Rabu, 13 November 2013

FF SING OUT LOUD, LOVE 6

SING OUT LOUD, LOVE 6

September 26, 2011 at 7:50am
CHAPTER6
Cast:
Liana Wijaya as Kim Lee Ah
Kim Hyun Joong
Author as Kim Jae shi (Lee Ah’s younger sister)
Micky Yoo-chun
Hero Jae-joong
Xiah Jun-su

―Lee Ah, Januari, 2011, Gedung Audisi DSP entertainment, Studio 2―
“Nomor 163….” Panggil petugas penjaga pintu. Kutatap kembali nomor di tanganku. Giliranku semakin dekat. Astaga… aku tidak boleh lupa lirik yang akan kunyanyikan nanti. Ya, ya, akan kunyanyikan lagu only one day, salah satu lagu kesukaanku.

Dengan lagu itu, akan kuutarakan perasaan sedihku soal perpisahan kami. Hyun-joong pasti akan mengerti…

“Nona Kim Lee-ah?” suara panggilan itu membuyarkan lamunanku. “Apa Nona Kim Lee-ah tidak hadir? Nona Kim Lee-ah nomor 165?” ulangnya.

“A-ah! Iya, aku hadir!” seruku sambil mengangkat tangan dan buru-buru bangkit dari kursiku. Terdengar tawa mencemooh di belakangku. Iih… tidak. Tidak. Aku tidak akan kalah hanya karena hal semacam ini.

“Silahkan masuk,” ujar petugas itu sambil membukakan pintu untukku. Begitu pintu terbuka, rasanya seperti masuk ke dunia lain. Ada enam orang juri. Hyun-joong… dia duduk di kursi paling ujung kanan. Matanya sekilas kaget melihatku.

“Aduh!” seruku ketika kakiku tidak sengaja tersandung mike. “Ma-maaf…” dengan gugup aku membetulkan posisi berdiriku. Bisa kulihat beberapa juri menahan senyum dan yang lainnya berdehem. Hyun-joong juga ikut menahan tawanya.

“Silahkan dimulai, Nona Lee-ah…”

“Ah, ya…” kakiku berjalan ke arah keyboard dan mencoba mengingat-ingat nada pembukanya. Tidak… tidak mungkin! Karena kejadian memalukan bertubi-tubi, semua yang ada di otakku langsung blank total.

Melihat kegugupanku, spontan Hyun-joong bertanya dengan mike di depannya. “Ada yang salah, Nona Kim?”

“T-tidak…” sahutku.

Mungkin aneh, tetapi bisa kulihat bibir Hyun-joong bergerak sedikit. Seperti isyarat… jangan-jangan… benarkah dia menyuruhku memainkan lagu itu?

Baiklah, ini pertaruhan. Mungkin aku benar akan gagal, tapi, akan kumainkan lagu yang diajarkan Mamaku dulu!

―Jae Shi, Januari 2011, Salon (entah dimana)―
“Bagaimana?” tanya Yoo-chun dari luar ruangan dengan tidak sabar.

“Sebentar… aku kesulitan menarik ritsleting-nya…” tukasku. Begitu akhirnya kutarik ritsleting itu sampai ke ujung, rambutku ikut tertarik ke sana. “Aduh!”

Pria itu mengetuk pintu kamar ganti. “Kau sudah selesai ganti baju, belum? Kalau sudah, biar kubantu…”

“Tolong…” pintaku sambil setengah meringis karena rambutku masih tersangkut di sana. “Kenapa aku harus pakai baju seperti ini…” omelku.

“Karena badanmu mungil, jadi dengan mini dress, kakimu akan terlihat lebih jenjang. Tahu itu?” Pria itu meraih ritsleting yang terdapat di leherku dan membantu melepaskan rambutku perlahan-lahan. “Nah, selesai. Coba kulihat penampilanmu…”

“Bagaimana?” tanyaku tidak sabar ketika pria itu masih saja diam melihatku. Jun-su masuk dan bersiul kecil. “Tidak cocok, kan?” erangku.

“Cocok,” puji Jun-su sambil tersenyum. Ia menyenggol Yoo-chun sedikit. “Cocok sekali dengan seleramu, bukan?”

“Diam kau!” sergah Yoo-chun. Wajahnya memerah malu sampai telinga. “Aku lebih suka gadis yang dewasa,” gumamnya dengan suara parau. “Ayolah.,..” ia menarik tanganku dan terburu-buru memasukkanku ke mobil.

“Aku juga lebih suka tipe yang dewasa…” gumamku setengah berbisik.

“Apa katamu? Mau membalasku?” Pria itu membalik badan dan tersenyum menggoda lagi. Memang yang paling menarik dari pria ini adalah senyumannya. Tapi aku tidak mau keburu memujinya, nanti dia jadi ge-er.

“Ternyata cukup dipoles sedikit, dia sudah terlihat menarik. Iya kan, Jae?” tanya Jun-su sambil bersenandung dengan suara uniknya di kursi depan.

“Lumayan…” pria itu menarik senyum samar sambil melirikku.


―Lee Ah, Januari, 2011, Gedung Audisi DSP Entertainment, Studio 2―
Pelan jariku menyentuh tuts-tuts keyboard itu dan memainkan intro. Lagu yang tidak akan pernah pupus dari ingatanku. Lagu ini menghubungkanku dengan Mama, dengan Jae-shi, dan dengan Hyun-joong.

Found myself today
Oh I found myself and ran away
Something pulled me back
The voice of reason I forgot I had
All I know is you're not here to say
What you always used to say
But it's written in the sky tonight

So I won't give up
No I won't break down
Sooner than it seems life turns around
And I will be strong
Even if it all goes wrong
When I'm standing in the dark I'll still believe
Someone's watching over me

“Wow, ini bagus sekali!” puji seorang juri. Kuangkat wajahku dengan ekspresi tidak percaya.

Juri lain berkomentar lebih pedas. “Kau sepertinya menyukainya. Tapi, penampilannya perlu banyak diubah…”

“Penampilan bukan masalah… Hal itu bisa diubah. Suara tidak…” bela juri lain.

:Bagaimana menurutmu, Hyun-joong?” tanya juri yang tertua pada Hyun-joong. Pria itu menatapku lama, sebelum akhirnya membuka mulutnya untuk bicara. Jantungku berdebar kencang sampai terasa mau lepas.

―Jae Shi, Januari 2011, Gedung S.M entertainment―
“Tunggu! Mau apa kau bawa aku ke sini?”

Yoo-chun tidak menggubris protesku. Ia terus saja menarik tanganku dan menuntun jalanku. “Sudah sampai,” katanya setelah kami―menaiki lift, beberapa kali berbelok dan―akhirnya tiba di sebuah ruangan.

“Tunggu. Kau harus bilang ini ruangan apa. Aku tidak mau masuk ke sana…”

“Masuk saja. Ini ruangan tempatmu memulai karirmu…”

“A-apa…”

Pintu sudah terlanjur dibuka sebelum kakiku bersiap kabur dari sana. “Kau membawanya?” tanya seorang pria. Ia mengenakan setelan jas yang rapi dan terlihat formal.

“Ya, Tuan Kim…” sahut Yoo-chun sambil membawaku ke tengah ruangan. “Aku sudah dengar suaranya dan kurasa suaranya memang unik… Sedikit kekanakan, namun, yah, unik…”

Kekanakan? Itu pujian, ya? Kenapa rasanya seperti ejekan? Sebal….

“Seperti suara Xiah?” tanya Tuan Kim dengan alis terangkat.

“Tidak, bukan seperti itu. Ada ciri khas tertentu dalam suaranya. Ini masih prediksiku… tapi…” Yoo-chun mendekat ke Tuan Kim dan membisikkan sesuatu di sana. Pria itu menarik ujung bibirnya dan tersenyum.

“Baiklah,” Tuan Kim menepuk tangan dengan tidak sabar. Nona Kim Jae-shi, bukan?” Kuanggukkan kepalaku ragu-ragu. “Silahkan dimulai! Di sini hanya ada kita bertiga! Aku sendiri yang akan menilaimu!”

Kulirik Yoo-chun dengan pandangan kesal. Sudah sampai di sini, apa lagi yang bisa kulakukan? Aku tidak mungkin kabur. Berusaha bernyanyi sejelek mungkin juga mustahil kulakukan. Aku hanya akan mempermalukan Yoo-chun dan diriku sendiri.

“Boleh pinjam gitar?” tanyaku, berusaha menghapus senyum grogiku. Yoo-chun menyeringai dan memberikan gitar yang tergeletak di ujung ruangan ke tanganku.

Perlahan tanganku memetik gitar itu, membayangkan masa kecilku, Mamaku yang wajahnya hampir kulupakan, dan kakakku. Lagu yang diajarkan Mamaku, lagu yang selalu kunyanyikan ketika aku merasa sendirian dan gelisah.


I've seen that ray of light
And it's shining on my destiny
Shining all the time
And I won’t be afraid
To follow everywhere it's taking me
All I know is yesterday is gone
And right now I belong
To this moment to my dreams

So I won't give up
No I won't break down
Sooner than it seems life turns around
And I will be strong
Even if it all goes wrong
When I'm standing in the dark I'll still believe
Someone's watching over me

It doesn't matter what people say
And it doesn't matter how long it takes
Believe in yourself and you'll fly high
And it only matters how true you are
Be true to yourself and follow your heart

“Selesai,” ujarku akhirnya. Kutundukkan kepalaku dalam-dalam dan menarik nafas panjang. “Terima kasih banyak untuk kesempatannya…”

Loh? Kenapa tidak ada tanggapan?

Ketika kuangkat wajahku, dua pria di depanku itu masih mematung. Tidak, ini tidak mungkin! Apa aku sudah melakukan kesalahan lagi? Astaga… bagaimana ini!

―Lee Ah, Januari, 2011, Gedung Audisi DSP Entertainment, Studio 2―
“Hyun-joong?” tanya pria itu lagi.

“Eh, oh, ya, maaf…” Hyun-joong menoleh dan buru-buru tersenyum pada para juri itu seraya memperbaiki posisi duduknya. “Menurutku suaranya cocok dengan image yang ingin kutampilkan… Aku menyukainya…”

Jantungku seperti dipompa lebih cepat mendengar pujian pendek dari Hyun-joong. Aku menyukainya… Sekalipun aku tahu pujian itu ditujukan untuk suaraku, aku sangat senang ketika ia mengucapkannya. Seperti mengatakan kalau ia menyukaiku.

“Baiklah, bagaimana pendapat juri lain?” tanya juri wanita itu. Semua juri lain mengangguk setuju dan bertepuk tangan. “Selamat, kau diterima, Nona Lee-ah!”

“Apa…”

Seorang juri berlari keluar ruangan dan berteriak mengumumkan. “Maaf, kami tidak mengadakan audisi lanjutan! Pemenang sudah diputuskan pada nomor 165! Terima kasih, kalian sudah boleh pulang!”

“Benarkah?” perlahan-lahan senyum mengembang dari bibirku. “Benarkah? Aku menang? Astaga…” Kakiku melangkah maju untuk menyalami para juri di depanku. “Terima kasih banyak…”

Ketika tiba pada juri terakhir, Hyun joong, sejenak langkahku membatu. Pria itu menyunggingkan senyuman khasnya padaku. “Aku senang kau ingat padaku dan pada lagu itu…” bisiknya sambil menarik tanganku untuk mendekat. “Selanjutnya, mohon kerja samanya!” seru pria itu seolah baru pertama kali melihatku.

“Ya,” anggukku, senang. Berarti benar! Hyun-joong adalah pria itu! Dan mulai detik ini, aku akan berada di panggung yang sama dengannya!

―Jae Shi, Januari 2011, Gedung S.M entertainment―
“Nona Jae-shi? Ehm…” Tuan Kim berdehem beberapa kali. “Kau bisa nyanyikan lagu lain untukku? Misalnya… lagu SM-town? Bait pertama saja…”

“Baiklah,” tanganku sedikit gemetar sambil memetik gitar.

Kuputuskan untuk menyanyikan lagu leave for vacation. Setelah itu, Tuan Kim memintaku menyanyikan lagu film yang kusukai. Kali ini kumainkan lagu Perhaps Love by Howl and J. Belum puas juga, Tuan Kim memintaku menyanyikan lagu yang sering kunyanyikan. Akhirnya kunyanyikan lagu Only Hope by Mandy Moore.

“Selesai…” tukasku. Baiklah, ini mulai melelahkan…

Tuan Kim perlahan bangkit dari duduknya dan maju untuk menepuk pundakku. Wajahnya yang semula serius sekarang kelihatan senang. “Yoo-chun benar! Suaramu memang unik! Ya, kau punya kemampuan beradaptasi dengan lagu! Suaramu bisa berubah sesuai lagu yang kau nyanyikan! Bahkan aku kira tadi sedang mendengar penyanyi aslinya!”

“Bagaimana menurut Tuan Kim?” tanya Yoo-chun sambil menyeringai di sampingku. “Aku sudah membuat lagu yang pas untuknya…”

“Baiklah, tentu saja! Kita tidak bisa membuang waktu! Siapkan kertas kontraknya!”

“Hah…” Mulutku ternganga kaget sementara kedua pria di depanku asyik membicarakan hal yang tidak kumengerti. Kontrak apa? Kenapa sekarang jadi serumit dan se-complicated ini? jadi… apa aku belum boleh pulang???


-to be continued-


Note: lirik yang dipakai dalam chapter ini berasal dari lagu Hillary duff berjudul Someone watching over me. Lagunya sangat berkesan untukku, jadi kuputuskan memakainya di FF ini. Kalian bisa mendengarnya di film Raise Your Voice.

Rabu, 03 April 2013

Teacher Xia from Gan shu village China

· Sumber: http://www.facebook.com/photo.php?fbid=10151532388632258&set=a.102883682257.89994.86432197257&type=1



Tinggal di desa kecil di propinsi Gan Shu. Awalnya dia bukan pelacur. Setiap penduduk di desa tersebut tidak mengerti kenapa seorang gadis secantik Xia yang mempunya paras tubuh yang indah dan rupa yang menawan tidak melakukan seperti gadis-gadis lainnya.

Karena Xia menolak akan hal ini, ayah nya Xia selalu menghukum dia.Suatu hari Xia mendengar bahwa sebuah sekolah di desa membutuhkan jasa seorang guru Xia langsung dengan sukarela menjadi seorang guru dengan tanpa imbalan.

Pas hari pertama Xia masuk ke sekolah menjadi seorang guru, setiap murid kaget dan terpukau akan kecantikan guru baru mereka Sejak saat itu Kelas selalu menjadi penuh dengan canda tawa setiap murid. Kelas mereka lebih layak untuk di sebut sebagai tempat penampungan daripada bangku bangku sekolah yang normal.

Dalam kondisi kelas yang sekarat ini, Xia mengajarkan beribu ribu kata kata chinese dan pengetahuan laennya kepada murid murid nya Suatu hari badai besar menghancurkan kelas mereka semua murid tidak bisa melanjutkan pendidikannya. Lalu kepala sekolah datang ke kota untuk merundingkan hal tersebut dengan walikota yang mengurus budget bagian pendidikan agar memberikan sumbangan uang utk membetulkan sekolah mereka akan kepala sekolah kembali dengan tangan kosong.

Kepala sekolah mengatakan kepada Xia bahwa walikota akan memberikan uang kalo hanya Xia yang datang kepada dia dan meminta uang kepadanya secara personal, Xia yang tidak pernah keluar dari desa dan meninggalkan rumah nya dan tidak pernah bertemu dengan walikota sebelumnya, telah memutuskan untuk berangkat dari rumah untuk mengunjungi sang walikota.

Sebelumnya Xia kwatir kalo kunjungan dia akan mengacaukan suasana, akan tetapi dia tetep memutuskan pergi demi murid murid nya.

Xia berjalan lebih dari 10 kilo untuk ke kantor sang walikota setelah sampai, Xia duduk di depan kantor yang bagus di ruangan sang walikota. Setiba nya di kantor, sang walikota menyambut kedatangan Xia dengan sepasang mata pemburu yang haus akan Xia dan mununjukan tangannya ke sebuah ruangan dan mengatakan “Uang kamu ada di kamar tersebut… kalau kamu mau, kamu ikuti aku” Xia melihat sebuah ruangan dengan ranjang yang besar, ranjang tersebut lah yang telah merenggut keperawanan Xia, Sang walikota telah memperkosa Xia.

Darah segar dari keperawannan nya telah meninggalkan bekas dan jejak di sprei darah merah tersebut menjadi lebih merah daripada warna bendera national China. Xia tidak menangis sedikit pun yang ada di pikiran nya adalah berpuluh puluh mata murid murid nya yang akan kecewa kalo tidak ada kelas buat mereka belajar.

Setelah itu Xia bergegas balik ke rumah yang gelap dan tidak memberi tahu kepada seorang pun tentang kejadian tersebut. Hari berikutnya, para penduduk membeli kayu dan membetulkan kondisi kelas. Akan tetapi kala ada hujan yang deras, kelas tersebut tetap tidak bisa di gunakan. Xia mengatakan kepada murid muridnya bahwa walikota akan membangun sebuah sekolah yang bagus buat mereka.

Dalam kurang lebih 6 bulan, kepala sekolah mengunjungi walikota 10x akan tetapi tetep tidak diberikan dana yang dijanjikan kepada mereka. Hanya walikota lah yang tau apa yang telah terjadi pada Xia akan tetapi tidak bisa berbuat banyak tentang itu.

Pada saat semester baru berganti, banyak murid yang tidak bisa melanjutkan sekolah nya karena biaya dan mereka harus membantu orang tua nya untuk bekerja… Jumlah murid nya berkurang dan bekurang. Xia sangat sedih akan kondisi seperti itu. Ketika Xia mengetahui bahwa harapan murid muridnya telah hilang bagaikan asap.

Dia lalu kembali ke kamarnya. Xia membuka bajunya, dan melihat tubuh telanjangnya di depan cermin. Xia bersumpah akan memakai tubuhnya yang indah untuk mewujudkan impian dari murid muridnya untuk bisa kembali sekolah… Xia tau semua gadis dari desa bekerja sebagai pelacur di kota untuk mencari uang dan itu cara yang gampang untuk dia untuk mendapatkan uang. Dia membersihkan dirinya dan mengucapakan selamat tingal kepada kepala sekolah, ayah dan sekolah…

Dia mengikat rambut nya dengan kuncir dua dan berjalan menuju kota. Ketika dia berangkat ke kota, ayahnya tersenyum bangga akan tetapi kepala sekolah menangis sedih akan pilihan yang Xia lakukan….Di dalam glamor kehidupan kota, Xia tidak senang sama sekali dia menderita, dalam benak pikirannya, hanya ada sebuah kelas yang hancur dan keprihatian dan kesedihan dan kekecewaan expressi dari murid muridnya…. Xia masuk ke buat salon,
berbaring di ranjang yang kotor dan menderita kerja kotor yang kedua di dunia percabulan… Malam itu di dalam diary nya Xia menulis “Sang walikota tidak bisa di bandingakan dengan tamu pertama nya lebih parah dan lebih kejam akan tetapi paling tidak tamu nya telah membayar dan memberi uang”

Xia mengirimkan semua uang penghasilannya kepada kepala sekolah dengan mengirit irit biaya untuk hidup nya dengan harapan bisa mengirim lebih banyak lagi ke kepala sekolah. Sang kepala sekolah menerima uang tersebut dan mengikuti untuk menggunakan uang utk membangun sekolah… Ketika setiap orang yang menanyakan sumber uang tersebut, sang kepala sekolah hanya menjawab bahwa di dapat dari donasi dari organisasi social. Akan tetapi seiring waktu, penduduk mengetahui bahwa sumber dana dari seorang mantan guru yang bernama Xia.

Banyak reporters yang ingin meliputi berita ini akan tetapi di tolak oleh Xia dengan alasan bahwa dia hanya seorang pelacur biasa.Dengan uang tersebut, sekolah telah berubah drastis…Bulan pertama, ada papan tulis baru…Bulan ke dua, ada bangku kayu dan bangku…Bulan ke tiga, setiap murid mempunyai buku masing masing. Bulan ke empat, setiap murid mempunya dasi masing masing. Bulan ke lima, tidak ada seorang murid pun yang datang ke sekolah tanpa alas kaki.

Bulan ke enam, Xia kembali mengunjungi sekolah Xia disambut dengan gembira dan para murid menyapa”Guru, kamu telah kembali guru, kamu cantik sekali”Melihat kegembiraan dari para murid muridnya, Xia tidak berkuasa untuk menangis,Tidak peduli berapa banyak air mata yang di teteskan nya dan berapa banyak derita, keluh kesan dan kisah sedih yang dia lalui dalam 6 bulan, Xia merasakan semua kisah sedih dan penderitannya itu sangat seimbang dan pantas untuk harga yang dia bayar untuk melihat apa yang Xia lihat saat itu.

Setelah beberapa hari di rumah, Xia kembali ke kota. Pada bulan ke tujuh, sekolah telah mempunyai lapangan bermain yang baru. Pada bulan ke delapan, sekolah membangun lapangan basket…pada bulan ke sembilan, setiap murid mempunya pensil yang baru. Pada bulan ke 10, sekolah mempunya bendera nasional sendiri, setiap murid bisa menaikan bendera setiap hari nya.

Hingga suatu waktu Xia dikenalkan kepada seorang businessman. Sang pengusaha luar asing bersedia membayar 3000 rmb buat satu malam. Dengan pikiran yang lelah yang telah dia lalui bbrp tahun lalu, Xia dengan lelah menuju hotel sang pengusaha asing. Dia bersumpah bahwa itu adalah pekerjaan kotor yang terakhir bagi dia dan setelah itu dia akan kembali ke desa dan bersama sama murid muridnya di sekolah.

Akan tetapi nasib berkata lain sungguh tragis telah terjadi malam itu dimana Xia bersumpah untuk terakhir kali nya, Xia di diperkosa dan di siksa hingga terbunuh oleh 3 pengusaha asing tersebut. Xia baru saja bertambah umur nya menjadi umur 21 tahun. Xia saat itu juga meninggal tanpa mencapai keinginan yang terakhir, yaitu untuk membangun satu kelas bagus dengan 2 komputer yang bisa digunakan oleh murid murid.

Seorang pelacur telah meninggal dunia… keheningan yang di penuhi air mata. Saat itu langit kota ShenZen masih berwarna biru seperti lautan. Para murid2, guru2 dan beberapa ratus penduduk menghadiri acara pemakaman Xia di desa kecil bernama “GanShu” Pada saat itu, semua hanya bisa melihat foto hitam putih dari Xia dalam foto itu Xia mengikat rambut nya 2 dengan senyuman bahagia… Kepala sekolah membuka diary Xia dan membacakanya di depan para murid murid nya dan Xia menulis “Sekali melacur, bisa membantu satu anak yang tidak bisa sekolah. Sekali menjadi wanita simpanan, bisa membangun sebuah sekolah yang telah hilang harapan. Bendera setengah tiangpun dikibarkan.

Selasa, 02 April 2013

WANNA BE A TRUE WORSHIPER ? Learn from these dogs !

WANNA BE A TRUE WORSHIPER ? Learn from these dogs !

Learn from dog? Yang bener aja..... apa salah ketik kata?
No friends..... ini nggak salah. Learn from dog.
Kenapa saya berani bilang begitu?
Bukan untuk merendahkan derajat manusia loh, ... tapi karena makna yang dikandung oleh kata 'worship' itu sendiri.

Di Perjanjian Baru Terjemahan Inggris King James Version ada 44 kali kata worship disebutkan.
Bila merujuk kepada bahasa aslinya yaitu bahasa Yunani (Greek), maka dari 44 kata worship ini, 34 kali diantaranya (77%) menggunakan kata Yunani  PROSKUNEO (berdasarkan STRONG's Bible Concordance).
Sisanya, 10 kata worship lainnya, terbagi menjadi kata 6 kata Yunani seperti Sebomai (3x), Enopion (1x), Doxa (1x), Latreuo (3x), Eusebeo (1x), dan Ethelothreskeia (1x).

Melihat statistik ini, saya menyimpulkan kata PROSKUNEO untuk menerjemahkan 'WORSHIP' tentulah sangat penting sekali.
(Dan apalagi saat Tuhan Yesus mengajarkan kepada perempuan Samaria tentang bagaimana  'worship' dengan benar, dalam Yohanes 4:20-24, juga menggunakan kata 'Proskuneo')

Apa sih arti Proskuneo?

LIKE A DOG LICKING HIS MASTER'S HAND

Proskuneo berasal dari kata  pros (nearness at), dan kuon (a dog), dan bila digabungkan menjadi :  'like a dog licking his master's hand'.
Seperti seekor anjing yang menjilati tangan tuannya.
Seperti itulah kata worship diterjemahkan dalam bahasa aslinya.

Kenapa yah Tuhan mau penerjemahannya seperti itu?

Fakta membuktikan tidak ada anjing yang tidak suka menjilat majikannya.
Hal pertama yang dilakukannya ketika bertemu dengan tuannya, adalah menjilat, sampai pemiliknya kewalahan. Sampai-sampai ada training bagaimana supaya mengurangi kebiasaan anjing yang suka menjilat. Kenapa yah anjing suka menjilat?

Dalam sebuah artikel tentang "Why Do Dogs Follow and Lick You?" dijelaskan bahwa:
'Licking is a sign of affection, submission, a way to get acquainted with the environment and as a way to communicate with its master'.

Ternyata menjilat itu adalah cara anjing mengekpresikan perasaannya dan cara berkomunikasi dengan tuannya.
Anjing adalah hewan yang sangat sensitif dan dapat merasakan perasaan yang dialami tuannya.
Nggak heran anjing selalu ingin berbagi rasa dengan tuannya. Ketika tuannya bahagia, ia juga ingin berbagi bahagia, ketika tuannya sedang sedih atau menghadapi masalah, ia dapat merasakannya dan ingin menghibur tuannya.
Yaah, ... satu-satunya hewan yang bisa mengasihi, yang bisa setia, dan bisa berbagi rasa dan berkomunikasi dengan tuannya hanyalah anjing.

Hubungan hamba dengan tuannya dapat dideskripsikan dengan begitu luar biasa oleh seekor anjing.
Dan yang lebih luar biasa lagi, hubungan hamba dan tuan ini tidak hanya sekedar ketaatan dan submission, bukan hanya sekedar kewajiban, tapi lebih dari itu, yaitu  hubungan kasih, perasaan, dan kesetiaan.
Nggak percaya?
Baca saja the true stories berikut ini.
It's all about dogs.                      I WANT TO BE NEAR YOU"

Bobby adalah seekor anjing milik seorang polisi bernama John Gray di Edinburgh pada abad ke 18.
Selama 2 tahun Bobby hidup tidak terpisahkan dari tuannya. Tetapi pada tahun 1858 John Gray meninggal karena penyakit tbc dan dikuburkan di pekuburan di kota tsb.
Sementara Bobby sang anjing, mati 14 tahun kemudian yaitu tahun 1872.
Lantas apa istimewanya Bobby?

Selama 14 tahun sisa hidupnya setelah ditinggal mati oleh tuannya, Bobby menghabiskan 14 tahun hidupnya itu dengan duduk di makam tuannya.
14 tahun menjagai makam tuannya!!!
Bobby hanya beranjak dari kubur itu ketika akan mencari makan di restoran sekitar kubur itu atau ketika musim dingin harus mencari tempat berlindung dari salju.

Waktu bersama yang sangat singkat, hanya 2 tahun,  memberi kekuatan kepada Bobby untuk setia dekat dengan tuannya selama 14 tahun kemudian (walaupun hanya di atas kuburan tuannya).
He spent the rest of his life just to be near with his master.

Masyarakat menghargai kesetiaan Bobby.
Patung Bobby didirikan untuk mengenang kesetiaan dan kasihnya kepada tuannya yang tak lekang dimakan waktu. Sampai maut memisahkan.
Dan di atas kuburan Bobby (berlokasi dekat makam tuannya) didirikan sebuah batu granit yang bertuliskan:

GREYFRIARS BOBBY
DIED 14TH JANUARY 1872
AGED 16 YEARS
LET HIS LOYALTY AND DEVOTION BE A LESSON TO US ALL

Di sana sini banyak berita tentang kasih manusia yang mudah renggang,
tapi Bobby menunjukkan kerinduan dekat dengan tuannya yang tidak pernah sirna, sampai maut memisahkan, yang mengharukan banyak orang hingga kini.

ALL BECAUSE OF LOVE, NO MATTER WHAT THE COST

Another Bobby, seekor anjing Scotch Collie milik Frank and Elizabeth Brazier, ikut berlibur bersama majikannya dalam suatu liburan musim panas tahun 1923. Malang dalam perjalanan tersebut Bobby terpisah dari tuannya.
Pencarian seksama dilakukan tapi hasilnya nihil. Dengan sangat sedih keluarga Brazier kembali ke rumah mereka tanpa Bobby, dan tidak ada harapan akan dapat bertemu lagi.

6 bulan kemudian .... ada seekor anjing yang berdiri dalam keadaan yang sangat menyedihkan di depan pintu rumah keluarga ini. Dia adalah Bobby !!!
Bau, kudisan, kurus kering dan tampak kondisi kaki yang sangat menyedihkan karena banyak berjalan.
Bila diukur jarak dari tempat Bobby hilang hingga ke rumah keluarga Brazier, maka Bobby menempuh jarak 2,800 miles atau 4,506 kilometer untuk bisa bertemu kembali dengan keluarga tuannya.
Susah membayangkan seberapa jauh jarak 4,506 km?
Kira-kira pulang pergi Jakarta-Bandung lewat tol Cipularang sebanyak
39 kali !!!    Jalan kaki !!!

Ada pepatah untuk orang yang sedang jatuh cinta "Gunung pun akan kudaki, laut pun kuseberangi" ... tapi baru hujan sedikit udah membatalkan janji.
Tidak demikian dengan Bobby.  Dia bayar harganya, seberapapun itu, semata hanya supaya bisa bertemu lagi dengan tuannya.
Jarak sejauh itu, dan dalam waktu yang tidak singkat, .....6 bulan !!!, dengan kondisi tubuh yang semakin lemah, tidak bisa menyurutkan hasratnya untuk bisa bertemu kembali dengan tuannya.
Lewat gurun, sungai, bahkan dihadang musim dingin, Bobby berjalan terus tanpa pernah tahu kompas untuk menunjukkan jalan.

Banyak orang tidak mengerti bagaimana Bobby bisa menemukan jalan kembali dalam jarak yang sangat jauh tersebut.
Tapi semua orang setuju bahwa kompas atau penunjuk jalan Bobby adalah kasihnya kepada majikannya.
His true compass is his true love.
Sebagaimana Bobby dari Edinburgh, Bobby dari Oregon ini juga menuai perhatian dan penghargaan masyarakat.
REFUSED TO FORGET

Rasanya saat ini hampir semua mengenal dan mengetahui kisah Hachiko, seekor anjing dari Jepang yang kisah hidupnya sampai-sampai difilmkan oleh Hollywood. Masih ingat kan Hachiko the movie, dengan bintangnya Richard Gere? Film yang sangat menguras air mata.
Saya juga sudah memuat kisah Hachi jauh sebelum film tersebut dibuat, karena sangat diberkati dengan kisah kesetiaannya. (Bisa dibaca di kolom "ALL ABOUT HACHIKO: Temukanku MenantikanMu #1 dan #2")

16 bulan dilalui Hachi dengan setia mengantar dan menjemput majikannya Profesor Ueno ke stasiun kereta Shibuya sampai suatu ketika di tahun 1925 sang Profesor terkena serangan stroke fatal seusai mengikuti rapat di kampus dan meninggal seketika. Jenazahnya dibawa ke kampung halamannya dan dikebumikan di sana.
Hachi yang tidak pernah tahu bahwa majikan yang dikasihinya sudah tidak ada lagi di muka bumi ini, tetap menanti dengan setia, setiap pagi dan sore di stasiun kereta tersebut seperti yang biasa dilakukannya.

Tidak sedikit perlakuan kasar yang dialami anjing yang sudah tidak bertuan ini di stasiun tsb, tapi Hachi tetap menanti. Setelah 7 tahun menanti, kisah Hachi si anjing yang setia ini mulai diberitakan di surat kabar. Hachi menjadi terkenal, dan orang-orang mulai memberi perhatian dan menyayanginya.

Kehidupan yang berubah 180 derajat, tidak lagi diperlakukan kasar, tidak membuat Hachi melupakan tuannya. Hachi tetap setia menanti pagi dan sore hari, sampai maut memisahkan.
8 Maret 1935 Hachi mati dalam penantian.
Kehidupan bersama majikannya yang begitu singkat, hanya 16 bulan, mampu membuat Hachi menanti selama 10 tahun. He refused to forget.
Anjing yang sangat setia ini dianggap pantas untuk menyandang penghargaan "The World's Most Loyal Dog".

GOD IS SEEKING PROSKUNETES

But the hour is coming, and now is, when the true worshipers (proskunetes) will worship (proskuneo) the Father in spirit and truth; for the Father is seeking such to worship (proskuneo) Him.
(John 4:23, NKJV)

Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian.
(Yohanes 4:23)

Father is seeking the true worshipers (Proskunetes) to worship Him.
Proskunetes adalah orang yang proskuneo.
Rasanya saya nggak perlu menjelaskan lebih detail tentang hal ini.
Teman-teman sudah baca beberapa true story tentang cinta dan kesetiaan seekor anjing kepada tuannya.
Saya percaya kisah itu berbicara.

WANNA BE A TRUE WORSHIPER?
Do Proskuneo. Be a Proskunetes.

All blessing,

credit:
Julita Manik
  Http://julitamanik.blogspot.com

Senin, 01 April 2013

Kenaikan Tarif JNE April 2013

Kenaikan Tarif JNE April 2013: Perihal kenaikan tarif JNE per April 2013 ini baru  dapat tadi sore di cabang JNE tempat ane kirim kirim pesanan. Semua pemilik toko online atau yang biasa berurusan dengan JNE mungkin sudah tau mengenai informasi ini. Dalam surat edaran/pemberitahuan tersebut tertulis :
- Kenaikan tarif Reguler dan YES rata rata adalah sekitar 15% - 20%
- Tarif SS (Super Speed) adalah 30% - 40%
Kenaikan tarif ini efektif berlaku per tanggal 1 April 2013 untuk daerah Jabodetabekkar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Karawang. Sedangkan untuk daerah di luar itu akan efektif berlaku per tanggal 1 Mei 2013.
Posting tentang kenaikan tarif JNE ini sekaligus sebagai pemberitahuan untuk seluruh pelanggan blog ini Blog Jual Jam Tangan agar dapat memakluminya. Terakhir tarif JNE naik bulan April 2011, jadi menurut ane pribadi wajar rasanya jika saat ini tarif nya naik.
Dalam pemberitahuan tersebut tidak ada keterangan tentang tarif OKE (ekonomis), mungkin paket ini harga nya tidak ikut naik. Pemilik toko online pastinya mulai sekarang sudah mulai berburu tarif terbaru JNE nih :)

Fun Komik – Aplikasi pembaca Komik di BB

Fun Komik – Aplikasi pembaca Komik di BB


image
Fun Komik untuk bb
Fun Komik adalah aplikasi pembaca komik,anda bisa menemukan komik jepang,korea dan indonesia serta berbagai macam kategori seperti :

olahraga,petualangan,romantis,lucu dan masih banyak lagi.
Aplikasi Fun komik mudah digunakan,syarat untuk menjalankan fun komik adalah :
- BIS/BES ~ Memakai BBM 5++ (keatas)
- Memakai jaringan internet / Wifi
- OS 5.0++ (keatas)
kalau tertarik anda dapat,mendownload aplikasi Fun Komik,Disini
atau kunjungi Facebooknya di https://id-id.facebook.com/funkomik
sekian review aplikasi bb dari saya,Selamat Mencoba :-D

What I hate from Blackberry user

Three Things that I hate from Blackberry user
1. The user keeps smiling on Blackberry while ignoring person beside him/her
2. Too much useless broadcasted from user (product ads especially)
3. Too much hoax spreading from messenger

Minggu, 31 Maret 2013

SING OUT LOUD, LOVE 5

SING OUT LOUD, LOVE 5

by Patricia Jesica (Notes) on Thursday, September 22, 2011 at 7:31am

CHAPTER5
Cast:
Liana Wijaya as Kim Lee Ah
Kim Hyun Joong
Author as Kim Jae shi (Lee Ah’s younger sister)
Park Dae-jia (Admin Park)
Park Yoo-chun
Kim Jae-joong

―Lee Ah, Januari, 2011, Studio Foto Pak Kim―
“Baiklah, jadi kau sama sekali tidak ada pengalaman menjadi penyanyi sebelumnya?” pria itu melihatku mengangguk lalu kembali mencoret kertas di depannya.

“Apakah karena aku tidak ada pengalaman… penilaianku jadi rendah?” tanyaku, diam-diam merasa cemas. Aku tidak ingin ditolak hanya karena kurang pengalaman.

“Tidak, bukan begitu. Kau masih akan dites menyanyi jadi hasilnya belum pasti…” senyum pria itu. “Lagipula Mamamu dulu penyanyi terkenal yang kukagumi, kurasa kau akan mewarisi sebagian bakatnya…”

Sebagian bakat Ibuku… Aku tidak yakin hal itu bisa membuatku menang. Untuk menang, aku harus bisa lebih baik dari itu, bukan?

“Baiklah, data-datamu cukup sekian. Jadi, kau jangan lupa datang ya ke gedung ini nanti…” Pria itu memberikan sebuah kartu peserta bertuliskan nomor 165 ke tanganku. “Studio 2… Nanti kau akan diaudisi di sana…”

“Ya, terima kasih, Pak…” senyumku sambil memberikan salam

“Sudah dicatat kan, tanggalnya? Ingat. Sabtu nanti jam sepuluh pagi sampai selesai. Karena nomor urutmu ratusan, mungkin kau akan diuji sekitar tengah hari…”

“Baik! Terima kasih, Pak…” senyumku.

“Semoga beruntung,” ujar pria itu sebelum berlalu pergi.

―Lee Ah, Januari, 2011, Apartment―

“Wow, aku tidak percaya ini!” seru Jae-shi dengan eskpresi campur aduk. “Aku ikut senang walaupun sebenarnya aku kaget sekali!” serunya lagi.

“Doakan saja aku…” bisikku sambil menyembunyikan senyumku.

“Percaya diri saja, Kak…” Jae-shi menepuk tanganku pelan. “Kita berdua dulu pernah belajar musik sedikit dari Mama. Sampai sekarang juga kita masih sering main gitar dan piano. Suaramu bagus, aku yakin kau bisa!”

“Ahh… sekarang kau malah membuatku grogi…” tukasku. “Suaramu juga bagus. Kau kan yang sering menemaniku menyanyi dan karaoke.,..”

“Ah, tidak juga,” elak Jae-shi. Dari caranya bicara, aku tahu ini ada hubungannya dengan kisah yang belum diceritakannya padaku di pesta hari itu. Tentang rekrutmen penyanyi itu…

“Tidak ada yang mau kau ceritakan padaku?” tanyaku, memandangnya dengan mata dipicingkan.

Jae-shi bergerak mundur sedikit. “Kak, jangan memaksaku… aku kan sulit menolak…” Ia menghela nafas. “Dae-jia juga memaksaku tadi… Rasanya capek sekali…”

“Oh?” Kunaikkan alisku sedikit. “Jadi pada Dae-jia kau menceritakannya dan padaku tidak? Kau merahasiakannya dariku?”

“Aahhh…” Jae-shi mengerang putus asa. “Baiklah. Baiklah, aku kalah. Aku cerita! Biar kuceritakan padamu juga!!” serunya.

“Jangan-jangan nantinya semua orang mau dengar ceritaku…” gumamnya kesal. Aku hanya bisa menahan senyum mendengarnya.

―Jae Shi, Januari 2011, Apartment―
Kakakku menatapku dengan pandangan mata tidak percaya selama beberapa menit. “Wow,” akhirnya hanya itu yang keluar dari mulutnya.

“Kan?” Kutundukkan kepalaku malu. “Sudah kubilang ini sangat memalukan…”

“Tidak, tidak…” Kak Lee-ah menggelengkan kepala tidak setuju.”Menurutku keren…”

“Tidak, tidak. Menurutku itu memalukan. Aku tahu kau dan Dae-jia bermaksud menghiburku supaya aku tidak malu, tapi… ini memalukan!!”

“Jae-shi?”

“Tidak, kak. Tetap saja ini memalukan. Terserah kau mau bilang apa…”

“Jae-shi?”

“Kak!”

“Ponselmu!” Kak Lee-ah menunjuk ke arah kamarku. “Kudengar ponselmu bunyi!” ulangnya.

“Ah, astaga, maaf, kukira masih masalah yang tadi?” Duh, kenapa akhir-akhir ini aku sangat memalukan??

Tentu saja Kak Lee-ah sangat sensitif dengan lagu itu. Kami sepakat memasang lagu Snow Prince sebagai ringtone. Buru-buru aku bangkit untuk mengambil ponselku. Astaga, karena terlalu sibuk dengan pemikiranku sendiri, aku sampai tidak mendengar dua miss-call yang pertama. Tapi… aku tidak mengenal nomor ini. Siapa yang meneleponku ini?

“Ya? Halo?” Kuputuskan untuk meminta maaf terlebih dulu. “Maaf, aku tidak mendengarnya barusan. Maaf, Anda ini siapa?”

“Hai, ini aku!” sapa suara di seberang. “Kurasa kau belum melupakanku, bukan?”

“Hah?” Rasanya memang pernah dengar, sih… “Maaf, sekarang aku sedang tidak terpikir siapa ini…”

“Ini aku!” ulang pria itu bersemangat. “Micky Yoo-chun…”

Ponselku hampir terlepas saking kagetnya. “Ti-tidak mungkin…” Tiap kali mendengar nama pria itu, yang terbayang cuma kejadian memalukan malam itu. “Bagaimana kau bisa mendapat nomorku? Jangan bohong, ya!”

“Astaga,” suara tawa pria itu terdengar. “Aku tidak bohong. Aku dapat nomormu dari Nona Dae-jia. Tidak sulit menghubungi keluarganya melalui manajer kami, karena malam itu kan kami dipekerjakan olehnya…”

“Astaga….” Dae-jia! Pintar sekali kau! “Baiklah, apa yang bisa kubantu?”

“Berikan aku alamat rumahmu!”

“Maaf, Untuk apa ya?”

“Besok aku akan menjemputmu! Sudah, percaya saja padaku, berikan alamatmu!”

“Maaf, tapi…” Tidak, tidak, lebih baik kuberikan. Dia bisa memperolehnya dari Dae-jia juga! Dan hal itu akan semakin parah. Bisa saja informasi yang Dae-jia berikan lebih dari yang dia minta. Kalau begitu habislah aku… “Baiklah, kuberikan!”

“Eh? Senang sekali kau bisa berubah pikiran secepat itu…” tukasnya senang. “Baiklah, aku sudah siap mencatatnya…”

Dengan kesal kuhela nafas panjang. Kalau kuberikan alamatku, aku adalah si bodoh. Tapi, bisa apa si bodoh itu dalam situasi terdesak begini? “Alamatku adalah….”


―Lee Ah, Januari, 2011, Apartemen―
“Kenapa wajahmu sekusut itu?” tanyaku begitu melihat Jae-shi keluar kamar dengan wajah tertekuk. “Siapa yang meneleponmu…”

“Yoo-chun…”

“Hah?! Jangan bilang yang meneleponmu Yoo-chun yang itu!” seruku sambil setengah memekik kaget.

“Memang Yoo-chun yang itu!” balasnya kesal. “Dae-jia seenaknya memberikan nomorku padanya. Aku bisa apa! Bisa gila!” Jae-shi menggaruk kepalanya kesal.

“Tadi kau sudah memberikan semangat padaku,” ujarku sambil tersenyum. “Nah, sekarang semuanya kukembalikan padamu… Kau juga pandai menyanyi, ingat itu…”

“Kakak…” Jae-shi memasang wajah memelas dan mulai berusaha membujukku. “Aku mohon sembunyikan aku besok… dan besoknya, dan besoknya lagi!”

“Tidak mungkin, besok dan besoknya kan aku kerja ke studio Pak Kim… Lalu besoknya lagi aku ikut audisi…”

“Habislah aku…” Jae-shi menggerutu sambil berjalan masuk ke kamarnya.


―Jae Shi, Januari 2011, Apartment―
“Apa sekarang kau ada di rumah?” Yoo-chun meneleponku pada pukul sebelas siang hari Sabtu.

“Ya, aku sedang menjaga rumah sekarang. Kakakku pergi…” jawabku seadanya.

“Kalau begitu bagus sekali. Aku sudah ada di depan apartemenmu… ayo turun!”

“Aku tidak mau!” Enak saja memerintahku sembarangan! “Aku mau tunggu kakakku pulang!” seruku. Aku harus jadi orang pertama yang tahu apakah kakakku diterima audisi itu atau tidak!

“Tidak akan lama, tenang saja. Atau kau mau aku yang naik dan membawamu pergi?”

“Apa?”

“Aku sedang naik lift sekarang…” pria itu menjelaskan sambil bersenandung kecil. “Kau tunggu saja yang tenang di kamarmu…”

Ini namanya pemaksaan! “Co-coba saja kalau berani!” tantangku. Tiba-tiba kenop pintuku berputar dan terbuka. Astaga! Aku lupa menguncinya!  Segera saja kurapatkan tubuhku ke pintu untuk mencegahnya terbuka.

“Aha, jangan takut begitu…” pria itu membuka pintu dengan mudahnya, walaupun aku ada di belakang pintu dan berusaha mendorongnya sampai tertutup. “Bahaya sekali, kau tidak mengunci pintu padahal sendirian di rumah…” komentarnya sambil geleng-geleng kepala.

“Apa? Tadinya tidak bahaya sampai kau tiba-tiba data….” Belum selesai aku bicara, cowok itu sudah menangkap pinggangku dan membuat posisiku tergantung di pundaknya. Dia membawaku seperti memanggul karung beras.

“Hentikan! Kau gila ya! Kau pikir aku barang dagangan? Seenaknya membawaku seperti ini! Turunkan!” pintaku sambil memukul-mukul punggungnya yang kini berada tepat di depan mataku.

“Wow, kenapa ringan sekali? Hm? Rasanya seperti ada yang memukul…” Ia membalik badan dan mencabut kunci yang tergantung di lubang pintu. Kemudian, setelah berjalan keluar, ia mengunci apartemen kami. “Kukembalikan, ini kuncimu!”

“Menyebalkan!” seruku. “Tunggu! Tunggu! Jangan begini! Aku bahkan tidak pakai sepatu!” protesku.

Yoo-chun berhenti sebentar untuk melihat kakiku. “Oh, ya, kau benar. Tapi, aku tidak mau ambil risiko dengan membiarkanmu lari lagi dan mengunci pintumu. Jadi, mendingan kau diam saja dan ikut aku…”

“Tidak…” Ini belum berakhir. “Aku tidak mau pergi denganmu…”

Cowok itu menggotongku masuk ke lift dan memerintahkan seseorang membuka pintu mobil. “Buka pintunya, aku sudah mendapatkannya…” Yoo-chun memaksaku duduk di kursi belakang dengan seorang pria.

“Astaga, ternyata kau memang memaksanya…” komentar pria itu tajam. Pria itu ternyata Jae-joong. Aku diapit di tengah-tengah di antara Jae-joong dan Yoo-chun. Di kursi depan, duduk Jun-su, anggota lain dari TVXQ.

“Chang-min dan Yun-ho sudah menunggu di studio. Kita tidak boleh terlambat…” Yoo-chun tersenyum penuh arti sambil mengedipkan mata padaku. “Tapi sebelumnya aku harus mengatur penampilanmu…”

Kusilangkan tanganku menutupi tubuh. “Kau mau apa! Aku bisa teriak panggil polisi!” ancamku.

Ketiga anggota TVXQ yang berada di dalam mobil tertawa terbahak-bahak melihatku. “Bawa dia ke salon langganan kita!” seru Yoo-chun pada manajernya. “Tuan Kim, presiden direktur SM Entertainment akan senang dengan gadis ini…”

“Kenapa kau yakin sekali…” senyum Jae-joong di sebelahku. Entah mengapa kurasa senyumnya terasa menusuk dan sinis.

“Kalau Yoo-chun seyakin itu, mungkin saja benar. Kita bisa lihat sendiri nanti…” sahut Jun-su dari kursi depan.

Kutundukkan kepalaku semakin dalam. Ini gawat! Ini kacau! Aku sudah terjebak! Bisa apa aku sekarang? Aargh…


-to be continued-








SING OUT LOUD, LOVE4

SING OUT LOUD, LOVE4

by Patricia Jesica (Notes) on Sunday, September 11, 2011 at 10:32am

CHAPTER4
Cast:
Liana Wijaya as Kim Lee Ah
Kim Hyun Joong
Author as Kim Jae shi (Lee Ah’s younger sister)
Park Dae-jia (Admin Park)
Park Yoo-chun
Kim Jae-joong

―Jae Shi, Januari 2011, Park’s house―
“Siapa?” tanyaku, merasa kalut. Kakiku sudah bersiap untuk kabur dari tempat itu.

“Tidak perlu malu,” pria itu keluar dari semak-semak tempatnya bersembunyi. Aku hampir bunuh diri melihat si penonton ternyata tidak hanya satu, melainkan dua orang. “Awalnya aku dan Jae-joong hanya kebetulan lewat. Kupikir suaramu bagus. Tanpa sadar kami jadi keasyikan menonton…”

“Ka-kalau begitu… aku permisi dulu…” tukasku, ingin segera lari dari tempat itu. Bencana! Ini yang namanya bencana! Kalau saja yang menontonku cuma Dae-jia dan pacarnya, aku tidak akan semalu ini. Dua orang superstar sekaligus! Dan keduanya adalah yang kukagumi, Micky Yoo-chun dan Hero Jae-joong dari TVXQ!

“Kau membuatnya malu, tahu….” Samar-samar kulihat Jae-joong menyikut lengan Yoo-chun sambil tertawa.

“Tidak memalukan…” Yoo-chun maju menangkap lenganku ketika kakiku sudah bersiap untuk lari. “Ayo, nyanyikan lagi lagu itu…”

“Aduh… aku tidak mau lagi…” sekuat tenaga aku menggeleng dan menolak. “Tadi itu aku sedang galau. Sekarang suasananya sudah tidak mendukung…” Apa-apaan sih cowok ini? aaargh… aku malu sekali!!!

“Bagaimana kalau kau masuk ke label yang sama dengan kami? Aku suka suaramu…” tukas Yoo-chun.

“Apa?” Aku dan Jae-joong sama terkejutnya ketika mendengar Yoo-chun mengucapkan ide gila yang didapatnya entah dari mana itu. Kami sama-sama berpandangan dengan terkejut.

“Ayolah, kau sudah dengar sendiri, Jae…” Yoo-chun menoleh ke sahabatnya dan tersenyum. “Kau juga tadi sempat bilang suaranya lucu…”

Lucu? Apa maksudnya itu? Dia menghinaku atau memujiku, sih? “Apa maksudmu dengan lucu? Lucu ya, melihat orang yang sedang patah hati berteriak-teriak di gazebo orang lain dan menyanyi sekeras itu? Bagus deh kalau aku bisa menghibur kalian…” tukasku, kesal.

Kalau dipikir-pikir memang lucu. Tepatnya, memalukan. Aduh! Rasanya jadi malu sendiri… Kutarik tanganku dari genggamannya. “Lepaskan dong…”

“Loh? Bukan itu maksudku…” Yoo-chun kelihatan gugup saat kulepaskan tanganku. “Maksudku, unik… Ya, unik!”

“Sudahlah, dia tidak mau, kenapa kau memaksanya?” tanya Jae-joong bingung.

Jelas Jae-joong tidak tertarik dengan ide Yoo-chun untuk merekrutku. Lalu, untuk apa aku berlama-lama di sini? Pria itu tidak menampakkan ekspresi senang melihat kegigihan Yoo-chun menarikku masuk. Mungkin dia memang tidak sependapat dengan sahabatnya.

“Jae-shi!” Yoo-chun memanggil namaku dengan keras, membuatku sesaat menghentikan langkahku. “Lain kali kita akan bertemu lagi! Dan saat itu… kuharap kau sudah berubah pikiran!”

Kuteuskan melangkah masuk ke dalam dengan perasaan campur aduk. Bertemu lagi? Memikirkannya saja sudah malas! Mana mau aku bertemu lagi dengan orang yang melihatku dalam keadaan super memalukan? Dan mereka bilang suaraku lucu! Oh, tidak, terima kasih, maaf. Aku tidak mau!


―Lee Ah, Januari, 2011, Apartemen―
“Aku sudah pulang…” Jae-shi berseru kecil sambil menutup pintu. Aku bisa mendengar suara kerincingan kecil yang tergantung di kuncinya bergemerincing. Mungkin dia sedang mengunci pintunya.

“Hei, sudah makan?” tanyaku.

Jae-shi mengangguk dan duduk di sebelahku. “Kelihatan serius sekali. Sedang apa, kak?” tanyanya sambil menatap album di sebelahku.

“Aku tadi bertemu Hyun-joong dari SS501…” Jae-shi menatapku kaget. “Ya, si leader itu… Dan dia mengatakan sesuatu yang aneh…”

“Apa itu?”

“Dia tanya apakah aku tidak mengingatnya? Apa aku tidak mengenalnya? Bukankah itu aneh? Semua orang tahu kalau dia adalah idola Korea. Cuma orang bodoh yang tidak tahu siapa SS501. Lalu… yang lebih aneh, dia berkata kalau aku tidak berubah…”

“Sepertinya dia sangat mengenalmu…” Jae-shi memiringkan wajahnya berpikir. “Itu seperti kata-kata teman lama ketika bertemu, kan?”

“Ya, karena itu tiba-tiba aku teringat album ini…” jawabku sambil membolak-balik lembaran album itu. “Ingat anak ini? Namanya juga Hyun-joong…” Sambil bicara jariku menunjuk salah satu foto yang berada di sana. Fotoku bersama Hyun-joong dalam balutan piyama.

Jae-shi tidak bisa menembunyikan keterkejutannya. “Maksud Kakak, Hyun-joong yang itu? Yang dulu sempat… bersama kita di panti asuhan itu? Masa sih?”

“Ya, kurasa memang dia. Kalau tidak, kenapa dia bicara begitu? Aneh kan?”

Jae-shi mengangguk setuju. “Kalau dipikir lagi, mungkin juga. Ya, memang ada sedikit kemiripan. Lalu, apa kalian bakal bertemu lagi?”

“Begini… aku ada ide…” Berulang kali aku berdehem untuk menenangkan diriku. “Ide ini sedikit gila, mungkin…”

“Katakan saja…” Jae-shi memutar bola matanya.

“Label yang sama dengan SS501 akan mengadakan audisi untuk mencari penyanyi baru yang akan berduet dengan Hyun-joong pada bagian refren. Hyun-joong sendiri akan ikut menjadi juri dalam audisi itu…”

Jae-shi menutup mulutnya dengan tangan. “Jangan katakan….”

“Ya, dugaanmu benar. Aku ingin ikut audisi itu. Walaupun tidak terpilih, minimal aku bisa bicara dengannya…”

“Itu benar-benar ide gila…” Jae-shi menggeleng takjub. “Aku tidak percaya ini. Dalam sehari aku bisa dengar dua ide gila tentang rekrutmen penyanyi… Astaga… kepalaku jadi sakit…”

“Apa maksudmu dengan dua?  Ide gila yang mana lagi yang kau dengar sebelumnya?” tanyaku curiga.

Jae-shi memilih menghindari topik itu dan bangkit berdiri meninggalkanku. “Besok saja kuceritakan. Atau kapan-kapan. Entahlah, maksudku… kalau aku siap, akan kuceritakan…” Aku bisa melihat ada rona merah di pipinya. Apakah ada sesuatu yang terjadi di pesta tadi?

“Baiklah…” Kalau dia tidak mau cerita malam ini, aku tidak bisa memaksanya. Hari ini juga terlalu melelahkan untukku. Terlalu banyak kejutan dalam satu hari yang sama. “Selamat beristirahat…”

 ―Jae shi, Januari, 2011,Seoul University―
“Kemarin aku melihatmu mendapatkan jackpot di panggung dan aku senang setengah mati…” komentar Dae-jia sambil memainkan garpunya. “Cewek itu bahkan nggak bisa berpasangan dengan Joong-hun…”

“Sudahlah,” sergahku. “Aku sudah malas membahasnya…”

Pesta kemarin sungguh dipenuhi beragam kejutan. Dimulai dari games konyol yang membawaku berdansa dengan Yoo-chun, lalu kemudian… hubunganku dan Joong-hun retak dalam semalam. Selanjutnya, nyanyianku dilihat dua orang pria. Astaga…

“Kenapa wajahmu merah begitu?” Dae-jia menempelkan tubuhnya ke meja dan memandangku lebih dekat. “Rasanya ada yang kau sembunyikan dariku…” selidiknya.

“Ini sangat memalukan…” gumamku pada diri sendiri. “Aku bahkan tidak menceritakannya pada kakakku. Mana mungkin kuceritakan padamu. Ini aib namanya…” omelku pada diri sendiri.

“Ah, ayolah… jangan pelit padaku… hampir semua rahasiaku sudah kubagi denganmu…” Dae-jia mengedipkan sebelah matanya padaku, kemudian ia mulai memasang wajah membujuk. “Ceritakan dong…”

“Tidak. Aku tidak mau…” tegasku. Dae-jia memainkan jarinya. “Apa-apaan gerakan jarimu itu? Apa kau sedang mengancamku?” tanyaku. Dae-jia punya kebiasaan menggelitiku sampai buka mulut setiap kali aku merahasiakan sesuatu.

“Tergantung padamu… Asal kau tahu, aku sudah latihan menggelitiki orang akhir-akhir ini…” ia membanggakan diri seolah itu keahlian yang sangat berharga. Aku ingat ia pernah menggelitikiku seharian sampai perutku mulas. Mengingat hal itu aku jadi malas berdebat dengannya.

“Baiklah, baiklah…” ujarku. “Akan kuceritakan!”


―Lee Ah, Januari, 2011, Studio Foto Pak Kim―
“Ah, kau sudah datang!” Pak Kim menyambutku dengan tawa senang. “Lihat majalah ini, tidak?” tanyanya.

“Majalah?” Tanganku menerima majalah yang disodorkan Pak Kim sementara mimik wajahku masih bingung.

“Lihat cover depannya…” ia menjawab sambil memunggungiku, mempersiapkan beberapa peralatan di depannya. Rutinitas kami sehari-hari.

“Cover?” Kututup majalah itu dan mataku segera terbelalak melihat cover yang terdapat di majalah itu. “Tidak mungkin!” desisku kaget.

Cover majalah itu adalah aku dan Hyun-joong. Yang tertera di sana benar-benar wajahku! Aku! Dan bukan orang lain.

“Kenapa? Kenapa tidak di-edit? Bukankah kemarin katanya wajahku akan diganti dengan wajah model itu? Kenapa jadi begini?” suaraku terdengar panik saat menuntut penjelasan Pak Kim.

“Kenapa tidak?” Pak Kim tersenyum santai. “Kemarin malam saat ku-email pada mereka fotomu dan foto hasil editan itu, mereka bilang lebih menyukai fotomu. Kelihatan segar dan nyata, itu kata mereka. Aku bisa apa?” Pak Kim hanya mengedikkan bahunya sedikit.

“Aduh…” Tidak kuduga akan begini jadinya. Harusnya kemarin kutolak saja permohonan itu. Tidak, tidak, jangan bodoh, Lee-ah! Ini adalah kesempatanmu untuk semakin dekat dengan Hyun-joong!

“Nanti mereka juga akan membayarmu, jadi wajahmu jangan pucat dan panik begitu dong, Lee-ah…” Pak Kim berusaha menenangkanku sambil menepuk bahuku. “Oh, dan mereka tanya padaku apa kau bisa menyanyi atau tidak…”

“Apa?”

“Itu loh… karena label mereka sedang mencari penyanyi baru untuk berduet dengan Hyun-joong… dan kebetulan sosokmu kelihatannya cocok dengannya. Di foto itu, kalian kan kelihatan serasi. Jadi… mereka bertanya begitu tadi pagi….”

“Lalu…” Kutelan ludahku dengan susah payah. “Apa yang Bapak jawab ke mereka?”

“Aku jawab tidak tahu….” Senyum Pak Kim melebar. “Tapi kukatakan sebaiknya mereka menemui dan mengetesmu karena kau adalah putri seorang penyanyi terkenal dulunya…”

“Bapak bilang begitu? Apa mereka percaya?” tanyaku. Rasanya ini semua terjadi terlalu cepat. Padahal baru kuputuskan untuk mencoba ikut audisi itu demi bertemu cowok itu lagi. Sekarang, ketika semua kesempatan disodorkan ke depanku, aku jadi kelabakan sendiri.

“Oh, tentu saja mereka percaya. Mungkin mereka akan datang nanti siang. Kau tunggu saja kabar dari mereka nanti… Aahh… aku mungkin akan kehilangan asistenku yang kompeten…” goda Pak Kim senang. “Kalau kau berhasil, aku turut senang Lee-ah…”

Kurasakan mulutku menganga lebar mendengar pengakuan Pak Kim barusan.  Aku berusaha tersenyum, namun keringatku malah mengalir dan tanganku terasa dingin. Apa yang harus kulakukan? Nanti siang? Secepat itu mereka akan datang untuk menemui dan mengujiku? Apa nanti Hyun-joong juga akan datang?

Jalanku menuju Hyun-joong terbuka begitu lebar. Apakah ini tuntunan Tuhan? Tidak kuduga akan begini jadinya. Tapi, apakah aku siap? Mampukah aku? Benarkah ini kesempatanku?

-to be continued-

SING OUT LOUD, LOVE3

SING OUT LOUD, LOVE3

by Patricia Jesica (Notes) on Tuesday, September 6, 2011 at 12:49pm

CHAPTER3
Cast:
Liana Wijaya as Kim Lee Ah
Kim Hyun Joong
Author as Kim Jae shi (Lee Ah’s younger sister)
Park Dae-jia (Admin Park)
Eric Moon
Choi Jong Hun (FT island)
Kim Dong Wan

―Jae Shi, Januari 2011, Park’s house―

“Aku mau bicara…” tukas Joong Hun tiba-tiba. Ia mencegatku tepat ketika kakiku hampir melangkah ke toilet.

“Ada apa?” Di sampingnya tidak ada gadis itu, perasaanku yang tadinya siaga dan was-was mulai mengendur.

“Sebentar saja….” Sekarang suaranya terdengar sedikit memaksa dan terburu-buru.

“Di sini saja…” tegasku. “Aku sudah mau pulang…”

“Tidak. Di tempat lain saja…” Joong-hun menarikku ke taman belakang. Tempat ini memang sepi. Tidak ada satu tamu pun berada di sini karena pestanya memang diadakan di dalam ruangan.

“Ada apa?” tanyaku.

“Soal yang tadi, aku minta maaf…” ia tersenyum masam. “Kau tahu, aku tidak ingin ada yang salah paham…”

“Tidak apa, aku paham…”

“Aku tidak membuatmu marah, bukan? Lalu, satu hal lagi. Pacarku sekarang sedang marah padaku karena tidak bisa berdansa dengannya tadi… Kuharap kau paham, dia memintamu untuk tidak muncul di hadapannya lagi…”

“Apa maksudmu?” bisa kurasakan nada suaraku berubah menjadi parau. “Kau tidak mau bicara denganku lagi? Selamanya?”

“Sementara ini…” Joong-hun meralat dengan sabar. “Dia sedang kesal. Kau bisa kan memahami itu? Jadi sekarang aku akan pulang…”

“Tidak perlu! Aku saja yang pulang!” seruku. “Jangan sampai pesta kalian yang menyenangkan jadi hancur karena aku!”

Biar si pengganggu ini saja yang pulang! Pikiran menyedihkan semacam itu membuat hatiku terasa sakit.

“Jae-shi…” Joong-hun menarik tanganku, lalu kutepis dengan perasaan terluka. Kecewa.

“Kau tahu? Rasanya aku malu sekali tadi… Kau menarik tanganmu, membuatku kelihatan tolol di panggung…” dengan kesal kugigit bibirku. “Dan aku juga marah! Kecewa! Gadis itu… dia bahkan tidak bisa mengenali tanganmu! Tapi kau menyukainya, aku bisa apa?”

“Dia hanya tidak mau melihat kita berduaan! Dia cemburu! Jangan egois, Jae-shi. Mengertilah…”

“Egois? Begitu, rupanya aku sudah menjadi si gadis egois di matamu. Tidak masalah…”

“Jangan lakukan ini, Jae-shi… Aku bisa membencimu…”

“Kau boleh sekalian membenciku. Tapi, kau jelas berubah Joong-hun. Mungkin kau mau menjaga perasaan pacarmu. Tapi di satu sisi, kau menyakitiku. Baiklah, mungkin dulu aku menyukaimu. Tapi sekarang, rasanya aku sudah cukup kecewa!”

“Jae-shi!”

“Sudahlah…” tolakku.

Aku berlari meninggalkan tempat itu. Lebih jauh lebih baik. Air mata memburamkan pandanganku. Kakiku terus berlari, membawaku ke tempat yang tidak kukenali. Sebuah gazebo kosong yang kelihatannya lama tidak tersentuh. Di rumah Dae-jia ternyata ada tempat seperti ini.

“Dasar Joong-hun jahat!” teriakku sambil menahan air mataku. Lalu semuanya tumpah dalam hitungan detik. Aku menangis keras di tempat itu, sendirian. Aku terluka, sendirian.

Kutengadahkan kepalaku menatap bintang. Aku menyukai bintang. Langit malam. Dan kegelapan. Semua karena Joong-hun pernah mengatakan padaku kalau ia menyukainya. Sekarang semua ini terasa menyiksa dan menyesakkanku.

Sebuah lagu berputar di otakku. Mulutku terbuka dan suaraku sendiri terdengar menyedihkan. Dulu Joong-hun yang mengatakan padaku kalau ia menyukai lagu ini. Dan sekarang aku menyanyikannya…

I see you, beside me
It's only a dream
A Vision of what used to be
The laughter, the sorrow
Pictures in time
Fading to memories

How could I ever let you go?
Is it too late to let you know?

I try to run from your side
But each place I hide
only reminds me of you
When i turn out all the lights
Even the night
only reminds me of you

Kenapa menyukai seseorang harus begini menyakitkan? Rasanya hampir semua hal yang ada bisa membuatku teringat padanya. Bahkan malam tanpa bintang sekalipun. Kenangan terkecil sekalipun, semuanya membuatku semakin terluka.

I needed my freedom
That’s what I thought
But I was a fool to believe
My heart lied when you cried
Rivers of tears
But I was too blind to see

Everything we’ve been through before
Now it means so much more

Only you...

So come back to me
I'm down on my knees
Boy can’t you see...

How could I ever let you go
Is it too late to late to let you know

..only reminds me of you..

Sebuah tepukan tangan membuyarkan lamunanku. Siapa yang baru saja mendengarku bernyanyi? Astaga, bukankah ini memalukan? Aku berteriak-teriak di halaman belakang rumah Dae-jia―tepatnya di sebuah gazebo―dan seseorang mendengarnya!

“Siapa?” tanyaku, merasa kalut. Kakiku sudah bersiap untuk kabur dari tempat itu.

―Lee Ah, Januari, 2011, Apartemen―
Begitu tiba di rumah, hal pertama yang kulakukan adalah membuka album masa kecil kami dulu. Perkataan pria tadi itu benar-benar menggangguku. Hyun-joong menemaniku menghabiskan dua tahun di panti. Tidak banyak foto di antara kami berdua.

Apakah benar… dia adalah Hyun-joong yang dulu? Pertama kali kami bertemu ketika aku sedang menyanyikan lagu yang diajarkan Mamaku. Ingatkah dia akan hal itu? Seandainya masih bisa bertemu dengannya, akan kutanyakan soal lagu itu padanya.

Jam dinding menunjukkan pukul tujuh. Oh, acara radio itu! Tanganku otomatis meraih ponsel. Kukenakan headset di telingaku dan memutuskan untuk mendengarkan acara radio yang disebut-sebut Hyun-joong tadi.

“Astaga… jadi kalian akan mengeluarkan single baru? Segera?” tanya si penyiar radio.

“Ya, kami hanya sedang mencari seorang penyanyi baru potensial untuk direkrut. Single kali ini akan sangat romantis. Leader kami akan berduet dengan wanita yang dimaksud pada bagian refren….” Sepertinya itu suara Young Saeng.

“Apakah benar demikian? Mengapa kalian tidak mencari penyanyi wanita yang satu label―sama-sama tergabung di DSP Entertainment―dengan kalian?” tanya si pembawa acara lagi.

“Kebetulan memang manajemen menginginkan untuk merekrut penyanyi baru yang bisa membawa penampilan yang segar di panggung Korea,” jawab Hyun-joong. “Dan diharapkan dengan adanya event ini, bisa sekaligus membuka kesempatan itu…”

“Leader kami sendiri akan ikut memilih wanita yang dimaksud. Hati-hati saja, wanita itu mungkin akan menjadi target selanjutnya…” canda Jung Min.

“Ah… bagian yang barusan sebaiknya tidak perlu disiarkan,” sela Hyun-joong.

“Sayangnya ini disiarkan secara live…”

“Ahh… apa boleh buat.”

Aku tertawa sedikit membayangkan ekspresi Hyun-joong ketika digoda teman-temannya. Sejenak aku terdiam. Ini bukan perasaan yang asing, melainkan sangat familiar. Benarkah ini Hyun-joong yang itu?

“Kau beruntung bukan aku dan Youg Saeng yang membawakan acara radio. Kalau ini acara yang kami bawakan di Young Street, kami akan mengupas habis-habisan semua gossip itu. hahaha…” terdengar tawa jahil Jung Min. “Aku rasa hal itu akan meningkatkan rating. Semua pendengar wanita pasti puas…”

“Kalian jangan malah mempromosikan acara kalian dong…” canda si pembawa acara. “Baiklah. Lagu apa yang yang akan kalian nyanyikan untuk semua pendengar kita malam ini?”

“Awalnya kami ingin menyanyikan lagu kami yang terkenal di film BOF, berjudul Because I’m stupid. Tapi sepertinya leader punya pilihan lain…” tukas Hyung-joon baby dengan suaranya yang manis.

“Oh ya? Lagu apa yang akan kalian nyanyikan kalau begitu?”

“Ur Man…” jawab Hyun-joong. Mendadak jantungku berdebar. Kenapa lagu itu yang dipilihnya? Masa sih karena hal tadi sore itu…

“Kenapa? Ada alasan tertentu?” tanya si pembawa acara.

“Ya, dia menyanyikannya untuk alasan yang aneh. Katanya ada seseorang yang menyukai lagu itu…” celetuk Kyu-joong tiba-tiba. “Tapi orang itu dirahasiakan dari kami…”

Hah? Apa aku tidak salah dengar…. Tidak mungkin bukan? Apakah yang dimaksud dengan seseorang itu memang aku?

“Tidak perlu ada kehebohan…” sela Hyun-joong dengan tawa grogi. “Baiklah, mari kita mulai saja…”

Tak lama irama pembuka lagu Ur Man mulai mengalun. Bersamaan dengan itu, kenangan tentang masa kecilku bersama Hyun-joong seolah terulang di benakku. Walau merasa tidak yakin, tapi firasatku mengatakan dialah Hyun-joong temanku.


jeonhwagildasi naeryeonoko
kkottabal gaseume mudeodugo
bamsaewo sseodunpyeonjido biejeoksyeo naerinechangmuneul tto yeoreobogo
geudae ireumeul bulleodo
daedabeomneun belsoriman gwitgae deulline

translate:


Putting down the phone again
Keeping the bouquet of flowers in my heart
The letter that I wrote through the whole night was dampened by the rain

I opened the window to see again
I shouted your name
Listening to the ringing tone with no response at the rim of my ear

Selama music mengalun, tanpa sadar air mataku menetes jatuh. Aku benar-benar ingin bertemu lagi dengannya. Hyun-joong… bagaimana caranya bisa bertemu dengannya? Tidak mungkin sembarang orang bisa bertemu dengannya.

Sebuah ide gila melintas di benakku. Mereka berkata akan merkerut seorang wanita untuk berduet dengan Hyun-joong. Selain itu, Hyun-joong sendiri akan turun tangan untuk memilih wanita itu. Jadi, walaupun tidak terpilih, aku akan mencoba mengikuti audisi itu untuk bisa menemuinya.

Tentu saja aku tidak yakin akan terpilih. Mamaku dulu sebelum meninggal adalah seorang penyanyi yang cukup terkenal. Namun aku sebagai putrinya tidak cukup yakin telah mewarisi bakat itu. Walaupun aku dan Jae-shi senang menghabiskan waktu untuk karaoke berdua, hal ini jelas berbeda dengan menjadi penyanyi untuk karirku!

Sesaat hatiku dilanda dilemma dan ketidak yakinan. Namun, acara radio ini seolah bukan kebetulan untukku. Dan pertemuan dengan Hyun-joong jelas seperti takdir. Akan kemana takdir ini menuntunku nanti, aku tidak tahu. Yang jelas, aku harus mencoba menjalaninya!


To be continued-
*music lyric:
Only Reminds me of you, AZ lyrics: Many thanks to chym for these LyricZZ
Ur Man,  credit: aheeyah.com


http://www.facebook.com/notes/patricia-jesica/sing-out-loud-love3/10150273147160806

SING OUT LOUD, LOVE2


CHAPTER2
Cast:
Liana Wijaya as Kim Lee Ah
Kim Hyun Joong
Author as Kim Jae shi (Lee Ah’s younger sister)
Park Dae-jia (Admin Park)
Eric Moon
Choi Jong Hun (FT island)
Kim Dong Wan

―Jae Shi, Januari 2011, Park’s house―
 “Dan pasangan dansa Nona Jae Shi malam ini adalah… Micky Yoo-chun dari DBSK!” MC mengumumkan dengan suara lantang, namun ia sendiri cukup terkejut melihat peristiwa di depannya. “Loh?” Dengan mata terbelalak kutatap pria di depanku.

“Tidak mungkin,” desisku sambil menutup mulutku.

Pintu di sebelahku terbuka, Joong Hun ternyata tidak berhasil ditemukan oleh pacarnya. Ia melemparkan pandangan tidak nyaman lalu kembali menatap gadis yang tidak dikenal di depannya, berusaha mengalihkan pandangan dariku.

Aku kesulitan bicara ketika tiba-tiba pria di depanku menyentuh wajahku dan tersenyum. “Apa kau menangis?”

“Ah, ini, ti-tidak….”

Sebelum tanganku sempat menghapusnya, ia sudah menggunakan ibu jarinya untuk menghapus air mata itu. “Awalnya aku bermain karena kukira mengasyikkan…” Yoo-chun tergelak melihat teman-temannya yang kelabakan menyuruhnya kembali ke belakang panggung.

“Tetapi, sekarang aku jadi merasa yakin. Memang di sinilah tempatku…”

“Apa…”

“Malam ini, kita berdansa bukan?” ia tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya, membuatku kesulitan membalas.

“Kalau… kau berkenan… denganku…” tukasku terbata-bata.

Lagu mengalun lambat. Yoo-chun membimbing langkahku yang kaku dengan baik. “Kau ada hubungan khusus dengan pria di sebelah tadi?” Yoo-chun menatapku penasaran.

“Maksudmu….” Apa perasaanku sedemikian mudahnya terlihat? Astaga, memalukan sekali. Sangat memalukan. Apalagi pria ini sang idola yang terkenal di mana-mana sebagai playboy. Aku harus berhati-hati dengan ucapanku.

“Bagian depan bilik mungkin kelihatan terpisah. Namun, di bagian belakang, kami bisa saling menengok dan mengobrol. Jadi aku bisa lihat ekspresinya tadi waktu tiba-tiba menarik tangannya. Kalian pacaran?”

“Bukan. Ini… cuma sebelah pihak saja…” jawabku. “Maaf, tapi… aku tidak suka membicarakannya…”

Yoo-chun menarik senyum simpul sambil menatapku. “Kuharap aku bisa bertemu gadis sepertimu suatu hari nanti… Kalau ada yang menyukaiku sedalam itu, rasanya pasti luar biasa…”

“Semoga bisa terkabul,” balasku, tersenyum.

Lagu berakhir dan Yoo-chun kembali ke tempatnya. Ia melambai padaku sambil tersenyum. Ternyata yang namanya idola itu tidak sesombong pemikiranku. Dae-jia mengacungkan jempol bangga ketika melihatku melintas di dekat dirinya yang sedang berdansa dengan Eric.

“Aku mau bicara…” tukas Joong Hun tiba-tiba. Ia mencegatku tepat ketika kakiku hampir melangkah ke toilet.


―Lee Ah, Januari, 2011, Studio Foto Pak Kim―

“Bagaimana menurutmu Lee-ah? Apa kau setuju? Menurutku hasilnya akan kurang alami…”

Kakiku terasa membatu di tempatnya. Difoto? Itu artinya… aku akan berada di depan sana, berpose bersama pria terkenal ini? Tidak! Ini sangat tidak mungkin!

“Aku juga tidak yakin…” sahutku. “Aku tidak pernah difoto untuk hal semacam ini….” Rasanya gugup sekali membayangkan harus berpose di bawah jilatan blitz semacam itu. Pria ini mungkin sudah terbiasa, tapi aku kan bukan artis, bukan orang terkenal, mana mungkin!

“Tidak ada pilihan lain…” Manajer Hyun-joong bergerak dengan gelisah. “Dia sudah harus menyusul rekan SS501-nya di acara radio itu. Kumohon Nona, tolonglah kami…. Berbaik-hatilah!”

“Tapi…”

“Lakukan sajalah, Lee-ah…” tukas Pak Kim sambil melirik arlojinya. “Kita sudah sangat terlambat dari jadwal….”

Dengan gerakan sigap, Pak Kim menyuruh make up artisnya datang untuk meriasku. Aku bahkan tidak diberi kesempatan untuk menolak. “Yang penting posemu bagus. Jangan khawatir, karena nantinya wajahmu akan diganti dengan wajah model itu…”

Hatiku mencelos mendengarnya. Aku yang akan bersusah payah di sini, bukan model cantik itu. Aku yang akan grogi setengah mati, bukan gadis itu. Mati-matian aku berdoa, berharap gadis itu datang, namun ia tidak kunjung muncul. Baiklah, sudah kepepet begini, lakukan saja apa yang kubisa! Pikirku sambil berusaha sekuat tenaga membuang rasa maluku.

Sesi pertama, aku dipotret sendirian. Sepanjang pemotretan, rasanya sebagian jiwaku terbang. Aku tidak tahu apa yang terjadi, apa yang kulakukan. Fotografer menyuruhku bagaimana, langsung kulakukan. Sebagai asistan fotografer, aku tahu jelas bahwa tindakan kooperatif akan lebih membantu kelancaran pemotretan ini.

Sesi kedua, Hyun-joong dipotret sendirian. Pria itu tampak tampan dalam setelan manapun. Ia seolah memang ditakdirkan untuk berada di sana, seperti dilahirkan di bawah cahaya lampu. Panggung memang miliknya. Tempat di mana ia seharusnya berada.

“Bersiaplah…” Hyun-joong menempelkan tangan ke bahuku sambil bergerak merapat. “Kau harus bersandar padaku…” perintahnya.

“Apa…”

“Hei, Lee-ah. Lihat ke kamera. Dan kau harus lebih dekat lagi dengan pria itu… Ayolah, temanya kan kalian berdua sepasang kekasih. Lebih akrab lagi…” tegur Pak Kim.

“Maaf Pak,” sahutku, berusaha mendekatkan diri pada pria di sampingku.

“Betul kan…” ia tersenyum lagi sambil menatapku. Kali ini… dalam tatapan matanya ada tatapan lain yang tidak kupahami.

“Lihat kemari, ayo, tersenyum… oke.. satu dua… tiga!” Pak Kim menjepret kameranya berulang-ulang.

Manajer Hyun-joong menelepon dan sibuk bicara sambil sesekali mengamati. “Bagaimana hasilnya?” tanyanya setelah selesai bicara di telepon.

“Bagus…” senyum Pak Kim terlihat puas ketika melihatku dan Hyun-joong.

“Baiklah, ayo kita langsung bergegas. Yang lain sudah berada di tempatnya. Kita harus mengejar waktu!” Manajer itu dengan terburu-buru mengambil barang-barang Hyun-joong. Pria itu masih diam memandangku.

“Ada yang salah? Kau mau bilang sesuatu?” pancingku. Aku tidak tahan terus menerus diberikan tatapan seaneh itu.

“Benarkah kau tidak mengenaliku?” tanyanya.

“Hah?”

“Kau tidak mengingatku?”

“Aku tahu. Masa aku tidak mengenalmu. Kau idola Korea! Sebuah boyband beranggotakan lima orang dan suara kalian sangat bagus. Aku paling suka lagu Snow Prince dan Ur Man. Apa lagi yang perlu kuketahui?”

Hyun-joong tersenyum kecil mendengar penuturanku. “Karena aku sibuk kita tidak bisa mengobrol. Tapi, lain waktu kalau bertemu lagi, kuharap kau sudah mengenaliku…”

“Hah?”

Apa-apaan sih cowok aneh ini?

“Kau sama sekali tidak berubah…”

Mulutku terkatup begitu mendengarnya. Aku? Aku tidak berubah? Maksudnya apa? Kenapa tiba-tiba dia bicara begitu? Seolah-olah dia sangat mengenalku saja! Sebuah memori terlintas dalam pikiranku. Kenangan tentang masa kecilku…

Seorang anak lelaki bernama… Hyun-joong…

“Kau Hyun-joong yang itu?” tanyaku, tidak yakin.

Hyun-joong tersenyum misterius sambil menatapku. Mungkinkah? Benarkah? Apakah dia Hyun-joong yang itu? Teman pertamaku di panti asuhan kecil itu?

“Sampai jumpa…” senyumnya sambil berjalan pergi. begitu banyak yang ingin kutanyakan padanya namun tidak mungkin. Dia adalah idola. Sekarang Hyun-joong telah menjelma menjadi superstar terkenal yang tidak terjangkau. Ia terasa dekat dan sekaligus asing.


-to be continued-





SING OUT LOUD, LOVE1


CHAPTER1
Cast:
Kim Lee ah (Liana Wijaya)
Kim Hyun Joong as himself
Author as Kim Jae shi (Lee Ah’s younger sister)
Park Dae-jia (Admin Park)
Eric Moon
Choi Jong Hun (FT island)
Park Yoo Chun (DBSK)
Lee Yoo Hee (Admin Lee)
Kim Dong Wan


―Lee Ah, April, 1998―

“Suaramu bagus…” ujar seorang anak lelaki. Ketika kutengadahkan kepalaku, ia tersenyum. Hangat. Dan cerah. Pendek kata, senyumnya menawan.

“Terima kasih,” ujarku sambil tersenyum dan menatapnya.

“Lagu apa itu?” tanyanya, mengambil tempat duduk di sebelahku. Bersama kami duduk di atas hamparan rumput yang terasa hangat sore itu.

“Diajarkan oleh Mamaku dulu… sebelum akhirnya Beliau meninggal…”

“Karena itu, kau berada di sini? Dengan adikmu?” tanyanya.

“Ya,” anggukku. “Karena itu, aku berakhir di panti asuhan ini…”

“Dan bertemu denganku!” tambahnya dengan nada bersemangat.

Dengan tersenyum kuulurkan tanganku. “Mulai hari ini, aku mohon bantuanmu! Namaku Lee-ah…”

“Dan aku… Hyun-joong…” seringainya melebar ketika tangan kami bertautan erat. “Ayo, ajarkan aku lagu itu!”


―Lee Ah, Januari, 2011, Apartment―

Bulan Januari. Sambil menghembuskan nafas, pikiranku kembali ke belasan tahun lalu, ketika pertama kalinya aku dan adikku, Jae-shi menginjakkan kaki  ke sebuah panti asuhan semenjak Papa meninggalkan rumah dan Mama meninggal beberapa bulan sesudahnya.

Hyun-joong adalah teman pertamaku di panti asuhan kecil itu. Dua tahun adalah masa perkenalan yang singkat. Hyun-joong diadopsi oleh sebuah keluarga kaya dan kepergiannya meninggalkan lubang besar di hatiku. Sampai sekarang, aku tidak pernah mendengar berita tentangnya.

Usiaku dua puluh tahun pada bulan Agustus nanti. Kulirik bayanganku di cermin, menegaskan pada diriku sendiri bahwa aku sudah siap untuk memulai hari ini dengan gembira. Terdengar ketukan pendek di pintu.

Tok-tok-tok

“Masuklah,” sahutku, merapikan kerah bajuku dan berbalik menatap pintu. Jae-shi berdiri di sana, tersenyum lebar memandangku.

“Kau sudah sangat cantik,” pujinya.

“Kalau kau memujiku begitu, pasti ada maunya…” tukasku.

Ia tertawa dan berkelit, “Aku hanya mengungkapkan fakta….” Lalu dengan hati-hati ia menambahkan, “Tapi aku memang mau minta ijin untuk pulang malam hari ini…”

“Kau akan pergi ke mana?”

“Sahabatku ulang tahun. Lagipula, kami memang sudah lama tidak bertemu…” Jae-shi memberikan tatapan minta ijin padaku. “Tidak terlalu malam, mungkin, sekitar pukul sembilan…”

“Apa mereka akan mengantarmu pulang?” tanyaku, cemas.

“Sebelum kakak pulang, aku pastikan aku sudah di rumah,” jawabnya sambil tersenyum. “Mungkin salah satu dari temanku ada yang bisa mengantarku pulang…”

Alisku terangkat mendengar kata mungkin yang diucapkannya. Mungkin? Itu artinya masih belum pasti. Jae-shi sudah berusia delapan belas tahun. Dan sekalipun mewarisi wajah Papa, ia memang anak yang menarik. Aku tidak mau terjadi sesuatu dengan adikku yang manis. Kami sudah saling menjaga sejak kecil.

 “Baiklah, kau memang masih perlu banyak hiburan…” tukasku. “Dan aku juga akan pulang malam hari ini setelah menyelesaikan pemotretan terakhir…”

Setahun terakhir ini aku bekerja paruh waktu sebagai asisten fotografer. Sekalipun orang tua angkat kami selalu mengirimkan uang, aku tidak bisa menggunakannya dengan bebas. Maksudku, bukannya tidak bisa, tetapi segan. Sampai hari inipun, aku dan adikku masih merasa sedikit sungkan. Jae shi-pun kadang-kadang bekerja part time entah di mana.

“Kau memang kakak yang terbaik!” seru Jae-shi girang sambil memelukku. Aku membalas pelukannya dan tersenyum. Dan kau adikku yang manis.


―Jae Shi, Januari 2011, Park’s house―

Rumah temanku, Park Dae-jia memang besar. Mungkin karena itulah tidak masalah baginya untuk mengadakan pesta ulang tahun di rumahnya sendiri. Ruang tamu dan ruang makannya disulap menjadi sangat elegan dan berkelas.

“Keren sekali,” pujiku sambil memandang kagum ke seluruh ruangan. “Ah, selamat ulang tahun!” seruku, memeluknya dan menyerahkan kado ke tangannya. “Semoga kau semakin cantik dan menawan…”

“Hentikan sindiranmu itu,” tawanya.

Dae-jia memang cantik dengan rambut hitam legam sepunggung kebanggaannya. Ia mirip seperti model iklan shampoo dengan rambut seindah itu. Sejak dulu ia memang sosok yang menyenangkan dan populer, bisa dilihat dari betapa banyak tamu yang diundangnya saat ini.

“Nanti Papa bilang ada kejutan! Kurasa, Papa mengabulkan permintaanku untuk mengundang artis ke sini! Ah… Papa baik sekali!!” Dae-jia mendesah berlebihan.

“Aku turut senang. Aku tahu, Papamu memang menyayangimu…” seruku senang. Dae-jia mengangguk setuju.

Seorang pria datang menghampiri kami. “Maaf, boleh saya pinjam Dae-jia sebentar?” tanyanya sambil tersenyum sopan. Orang itu adalah tunangan Dae-jia―seorang pengacara terkenal―Eric Moon.

“Aku permisi sebentar, Jae-shi…” Dae-jia tersenyum. Sejenak wajahnya muram. “Aku lupa bilang, aku mengundang Choi Joong-hun datang…”

“Tidak apa. Aku tahu, dia juga temanmu…” sahutku, berusaha tersenyum sewajar mungkin. Dae-jia mengangguk tidak yakin, lalu pergi bersama tunangannya.

Dae-jia serius dengan ucapannya. Sebelumnya CSJH dan sekarang DBSK bernyanyi di panggung. Mereka berlima memukau penonton dengan suara mereka yang karismatik. Jeritan antusias yang mengelu-elukan nama mereka dari para gadis terdengar di seantero ruangan. Aku bisa melihat Dae-jia memberi isyarat padaku untuk tidak menoleh ketika pintu depannya terbuka sedikit.

Selintas pandang bisa kulihat pria itu memasuki pintu rumah Dae-jia dengan seorang gadis cantik di sebelahnya. Joong-hun teman sekelasku, teman akrabku. Kami mulai dekat sejak masuk SMA.

Kukira dia memendam perasaan yang sama denganku, ternyata aku salah. Sejak pengumuman kelulusan, dia berpacaran dengan gadis itu. Lalu kisah persahabatan kami berakhir. Begitu saja. Mungkin ada yang memberitahukan padanya perasaanku. Entah siapa. Tapi aku tahu, ia menghindariku sejak ia jadian dengan gadis itu. Dan rasanya sangat menyakitkan.

Aku tahu Joong-hun sejak dulu memiliki sifat yang baik. Ia tidak akan tega menolakku langsung, karena itu ia memilih menjauh. Salah satu kebaikannya itu yang membuatku dulu―dan mungkin sampai sekarang―masih menyukainya. Hal ini hanya akan memperparah luka di hatiku.

“Hai,” sapa Joong-hun sambil tersenyum ramah.

Kuusahakan tersenyum sewajar mungkin dengan bibirku yang terasa kaku. “Hai,” sapaku pada gadis itu. kuulurkan tanganku, “Kita baru kali ini bertemu, namaku Jae Shi…”

Gadis itu hanya memandang tanganku dan mengacuhkannya. “Kita pindah ke sana saja, aku mau mengucapkan selamat pada yang berulang tahun…” pintanya pada Joong-hun.

Dengan terluka kutarik tanganku. Joong-hun tersenyum tidak enak lalu berlalu pergi begitu saja. Dengan kesal kulangkahkan kakiku ke pintu belakang. Pesta ini mulai tidak menyenangkan, pikirku.

 “Games-nya akan dimulai sekarang! Kau mau pergi ke mana?” tanya Yoo Hee sambil menarik tanganku. “Semuanya wajib ikut! Dae-jia yang membuat acara ini!”

Dengan perasaan enggan, aku berjalan ke bangku pemain. “Semua peserta wanita diharapkan maju ketika bilik-bilik di depan sudah terisi semua! Setiap pria yang berada di bilik itu akan memunculkan tangannya di lubang yang tersedia! Kenali tangan pasanganmu, dan mereka yang bersalaman selama satu menit, akan menjadi pasangan dansa malam ini!”

Ini akan kacau, pikirku sambil berjalan maju dan mulai menyalami setiap tangan yang ada. Bahkan Dae-jia tampak kesulitan mengenali tangan Eric. Ia berpindah dari satu tangan ke yang lainnya. Sampai akhirnya berhenti di satu tempat… dan ia memang sangat beruntung karena bisa mengenali tangan tunangannya.

Tangan siapa ini? Pikirku ketika sentuhan tangan itu terasa tidak asing. Kuamati tangan itu lebih jelas. Sejenak genggaman tanganku mengendur. Aku pasti gila! Aku pasti sudah gila! Dengan kacau kualihkan tanganku ke bilik berikutnya.

Yang tadi itu… bukankah itu tangan Joong Hun?

Dengan ragu, aku kembali ke tempat tadi dan menyentuh tangan itu. “Joong Hun?” gumamku. Tangan yang kusalami menegang. Ia menarik tangannya lepas, membuatku terluka. “Maaf…” sahutku sambil kembali ke tangan yang berada di sebelahnya.

Dasar bodoh! Untuk apa kau minta maaf?

Dengan punggung tangan, kuusap air mataku yang hampir jatuh. Aku bermaksud menarik tanganku, namun si pria―entah siapa dia―di bilik itu tidak mau melepaskannya. “Lepaskan aku…” pintaku. Namun ia malah menarik tanganku. Bersamaan dengan itu, pintu bilik di depanku terbuka.

“Dan pasangan dansa Nona Jae Shi malam ini adalah… Micky Yoo-chun dari DBSK!” MC mengumumkan dengan suara lantang, namun ia sendiri cukup terkejut melihat peristiwa di depannya. “Loh?” Dengan mata terbelalak kutatap pria di depanku.


―Lee Ah, Januari, 2011, Studio Foto Pak Kim―

“Apa pemotretan hari ini hanya akan memakai satu model?” tanyaku pada Pak Kim Dong-wan―si fotografer―di sebelahku. Kalau ya, berarti setelah yang satu ini selesai, aku bisa pulang dan segera beristirahat.

Pria itu tersenyum sambil menjawab, ”Masih ada dua model lagi. Mereka akan dipotret berpasangan. Aneh sekali, seharusnya mereka sudah datang…”

Ia mengecek kameranya, lalu menatap arlojinya. “Mereka terlambat…” keluhnya. “Terima kasih untuk kerja kerasnya,” ia tersenyum pada model di depannya dan mengangguk, “Kau sudah boleh pulang…”

“Terima kasih,” senyum model itu lalu beranjak pergi setelah membereskan barangnya.

“Kami harap tidak terlambat! Mohon maaf, jalanan macet sekali tadi!” seru seorang pria berjas rapi sambil tergopoh-gopoh membawa setumpuk berkas di tangannya. “Saya mohon kerja samanya!” ia membungkuk dan mengajak artisnya masuk

“Kenapa hanya satu model? Mana model wanitanya?” tanya Pak Kim bingung.

“Aduh… celaka… apa dia belum datang? Jadwal Hyun-joong sedang padat-padatnya har ini. Setelah pemotretan ini, dia juga ada wawancara di acara radio…”

“Bagaimana ya….” Pak Kim dan manager pria itu berpandangan dengan bingung.

“Hei… siapa namamu?” tanya Hyun-joong tiba-tiba. Sedari tadi pria itu terus menatapku seakan aku sudah melakukan kesalahan besar. Kenapa sih? Ada apa dengannya?

“Lee-ah…” jawabku. Kim Hyun-joong melepas topinya dan matanya lebih serius menatapku. Berani sumpah, matanya terlihat kaget dan tidak percaya. Tetapi, dia memang sangat tampan. Jauh lebih tampan daripada di foto atau film. “Kenapa?” tanyaku lagi.

“Tidak,” ia mengangkat alisnya sedikit dan melempar senyuman sinis. “Gunakan saja gadis ini. Karena kita sedang buru-buru, apapun boleh. Nanti wajahnya tinggal di-edit saja…”

“Ah, ya, benar juga! Begitu saja… bagaimana?”

“Tapi, Lee-ah adalah asistenku…” Pak Kim tampak keberatan. “Bagaimana menurutmu Lee-ah? Apa kau setuju? Menurutku hasilnya akan kurang alami…”

Kakiku terasa membatu di tempatnya. Difoto? Itu artinya… aku akan berada di depan sana, berpose bersama pria terkenal ini? Tidak! Ini sangat tidak mungkin!



-to be continued-










Rabu, 27 Maret 2013

Celebrity Baby/ Kid Photos (Boys)

Celebrity Baby/ Kid Photos (Boys)

Look at their cutie childhood picture!!

Cho Kyuhyun
Super Junior’s Siwon
BigBang’s G-Dragon
Hyun Bin
Jang Geun Suk
2AM’s Jo Kwon
SHINee’s Jonghyun
DBSK’s U-Know
SS501′s Kim Hyun Joong
Kim Soo Hyun
Lee Min Ho
Lee Seung Gi
2PM’s Nichkhun
JYJ’s Yoochun
Rain
Super Junior’s Shindong
2PM’s Teacyeon
BigBang’s Taeyang
BigBang’s Top
cr: soompi.com

Selasa, 26 Maret 2013

Kasih Ibu Yang Tak Pernah Berhenti Mencintai Anaknya


Kasih Ibu Yang Tak Pernah Berhenti Mencintai Anaknya

KISAH
INI DIPERSEMBAHKAN KEPADA SEMUA IBU YANG TAK PERNAH BERHENTI MENCINTAI
ANAK-ANAKNYA

Karena tidak ada kasih sayang yang sesungguhnya abadi dalam pikiran kita
selain kasih sayang seorang ibu yang selalu kita ingat sampai kita
berakhir nanti.

Dalam hidup, kita memiliki banyak kasih sayang. Kasih sayang yang
mungkin bagi sebagian orang hanya sesaat tapi bagi yang lain menjadi
abadi selamanya.

Seperti kisah ini, kisah kasih sayang seorang ibu yang aku harapkan
pernah terjadi dalam pada hidup kalian tapi tidak kalian sia-siakan.

Ingatlah, Kasih sayang seorang ibu tidak akan pernah berhenti ia berikan
dalam keadaan apapun. Semoga kisah ini menyadarkan kalian betapa penting
arti ibu dalam hidup kalian.

Aku punya seorang ibu, dalam usia yang muda, ia melahirkanku karena
pernikahannya yang muda. Ayah dan ibu hidup bahagia dan melahirkan aku
yang manja dan serba hidup cukup.

Sampai umurku 7 tahun, aku selalu mendapatkan apapun yang aku inginkan.
Untungnya aku pintar sehingga selalu menjadi juara kelas. Kata guruku
sih, aku ini jenius sehingga walaupun tanpa belajar pun nilai ujian di
kelasku selalu mendapatkan nilai A.

Kebahagiaan yang aku rasakan dan kemewahan yang aku rasakan semua
tiba-tiba menjadi sirna ketika ayah mengalami kecelakaan.

Ia meninggal dan meninggalkan hutang yang begitu besar. Aku tidak pernah
siap miskin tapi tidak dengan ibu.

Kami kehilangan rumah dan harus tinggal dirumah susun murah yang hanya
memiliki satu ruangan dengan satu kamar.

Ibu tau, aku pintar dan tidak seharusnya berhenti sekolah, karena
penikahan yang muda dan ditentang keluarga akhirnya ibu terusir dari
keluarganya.

Sedangkan orang tua ayah, sudah tak ada siapapun yang mau membantu
kehidupan kami.

Setelah menjual segala perhiasan yang ia miliki. Ibu memiliki ide untuk
berjualan bakmi ayam. Saat itu umurku 13 tahun. Ia masih harus
menanggung hutang-hutang ayah yang harus ia bayar.

“ Ibu akan berjualan bakmi untuk membantu kehidupan kita. Angel
bantu-bantu.. ibu ya?”
Aku terdiam dan rasanya tidak menyukai ide ibu.

“ ibu akan jualan bakmi dimana? Memangnya ibu bisa buat bakmi?” tanyaku.

“ Loh dulu nenek ibu kan dagang bakmi, jadi ibu tau resepnya. lalu
mungkin ibu berdagang di depan jalan besar depan komplek. Disitu banyak
orang yang kerja di pasar. Kali-kali saja laris. Sehingga kamu bisa
tetap sekolah.”

“ Aku gak mau.. aku malu. Ibu saja yang jualan, aku gak mau bantu..”

“ Ya nak, kamu gak usah bantu ibu, kamu cukup belajar yang giat dan ibu
yang nantinya akan bekerja..besok ibu akan pergi ke sekolah kamu untuk
mencoba meminta beasiswa..”

Aku senang ibu tidak mengharapkan aku berjualan bersamanya. Apa jadinya
kata orang tentangku.

Ibu memiliki gerobak bakmi yang ia beli bekas dan setiap pagi ia akan
mendorong gerobak itu ke lapak tempatnya berjualan lalu sepagi mungkin
sebelum matahari terbit ia sudah tidak ada di rumah ketika aku bangun.

Ia tidak pernah memintaku untuk berjualan tapi terkadang aku membantunya
untuk sekedar memotong bawang putih dan hanya tugas-tugas mudah di dalam
rumah yang terpenting aku tidak sudi ikut berdagang dengan ibu.

Teman-temanku, mungkin tau. Kalau ayahku telah meninggal. Tapi mereka
tidak pernah tau kalau keluargaku jatuh miskin.

Ibu berhasil mendapatkan beasiswa untukku sehingga aku tidak perlu
membayar uang sekolah sampai aku lulus smp nanti.

Tapi kehidupan sekolah yang aku rasakan berbeda dengan saat ayah ada
dulu. Kini aku jarang sekali makan dikantin. Aku membawa bakmi buatan
ibu setiap hari yang membuatku bosan, ketika teman-teman mengajakku
makan. Aku selalu berkata.

“ Aku lagi gak mau makan di kantin, gak mood” atau “ aku sedang diet”
padahal aku tidak mempunyai uang.

Tapi, kalau aku lagi beruntung, bila seorang teman yang sedang ulang
tahun, maka tanpa ragu aku akan membuang bakmi buatan ibuku dengan
makanan kantin traktiran. Karena aku juga pintar, aku tau bagaimana
memanfaatkan teman-temanku yang bodoh. Sekedar untuk membuatkan atau
mengerjakan PR Sekolah, itu bisa membuatku memiliki uang saku.

Ibu tidak akan memberikan uang jajan lebih padaku. Ia hanya menjatahku
5000 sehari dan bisa dibayangkan bagaimana aku hidup dengan uang sekecil
itu.

Agar teman-temanku tidak pernah tau ibuku berjualan bakmi. Aku selalu
menghindar saat melihat ibu berdagang di jalanan pasar.

Aku mencari jarak yang lebih jauh untuk berputar sampai ke belakang
jalan rumah susunku yang jelek. Karena daerah kumuh, tentu saja
teman-temanku tidak akan selevel untuk menuju kesana.

Kalaupun ingin mengerjakan tugas rumah. Ya aku menuju rumah mereka,
setelah puas tidur di ranjang empuk sahabatku. Aku pulang dan menderita
bersama kasur keras rumahku.

Ibu walau bekerja dari pagi hingga sore hari. Ia tidak pernah berhenti
untuk bertanya tentang pekerjaan sekolahku.

Ia tetap memperhatikan diriku dan entah mengapa sejak menjadi miskin
seperti ini hubungan kami menjadi dingin, aku tetap berpendapat kematian
ayah dikarenakan oleh ibu atas kesalahan ini.

kalau saja saat itu, ia tidak meminta ayah menjemputnya di salon. Ayah
tidak akan mengalami kecelakaan. Jadi sejak miskin seperti ini.. Aku
hanya selalu menjawab sepatah kata ketika ia bertanya.

Kemiskinan kami berjalan sampai akhirnya aku duduk bangku sekolah
menengah umum dan lulus dengan nilai yang baik sehingga mendapatkan
beasiswa di sekolah sma favorit. Untuk membeli baju sekolah baru saja
ibu tidak mampu karena masih harus membayar hutang ayah. Ia malah
menerima sumbangan dari tetangga kami yang kebetulan sudah lulus sma dan
memberikan pakaian itu padaku.

“ Aku gak mau pakai baju bekas. Mending aku gak usah sekolah.”

“ Angel, kamu harus paham keadaan kita. Pakailah baju ini untuk sekolah,
untuk sementara sampai ibu bisa memberikan yang baru.”

“ Dari dulu juga ibu selalu bilang ingin beli ini itu?, tapi
ujung-ujungnya bohong. Kenapa sih bu? kita jadi semiskin ini, kalau ayah
masih ada! Ia ga mungkin kasih aku baju bekas kayak gini” teriak aku
kasar dan meninggalkan rumah.

“ Angel mau kemana?”

“ Mau cari angin. Bosan sama keadaan rumah yang miskin kayak gini !

Jika aku marah, ibu tidak akan marah padaku. Entah berapa banyak keluhan
dan kemarahan yang aku lakukan untuknya. Yang aku tau, aku hanya ingin
hidup kami seperti dulu. Tidak sesulit dan semiskin ini. Tuhan rasanya
tidak pernah adil dengan hidupku, ia seperti mempermainkan aku.

Sekolah baruku ini lebih nyaman dengan keadaanku karena semua anak-anak
di sekolahku anak baru yang tidak tau latar belakangku, walaupun sekolah
ini masih khusus bagi mereka anak-anak mampu. Sebagian dari anak-anak di
kelas mungkin menyukaiku tapi yang lainnya terkadang memandangku dengan
aneh. Terkadang aku mendengar bisikan yang cukup membuat telingaku panas.

“ Itu si Angel, orang tuanya mampu gak sih? kok bajunya dekil ya..
emangnya sekolah ini terima anak kayak gitu ya “kata Agnes kepada
teman-temannya.

“ Dengar-dengar sih dapat sekolah gini karena beasiswa” ujar teman agnes
sengaja saat aku lewat.

Aku ingin marah mendengar mereka bergosip tapi aku lebih berpikir cerdik
untuk tidak meladenin omongan mereka daripada apa yang mereka bicarakan
semakin meluas karena aku tanggapi. Sepulang sekolah, aku menangis.
Tidak terima dengan kata-kata temanku. Ibu kebetulan sedang pulang
mengambil bakmi yang habis.

“ Angel hari ini dagangan ibu habis loh,, ibu senang banget” kata ibu
padaku dan ia tiba-tiba melihatku menangis.

“ Kenapa kamu nangis..”

“ Emang ibu peduli? Ibu mana peduli sama hidup aku”

“ Kenapa bilang begitu..”

“ Aku malu bu, semua orang ledekin baju dekil ini..aku gak mau sekolah
lagi besok?”

Ibu hanya menghela nafas. Kemudian pergi setelah mengambil bakmi di
kulkas. Ia menutup pintu dengan air mata.

Ia berdagang tanpa semangat. Menghitung setiap uang yang ia dapatkan
dari semangkok bakmi yang terjual. Menyisakan sebagian untuk modal besok.

Ia bangun pagi sekali untuk membeli sayur dan kebutuhan berjualan bakmi.
Bahkan aku rasa ia hanya tidur 3 jam untuk sehari-harinya. Wajahnya yang
cantik dulu kini menjadi tidak terawat. Ia menjadi saat buruk dengan
tambahan kantung hitam dibawah matanya.

Suatu malam saat aku tertidur, ibu pulang dengan keadaan pincang. Ia
seperti kelelahan membawa barang barang belajaan dipasar. Ia mengelus
ngelus kakinya. Aku memperhatikannya.

“ Ibu kenapa?”

“ Jatuh saat ke pasar. Licin. Sakit sekali.. rasanya terseleo besok ibu
coba urut..”

“ kalau gitu gak usah lagi ke pasar. Uda tau licin dan jorok. Beli aja
di supermarket”

“ kalau gak beli disana. Ibu ga ada untung angel, disana lebih murah..”

“ terserah ibu.”

“ besok bantu itu dorong grobak ya ke lapak..”

Aku tidak menjawab dan tertidur. Keesokan paginya, saat aku terbangun
aku melihat ibu mendorong gelobak dengan kaki yang kesakitan. Aku ingin
membantu tapi tiba-tiba ada agnes dan kawan-kawan yang sedang berjalan.
Karena tidak ingin malu, aku pun memutuskan untuk langsung pergi ke
sekolah. Saat di kelas. Agnes dan kawan-kawan menikmati bakmi. Bakmi
yang aku tau itu ia beli dari ibuku.

“ Bakminya enak ya? Besok beli lagi yuk. Ada yang mau nitip?”

“ Beli dimana sih? “ Tanya teman yang lain.

“ Tuh di ibu pincang.. di depan jalan rumah susun pasar.”

Aku jadi was-was kalau sampai tau mereka membeli bakmi itu dari ibuku.
Ketika pulang aku meminta ibu untuk tidak jualan besok. Tapi ibu menolak
karena tidak memiliki alasan untuk itu. Aku marah dan memutuskan pergi
dari rumah malam itu. Di jalan aku bertemu dengan seorang anak yang aku
rasa tinggal di rumah susun. Ia bernama Aji. Ia manawarkan aku botol
aqua saat aku termenung di teras lantai rumah susun.

“ Kok bengong, neh minum..” tawarnya dan aku terdiam.

“ Masih di segel kok aman. Loe anaknya sini ya? Gua temannya tetangga
loe. Kita satu sekolah kok, Cuma bedanya gua uda kelas 3 loe masih kelas
1, kebetulan gua lagi ke rumah saudara gua disini dan liat loe.. ”

Aku menerima minuman itu dan mulai merasa nyaman dengan aji.

“ Namanya siapa kalau boleh tau. Kok malam-malam gini diteras rumah
susun sendirian?””

“ Angel, gua kalau lagi BT ya disini.. dan gua emang tinggal disini gak
masalah kan?“

“ Ngak masalah lah? Emang kenapa kalau tinggal disini?”

“ Kirain masalah..?”

“Oh pasti ada masalah ya. Mau cerita?”

Aku tidak bercerita padanya tapi akhirnya memiliki sahabat baru yang
bisa membuatku nyaman malam itu. Keesokan paginya. Aku duduk di kelas
sambil mengerjakan tugas teman-teman sekolahku. Lumayan untuk membantu
uang jajanku. Tiba-tiba agnes berada di kelas bersama teman-teman genknya,

“ Ngomong-ngomong, di sekolah ini yang namanya angel itu ada berapa ya?
Katanya ibu bakmi itu punya anak sekolah disini namanya angel loh.. “

“ Ibu bakmi yang mana?”

“ Ibu bakmi yang tadi pagi kita makan, yang pincang itu..”

“ Atau jangan-jangan angel yang ibu pincang itu maksud si..” kata mereka
meliriku.

Aku langsung meninggalkan kelas. Apa jadinya hidupku kalau anak-anak
satu sekolah ini tau kalau aku anak pedagang bakmi. Saat aku di taman,
aji tiba-tiba muncul.

“ kenapa sih setiap gua ketemu loe. Loe itu mukanya kok bt selalu?”

“ gua agak sebel sama teman-teman di kelas, suka banget gossip.. jadi ga
mood aja”

“ gosiipin loe..?”..” begitulah..” jawabku.

“ cuekin aja kalau gossip aja mah.. namanya gossip kan ga tentu benar.
Bawa asyik aja. Eh ngomong-ngomong, kalau mau pulang sekolah nonton gimana?”

“ hm…?” kataku ragu. “ gua traktir.. tenang aja”

Dan akhirnya pulang sekolah kami pun berangkat nonton. Rasanya kehadiran
aji membuat aku lebih memiliki banyak hal yang baik. Ia membuat aku
merasa lebih dihargai kebanding teman-temanku yang norak dan hobbynya
bergosip. Aku pulang ke rumah dan saat itu ibu melihatku bersama aji
saat ia menurunkan aku dari motornya. Ia mendekatiku.

“ siapa angel?”

“ tante aku aji, teman sekolah Angel..” kata aji.

“oh iya, aku ibu angel..” kata ibu dan aku hanya terdiam,

“ kalian lapar? Kalau lapar bisa makan bakmi di tempat dagang tante…”
kata ibu dan aku terkejut marah

“ aku gak lapar. Aku mau pulang aja..”

“ tante dagang bakmi..?” Tanya aji pada ibu.

“ ia dekat depan sini, ayo dicoba siapa tau bisa promosi ke teman-teman..”

“ apa-apaan sih ibu. “ kataku dan meninggalkan mereka berdua.

Aji dan ibu hanya saling menatap.

“ maafin ya, si angel sifatnya agak gampang marah, kalau kamu gak sempat
makan bakmi buatan tante bisa besok atau kapan-kapan saja..”

“ iya tante..”

Aku merasa marah karena ibu menawarkan bakmi kepada aji. Seharusnya aji
tidak perlu tau ibu berdagang bakmi. Aku tidak bicara seharian dengan
ibu aku jadi bingung bagaimana sekarang menghadapi aji yang pasti
bertanya-tanya tentang ibuku.

Keesokan paginya sebelum sekolah, Agnes dan kawan-kawan sudah muncul di
lapak bakmi ibu.

“ ibu aku mau Tanya. Anak ibu yang sekolah ditempat kami itu. Angel yang
anak kelas 1 kan, itu yang mana sih orangnya?”

“ oh.. anak ibu yang tinggi dan rambutnya panjang. Tunggu sebentar. Di
dompet ada fotonya..siapa tau kalian kenal.”

Lalu ibu menunjukkan foto aku dan agnes bersama kawan-kawannya langsung
mendapatkan berita headlines yang luar biasa membahagiakan. Mereka
langsung ke sekolah. Saat itu aku membaca komik yang aku pinjam dari
temanku Hendra, ia bertubuh gemuk dan sedikit bodoh tapi menjadi sahabat
baik yang selalu banyak membantuku dikelas. Saat bel berbunyi. Guru
sekolahku belum masuk, tiba-tiba agnes langsung berdiri dikelas.

“ teman-teman ada pengumumanan neh..” teriak agnes.

Mereka semua langsung menatap agnes dan aku pun begitu.

“ dengerin neh ye pada.. kalau semua disini suka bakmi. Yang mau beli
bakmi enak dan yang biasa gua makan sama teman-teman bisa pesan ke gua.
Bakminya enak loh. Kalau kalian mau.. order di gue aja. Cuma 10.000
semangkok..lumayan itung-itung bantu ibu itu, kasihan pincang dan
anaknya juga kayaknya butuh biaya buat sekolah…”

Sepertinya anak-anak sangat tertarik dengan bakmi itu. Guru sekolah
masuk. Agnes pun duduk dengan senyum-senyum puas menatapku. Saat
istirahat sekolah tiba-tiba ia mendekatiku.

“ ngel, neh pesanan bakmi.. kasih ke nyokap loe..”

“ apa-apaan sih loe..”

Mereka saling menatap dan tiba-tiba tertawa sambil meledekku.

“ kok loe pura-pura bego gitu sih, bukannya ibu pincang yang jualan
bakmi itu nyokap loe. Tadi pagi dia cerita ke kita-kita kok. Malah minta
bantuan promoin bakmi dia.. kita-kita kan baik. Akhirnya bakmi nyokap
loe gua promosiin dan pesanan banyak.. nek kasih ke nyokap loe. Niat
baik kok ditolak..” kata agnes sambil memberikan kertas padaku.

Aku mengambilnya dan merobek lalu melempar kepadanya.

“ loe gak usah cari gara-gara ya..berengsek” kata agnes dan kami pun
berkelahi.

Setelah dipisahkan agnes berteriak-teriak menghinaku dengan wajahnya
yang lebam begitu pula aku.

“ dasar loe orang miskin gak tau diuntung, uda bagus gua bantu jualarin
bakmi emak loe.. sekali miskin tetap miskin!!”

Aku pulang dengan perasaan marah. Mengapa ibu tega melakukan ini dan
mempermalukan aku. Saat itu aku menangis dirumah. Ibu sedang berdagang ,
ketika ia berjalan mengantar mangkok ke pelanggan tiba-tiba ia terjatuh
karena kakinya kesakitan. Pembeli itu mendekati ibu.

“ ibu kenapa kakinya gak di urut aja sih atau bawa ke dokter..”

“ gapapa, ini entar juga sembuh sendiri.. “

Hari ini ibu pulang lebih pagi dari berdagang. Seorang pelanggan mendekat

“ kok pagi amet tutupnya, padahal saya mau makan?”

“ iya neh, anak saya ulang tahun.. saya mau ke pasar beli baju buat dia..”

Ibu sengaja menahan rasa sakit itu bukan karena ia tidak ingin pergi ke
tukang urut untuk mengobatinya. Tapi ia memiliki alasan lain karena ia
ingin memberikan aku hadiah, hadiah sebuah pakaian seragam sekolah baru
untukku. Ia tampak puas dengan barang belajaan yang ia beli. Saat itu
pulang dengan gembira dan tiba-tiba terkejut melihat wajahku yang lebam.

“ kamu kenapa bisa kayak gini? Kamu jatuh kenapa angel?”

“ ibu mau tau kenapa? Semua gara-gara ibu, buat apa ibu minta agnes
untuk bantuin jualan bakmi di sekolah, ibu gak tau semua orang jadi tau
aku anaknya tukang jual bakmi pincang itu!!”

Tiba-tiba ibu menamparku dan itulah tamparan pertama dia dalam hidupku.
Aku marah dan pergi dari rumah berlari diatas hujan lebat. Ibu menangis
dan terduduk di kursi meja makan dengan wajah lesuh. Aku tidak tau harus
berlari kemana dan tanpa arah. Aku hanya terduduk dan terdiam diantara
hujan dan menangis. Merasa hidup ini tidak pernah adil, mengapa aku
harus mengalami kemiskinan. Aku tertidur di halte bus. Dan saat aku
bangun hujan telah hilang. Jam 11 malam saat itu.

Aku berjalan pulang dan tiba-tiba seorang tetangga memberitahu aku kalau
ibu terjatuh dari tangga. Kini ibu sedang dirawat dirumah sakit. Aku
terkejut dan langsung menuju rumah sakit. Melihat ibu dengan keadaan
kakinya penuh bebat. Ia patah kaki karena terjatuh dari tangga.

“ kenapa ibu bisa sampai begini?” tanyaku.

“ Ibu ingin turun dan cari kamu tiba-tiba ibu terjatuh dari tangga, ibu
minta maaf sudah menampar kamu..”

Aku terdiam dan berusaha melupakan masalah itu. Dokter kemudian
memeriksanya dan ia berkata padaku ibu harus menginap beberapa hari.

“ kata dokter ibu gak boleh pulang dulu, ibu harus di rawat disini. “

“ tapi biaya rumah sakit mahal, kita mana mampu angel..”

“ mana aku tau.. siapa suruh ibu jadi begini. Angel mau pulang dulu.
Ngantuk dan besok harus sekolah.”

Kataku kesal walaupun merasa kasihan terhadap ibu tapi harga diriku
terlalu tinggi untuk menunjukan rasa peduliku pada ibu. Saat aku pulang
tiba-tiba aku melihat, kue ulang tahun kecil dan baju seragam sekolah
baru. Saat itulah aku sadar, ibu menyiapkan ulang tahunku hari ini. aku
terlalu sibuk karena stres memikirkan masalah sekolah sampai tidak
sadar. Seragam baru itu membuatku sedikit bisa pamer besok di sekolah.
Ingin aku mengucapkan terima kasih pada ibu tapi sayang ia tidak ada
rumah. Minimal besok, aku bisa katakan itu bila aku ingat!!

Ibu bisa keluar rumah sakit tiga hari kemudian dengan biaya uang yang
sangat banyak dan menghabiskan tabungan. Untuk sementara ia tidak
berdagang bakmi dan itu bisa membuatku selamat dari gosip agnes yang
sedang gencar2nya meledekku dengan anak tukang bakmi. Walau tanpa
penghasilan, tapi aku bisa bertahan dengan uang tips mengerjakan pr
teman-teman sekelas. Aku tidak lagi butuh uang jajan dari ibu.

Duabulan kemudian ibu sudah mulai bisa berjalan dengan tongkat. Suatu
malam aku tidak mampu bangkit dari tempat tidur dan Tubuhku panas dingin.

Ibu cemas dan membawaku ke dokter. Ternyata aku terjangkit virus demam
berdarah dan masuk fase kritis.

Biaya yang sangat besar membuat ibu sangat bingung dengan keadaannya
yang tidak lagi berdagang bakmi.

Tanpa memikirkan biaya ibu memaksakan aku dirawat. Saat itu ia hanya
terdiam lemas menatapku tak berdaya.

Dan dirumah sakit itu ada seorang suami yang menangis karena istrinya
sekarat. Ia membutuhkan ginjal untuk istrinya.

Tapi tidak ada donor yang bersedia untuk menolong kelangsungan istrinya.
Ibu mendekat dan tiba-tiba ia menawarkan dirinya. Orang itu menawarkan
sejumlah uang pada ibu. Demi aku, ibu pun rela menyumbangkan satu ginjalnya.

Berkat ginjal yang ibu sumbangkan aku bertahan hidup Karena ibu langsung
memindahkan aku ke perawatan yang terbaik di rumah sakit itu. Saat aku
sembuh beberapa hari kemudian, aku tidak melihat ibu. Aku hanya melihat
Aji datang bersama Hendra sahabatku.

Sampai akhirnya aku keluar rumah sakit beberapa hari kemudian. Tidak ada
yang menjemputku, mereka bilang ibu sedang keluar kota untuk bertemu
dengan keluarganya meminta bantuan uang. Padahal yang aku tau biaya
rumah sakit telah terlunasi. Ibu sengaja bilang ia keluar kota agar ia
tidak tau kalau ia dalam masa perawatan.

Tapi aku salah dan semakin menyadari kehilangan ibu. Sudah dua minggu
aku tidak melihat ibu dan akhirnya seorang tetangga memberitahu aku
kalau ibu dirawat dirumah sakit yang sama dengan anaknya sebab mereka
tidak sengaja melihat ibu. Aku langsung menuju rumah sakit. Ibu
tergeletak lemas di tempat tidur. Ia melihatku dengan air mata.

“ Kenapa ibu bisa dirawat disini? Ibu sakit apa?”

“ Ibu ngak apa-apa, sebentar lagi juga bisa keluar..”

“ Ibu katakan pada angel, Ibu kenapa.. jujurlah ibu..”

“ Ibu gak apa-apa nak.. Ibu Cuma sakit..”

Aku tidak memaksa ibu untuk jujur lagi karena ia seperti kesakitan
menahan perutnya. Malam itu aku menjaganya. Tiba-tiba ibu mengajakku
bicara. Aku jadi ingat seragam sekolah dulu.

“ Ibu.. terima kasih baju sekolahnya.. Angel belum sempat bilang kemarin..”

“ Iya nak, sama-sama. Angel maafkan ibu, bukan ibu selama ini tidak
ingin membahagikan kamu. Ibu tau kamu marah karena kematian ayahmu. Ibu
sudah berusaha untuk sebisa ibu membahagiakan kamu seperti saat-saat
kita dulu bersama ayah. Tapi ibu gagal, ibu hanya bisa membuat kamu
marah. Ibu benar-benar menyesal, maafkan ibu“

“ Kenapa ibu bicara seperti ini, sudah tidak usah dibahas. Angel juga
gak pernah berpikir begitu”

“ Ibu, bukanlah ibu yang baik. Sehingga tidak mampu membelikan kamu
celana dalam ketika kamu dewasa bahkan tidak tau bagaimana harus
membelikan kamu baju baru, ibu menahan rasa sakit di kaki ibu hanya
untuk mengumpulkan uang agar kamu mendapatkan pakaian yang layak, tapi
sebanyak apapun ibu bekerja, hutang yang ayah kamu tinggalkan tidak
pernah habis.. bahkan hingga detik ini.” kata ibu menangis

“ Sudah bu.. jangan teruskan.. angel minta maaf. Angel ngak pernah
ngerti perasaan itu. Angel egois dan tidak terima pada kenyataan kalau
kita memang sudah bukan yang dulu..” kataku memeluk ibu yang menangis.

“ Ibu hanya berharap. Ibu bisa mengubah keadaan seperti dulu lagi.. Cuma
itu nak..”

Malam itu, aku baru tau betapa besar pengorbanan ibu padaku, rasa egois
yang membuatku sadar bahwa aku begitu durhaka tak pernah menghargai
pengorbanan yang ia lakukan. Aku memeluk ibu dan berjanji dalam hatiku
ketika ia sembuh, aku akan membahagiakan dia dengan cara apapun. Ibu
tidak semakin baik dari hari ke hari. Sampai akhirnya, ia meninggal
malam setelah memelukku. Aku menangis kehilangan ibu dalam hidupku.

Dokter mengatakan ibu tidak mengalami hal baik setelah mendonorkan satu
ginjalnya. Hal yang membuatku begitu pilu dan sedih adalah ketika ibu
melakukan semua itu untuk membuat hidupku terus ada. Ia rela menjual
ginjalnya agar hutang ayah terlunasi. Agar masa depanku terjamin dengan
uang donor itu tapi ia sendiri harus pergi dengan keadaan tanpa pernah
melihatku dewasa seperti impiannya.

Hal terakhir yang ia katakan padaku, membuatku begitu berat untuk
melupakan semua kebaikannya.

“ Bagaimanapun ibu marah padamu, kemarahan ibu adalah kasih sayang.
Tidak ada ibu yang akan marah tanpa alasan kepada anaknya. Kelak ketika
kamu menjadi ibu,kamu akan mengerti, ibu di dunia manapun selalu ingin
anaknya bahagia. Walau dengan kemarahan caranya..”

Andai saja ada penyesalan dan waktu yang berulang, aku tidak akan pernah
melakukan kebodohan terbesar dalam hidupku menyia-yiakan pengorbanan ibu.

Tapi waktu adalah tempat yang kejam bagi mereka yang tidak pernah bisa
menghargainya, seperti aku yang hanya bisa menangis menatap waktu-waktu
indah yang seharusnya aku gunakan bersama ibu tapi kini hanya bisa
terkenang dalam kenangan. Semoga kisah ini bisa mengajarkan kita untuk
mengerti.

Kasih ibu mungkin tidak akan sempurna bagi hidup kita. Tapi kasih ibu
adalah kasih tanpa balasan yang tidak akan pernah tergantikan dengan
kesempurnaan hidup apapun di dunia ini. (Jap Ching Ching)


Jika anda merasa artikel ini bermanfaat, maka anda dipersilahkan untuk
mencetak dan mengedarkan semua artikel yang dipublikasikan padaBlog
Kebajikan ( De 德 ) ini.

sumber:
http://kebajikandalamkehidupan.blogspot.com/2013/02/kasih-ibu-yang-tak-pernah-berhenti.html#.UVJZqDconcc
Mengutip atau mengcopy artikel  ini
harus mencantumkanKebajikan ( De 德 ) sebagai sumber artikel.