Selasa, 29 Juni 2010

Fanfic The Future and the Past 40

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
FORTIETH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Kim Yong Soo : Park Jung Chul(nama asli): Jung Yong Soo (nama di FF)
Seol Won : Jun Noh Min (Guru olahraga)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“Deok Man….”

Pelan kutatap Kim Nam Gil yang berdiri tepat di sebelahku. “Kau memanggiku?” tanyaku. Ia menggeleng. Yang lainnya menatapku heran. “Ada yang memanggilku, tidak?” tanyaku. Yang lain menggeleng hamper bersamaan.

Lalu kilasan itu mendadak muncul. Seorang pria. Seorang pria yang menimbulkan gejolak aneh di dadaku. Si pria yang berlumuran darah. Bibirnya bergerak sambil mendekat ke arahku.. Kemudian pemandangan menggelap dan berputar seperti gasing.

Kali ini aku tidak sendirian. Dalam sebuah ruangan yang sepertinya kamar tidur. Mungkin kamarku. Ada seorang pria di depanku. Ia menggeleng. Dan bisa kurasakan perasaan lain bergejolak di dadaku.

”Ini perintah,” tegasku. ”Katakan apa yang diucapkannya!!” ujarku. Kurasakan gelombang kepedihan melandaku ketika bibir pria itu bergerak dalam gerakan cepat yang beruntun.

”Dia berkata Deok Man... Deok Man ku...” detik itu juga kurasakan sudut mataku panas. Panas. Dan menyakitkan. Dadaku terbakar oleh kehangatan lain yang tidak asing. Perasaan yang sama saat Nam Gil menggandeng tanganku lembut. Cinta. Ini adalah cinta.


”Kau tidak apa-apa, Yo Won?” tanya Nam Gil sambil menopang bahuku. Aku terkesiap kaget dalam pelukannya.

”Tidak apa-apa...”

”Kau melamun dan tiba-tiba limbung, hampir saja kau jatuh kalau dia tidak menahanmu. Ada apa?” tanya Ye Jin cemas. Lagi-lagi aku menggeleng.

REINKARNASI

Satu kata itu begitu membara dalam pikiranku. Hanya itulah satu-satunya yang mampu menjelaskan semua keanehan ini. Tanganku mencengkeram tangan Nam Gil. Ia membantuku berdiri dan membiarkanku sementara bersender dalam pelukannya.

”Yakin sudah tidak apa-apa?” tanyanya cemas. Aku menggeleng, berusaha keras mengingat nama yang diulang-ulang dalam ingatanku.

”Deok Man...” ujarku.

Kurasakan pelukan Nam Gil menegang. Pelan kuangkat wajahku dan memandangnya. Mata kami bertemu. Dan tidak ada sorot mata lain yang lenih menyakitkan daripada ini. ”Kau mengatakan apa?” tanyanya.

”Deok Man...” ujarku, kalut. ”Apakah... itu nama... ku?” tanyaku.

Nam Gil menahan nafas saat menyentuh pipiku dengan punggung tangannya. Kak Tae Wong dan Ye Jin juga tiba-tiba terdiam. Mereka menatapku begitu lama. Tampaknya mereka menyetujuinya. Deok Man. Itu namaku.


“Hei! Apa kau sudah lebih baik,. Tae Wong?” Pak Jun Noh Min memasuki ruangan dengan terburu-buru. Kak Tae Wong mengangguk dan bisa kulihat wajahnya berubah lega. ”Ayo! Kita masuk ke bis! Tujuan berikutnya, istana Silla!”

Mendengar kalimat terakhir bisa kurasakan suasana berubah tegang. Bisa kurasakan dentaman jantungku semakin keras dan menusuk.

Istana Silla.

Apakah di sana ada jawaban yang kami cari selama ini?


─Kim Nam Gil, Gyeongju, 2008─

Ini benar-benar gila!

Di saat semua orang terkagum-kagum memandang kemegahan gerbang istana Silla. Atau bahkan betapa luasnya lapangan muka istana itu, otakku berkecamuk membayangkan lintasan memori lain yang jelas mengganggu.

Aku merasa mengetahui celah di mana para prajurit yang disebut –hwarang- oleh guide tadi, biasa bersembunyi dan menghindari tugasnya.

Alun-alun istana tempat yang menyenangkan untuk menghabiskan waktu. Dan kemudian, di singgasana, ada seseorang yang selalu saja menyenangkan untuk ditemui. Entah darimana pikiran itu menggangguku.

Kemudian... perpustakaan. Tidak lucu menghabiskan waktu berjam-jam di sini hanya untuk mengawal seorang bocah. Eh? Kenapa juga pikiranku bisa ke sana? Bocah apa? Bocah siapa? Memangnya aku pernah ke sana?

Tapi.. perpustakaan memang tempat yang menyenangkan dan nyaman. Ia suka menghabiskan waktu di sana. Dan kurasa tidak masalah menghabiskan seluruh waktuku untuk memandangnya.

“Kau kenapa, Nam Gil?” tanya Yo Won di sebelahku.

Aku memandangnya dan berusaha tersenyum sewajar mungkin. Semua pikiran itu terasa konyol di otakku. Bagaimana bisa ada pikiran semacam itu di otakku? Memangnya aku pernah tinggal di sini?

Tapi... kenapa semuanya seolah begitu jelas? Dan begitu nyata? Bukankah lapangan itu adalah tempat kami biasa mengayunkan pedang? Dan alun-alun utama itu... aku pernah berhadapan dengan seseorang di sana....

”Yo Won! Nam Gil!!” sapa seseorang dari belakang. Rupanya Han Ga In. Ia memandangi wajahku dan Yo Won bergantian.

”Kalian berdua kenapa? Kok wajah kalian aneh sekali? Kau juga Nam Gil, pucat sekali! Seperti habis melihat hantu saja!”

”Hahaha.. bukan.. ini karena udara panas saja kok...” jawabku sambil tertawa kering. Kepalaku sakit. Dan jantungku semakin kencang berdebar. Seperti memukul-mukul rongga dadaku. Dan semakin lama semakin menyakitkan.

”Kau sakit, ya?” tanya Ga In lagi. Aku menggeleng dan ia menyodorkan sekaleng juice ke arahku dan Yo Won. ”Kalian jangan sampai rubuh sebelum acara selesai...” gerutunya. Ia lantas berbalik pergi. ”Acara bebas! Kemana nih, asyiknya?” tanyanya padaku.

”Entahlah. Menurutmu?” aku terkesiap kaget melihat Yo Won tidak lagi di sampingku. Kemana!? Kemana ia pergi?! ”Kau lihat kemana Yo Won pergi?!”

”Entahlah. Aku tidak yakin, tapi mungkin ke sana...” Ga In menunjuk jalan setapak kecil. ”Ia seperti kesetanan saja...” candanya.

Sama sekali tidak lucu.

”Aku juga sedang kesetanan...” gumamku. Tapi tampaknya ia tidak mendengarnya. Ia asyik berfoto dengan anak-anak lain di depan pilar-pilar bangunan istana.

”Yo Won!!” sekuat tenaga aku berteriak memanggil namanya. Memusingkan. Dan menyulitkan. Semakin berjalan, kepalaku sakit seperti dihentak-hentakkan. Sakit seperti dipukul. Terpaksa tangan kiriku mencengkeram kepalaku, memijit pelipisku. Apapun untuk membuatnya terasa lebih baik.

Semakin jauh, rasanya semakin aneh. Seolah ada dimensi lain dan aku semakin tersedot masuk ke dalamnya. Puluhan gambar melintas berganti-ganti di kepalaku.

Siapa namamu?" tanya gadis itu. ”Tukarkan ayam itu dengan ini!” ujar suara lainnya. ”Aku akan menjadi hwarang!!” suaraku, penuh tekad. ”Aku menyayangimu... selamanya kau adalah muridku yang kusayang...” suara terakhir menyayatku, merobek hatiku.

"Karena ini terlalu kejam, Ibu,,,,
" kurasakan ulangan kalimatku dengan sudut mata yang terasa panas. ”kau mungkin siap, tetapi aku tidak siap...” wanita itu lagi. ”Kau yang merusak semuanya. Padahal Ratu tetap mempercayaimu...” jangan! jangan katakan itu!!!

Semuanya bergantian muncul dan menyakitiku. Semua kilasan itu menghentakku begitu dalam, begitu kuat. Jurang. Apakah ini jurang ingatan? Semua melebur menjadi satu. Siapa aku? Siapa kau? Siapa aku? Apakah aku Kim Nam Gil... apakah aku.. Bi Dam!?

”Aarargh....” nafasku terasa sakit di dadaku. Paru-paruku sakit seperti nyaris terbakar. Keringat dan peluh membasahi kepala, tengkuk dan tubuhku. Masih ingatan yang sama, semua bertubi-tubi menghampiriku.

Mati-matian aku berdiri dan mencengkeram semua yang bisa kujadikan pegangan. ”Yo Won..” panggilku. Airmata merembes keluar begitu saja dari mataku. ”Deok Man.,..” ujarku. Kurasakan bahuku berguncang menyakitkan. ”Deok Man...” panggilku, nyaris putus asa.

Kemudian aku melihatnya. di tempat yang sama dengan tempatnya menyerahkan hatinya padaku. Ia berlutut membelakangiku, memandangi jembatan itu. Tempatnya menyerahkan cincin padaku, lambang kepercayaannya. Yang dulu pernah kukhianati.

Luka di dadaku menganga lebar. Dan bekas sabetan itu masih terasa begitu dalam menembus nyawaku. Namun ia ada di sana. Dan itu lebih dari cukup.

“Yo Won...” panggilku. Tidak berhasil. Ia tidak bergeming. “Deok… Man…” bahunya bergetar pelan. Dan ia menoleh. Memandangku dengan tatapan terluka. Air mata penuh di pipinya. Peris sama dengan kematianku. Tetapi bedanya, kali ini aku hidup. Aku masih hidup!

Sepuluh langkah… menuju Deok Man…

Lima langkah… menuju Deok Man…

Tiga langkah… menuju Deok Man…

Ketika kakiku hampir tiba di depannya, ia lari dan menyongsong pelukanku. Kami bertangisan dalam air mata. Pelukan yang gagal. Pelukan yang terlambat dilakukan. Dan air mata yang sedari awal sudah tertumpah.

”Aku... minta maaf...” ujarku dalam pelukannya. ”Karena... aku mencintaimu... dan karena aku buta oleh cinta...”

Ia mengangguk lemah dalam pelukanku. ”Seharusnya aku tidak membiarkan mereka menusukmu...” sahutnya dengan suara lirih.

Air mata menetes turun di pipiku. ”Jangan menangis...” ujarku. Ia meletakkan kepalanya di bahuku. ”Karena mulai sekarang... kita akan selamanya bersama...”

”Ucapkan lagi...” pintanya. Matanya menatap sendu ke arahku. ”Ucapkan lagi... namaku...”

“Deok Man... Deok Manku...” jawabku.

Ia menutup matanya. Perlahan, kurasakan cinta datang mendekat. Kami mengeratkan pelukan dan cinta yang telah dicuri oleh intrik dan kekuasan dari kami. Puluhan. Bahkan ratusan tahun. Selalu dan selamanya kami saling mencari dan menanti. Hanya untuk menggapai saat yang indah seperti ini.

Aku memiringkan wajahku, menyentuh bibir Yo Won yang terasa basah sekaligus lembut. Pelan kurasakan kepolosan dalam bibirnya. Nafas saling beradu, dan bibirku pelan menekan bibirnya. Lalu ciuman kami berubah menjadi lebih posesif, lebih menuntut. Yo Won membalasku dengan cara yang unik. Dan gairah dalam diri kami tidak akan pudar selamanya oleh cinta.

-to be continued-

Tidak ada komentar: