Rabu, 23 Juni 2010

Fanfic The Future and the Past 39

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
THIRY NINTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Kim Yong Soo : Park Jung Chul(nama asli): Jung Yong Soo (nama di FF)
Seol Won : Jun Noh Min (Guru olahraga)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Kau bohong padaku!” tuntut wanita itu dengan segala emosi dari wajahnya. Aku ingin mengelak dan pergi tetapi ia terus berujar. “Mengapa kau berbohong?”

”Bi Dam, jawab aku sekarang...”pinta suara itu lagi. Aku memandangnya dengan perasaan kalut. Aku tidak bermaksud berbohong. Wanita itu, dia tidak mau mengakuiku. Jadi, untuk apa kalau aku sendiri yang mengakuinya?

─Kim Nam Gil, Gyeongju, 2008─

”Kau mimpi buruk?” tanya Kak Tae Wong sambil menepuk pundakku.

”Begitulah,” jawabku sambil beringsut bangun. Kepalaku terasa sangat berat. ”Kau seharian kemana kemarin? Aku tidak melihatmu di bus dan di ruang makan?”

”Aku ikut bus dua, makanya aku juga tidak melihatmu kemarin. Dan semalaman Pak Jun Noh Min minum-minum. Beberapa guru juga ikut. Kau saja yang tidak ikut ke pesta itu...”

”Aku tidak suka kegiatan semacam itu... Aku benci bar...” jawabku sambil menepuk kepalaku. ”Sayang sekali Dae Chi tidak ikut, bukan?” godaku. Sekejap kemudian wajah Kak Tae Wong berubah semerah tomat.

Aku sengaja memindahkan topiknya. Aku benci bar. Mengingatkanku akan Sung Pil. Mengingatkanku kalau ia kini sudah tidak ada lagi. Rasanya masih terasa tidak nyata.

”Hari ini kita akan ke kuil kemudian ke istana Silla...”

”Ya, aku tahu itu...” jawabku, menarik beberapa lembar pakaian ganti dan meletakkannya di pundakku, bersiap untuk mandi.

”Nam Gil, aneh tidak kalau aku merasa tidak asing dengan istana ini?” Kak Tae Wong mengernyitkan dahi memandang gambar istana Silla di brosur majalah wisata yang dibagikan gratis kemarin.

Langkahku terhenti sejenak. Begitukah? Jadi, Kak Tae Wong juga merasa tidak asing? Berarti bukan hanya aku saja? berarti... aku normal? Ya, aku tidak gila. Kalau nggak, nggak mungkin kan Yo Won, aku dan kak Tae Wong merasakan keanehan itu.

”Tidak, kau dan aku normal. Aku juga merasakannya....” jawabku sambil menutup pintu kamar mandiku. Aku bisa melihat Kak Tae Wong mengangguk paham sebelum pintuku tertutup sepenuhnya.

”Bi Dam....”

Gil, aku mungkin benar-benar gila kalau kukatakan nama itu tidak terasa asing saat kuucapkan di bibirku. Dan wanita itu menatapku saat mengucapkannya.


Apakah... itu namaku?


”Kau kurang tidur, ya?” tanya Yo Won sambil menatapku cemas.

Kami menikmati sarapan bersama begitu banyak murid lainnya. Kulihat Yong Soo dan Ye Jin duduk di sudut ruangan, terlihat asyik mengobrol.

”Mereka sudah jadian ya?” tanyaku pada Yo Won. Ia menatap ke sudut ruangan dan mengangguk. Kuteruskan memakan nasi gorengku.

”Banyak juga yang jadian sejak datang ke sini...”

”Memang menyedihkan kalau jalan-jalan tanpa pasangan kan?” jawabku sambil tersenyum jahil ke arah Yo Won. Pipinya memerah karena malu. Menggemaskan. Sebenarnya aku ingin mencubitnya, tapi apa kata orang yang melihatnya?

”Yo Won, aku ada permintaan...” ujarku. Ia menatapku bingung. ”Coba kau panggil aku Bi Dam...” pintaku.

Yo Won tertegun mendengar kalimatku. Mungkin aku memang gila karena memintanya memanggilku demikian, tapi... sudahlah, memang aku sudah gila. ”Tidak mau juga tidak apa kok...” tukasku buru-buru.

”Bi Dam....” ucap Yo Won dengan bibir bergetar.

Detik itu juga ada rasa sakit luar biasa di jantungku, di perutku, di organ dalamku. PRANGG!!!!! Piringku terjatuh dari pangkuanku sementara aku sendiri bergulingan di lantai sambil menekan dadaku dengan tangan.

“Kim Nam Gil?” panggil Yo Won dan anak-anak lain. Kak Tae Wong dan Yong Soo menyibak kerumunan dan berjalan maju lalu membantuku berdiri. “Kau tidak apa-apa?” tanyanya, kaget.

“Sedikit kacau di sini...” ujarku sambil menunjuk otakku. “Dan rasanya sakit sekali di sini. Tapi itu tadi, sekarang sudah tidak apa-apa....”

”Kau yakin ikut ke tempat itu?” Yo Won memandangku cemas. ”Maaf, seharusnya aku tidak mengejutkanmu...”

”Aku yakin kok aku memang harus ikut. Dan stop minta maaf, aku yang memintamu, jadi bukan kau yang salah. Oke?” Yo Won tersenyum kecil sambil memandangku cemas.

─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

Begitu memasuki halaman kuil Bulguksa, pemandu mulai bercerita panjang lebar. Aku mengeluarkan notes dan mulai mencatat untuk memuatnya sebagai laporan perjalanan. Tugas akhir semester, dan kontribusinya besar untuk nilai pelajaran sejarah, sosiologi, kewarganegaraan, dan bahasa indonesia.

”Kota Gyeongju merupakan ibu kota dari Dinasti Shilla, dinasti yang pernah berjaya di Korea dan menjadi catatan sejarah bagi bangsa ini bahwa mereka pernah menjadi bangsa yang besar dan disegani. Dari catatan sejarah, dinasti ini berdiri pada tahun 57 sebelum Masehi. Peninggalan-peninggalan sejarahnya masih tetap dipertahankan sampai saat ini, walau beberapa sudah direstorasi. Dari lokasi dan peninggalan yang ada, menggambarkan betapa dinasti ini sudah besar dengan peradaban yang sudah maju.”

Aku mencuri pandang beberapa kali dan mengamati kondisi Kim Nam Gil. Ia tampak sehat, syukurlah.

“BULGUKSA yang berarti "Kuil Negara sang Budha". Kuil ini selesai dibangun saat pemerintahan kerajaan Shilla bersatu dan sempat terbakar saat Jepang masuk ke Korea. Di depan adalah gerbang 4 Raja Langit...” ujar pemandu itu lagi.

Kami berjalan melewati empat patung raksasa. Kemudian, tidak jauh dari sana, ada sebuah bangunan megah dengan tangga besar di tengah. Kami memanfaatkan momen yang ada untuk berfoto dengan teman-teman.

”Aduh. Tidak perlu deh, Yo Won...” ujarnya malas. Mati-matian kuseret Kim Nam Gil dan kuminta Ye Jin memotret kami.

”Setelah ini kemana?” tanyaku sambil bergelayut di lengan Kim Nam Gil. Ia terlihat agak waswas dan kemudian melihat sekeliling. ”Tidak ada orang kok kecuali Ye Jin dan Yong Soo...”

”Iya, aku tahu,” sahut cowok itu sambil tersenyum. Rasanya agak iri melihat Ye Jin bisa bergandengan dengan terbuka bersama Yong Soo. Menyenangkan melihat tawa Ye Jin sudah tidak lagi dipaksakan sekarang. ”Setelah ini Bunhwangsa...”

Bunhwangsa tidak jauh berbeda. Merupakan sebuah candi tua berbentuk seperti pagoda raksasa yang aslinya 9 tingkat tapi kini tinggal 3 tingkat yang tersisa. Pemandu menjelaskan kalau itu diakibatkan oleh invasi Jepang.

Kepalaku terasa pusing. Apakah kurang tidur? ”Tidak apa-apa?” tanya Kim nam Gil.

Aku menggeleng dan menggunakan bahunya sebagai penopang. Aneh. Rasanya perpindahan rute semakin membuatku merasa aneh. Berdebar, pusing, dan melayang-layang. Apakah aku masih berdiri di kakiku sendiri? Entahlah, rasanya tidak meyakinkan.

”Sekarang kita akan menuju Kuburan seorang Jenderal besar dalam sejarah kerajaan Silla. Kim Yu Shin...”

Langkahku terhenti mendengar kalimat pemandu itu. Yu Shin? Kenapa rasanya...?

”Kak Tae Wong!!” terdengar jeritan seorang siswi. Aku menatap ke arah Kak Tae Wong. Cowok itu disana, jatuh dengan posisi berlutut dan satu tangan memegang kepalanya. Apakah ia kelelahan?

”Maaf, hanya anemia ringan...”

Kim Nam Gil bergerak meninggalkanku dan bersama Yong Soo berjalan dengan Kak Tae Wong. Wajah mereka pucat. Aku juga bisa melihat wajah Ye Jin yang pucat. Dan apakah wajahku juga demikian? Mungkinkah semuanya menrasakan perasaan aneh itu?

”Nah, kita sudah tiba di makam Kim Yu Shin... Banyak sekali bukan bukit yang ada di sini? Sebenarnya ini semua bukan sembarang bukit. Tapi kuburan para Raja, Ratu, Bangsawan, Jenderal, dan petinggi-petinggi kerajaan Shilla dahulu. Dari Ratusan kuburan seperit itu hanya 8 buah yang dapat diperkirakan siapa yang dikubur di situ, tapi belum ada yang dapat dipastikan kebenarannya. Bentuk, besar, posisi dari bukit2 tersebut menentukan status, kelamin, hubungan antar kuburan tersebut...”

Terdengar suara ’ooh’ dan ’aaah’ juga ’waah begitu ya....’ dari para murid. Banyak hal yang perlu dipelajari dari tempat yang istimewa ini, dan barangkali, salah satunya bisa menjelaskan arti dari rasa sakit luar biasa ini.

”Yo Won?” Ye Jin menghampiriku dan memeluk pundakku. “Kau sakit juga?” tanyanya cemas sambil menuntunku duduk. Beberapa mengambil gambar dan berfoto di dekat makan pria bernama Kim Yu Shin itu.

“Sejak datang ke tempat ini... kepalaku sering sakit kok, jadi bisa dibilang aku sudah biasa…” tukasku berusaha menenangkan Ye Jin. Keringat dingin kurasakan di peluhku. Ada yang aneh. Perasaan aneh di dadaku. Dan entah mengapa, aku merasa ingin menangis. ”Loh, Ye Jin?”

”Ahaha... aneh ya?” ia tertawa dan mengusap pipi dengan punggung tangannya. ”kenapa... kita jadi menangis begini ya?” tanyanya sambil tersenyum kikuk.

Aku mengelap pipiku dan terkejut menyadari ada air mata di sana. Di sisi lain, wajah Kak Tae Wong begitu keruh memandang kuburan itu. Dan Kim Nam Gil serta Yong Soo ada di sana. Ekspresinya, aneh, seperti ekspresi saat kita memandang atasan kita. Ya, seperti eskpresi penghormatan.

Aku menekan dadaku dengan tangan. Debaran jantungku akhir-akhir ini semakin aneh. Seperti sekarang. Seperti seolah seuatu yang buruk akan terjadi....

”Kakak!!” seru Kim Nam Gil kaget. Kak Tae Wong pingsan di depan makam Kim Yu Shin! Aku dan Ye Jin berpandangan dengan bingung. Kami lantas berlari dan membantu mereka. Perasaan tidak nyamanku, firasat yang buruk ternyata benar terjadi.



”Acara bebas sepert ini malah menjagaku, maaf ya,” ujar Kak Tae Wong sambil memandang aku dan Ye Jin.

Kami tersenyum dan berkata bukan masalah. Walaupun sebenarnya aku sangat ingin menghabiskan waktu bersama Nam Gil, tapi kurasa menolong orang lebih penting lagi.

”Kak Tae Wong kenapa bisa sampai pingsan? Apa betul anemia-nya separah itu?”

”Aku sebenarnya sama sekali tidak punya riwayat anemia kok,” jawabnya sambil tersenyum kecil. ”Oh, dan jangan kabar Dae Chi soal kelemahanku ini. Nanti dia cemas dan tahu-tahu menyusul ke sini...”

”Iya, tadinya ingin bilang, tapi tidak jadi. Aku memang mau tanya Kak Tae Wong dulu sebaiknya bilang atau tidak...”

”Thanks ya...”

”Lalu, kalau bukan anemia. Kakak sakit apa?” tanya Ye Jin. Rupanya ia sama penasarannya denganku.

”Entahlah. Akhi-akhir ini aku semakin merasa kacau. Semenjak datang ke sini, ada begitu banyak siluet manusia bermunculan di otakku. Dan semuanya dengan pakaian resmi yang sifatnya tradisional...”

”Ah...” aku memandang Ye Jin dan kami bertatapan sejenak. ”Kau... memimpikannya juga?” tanyaku pada Ye Jin. Ia mengangguk dengan pandangan bingung.

”Kalian juga?” tanya Kak Tae Wong, kaget.

”Ya, kami juga...” sahut dua suara lain. Aku dan Ye Jin serta Kak Tae Wong memandang ke arah suara itu dengan bingung. Kim Nam Gil dan Yong Soo. Mereka juga mengalaminya?

”Jadi, apa ini normal?”

“Tidak begitu normal kurasa,” jawab Nam Gil sambil meletakkan bungkusan makanan di meja. ”Semua murid yang mengobrol denganku tidak pernah membayangkan atau merasakan keanehan itu...”

“Lalu, kenapa kita?” tanya Yong Soo. “Dan semuanya tentang kerajaan. Jangan-jangan semuanya memimpikan satu kerajaan yang sama. Kerajaan yang menghubungkan kita semua. Dan tadi, dengan pingsannya Tae Wong, kurasa semua sudah jelas....”

”Apa...maksudnya?”

Debaran dadaku semakin kencang. Dan semakin terasa menyentak menyakitkan. Bagaikan gemuruh yang tidak henti-hentinya menghantam dadaku.

”Kim Yu Shin berasal dari Silla. Kerajaan Silla, itulah point kuncinya...” ujar tiga pria itu bersamaan. Kami berpandangan dengan wajah kalut.

”Mungkin, kalian akan menertawaiku, tapi...” Kak Tae Wong meremas selimutnya ragu. “Sebelum pingsan, sebelum ada rasa sakit menghantam kepalaku, aku mendengarnya. Ada seseorang… suara…di kepalaku, bergaung, memanggilku. Entah siapa yang ia panggil, tapi kurasa ia memanggilku. Yu Shin….”

Kali ini tidak ada yang tertawa. Semuanya berpandangan dengan wajah tegang. Yu Shin... dan satu lagi. Bi Dam.... nama yang disebut Kim Nam Gil tadi pagi.

Kami semakin menghadapi kenyataan. Dan mungkin, seandainya benar Silla adalah penghubung kami, mata rantai yang menyatukan eksistensi kami semua, maka hanya ada satu kata yang bisa membenarkan semua teori kami. Reinkarnasi.

--to be continued-

Tidak ada komentar: