu menghubungi polisi?”

“Sudah kulakukan,” jawabku. “Di saat orang lain bisa menggerakkan tangannya bebas, aku perlu mencari cara lain unttuk membuat Ri Chan terkesan padaku…” akuku jujur.

“Baiklah, jadi apa rencanamu?”

“Tiga hari lagi, Yeom Jong akan menyelundupkan narkoba dan minuman keras lewat tiga pelabuhan terpisah di Korea. Aku sudah menghubungi polisi dan mereka akan menangkapnya… Kurasa ia tidak bisa kabur lagi sekarang…”

“Pria yang menyedihkan… Tempat iti dikelilingi karang besar dengan ombak tinggi. Sulit untuk lari hidup-hidup…”

“Ya, sangat sulit…”

“Dan… tentang Ri Chan, kurasa aku berubah pikiran,” ujar Nam Gil tiba-tiba. “Aku tidak bisa menemaninya. Jadi bung, selamat bersenang-senang…” bersamaan dengan tepukan ringannya di bahuku, Nam Gil berlalu dan pergi.

Aku tidak dapat menahan senyumku. Nam Gil tidak pernah kalah cermat dariku. Kuambil surat beramplop perak dari meja dan membacanya pelan. Kapan Nam Gil melihatnya? Dasar sialan…


─Park Ri Chan, Seoul, 2008─

Akhir tahun adalah saat yang paling menyenangkan untuk pesta. Seharusnya, tentu saja. Dan sekarang, tanpa pria di sampingku, aku tidak merasa nyaman.

Rencana semula, pesta ini akan digunakan oleh Do Bin untuk mengumumkan hubungan kami ke semua relasi bisnis keluarga kami. Tetapi semuanya gagal dan hancur sekarang. menyebalkan sekali.

“Sampanye, nona?” dengan senyuman kutolak tawaran pelayan itu.

“Mungkin sebaiknya aku pulang saja,” pikirku kesal. Dan lagi-lagi, seorang wanita tidak sengaja menyenggolku sehingga nyaris saja aku jatuh kalau saja tidak berhasil meraih pinggiran meja itu.

“Wow, terimakasih…” pikirku malu saat sepatuku lagi-lagi terlepas tidak jauh dariku. Memang menyebalkan kalau memakai sepatu tanpa sling atau sangkutan… rasanya gampang sekali lepas. Dulu pun… pernah kejadian seperti ini… Dan…sekarang D Bin… tunggu, bukankah itu adalah…

Kurasakan nafasku naik turun tidak terkendali.

“Hello again Cinderella…” ujar Do Bin sambil mengambil sepatuku dan memakaikannya.

Beberapa orang berhenti berdansa dan menatap kami sambil berbisik-bisik. Bahkan MC datang dan mendekati kami sambil mengucapkan sepatah dua patah humor segar.

“Jadi, apa Anda akan berdansa dengan Cinderella?” goda MC sambil tersenyum.

Do Bin mengulurkan tangannya dan mengajakku berdansa pelan-pelan. Tanganku berada di atas bahunya, semuanya seperti mimpi.

“Bahumu tidak sakit lagi?” tanyaku kaget. Do Bin tersenyum sambil menuntunku berdansa. Musik masih mengalun, dan kini hanya kami yang berdansa di tengah ruangan.

“Kau cantik malam ini…” ujarnya kagum. “Bukan berarti malam sebelumnya tidak cantik. Hanya saja, hari ini kau lebih cantik dari biasanya…”

“Terimakasih,” suaraku terasa bergetar di tenggorokanku. “Aku sudah lama sekali tidak melihatmu…”

“Maaf, kalau cemburu, tindakanku sering kekanakan…” ia tersenyum mengakui. Kami berhenti berdansa. “Ayo kita ambil minum,” ajaknya.

“Tunggu, aduh…” ujarku, kesal. Do Bin menatap kakiku dan tertawa. Ia membungkuk lalu membantuku memasang sepatuku dengan benar. Dan detik itu, kulihat ia memakaikan gelang kakiku kembali.

“Do Bin…”

“Aku mengembalikannya…”

“Jadi, hubungan kita benar-benar sudah selesai?” tanyaku dengan mata nanar.

Do Bin menatapku bingung dan tertawa keras. Akhirnya, ia kembali berlutut dan mengeluarkan sebuah kotak dari sakunya. “Maukah kau menikah denganku, Cinderella?”

Air mata merembes keluar begitu saja. Dalam satu tarikan nafas, aku sudah melompat dan menghambur dalam pelukannya. “Ya, aku mau!!” seruku sambil menangis di bahunya. Do Bin menarikku dalam pelukannya dan menciumku.

Sebuah kalimat klasik melintas di kepalaku. Pangeran menikahi Cinderella, dan mereka hidup bahagia, selamanya. Apakah… kami juga akan mengalaminya? Ya!! Kurasa, ya!!!

-selesai-

Rabu, 07 Juli 2010

Fanfic The Future and the Past 42

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
FORTY SECOND SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Young Mishil: UEE: Kim Yoo Jin (Mishil legal daughter)
Mishil: Mishil: Go Hyun Jung (memakai nama asli di FF)
Bo Jong: Baek Do Bin : (memakai nama asli di FF)
tita: Park Ri chan
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

Penghujung tahun 2008 sudah di depan mata. Perasaanku aneh, antara bahagia sekaligus kehilangan. Ada yang kulupakan, tetapi aku tidak mampu mengingatnya. Masa laluku, aku bisa mengingatnya. Dan Yo Won di sampingku, sahabatku bersamaku, keluargaku mendukungku. Lantas, apa yang hilang dariku?

”Hari ini pun udaranya cerah sekali..” tawa Yo Won.

Kami berjalan bergandengan di tengah udara musim dingin yang serasa menusuk tulang. Nafas putih dan hidung Yo Won memerah karena udara dingin, aku tidak bisa berhenti mencubitnya dan wajah sebalnya justru sangat manis.

“Apa yang kau pikirkan, Nam Gil?” tanya Yo Won sambil mengetatkan pegangan tangannya.

Aku tersenyum membalas pandangannya. ”Terlalu banyak hal baik terjadi akhir-akhir ini. Dan kurasa, ada yang kulewatkan. Atau kulupakan. Atau apapun itu...”

”Maksudmu... semacam firasat buruk? Nam Gil, tahun 2008 hampir berlalu dalam hitungan jari, dan... kau punya firasat buruk tentang tahun depan?”

”Begitulah,” sahutku enteng. ”Sudahlah, kau jangan ikut memikirkannya. Kurasa aku terlalu banyak pikiran...” ujarku lagi. Tetapi.... firasat aneh itu tetap bertahan di sudut hatiku. Ada yang tidak beres, dan aku melupakannya.

Keesokan paginya, firasat burukku menjadi kenyataan.

”Secangkir kopi di pagi hari...” ujar Mamaku. Hyun Jung sambil meminum kopinya. ”Enak, seperti biasanya...” ujarnya sambil tersenyum menenangkan. Aku membalas senyumnya pelan dan menyesap kopiku.

“Pagi, Ma... Pagi, Kak...” Yoo Jin turun sambil menyeret langkahnya. Matanya masih tampak mengantuk. “Uh... aku juga mau minum kopi...” ia mengambil gelas dan mengisinya. ”Semalaman aku bergadang untuk belajar...”

“Ada kemajuan rupanya,” canda Mama. Kami tertawa bersamaan. Yoo Jin memang paling ogah belajar. Tetapi, karena pacarnya Sang Wook sudah pasti diterima di universitas top, rupanya ia sadar harus belajar demi memasuki kampus yang sama.

Tiba-tiba terdengar kegaduhan dari luar teras. Aku, Yoo Jin dan Mama berpandangan bingung. ”Nona, tunggu, jangan masuk sembarangan!!” seru seorang sekuriti. Kali ini kegaduhan tampaknya semakin tidak terkontrol.

”Biar aku yang keluar, Ma..” diikuti anggukan Mama, aku berjalan keluar, dan tepat saat langkahku mencapai pintu, seseorang bertabrakan denganku.

”Nam Gil!!” mata wanita yang bertabrakan denganku langsung berkaca-kaca saat melihatku.

”Nona Park Ri Chan...” seruku dengan suara tertahan. ”Ada apa? Tidak biasanya kau datang....”

”Tolonglah aku, maksudku... tolonglah... Do Bin...” ia mulai terlihat kacau dan gelisah. Tangannya yang mencengkeram lengan bajuku terasa gemetar.

”Apa yang bisa kulakukan?” tanyaku, bingung. ”Tolong ceritakan apa yang terjadi sebenarnya...”

Bibir Park Ri Chan bergerak dalam gemetar, menyuarakan rentetan kalimat yang panjang... cerita yang seolah membiusku... dan kemudian, satu hal yang kusadari. Firasat burukku telah menjadi kenyataan. Secepat ini!!
─Lee Yo Won, Gyeongju, 2008─

”Pagi Yo Won...”

Tidak biasanya Nam Gil menjemputku pukul enam lewat. Biasanya ia selalu sangat tepat waktu. Dan tidak biasanya wajahnya semurung ini. Senyumnya sama sekali tidak terlihat wajar di mataku.

”Kau sakit, Nam Gil?” tanyaku saat melepaskan helmku dan menatapnya bingung.

”Tidak,” sahutnya sambil tersenyum kikuk. ”Hm... kalau bisa, pulang nanti aku mau bicara...” suaranya terdengar kaku.

Aku memandangi sosok punggungnya yang berjalan menjauh tanpa mampu berkomentar apapun. Hanya satu kalimat yang terus berulang dalam otakku. Kurasa, firasat buruknya telah menjadi kenyataan.




”Kau mau bicara tentang apa?” tanyaku, sambil berusaha meminum tehku dengan santai. Kami berada di kafe yang tidak jauh dari rumahku.

”Aku tidak tahu harus cerita dari mana...” matanya terus memandang uap panas dari secangkir kopi di depannya. "Kurasa akan kumulai dari pertemuanku dan Sung Pil.. dengan pria bernama Baek Do Bin...”

Dadaku bergemuruh pelan. Tadinya aku merasa ketakutan sendiri. Jangan-jangan, ada wanita lain? Tetapi, syukurlah ternyata bukan. Seorang pria. Dan pria itu... aku pernah melihatnya di... di mana ya?

”Baek Do Bin itu... aku pernah bertemu, tidak?”

”Pernah, di pemakaman Sung Pil...” jawab Nam Gil, berusaha tampak tenang. Tetapi, ia jelas tidak mampu menekan kesedihan dalam matanya saat nama Sung Pil terucap di bibirnya.

”Ceritakan semuanya padaku...” pintaku.


─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

”Dan lusa, Yeom Jong akhirnya dibebaskan dari penjara di Rusia. Dibebaskan, hanya untuk kembali menjadi buronan. Ia pergi ke kediaman Do Bin kemarin, dan menembaknya. Untungnya luput, dan pria itu dilarikan ke rumah sakit dengan pendarahan luar biasa di bagian perut. Kata tunangannya, kondisinya sangat kritis...”

Kutatap Yo Won yang terlihat bingung. Wajahnya pucat, dan ketika kugenggam, tangannya terasa sangat dingin. ”Mereka minta aku membantunya... membantu menyusun rencana agar Yeom Jong kembali masuk penjara...”

”Kau... tidak bisa dilarang, bukan?” tanya Yo Won dengan mata pedih. Ia menatapku langsung, membuatku merasa serba salah.

”Yo Won, bukannya begitu, tetapi jasa mereka sangat besar bagiku. Dan... mereka sahabatku...”

”Aku terlalu memahamimu, Nam Gil...” Yo Won memadangku lekat-lekat. ”Kau selalu mementingkan temanmu, dan mementingkan keselamatan mereka dibanding nyawamu sendiri...”

Aku terdiam dan tidak mampu membalas semua kalimatnya. Itu benar, darahku menggelegak panas tiap kali mengingat Yeom Jong-lah yang membunuh Sung Pil. Walau secara tidak langsung, aku juga menyebabkan kematiannya.

”Kau pasti masih menyalahkan dirimu atas kematian Sung Pil...” tuduh Yo Won. ”Kau pikir Sung Pil bahagia melihatmu menderita sendirian begini? Kenapa begitu lama kau menyimpannya sendiri?”

”Aku tidak mau melibatkanmu lebih jauh dalam masalahku...”

”Kau tidak bohong ketika kau bilang mencintaiku. Tetapi, apa artinya kalau kita hanya berbagi kebahagiaan? Semua itu akan menjadi sesuatu yang semu... aku ada di sampingmu, selalu, bahkan di saat orang lain menjauh darimu...”

Kuraih tangan Yo Won. ”Aku tahu, maafkan aku...” ia memaksakan senyumannya di depanku.

”Apa rencanamu?” tanyanya lagi.

”Kurasa aku akan meminta bantuan teman-temanku dulu...” ujarku sambil berusaha memikirkan sebuah rencana cemerlang. ”Saat ini otakku masih buntu....”

Sejak bersama Yo Won, otakku kehilangan daya kekejamannya. Aku tidak tega menghianati kepercayaannya. Kurasa, ucapan Yong Soo yang mengatakan kalau sifatku sudah banyak berubah bukanlah kelakar.

Itu benar, sangat benar... Kim Nam Gil bukan lagi yang dulu. Yang selalu memandang dengan kaca mata hitam, kecurigaan, benci dan dendam. Smua itu disebabkan karena tiga orang terpenting dalam hidupku. Mereka yang mengubahku. Papaku, Sung Pil, dan Yo Won.

Tentu saja, tanpa dukungan sahabatku, dan keberadaan keluargaku, aku bukanlah siapapun. Tetapi, Yeom Jong berbeda denganku. Ia tidak punya siapapun. Ia hidup dalam dendam dan kecurigaan. Sungguh menyedihkan.

”Apa yang kau pikirkan, Nam Gil?” tanya Yo Won bingung.

”Tidak, hanya saja...” aku tersenyum kikuk sebelum berkata, ”Kurasa aku jauh lebih beruntung daripada Yeom Jong. Ia selalu hidup dalam bayangan gelap... Cukup menyedihkan...”

Yo Won tersenyum kecil sambil memandangku. ”Maaf, pikiranku kekanakan, bukan? Haha.. memang aneh, bisa-bisanya aku memikirkan hal semacam itu...”

”Tidak. Aku suka kok dengan jalan pikiranmu itu, Nam Gil...” ujar Yo Won sambil meremas tanganku, memompa jantungku pelan. ”Kau sudah lebih dewasa...” ujarnya dengan senyuman tulus. ”Seandainya Yeom Jong punya teman sepertimu...”

”Rasanya aneh kalau begitu...” dan memoriku tiba-tiba mengisi celah otakku. ”Kau kan ingat, dia juga yang dulu membuat kita berpisah. Rasanya aku membencinya, sekaligus kasihan padanya...”

”Aku tahu, kalau soal benci, aku juga...” Yo Won menutup matanya dan mencoba menekan perasaannya. ”Tetapi, yah, dia manusia juga. Semua manusia punya kesempatan untuk berubah. Iblis sekalipun bisa berubah menjadi malaikat...”

Aku hendak bercanda da mengatakan kalau Yeom Jong lebih dari sekedar iblis karena dia adalah Rajanya, tetapi ekspresi Yo Won membuatku bungkam. ”Aku akan mencoba mencari jalan keluarnya... Mungkin, ia masih bisa diselamatkan....”



-to be continued-

Fanfic The Future and the Past 41

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
FORTY FIRST SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Kim Yong Soo : Park Jung Chul(nama asli): Jung Yong Soo (nama di FF)
Seol Won : Jun Noh Min (Guru olahraga)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
─Lee Yo Won, Gyeongju, 2008─

”Bagaimana perasaanmu?” tanya pria di sampingku.

Masih acara bebas. Kami bergabung dengan rombongan, berusaha menikmati semuanya, berusaha santai ketika difoto. Tetapi, rupanya benar kata orang. Sulit sekali menipu diri sendiri. Perasaanku masih luar biasa galau.

“Kak Nam Gil, Yo Won! Ayo, lihat ke sini!” tukas Shin Woo tiba-tiba. Ia memotret kami dengan kamera digitalnya, kemudian kembali memotret anak lain dan pemandangan yang menurutnya keren.

“Hei, aku belum memotret Ye Jin!” tukasnya kaget. “Kalian lihat dimana Ye Jin? Pacarnya juga belum kufoto...”

”Biar kami cari dulu...” ujar Nam Gil sambil menarik tanganku. Ia menelepon Yong Soo tetapi tidak ada yang mengangkatnya. ”Mungkin mereka juga sudah menemukannya...” senyuman Nam Gil terlihat perih.

”Menemukan apa?” tanyaku, bingung.

”Jati diri mereka di masa lalu...” jawabnya.

Aku mengangguk dan berjalan dalam genggaman tangannya. Dulu, tidak memungkinkan bagi kami untuk berjalan bersama seperti ini. Tidak memungkinkan baginya untuk memanggil namaku. Dan...

”Yo Won? Kenapa menangis lagi?”

Mendengarnya memanggil namaku, hatiku tambah perih. Dulu... hanya untuk memanggil namaku, ia menjadi penghianat dan ditusuk mati. Rasa panas tertahan dan membakar tenggorokanku. ”Dulu... kau bahkan nggak bisa memanggilku...” ujarku kacau. ”Maaf ya, Nam Gil...”

”Sssh... sudahlah, mari kita lupakan yang lalu...” Nam Gil tertawa sambil menepuk pipiku dan menghapus air mataku dengan jemarinya ”Sekarang aku sudah bisa menghapus air mata di pipimu.. Dan aku masih hidup.. bukankah ini sangat luar biasa?”

”Ya,” anggukku. Kami berjalan melewati tempat di mana kami sering kali berpapasan dan beberapa kekonyolan Bi Dam masih jelas terasa di depanku. Itu bukan mimpi. Seperti sebuah kenangan pahit dan sekaligus indah. Sebuah pedang bermata dua. Tetapi, sesuai kata Nam Gil, tidak ada yang perlu disesalkan.

”Bunga itu sudah tidak ada, ya?” celetuk Nam Gil tiba-tiba. Aku memandang wajahnya dan tertawa. Bunga yang dulu dia berikan padaku? Mana mungkin masih ada sampai sekarang? Ia tersenyum, tampak menikmati tawaku.

”Ada apa?” tanyaku, malu.

”Hm... ada satu hal yang membuatku penasaran...” ujarnya. Aku menuntutnya bercerita dengan tatapanku, tetapi ia malah tertawa dan mengelak. ”Sudahlah, tidak perlu...”

”Katakan,” ujarku tegas.

Nam Gil tertawa melihatku. ”Kau masih suka main perintah rupanya, sekarang kau bukan ratu lagi...” ujarnya sambil menggeleng. ”Yah, aku hanya penasaran soal... Yu Shin. Kim Yu Shin...”

”Kenapa dengannya?” entah bagaimana aku punya feeling akan tidak menyukai apapun yang ia katakan.


─Kim Nam Gil, Gyeongju, 2008─

”Bagaimana perasaanmu... pada Kak Tae Wong? Apa kau...” aku berusaha memilih kalimatku dengan hati-hati. ”Apa... aku tidak menjadi pengganggu?”

Emosi Yo Won kelihatannya naik sampai ke kepala. ”Nam Gil, kau meragukanku?” tanyanya, mulai merasa sewot dan marah.

”Tidak, maka itu kukatakan tidak jadi tadi.. tapi, kau memaksaku mengatakannya...” sahutku, berusaha tampak santai. ”Sudahlah, ayo kita cari mereka lagi...” aku meraih tangannya dan membawanya berjalan ke tempat yang hampir setiap hari ia kunjungi.

Kuil tempat Chen Myeong dimakamkan.

”Benar kan, itu mereka...” ujarku sambil tersenyum bersemangat ke arah Yo Won. ”He...” suaraku tertahan di tenggorokan, begitu pula suara Yo Won.

Ye Jin, adalah Chen Myeong, kakak perempuan Deok Man, sekaligus kakak kembarnya. Semua ingatan itu berkelebat di benakku. Dan Yong Soo, sahabatku... kelihatannya adalah suaminya yang sudah meninggal dulu. Mereka berciuman mesra di depan kuil, benar-benar ciuman yang luar biasa.

”Ngg... mmm...” kami berdua jadi salah tingkah saat melihat adegan yang beberapa waktu lalu kami lakukan. ”Kita tunggu dulu di sini, ya...” ujarku dengan tenggorokan kering.

”Oke, tidak masalah...” jawab Yo Won, dengan wajah yang juga memerah, tidak jauh berbeda dari wajahku.

”Kalau dipikir, semuanya aneh sekali bukan?” tanyaku sambil memposisikan diriku di sebelah Yo Won. . ”Semua pertemuan kita, semua jalinan takdir, dan semua kenangan yang menempuh jarak ratusan tahun... Sungguh luar biasa...”

”Aku... tidak mau kau meragukanku lagi, Nam Gil.. selamanya... selama apapun...” ujar Yo Won sambil memandang diam rerumputan di depannya.

”Tidak akan, aku janji...” ujarku sambil meraih tangannya dan menciumnya.

”Hei, kalian di sini rupanya!” seru Kak Tae Wong sambil setengah berlari ke arah kami. Aku tersentak kaget dan buru-buru menariknya ke balik semak-semak tempatku dan Yo Won sembunyi.

”Aduh, Nam Gil, ada apa?” tanyanya, kaget.

”Kau tidka lihat, Ye Jin dan Yong Soo sedang pacaran!?” tukasku, kesal. ia melongo dari balik semak-semak dan dengan segera menunduk malu. Wajahnya memerah sampai telinga.

”Aduh, hampir saja aku mengganggu Yang Mulia Putri Chen Myeong...” ujarnya sambil tersenyum kasual. Aku tertawa bersamanya. Ia terdiam sejenak saat melihat Yo Won.

”Yang Mulia Ratu...” tukasnya, lalu ia menutup mulutnya kaget. ”Bukan, maksudku... Yo Won...”

”Tidak apa-apa Kak Tae Wong...” sahut Yo Won sambil tertawa geli. ”Kau masih saja sekaku dulu...”

Aku memandang dua sosok di depanku dengan hati terluka. Dulu pun, di dalam perpustakaan, hanya ada tawa mereka, pertukaran pandangan di antara mereka. Dan aku.. hanya penonton.

Nam Gil! Sadarlah! Bukankah Yo Won memintamu mempercayainya? Bukankah ia memintamu tidak meragukannya?! Dan apapun yang terjadi.. sekarang Yo Won adalah pacarku, ya, pacarku!

”Kau... tidak menyesal kan karena Dae Chi bukan bagian dari masa lalu kita?” tanyaku tiba-tiba. Gumpalan pertanyaan itu muncul entah dari mana.

”Tentu saja tidak,” jawab Kak Tae Wong tegas. ”Aku tidak membutuhkan luka lama.. Dan Dae Chi, ia akan menjadi masa depan untukku...” jawabannya terdengar mantap dan yakin. Dan tatapan matanya masih sama. Sama seperti tatapan mata Panglima Kim Yu Shin saat memimpin tentaranya maju berperang.

Kulihat Yo Won tersenyum dan mengacungkan jempolnya ke arah Kak Tae Wong. ”Buat Dae Chi bahagia!” serunya senang. Dan... akhirnya aku bisa melihatnya. Tatapan mata Yo Won pada Tae Wong adalah tatapan hormat, dan begitu pula sebaliknya. Kurasa perasaanku selama ini telah membutakanku.

Bisa kurasakan tangan Yo Won meremas tanganku pelan. Kami bertatapan dan tersenyum. ”Kurasa mereka sudah selesai pacaran sekarang,” ujarnya sambil tersenyum manis.

”Biar kupanggilkan!” seru Kak Tae Wong sambil bangkit dari duduknya. ”Hai! Putri Chen Myeong dan Bangsawan Yong Soo!!”

Yo Won bangkit dan berjalan di sampingku. Bisa kulihat wajah Ye Jin dan temanku memerah mendengar nama masa lalu mereka disebut. Aneh dan kacau. Tidak kusangka dunia demikian sempitnya...

”Hei, Yo Won,” pelan aku berbisik di sampingnya. Ia menoleh, dan bisa kurasakan luapan emosi kebahagiaan mendorongku untuk memeluknya dan menciumnya, tapi tidak, jangan sekarang. ”Aku ingin... melamarmu, begitu kuliahku selesai nanti... Eh, maksudku, aku dapat pekerjaan tetap...”

Wajah Yo Won memerah sampai telinga. Ia mengangguk malu dan menarik lengan bajuku, memintaku menunduk agar ia bisa berbisik di telingaku.

”Aku akan menunggumu....” itu jawabannya. Artinya, iya kan? Oh, jangan bilang tidak! Kenapa sih, jawabannya masih tidak jelas? Ya sudahlah, nanti toh akan kukatakan lagi begitu saatnya tiba.

Pucuk-pucuk daun muda terlihat indah di hamparan tanah Gyeong Ju saat itu. Hari ini dan seterusnya, semuanya adalah memori yang tidak akan terlupakan. Selamanya.

-to be continued-

Selasa, 29 Juni 2010

Fanfic The Future and the Past 40

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
FORTIETH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Kim Yong Soo : Park Jung Chul(nama asli): Jung Yong Soo (nama di FF)
Seol Won : Jun Noh Min (Guru olahraga)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“Deok Man….”

Pelan kutatap Kim Nam Gil yang berdiri tepat di sebelahku. “Kau memanggiku?” tanyaku. Ia menggeleng. Yang lainnya menatapku heran. “Ada yang memanggilku, tidak?” tanyaku. Yang lain menggeleng hamper bersamaan.

Lalu kilasan itu mendadak muncul. Seorang pria. Seorang pria yang menimbulkan gejolak aneh di dadaku. Si pria yang berlumuran darah. Bibirnya bergerak sambil mendekat ke arahku.. Kemudian pemandangan menggelap dan berputar seperti gasing.

Kali ini aku tidak sendirian. Dalam sebuah ruangan yang sepertinya kamar tidur. Mungkin kamarku. Ada seorang pria di depanku. Ia menggeleng. Dan bisa kurasakan perasaan lain bergejolak di dadaku.

”Ini perintah,” tegasku. ”Katakan apa yang diucapkannya!!” ujarku. Kurasakan gelombang kepedihan melandaku ketika bibir pria itu bergerak dalam gerakan cepat yang beruntun.

”Dia berkata Deok Man... Deok Man ku...” detik itu juga kurasakan sudut mataku panas. Panas. Dan menyakitkan. Dadaku terbakar oleh kehangatan lain yang tidak asing. Perasaan yang sama saat Nam Gil menggandeng tanganku lembut. Cinta. Ini adalah cinta.


”Kau tidak apa-apa, Yo Won?” tanya Nam Gil sambil menopang bahuku. Aku terkesiap kaget dalam pelukannya.

”Tidak apa-apa...”

”Kau melamun dan tiba-tiba limbung, hampir saja kau jatuh kalau dia tidak menahanmu. Ada apa?” tanya Ye Jin cemas. Lagi-lagi aku menggeleng.

REINKARNASI

Satu kata itu begitu membara dalam pikiranku. Hanya itulah satu-satunya yang mampu menjelaskan semua keanehan ini. Tanganku mencengkeram tangan Nam Gil. Ia membantuku berdiri dan membiarkanku sementara bersender dalam pelukannya.

”Yakin sudah tidak apa-apa?” tanyanya cemas. Aku menggeleng, berusaha keras mengingat nama yang diulang-ulang dalam ingatanku.

”Deok Man...” ujarku.

Kurasakan pelukan Nam Gil menegang. Pelan kuangkat wajahku dan memandangnya. Mata kami bertemu. Dan tidak ada sorot mata lain yang lenih menyakitkan daripada ini. ”Kau mengatakan apa?” tanyanya.

”Deok Man...” ujarku, kalut. ”Apakah... itu nama... ku?” tanyaku.

Nam Gil menahan nafas saat menyentuh pipiku dengan punggung tangannya. Kak Tae Wong dan Ye Jin juga tiba-tiba terdiam. Mereka menatapku begitu lama. Tampaknya mereka menyetujuinya. Deok Man. Itu namaku.


“Hei! Apa kau sudah lebih baik,. Tae Wong?” Pak Jun Noh Min memasuki ruangan dengan terburu-buru. Kak Tae Wong mengangguk dan bisa kulihat wajahnya berubah lega. ”Ayo! Kita masuk ke bis! Tujuan berikutnya, istana Silla!”

Mendengar kalimat terakhir bisa kurasakan suasana berubah tegang. Bisa kurasakan dentaman jantungku semakin keras dan menusuk.

Istana Silla.

Apakah di sana ada jawaban yang kami cari selama ini?


─Kim Nam Gil, Gyeongju, 2008─

Ini benar-benar gila!

Di saat semua orang terkagum-kagum memandang kemegahan gerbang istana Silla. Atau bahkan betapa luasnya lapangan muka istana itu, otakku berkecamuk membayangkan lintasan memori lain yang jelas mengganggu.

Aku merasa mengetahui celah di mana para prajurit yang disebut –hwarang- oleh guide tadi, biasa bersembunyi dan menghindari tugasnya.

Alun-alun istana tempat yang menyenangkan untuk menghabiskan waktu. Dan kemudian, di singgasana, ada seseorang yang selalu saja menyenangkan untuk ditemui. Entah darimana pikiran itu menggangguku.

Kemudian... perpustakaan. Tidak lucu menghabiskan waktu berjam-jam di sini hanya untuk mengawal seorang bocah. Eh? Kenapa juga pikiranku bisa ke sana? Bocah apa? Bocah siapa? Memangnya aku pernah ke sana?

Tapi.. perpustakaan memang tempat yang menyenangkan dan nyaman. Ia suka menghabiskan waktu di sana. Dan kurasa tidak masalah menghabiskan seluruh waktuku untuk memandangnya.

“Kau kenapa, Nam Gil?” tanya Yo Won di sebelahku.

Aku memandangnya dan berusaha tersenyum sewajar mungkin. Semua pikiran itu terasa konyol di otakku. Bagaimana bisa ada pikiran semacam itu di otakku? Memangnya aku pernah tinggal di sini?

Tapi... kenapa semuanya seolah begitu jelas? Dan begitu nyata? Bukankah lapangan itu adalah tempat kami biasa mengayunkan pedang? Dan alun-alun utama itu... aku pernah berhadapan dengan seseorang di sana....

”Yo Won! Nam Gil!!” sapa seseorang dari belakang. Rupanya Han Ga In. Ia memandangi wajahku dan Yo Won bergantian.

”Kalian berdua kenapa? Kok wajah kalian aneh sekali? Kau juga Nam Gil, pucat sekali! Seperti habis melihat hantu saja!”

”Hahaha.. bukan.. ini karena udara panas saja kok...” jawabku sambil tertawa kering. Kepalaku sakit. Dan jantungku semakin kencang berdebar. Seperti memukul-mukul rongga dadaku. Dan semakin lama semakin menyakitkan.

”Kau sakit, ya?” tanya Ga In lagi. Aku menggeleng dan ia menyodorkan sekaleng juice ke arahku dan Yo Won. ”Kalian jangan sampai rubuh sebelum acara selesai...” gerutunya. Ia lantas berbalik pergi. ”Acara bebas! Kemana nih, asyiknya?” tanyanya padaku.

”Entahlah. Menurutmu?” aku terkesiap kaget melihat Yo Won tidak lagi di sampingku. Kemana!? Kemana ia pergi?! ”Kau lihat kemana Yo Won pergi?!”

”Entahlah. Aku tidak yakin, tapi mungkin ke sana...” Ga In menunjuk jalan setapak kecil. ”Ia seperti kesetanan saja...” candanya.

Sama sekali tidak lucu.

”Aku juga sedang kesetanan...” gumamku. Tapi tampaknya ia tidak mendengarnya. Ia asyik berfoto dengan anak-anak lain di depan pilar-pilar bangunan istana.

”Yo Won!!” sekuat tenaga aku berteriak memanggil namanya. Memusingkan. Dan menyulitkan. Semakin berjalan, kepalaku sakit seperti dihentak-hentakkan. Sakit seperti dipukul. Terpaksa tangan kiriku mencengkeram kepalaku, memijit pelipisku. Apapun untuk membuatnya terasa lebih baik.

Semakin jauh, rasanya semakin aneh. Seolah ada dimensi lain dan aku semakin tersedot masuk ke dalamnya. Puluhan gambar melintas berganti-ganti di kepalaku.

Siapa namamu?" tanya gadis itu. ”Tukarkan ayam itu dengan ini!” ujar suara lainnya. ”Aku akan menjadi hwarang!!” suaraku, penuh tekad. ”Aku menyayangimu... selamanya kau adalah muridku yang kusayang...” suara terakhir menyayatku, merobek hatiku.

"Karena ini terlalu kejam, Ibu,,,,
" kurasakan ulangan kalimatku dengan sudut mata yang terasa panas. ”kau mungkin siap, tetapi aku tidak siap...” wanita itu lagi. ”Kau yang merusak semuanya. Padahal Ratu tetap mempercayaimu...” jangan! jangan katakan itu!!!

Semuanya bergantian muncul dan menyakitiku. Semua kilasan itu menghentakku begitu dalam, begitu kuat. Jurang. Apakah ini jurang ingatan? Semua melebur menjadi satu. Siapa aku? Siapa kau? Siapa aku? Apakah aku Kim Nam Gil... apakah aku.. Bi Dam!?

”Aarargh....” nafasku terasa sakit di dadaku. Paru-paruku sakit seperti nyaris terbakar. Keringat dan peluh membasahi kepala, tengkuk dan tubuhku. Masih ingatan yang sama, semua bertubi-tubi menghampiriku.

Mati-matian aku berdiri dan mencengkeram semua yang bisa kujadikan pegangan. ”Yo Won..” panggilku. Airmata merembes keluar begitu saja dari mataku. ”Deok Man.,..” ujarku. Kurasakan bahuku berguncang menyakitkan. ”Deok Man...” panggilku, nyaris putus asa.

Kemudian aku melihatnya. di tempat yang sama dengan tempatnya menyerahkan hatinya padaku. Ia berlutut membelakangiku, memandangi jembatan itu. Tempatnya menyerahkan cincin padaku, lambang kepercayaannya. Yang dulu pernah kukhianati.

Luka di dadaku menganga lebar. Dan bekas sabetan itu masih terasa begitu dalam menembus nyawaku. Namun ia ada di sana. Dan itu lebih dari cukup.

“Yo Won...” panggilku. Tidak berhasil. Ia tidak bergeming. “Deok… Man…” bahunya bergetar pelan. Dan ia menoleh. Memandangku dengan tatapan terluka. Air mata penuh di pipinya. Peris sama dengan kematianku. Tetapi bedanya, kali ini aku hidup. Aku masih hidup!

Sepuluh langkah… menuju Deok Man…

Lima langkah… menuju Deok Man…

Tiga langkah… menuju Deok Man…

Ketika kakiku hampir tiba di depannya, ia lari dan menyongsong pelukanku. Kami bertangisan dalam air mata. Pelukan yang gagal. Pelukan yang terlambat dilakukan. Dan air mata yang sedari awal sudah tertumpah.

”Aku... minta maaf...” ujarku dalam pelukannya. ”Karena... aku mencintaimu... dan karena aku buta oleh cinta...”

Ia mengangguk lemah dalam pelukanku. ”Seharusnya aku tidak membiarkan mereka menusukmu...” sahutnya dengan suara lirih.

Air mata menetes turun di pipiku. ”Jangan menangis...” ujarku. Ia meletakkan kepalanya di bahuku. ”Karena mulai sekarang... kita akan selamanya bersama...”

”Ucapkan lagi...” pintanya. Matanya menatap sendu ke arahku. ”Ucapkan lagi... namaku...”

“Deok Man... Deok Manku...” jawabku.

Ia menutup matanya. Perlahan, kurasakan cinta datang mendekat. Kami mengeratkan pelukan dan cinta yang telah dicuri oleh intrik dan kekuasan dari kami. Puluhan. Bahkan ratusan tahun. Selalu dan selamanya kami saling mencari dan menanti. Hanya untuk menggapai saat yang indah seperti ini.

Aku memiringkan wajahku, menyentuh bibir Yo Won yang terasa basah sekaligus lembut. Pelan kurasakan kepolosan dalam bibirnya. Nafas saling beradu, dan bibirku pelan menekan bibirnya. Lalu ciuman kami berubah menjadi lebih posesif, lebih menuntut. Yo Won membalasku dengan cara yang unik. Dan gairah dalam diri kami tidak akan pudar selamanya oleh cinta.

-to be continued-

Jumat, 25 Juni 2010

Fanfic The Future and the Past, side story 7

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
SIDE STORY 7
-LET IT FLOWS 2-
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Alcheon: Lee Seung Hyo (memakai nama asli di FF)
Young Bakui: Joo Sang Won as Wolya brother (real name: Seo Sang Won)
Kim Chun Chu: Yoo Seung Ho (memakai nama asli di FF)
Wolya: Joo Sang Wook (memakai nama asli di FF)
Shendi: Han Shin Woo
Rin: Na Rin Young
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Joo Sang Won, Seoul, 2009─

“Sudah kukatakan kan, langsung tembak saja!!”ujar Kakakku yang akhir-akhir ini semakin menyebalkan.

”Aku tidak mau dengar!” balasku sambil melempar bantal sofa ke kepalanya. Ia marah-marah dan melempar kembali bantal itu padaku. Katanya aku mengganggunya menonton pertandingan bola favoritnya. Masa bodoh.

Pertemuan dengan Rin banyak mengubahku. Awalnya aku tidak mempedulikan wanita. Aku tidak memikirkan apa pendapat mereka tentang penampilanku. Namun, akhir-akhir ini aku semakin peduli. Apa tanggapannya kalau aku melucu, apa tanggapannya kalau pertandingan karateku buruk.

”Kau tidak kembali ke basket?” tanya Kak Sang Wook sambil menolehkan kepalanya sedikit. ”Tinggimu sekarang sudah lebih dari cukup...”

”Nanti saja kupikirkan...” jawabku asal-asalan.

Tinggiku sudah cukup. Beberapa bulan lalu, pertemuan pertama kami, tinggiku sama dengan Rin. Aku merasa belum pantas untuk menjadi pacarnya. Ketika aku sudah lebih tinggi, ketika aku sudah lebih mampu berperan sebagai pelindungnya, aku akan mengejarnya.

Dan sekarang, ia berada di penghujung kelulusan siswa kelas tiga. Dan tinggiku sudah lebih dari cukup untuk berdiri di sampingnya. Waktunya sudah tepat. Hanya caranya, aku tidak tahu. Apa yang harus kukatakan padanya?

”Jadilah dirimu sendiri...” berkali-kali, Kakak mengemukakan kalimat yang sama saat aku menanyakan bagaimana sebaiknya caraku menembaknya. Terimakasih, kau sangat tidak membantu.

─Na Rin Young, Seoul, 2009─

“Sebentar lagi tahu-tahu kita sudah lulus ya?” ujar Seung Hyo sambil menatap pucuk-pucuk daun dari balik jendela. Pandangan kami bertemu dan kemudian kami sama-sama menatap lapangan sekolah yang luas.

”Kalau kita lulus kan?” candaku. Kami tertawa kecil dan kemudian sama-sama menghela nafas panjang. ”Apa rencanamu setelah lulus?” tanyaku.

”Kuliah, tentu saja... dan kemudian menunggu...”

Aku tersenyum memandang Seung hyo. Menunggu yang ia maksud jelas adalah menunggu pacarnya lulus dan kuliah satu kampus bersamanya. Sedangkan aku? Aku tidak tahu harus menunggu siapa nantinya. Hubunganku dan Sang Won tetap saja tidak jelas.

Tetap saja kami beberapa kali bergandengan tangan. Jalan keluar pada hari libur, namun setiap pertemuan kami, aku merasa Sang Won memperlakukanku sebagai teman baiknya, tidak lebih. Ooh, capek juga rasanya menunggu tanpa kejelasan semacam ini.

”Apa sebaiknya aku yang menembaknya ya?” gumamku sambil memandang lapangan tempat Sang Won dan temannya biasa berolahraga.

”Kau tunggu saja sebentar lagi...” ujar Seung Hyo sabar.

”Kalian laki-laki selalu saja membuat wanita menunggu...” keluhku, merasa jengkel pada keadaanku. ”Aku harus bagaimana dong...”

”Aku ini termasuk yang bergerak cepat loh,” pujinya pada diri sendiri. Mau tidak mau aku tertawa bersamanya. ”Mungkin, waktunya saja yang belum tepat untuk Sang Won...”

”Dia kan polos sekali. Mungkin dia malah tidak menyadarinya... inilah susahnya anak yang lebih muda...Coba kalau kau sukanya padaku...”

”Dasar! Kau kan tahu aku sukanya sama siapa! Jangan menggodaku dong!!”

Kami tertawa berdua. Samar-samar aku mendengar derap langkah kaki di koridor. Cepat aku melangkah ke pintu. Bukan. Tidak ada seorang pun di sana. Bukan Sang Won. Ah, aneh-aneh saja khayalanku. Tapi, kenapa dia belum menjemputku ya? Biasanya jam segini dia sudah on time di depan kelasku.

”Seung Hyo, aku jalan ke kelasnya Sang Won ya...”

”Oke, hati-hati ya...”

Pelan kuselusuri koridor panjang sekolah. Entah berapa lama aku tidak bisa melihatnya lagi nanti. Aku pasti akan merindukan sekolah ini dan segala kenangan di dalamnya. Di sekolah ini aku bertemu dengannya.

”Eh, Rin? Sang Won baru saja pulang. Dia tidak menjemputmu?” tanya Seung Hoo kaget. Aku hampir saja mengganggu acara pacarannya dengan kekasihnya Eun Bin.

”Begitu ya? Mungkin ada perlu...” sahutku, bingung. Sang Won tidak menungguku dan tidak mengabariku apapun. Kenapa? Baru kali ini ia bertingkah seaneh ini....

─Joo Sang Won, Seoul, 2009─

“Inilah susahnya anak yang lebih muda...Coba kalau kau sukanya padaku...”

Kepalaku terasa berdenyut sakit sesakit dadaku saat mendengar kalimat itu meluncur dari bibir Rin. Apa maksudnya? Apa itu artinya kedekatanku selama ini dengannya selalu saja merepotkan? Apa ia tidak menyukaiku? Dan… yang ia sukai adalah Kak Seung Hyo?

Wajar. Tentu saja itu wajar bukan? Kak Seung Hyo tinggi. Dan keren. Ketua OSIS. Dan ia jagoan di klub karate. Aku bukan tandingannya. Dan Rin... cintanya bertepuk sebelah tangan. Kak Seung Hyo memilih gadis lain.

Rin memahami perasaanku yang juga bertepuk sebelah tangan, karena itu ia tidak mengatakan apapun, tidak mengatakan kalau ia keberatan dengan keberadaanku. Aku selalu jadi pengganggu untuknya.

”Sang Won!!”

Dadaku berderak keras ketika suara itu memanggilku. Sialan, sialan, kenapa kau sebodoh ini Sang Won! Jangan menyukainya! Jangan membuatnya tambah membenci keberadaanmu!!

”Ada apa?” tanyaku, berusaha bersikap biasa.

Duh, susah sekali sih. Bibirku kaku sekali tersenyum di depannya. Aah, coba kalau gerakku lebih cepat. Coba kalau aku tidak usah menunggu badanku tambah tinggi. Mungkin aku sudah bisa menggandengnya kemana pun saat ini. Tapi, tidak boleh, pikiran semacam itu egois bukan?

”Kau tidak sakit kan?” tanya Rin. Nafasnya terengah-engah mengejarku. Uuh, rasanya aku harus menahan diri supaya tidak memeluknya sekarang.

”Tidak apa-apa...” sialan, suaraku kasar sekali barusan.

”Baguslah kalau tidak sakit...” ujar Rin sambil menatap mataku dalam-dalam. ”Aku belikan ini tadi...” ia menyodorkan sekaleng jus jeruk ke tanganku. ”Sang Won suka jus kan? Ini banyak vitaminnya. Berguna untuk mencegah sakit...”

”Terimakasih...”

Aneh bukan? Aku seorang lelaki. Tapi, menerima kebaikannya ini. Rasanya hatiku berderak sakit. Aku menyukainya. Dan ia tidak menyukaiku. Tapi, melihat kebaikannya padaku...aku merasakan harapan baru berpendar di dadaku. Aku ingin menangis karena kehangatannya begitu dalam di dadaku.

”Sang Won... kau membenciku?” Tanya Rin sambil menatapku lagi. Aku memalingkan wajah. Tidak bisa! Jangan lihat aku seperti itu!

”Siapa bilang!” jawabku. Sialan, sialan. Kenapa sih jadi ketus begini. Biasa saja Sang Won! Yang wajar, oke kan?

”Ternyata iya kau membenciku...” wajah Rin terlihat muram dan sedih. ”Ya sudah, aku pulang ya... sampai jumpa...”

Aku memandangnya pergi dengan hati hancur. Yang ada di ujung jalan itu... yang menjadi arah cintamu itu... bukan aku, ya Rin? Bukan aku...

”Rin!!!” tenggorokanku terasa panas saat meneriakkan namanya. ”Aku menyukaimu...” gumamku dengan suara parau. Sakit sekali... kenapa orang bilang cinta itu manis dan indah? Pahit... rasanya pahit... seperti menelan obat...

Angin musim semi yang hangat menerpa punggungku. Mataku panas dan tenggorokanku sakit. Aku tidak boleh menangis. Aku adalah pria.

─Na Rin Young, Seoul, 2009─

“Kau enak sekali, Seung hyo…” godaku pada Seung Hyo yang dengan gembira memakan bekal pemberian pacarnya, Shin Woo.

“Haha.. hari ini kau nggak makan siang bareng sama Sang Won?”

“Sudah berakhir tuh…” jawabku asal. Aku harus berusaha tenang. Supaya pertahananku tidak jebol seperti kemarin. Akhirnya kemarin aku berlari sampai ke rumah. Berlari dengan mata basah. Sang Won membenciku.

“Kenapo? Kok bisa sih?” Tanya Seung Hyo sambil menghentikan makan siangnya. “Kalian kan lengket sekali…”

“Aku tidak tahu. Tiba-tiba sikapnya berubah. Mungkin dia sadar aku menyukainya dan ia tidak mau itu terjadi. Makanya dia menjaga jarak…” ujarku dalam rentetan kalimat yang bergulir begitu cepat.

“Loh? Bukannya kebalikannya?” ujar Seung Hyo. Aku baru saja mau menanyakan apa maksudnya menanyakan itu ketika tiba-tiba salah satu anggota OSIS datang dan memberikan laporan kegiatan ke Seung Hyo. ”Eh, tadi sampai mana ya?” tanyanya.

”Habiskan saja deh, istirahat sudah mau selesai tuh...” jawabku malas. Ia melanjutkan makannya sambil memintaku bercerita selengkapnya pulang sekolah.



”Begitu? Tiba-tiba dia pulang? Tanpa bilang apapun?”

”Ya, bahkan aku belum mengobrol apapun dengannya hari itu. aneh kan? Dan waktu kususul, suaranya, tatapannya... dingin sekali. Seperti bukan Sang Won yang kukenal...”

”Hei, jangan menangis.. nanti aku malah dituduh melakukan macam-macam padamu...” ujar Seung Hyo lembut.

”Kata-katamu malah membuatku sesak nafas, tahu...” ujarku. ”Uhh...” dengan cepat kututup mulutku. Air mataku sudah meluncur jatuh di pipiku.

”Sudahlah... sudah... nanti biar aku bicara padanya....” Seung Hyo meminjamkan bahunya untuk tempatku menangis. “Ya, makanya berhenti dong nangisnya... tuh rumahmu sudah sampai...”

“Thanks ya... dan mendingan nggak perlu ngomong aneh-aneh sama Sang Won. Aku nggak mau dia tambah membenciku...”

”Oke, aku tahu itu... Ingat, jangan nangis terlalu banyak...” pintu kututup sebelum Seung Hyo menyelesaikan ceramahnya.

Aku tidak mungkin bisa menurutinya. Hatiku hancur dan patah. Siapa yang bisa memperbaikinya? Luka yang disebabkan Sang Won, hanya Sang Won yang bisa menyembuhkannya.

─Joo Sang Won, Seoul, 2009─

Menguntit merupakan akar dari kejahatan. Aku tahu itu. Aku tahu tidak seharusnya aku menguntit Rin sampai ke rumah. Apalagi ada Kak Seung Hyo mengantarnya pulang. Kenapa bisa? Apa mereka sudah jadian? Tapi, kenapa dia membuatnya menangis di bahunya? Apakah Rin menyatakannya dan ditolak? Sialan! Tidak bisa dibiarkan!

”Kak Seung Hyo!!” aku mengejarnya dengan setengah berlari. Ia memandangku dan tampak terkejut.

”Kau ke sini? Kukira kau tidak mau mengantar Rin pulang!” ia mulai mengomeliku dengan wajah kesal. Sialan, mustinya aku yang marah, kan?

”Kan ada Kakak yang mengantarnya! Lagipula, aku hanya sekedar cemas kok...” dalihku, berusaha membela diri.

”Kalau cemas, antar dia dong!” omel Kak Seung Hyo sambil berdecak marah. ”Kalian membuatku pusing saja!”

”Biar gimanapun, Kakak jangan membuatnya menangis dong! Kakak menolaknya dengan lembut dong!!”

”Menolak? Apa sih maksudmu?” Kak Seung Hyo memandangku dengan alis bertaut, terlihat bingung.

”Rin kan menyukai Kakak, makanya dia baru berani mengutarakan perasaannya. Eh, Kakak malah menolaknya! Tega banget sih!!”

”Hah!? Lelucon macam apa itu! Dengar ya, tidak lucu loh, aku tidak akan tertawa....” ujar Kak Seung Hyo sambil memandangku dari atas sampai bawah. Sekejap kemudian ia terdiam dan tampak berpikir. ”Oooh, begitu rupanya! Pantas saja! Dasar kalian berdua bodoh sekali!!”

”Akhirnya Kakak mau ngaku?” tuntutku, kesal. Kak Seung Hyo malah tertawa terbahak-bahak dan menarikku. Sekejap kemudian ia berbisik di telingaku, menceritakan semuanya. Menjelaskan kebodohanku. Kedangkalan pikiranku. Mukaku memerah sampai telinga. Dalam hitungan detik, aku lari tunggang langgang sampai ke rumah.

─Na Rin Young, Seoul, 2009─
“Memangnya ada yang lucu?” tanyaku sambil menggerutu. Dari pagi Seung Hyo terus-menerus cengar cengir saat melihatku. “Kau membuatku tambah sebal tahu!!” protesku.

“Eh, Rin, mau taruhan nggak?”

”Taruhan?” kukerutkan dahiku. Tidak biasanya Seung Hyo mengatakan hal sekonyol itu. ”Apa aku nggak salah dengar?”

”Kalau hari ini Sang Won datang dan membuatmu gembira, bantu aku cari tahu barang yang diinginkan Shin Woo ya...”

”Tidak lucu tahu!” jawabku dengan jengkel. ”Tidak mungkin deh, kau pasti kalah. Kalau kalah, kau harus....”

Kalimatku belum usai ketika tahu-tahu sebuah suara memanggilku. ”Rin!!!” ia berdiri di depan pintu kelasku. Entah bagaimana wajahku saat memandangnya. Sebentar kutatap Seung Hyo yang memberikan tanda victory dengan jarinya. Uuh...


”Jadi... kau tidak membenciku, nih?” tanyaku sambil mengamati daun jatuh di halaman belakang sekolah.

Sang Won berdiri di sampingku, juga bersender ke dinding. “Aku...nggak pernah membencimu kok...” jawabnya datar. “Justru kebalikannya. Aku takut kau membenciku.”

“Kapan aku bilang begitu?”

”Aku salah paham karena membuat kesimpulan seenaknya. Hari itu, saat mau menjemputmu, aku mendengar sedikit kalimatmu ke Kak Seung Hyo. Dan tahu-tahu, kakiku langsung lari begitu saja setelah mendengarnya...”

”Aku bilang apa ya?” tanyaku, bingung.

”Kau bilang... “Inilah susahnya anak yang lebih muda...Coba kalau kau sukanya padaku...””

”Ya ampun!!” tanganku tanpa sadar terangkat menutup mulutku. ”dan apa yang kau simpulkan?”

”Aku kira kau membenciku karena selalu mendekatimu padahal yang kau sukai Kak Seung Hyo. Lalu, karena Kak Seung Hyo sudah punya pacar, kau jadi memahami perasaanku yang bertepuk sebelah tangan dan membiarkanku terus mengganggumu...”

”Hahaha...”

”Tidak lucu Rin, aku benar-benar takut kau membenciku...”

”Aku malah mengira... kau sudah membenciku...” tawaku lagi-lagi berderai. Tawa yang kering. Sementara, pipiku sudah basah oleh air mata.

”Maaf Rin... Aku salah paham ya... Tapi, Kak Seung Hyo mengutarakan keseluruhan kalimatnya padaku... Aku sadar kok. Sangat sadar akan perasaanku. Namun, aku terus mencari waktu yang tepat...”

”Eh...” Wajahku memerah semerah tomat. Sialan si Seung Hyo! Bisa nggak ceritanya seperlunya saja? Huh! Dasar...

”Aku...menyukaimu, Rin... Jadilah pacarku. Oh, ya, mungkin agak memalukan kalau nanti saat kuliah kau pacaran dengan anak SMA... tapi, aku akan berusaha keras untuk tidak membuatmu malu!!”

Air mata dan senyuman membaur jadi satu di wajahku. Sang Won, yang kini lebih tinggi dariku maju dan memelukku. Aku sudah lama, begitu lama menantinya. Dan kini, saat ia memelukku, aku tahu, penantianku tidak pernah sia-sia...






”Eh, Sang Won, kau kenal dengan Han Shin Woo?”

“Hm? Kenapa dia? Kenal kok…”

“Bisa Bantu aku cari tahu apa benda yang diinginkannya nggak untuk ulang tahun?”

“Hah? Sekarang kau jadi lesbi ya? Huhu...”

”Uh! Bukan! Bukan! Aku kalah taruhan dengan Seung hyo tadi. Pokoknya kau bantu saja aku cari tahu barang yang diinginkannya!! Dan kau juga tidak boleh jatuh cinta padanya ya! Kau kan pacarku!!”

”Ya! Aku tahu itu! Aku tahu!!” senyuman Sang Won melebar saat mendengar aku menyebutnya pacarku. Ia menggandengku. Bersama-sama udara musim semi yang hangat, kami menyusuri koridor panjang sekolah. Kenangan yang takkan kulupa selamanya.

-Selesai-