-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
THIRY FIFTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
lady Ma Ya (King Jinyeong's wife) : Yoon Yoo Sun (Ibu dari Yo Won dan Ye Jin, memakai nama asli di FF)
Wolya: Joo Sang Wook (memakai nama asli di FF)
Young Bakui: Joo Sang Won as Wolya brother (real name: Seo Sang Won)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kurasakan gemuruh di dadaku. Wajahnya masih tetap sama, wajah yang membuat dadaku berdebar. Ia begitu mirip dengan... Kim Nam Gil. Entah mengapa aku berpikir demikian, namun begitulah. Tatapan matanya, senyumannya yang sedih, membuatku teringat akan pria itu.
Bibirku bergerak dan mulai berkata-kata, ”Jika ini terjadi, kau akan terkena konsekuensinya, tidak peduli dengan cara apa, tanggung jawabmu akan dituntut...”
Pria itu memandangku ragu. Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya mengeluarkan kalimatnya, berusaha menenangkanku. ”Aku tidak masalah jika diperiksa karena ini yang harus dilakukan seorang Ratu. Aku sudah siap dan bersedia jatuh karena insiden ini..”
Siap? Ia siap? Apakah ia siap untuk mati? Apakah ia siap kalau ia harus berjauhan denganku?
”Kau sudah siap tapi aku tidak siap untuk itu,” ujarku pelan. Ia terkesiap kaget dan memandangku. Lagi-lagi, dengan ekspresi penuh kekhawatiran.
Tanganku terasa berkeringat di balik jubah panjangku. Saat yang tepat. Apa ini saat yang tepat? Benakku terus mengulang pertanyaan yang sama. Pelan, kukeluarkan benda yang sedari tadi kugenggam erat di kantungku. Cincin. Sebuah cincin. Sejak kapan benda ini ada padaku?
Tanganku bergerak maju, memberikan cincin pada pria di hadapanku. Bibirku bergerak pelan, meluncurkan kalimat yang entah bagaimana berasal dari bagian lain diriku. ”Kita tidak pernah berbagi apapun bersama.”
Ia lantas tersenyum sambil bertanya,”Mengapa Anda melakukan ini sekarang? Rasanya seperti memaksaku pergi...”
Aku merasakan getaran sakit di dadaku. Mengapa? Aku tidak mungkin mengusirnya.
”Aku akan mengirimmu ke Chuhwa, dan kuminta agar kau segera pergi dan tinggalkan semua urusan di Seorabeol. Setelah semua selesai, aku akan memanggilmu kembali....”
Seiring dengan kalimatku, tanganku bergerak maju dan menyerahkan cincin ke tangannya. Pelan, kugenggam tangannya, merasakan kehangatan di sana. Inilah hal yang benar, setidaknya, menurutku...
─Lee Yo Won, Seoul, 2008─
Pagi ini perasaanku jauh lebih baik dari semula. Mimpi yang kualami barusan jelas berbeda dengan mimpi brutal dan kejam yang biasanya kualami. Begitu hangat dan nyata... pria itu, pria yang sama, pria yang berulang kali terbunuh di dalam mimpiku, tepat di depan mataku.
“Yo Won!! Kau sudah dijemput!!” teriak Ye Jin sambil menggedor pintu kamar mandiku.
”Iyaaa... aku tahu!!” sahutku sambil memandang pantulan diriku di kaca.
Seulas senyum kecil tidak bisa kutahan di bibirku. Mana mungkin aku tidak mengenali klakson motornya? Kusisir rambutku agar lebih rapi. Memang nanti bakal berantakan lagi karena naik motor. Tapi, biar bagaimana pun, kesan pertama kan sangat penting.
”Pagi,” sapanya ramah saat melihatku menuruni tangga beranda rumahku. Ia menepuk jok belakang motornya sambil mengulurkan helm padaku. ”Tidak apa kalau rambutmu kusut, kan?”
”Tidak apa,” senyumku, meraih helm itu tanpa mampu menyembunyikan rasa bahagia yang berkecamuk di dadaku. Ia menyadari penampilanku hari ini! Bagaimana mungkin rasanya begini aneh?
“Yo Won, hati-hati...” tegur Mama pelan saat aku menduduki jok motor Kim Nam Gil. “Kau jangan ngebut ya,” ujar Mama lagi, terlihat sangat protektif.
“Baik tante, tentu saja... Selamat pagi...”
Mama masuk tanpa menjawab salam Kim Nam gil. Uuh.. kenapa sih Mama harus bersikap begitu? Kim Nam Gil membawa motornya dengan santai, dan menyenangkan. Rasanya seperti sebuah film panjang... Beberapa bulan lalu, aku begitu membencinya, kemudian... berkembang menjadi rasa penasaran... dan kini, aku ada di belakangnya, begitu dekat padanya... dan begitu... menyukainya?
”Sedang melamun, Nona?” ledek pria itu sambil memandang ke belakang. Ia melepas helmnya dan tertawa. ”Kita sudah sampai dari tadi, loh...”
“Ah, eh, maaf...” sahutku malu dan menundukkan kepalaku. “Mmmm...” aduh, katakan sesuatu, katakan sesuatu! Kenapa jadi serba salah begini? ”Terimakasih...”
”Yo Won,” ia menangkap pergelangan tanganku sebelum kau berlari pergi. ”Pulangnya kuantar, jangan pulang sendirian... Dan soal cerita itu...” ia lama memandang ke tanah. ”Aku akan menunggu...sampai kau siap mengatakannya...”
”Tidak! Tidak!” cepat kugelengkan kepalaku. ”Itu kenyataan. Dan kau harus mengetahuinya!”
”Mungkin kau benar,” ia menatap langit dan menarik nafas panjang. ”Hanya saja... aku tidak ingin, kau merasa aku mendekatimu hanya untuk itu...”
”Oh... begitu...?” hanya itu yang mampu kuucapkan. Wajahku begitu panas. Lebih dari sekedar pernyataan cinta, kalimat yang diucapkannya begitu menyesakkan sampai membuatku ingin menangis.
”Haha.. wajahmu aneh sekali, oke deh, yuk...” ia menarik tanganku dan meninggalkanku di depan gerbang. Sampai sosoknya menghilang di jalan koridor menuju ruang ganti pria, aku masih menatapnya.
─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─
“Acara menginap di luar?”
Sang Won mengangguk lalu meneguk jusnya. Ia jadi sering mampir ke klub basket semenjak aku resmi menjadi pengajar di sini. ”Kalau anak kelas dua kira-kira seminggu. Biasa, namanya juga studi wisata... Kalau anak kelas satu, hanya sekedar camp.. paling juga empat hari tiga malam...” ia tertawa lalu meminum jusnya lagi.
”Begitukah...?” pikiranku melayang kemana-mana. Yo Won anak kelas dua, berarti ia akan pergi. Apakah ia aman tanpaku di sana?
”Biasanya pembimbing olahraga ikut. Dan kalau pelatih klub mau ikut, boleh kok, paling juga membayar sekitar 50%...” ujarnya sambil menatapku, seolah mampu membaca pikiranku.
”Kau dan pacarmu terpisah dong,” candaku.
Wajahnya bersemu merah, benar-benar polos. ”Kau, biasa dengan wanita kan, Kim Nam Gil?” ia memainkan ujung sedotannya sambil memandang tanah malu, ”Kalau mau mengajak kencan wanita, bagaimana ya?” tanyanya.
“Entahlah, aku tidak pernah mengajak duluan… biasanya aku yang diajak…” jawabku asal. Tapi, kurasa aku juga butuh referensi. ”Kau tahu, Sang Wook?’ tanyaku pada Sang Wook yang masih asyik mendrible bola di sampingku.
“Biasa, bilang saja, ayo kita jalan bareng hari sabtu nanti, atau minggu, atau kapanlah itu…” ia memutar bolanya dan memasukkannya dalam satu tembakan cepat. ‘Yess!” soraknya senang. “Kau bukannya curhat ke kakakmu, malah curhat ke pelatih Kim…” ledek Sang Wook pada adiknya.
“Karena kebiasaanmu meledekku itulah aku jadi malas cerita padamu…” ujar adiknya sambil mencibir kesal. “Ah, itu Kak Tae Wong!!” seru Sang Won sambil melambaikan tangan bersemangat.
”Hai, aku boleh gabung?” tanya Kak Tae Wong, mengambil tempat duduk di sebelahku.
”Silahkan,” sahutku.
Kami bertatapan beberapa saat lamanya, lalu tersenyum kecil. Suasana yang canggung. Dan dingin. Begitu kakunya. Entah berapa lama kami tidak mengobrol? Rasanya sama sekali tidak terlihat seperti keluarga. Ia meminum kopi yang dibawanya di gelas kertas, menghirupnya pelan, persis seperti kebiasaan Papa.
”Begini, begini... kami sedang membicarakan tentang bagaimana cara mengajak cewek kencan. Bagaimana tanggapanmu, Kak Tae Wong!!”
”SPssrttt!! uHuk huk...” beberapa kali Kak Tae Wong terbatuk setelah menyemburkan kopinya. Semua di sampingnya tertawa terpingkal-pingkal. Dengan grogi ia menghapus noda di mulutnya dan tersenyum. ”Maaf, jangan tanyakan padaku...”
Entah kenapa aku jadi berkeinginan menggodanya.”Kau bukannya mau kencan dengan sahabatnya Yo Won?” tanyaku. ”Kulihat kalian dekat sekali di pesta hari itu...”
”Be-belum!!” jawabnya. Ia lalu meniup kopinya dan meminumnya dengan kikuk. Beberapa kali ia mengaduh karena panas. Haha... lucu sekali. Aneh, kenapa baru sekarang aku menyadari sisi konyol ini dari dirinya?
”Makanya, sudah kubilang, kalau mau ajak, langsung to the point saja!!” celetuk Sang Wook.
”Memangnya semua orang tebal muka sepertimu!” balas Sang Won tidak mau kalah. Dalam sekejap, mereka terlibat adu mulut yang cukup sengit.
”Rupanya aku salah...” gumamku pelan. Tae Wong menoleh padaku. Di sebelahku, Sang Wook dan adiknya masih asyik beradu argumennya. ”Kurasa, aku bisa akrab denganmu... kalau sikapmu seperti tadi...”
Kak Tae Wong menyipitkan matanya, memandangku lekat-lekat. Seulas senyum mengembang di bibirnya. ”Aku tahu itu,” balasnya, lalu meminum kopinya pelan. ”Kau membentengi dirimu selama ini...”
”Sudah terlalu lama bukan?” tukasku, memandangi dedaunan di pot sampingku. ”Hampir saja aku kehilangan ingatan bagaimana rasanya punya seorang Kakak...”
”Aku sudah menemukan adikku...” ujarnya pendek. Kami tertawa pelan dan saling menempelkan tinjukami. ”Kau jantan. Aku bangga punya adik speertimu... Aku bisa.,.. memahami perasaan Papa waktu itu. mungkin kedengarannya aneh, tetapi, jujur, aku iri padamu...”
”Iri?” kutatap Tae Wong dengan mimik tidak percaya. ”Kau punya keluarga yang menyayangimu. Iri apa?”
”Papa... tidak pernah mengajakku nonton bisbol. Nam Gil...” tawanya terdengar kering dan parau. ”Mungkin memang karena aku tidak menyukai bisbol, tapi, kurasa bukan itu saja... perasaan Papa padamu sangat unik... Daripada aku, Papa lebih dekat padamu...lebih sering tertawa bersamamu...”
Wajahnya mengkeruh sejenak. Lama ia menarik nafas panjang sebelum akhirnya berdiri dari duduknya. ”Terimakasih, Nam Gil.. sudah lama aku tidak minum kopi dengan perasaan senyaman ini...”
”Kau menumpahkan kopi nyamanmu tadi...” gurauku, disambut senyuman tipis di bibirnya. ”Apakah... ia sehat?”
Kak Tae Wong terdiam dan mengangguk. ”Beberapa waktu terakhir, kesehatannya memburuk, namun sekarang sudah jauh lebih baik, terimakasih kau masih mengingatnya...” jawabnya, setelah memahami bahwa ’ia’ yang kumaksud adalah Mamanya, wanita yang dulu kuanggap Mama kandungku dan ternyata bukan.
”Kau harus ikut di acara studi wisata itu...” ujar Kak Tae Wong mengingatkan. Aku mengedikkan bahu pelan. Bersamaan dengan itu, ia berbalik pergi sambil mengangkat gelasnya.
Ya, suatu hari aku akan bisa menata hatiku. Saat itu, aku akan datang lagi ke rumahmu, menikmati kopi bersama. Saat itu, kau tidak akan meminumnya sendirian... ada aku, adikmu...
-to be continued-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar