Tampilkan postingan dengan label fanfic letter to heaven. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label fanfic letter to heaven. Tampilkan semua postingan

Selasa, 08 Juli 2014

LETTER TO HEAVEN - Chap 3 -

LETTER TO HEAVEN - Chap 3 -

February 9, 2011 at 12:01pm
Chapter 3



─Kim So Eun, Seoul, 2009─

“Hari ini hasilnya keluar, ya?” Kak Han Geng menggandeng tanganku dan tersenyum seolah hasil pemeriksaannya sama sekali tidak penting.

“Kim Bum tidak berangkat bersama kita ya?” tanyaku bingung.

Mama Kak Han Geng tersenyum singkat menanggapi pertanyaanku. ”Dia ada urusan, katanya...”

”Oooh...”

”Pasien Han Geng...” panggil perawat dari ruangan dokter. Spontan kami bertiga berdiri dan masuk ke ruangan itu.
Dokter membolak-balik hasil CT scan dengan dahi berkerut. Ia memandang kami dan tersenyum mempersilakan duduk. Sementara itu, dahinya kembali berkerut saat menatap hasil pemeriksaan itu.

”Han Geng, sudah berapa lama kau merasakan sakit di kepala seperti ini?” tanya dokter pada Kak Han Geng yang duduk di sebelahku.

”Sebenarnya sudah sejak setahun yang lalu, tapi yang terasa mengganggu baru akhir-akhir ini...”

Dokter berdehem untuk kembali menelusuri hasil pemeriksaan itu. ”Kau bisa melihat benjolan di sini?” ia menunjuk ke gambar pemeriksaan yang hitam putih. Tiba-tiba rasa takut melandaku. ”Ini gambar tumor pada lobus frontal di kepalamu...”

Mulutku terasa kering saat mengulangi kata-kata dokter itu. ”Tumor?”

”Dan sayangnya, ini adalah tumor ganas. Sekarang ini, diduga perkembangannya sudah sampai ke sini, lobus oksipital. Kau merasakan gangguan penglihatan, tidak?”

”Ya,” Kak Han Geng menatap dokter dan dengan tenang bertanya. ”Apakah saya masih bisa tertolong, dokter?”

Dokter itu melepaskan kacamatanya dan meremas jarinya pelan. ”Selalu berharap pada keajaiban...” jawabnya.

Mama Kak Han Geng mulai menangis histeris di sebelahku. Bahkan suara dokter itu terdengar begitu jauh. Jauh seolah berasal dari planet lain. Bisa kurasakan jantungku berdetak cepat dan nafasku mulai memburu.

Kak Han Geng memeluk Mamanya yang menangis sesunggukan. Pelan, kuangkat wajahku, berusaha mengambil nafas sebanyak mungkin. Ini tidak benar, jerit batinku. Ketika Kak Han Geng bertemu pandang denganku, air mata langsung membuyarkan pandanganku. Ia dengan cepat menarikku dalam pelukannya.

”Tidak adil! Ini tidak adil!!” dalam pelukannya, aku terus saja menangis seperti anak kecil. ”Padahal, padahal, aku.. kita... Padahal Kakak masih sangat muda!!” Kak Han Geng memelukku erat-erat.

Air mata mengucur deras dari mataku, seolah tidak akan pernah berhenti. ”A-Aku ... aku...tidak mau Kakak mati... aku tidak mau...”

Senyuman Kak Han Geng yang sangat kusukai, dan genggaman tangannya. Apakah semua itu akan hilang? Semua itu akan diambil dariku? ”Tidak boleh! Tidak boleh!!” jeritku kehabisan nafas. Tanganku menggapai dan menariknya. Memeluknya. ”Jangan pergi Kakaaaak....”

Kak Han Geng tersenyum dan menggigit bibirnya pedih. Ia mengangkat satu tangan menutupi wajahnya, menangis tanpa suara.. Tangannya bergetar saat menghapus air mata di wajahku. ”Maaf, maafkan aku So Eun...”
Detik itu juga aku pingsan.


─Han Geng, Seoul, 2009─

”Han Geng,” berhentilah berlari...” pelatihku, memandangiku dengan mata tuanya yang ramah. Air mata membayang di sudut matanya. ”Kau jangan berlari lagi...” ujarnya tegas.

Kutatap kakiku yang terasa lemah di tempatnya. Lagi-lagi tadi aku terjatuh. Pelan-pelan, dengan tangan besarnya, pelatih itu membantuku berdiri. ”Mamamu sudah bicara banyak denganku...” ia menepuk bahuku dengan bersahabat.
”Saya minta maaf karena mengecewakan Bapak,” ujarku sambil memberikan senyum terbaikku dan menunduk hormat padanya.

Tangan tua itu memelukku dan mengusap punggungku. Matahari terbenam keemasan di horizon langit. Selamanya pemandangan ini tidak akan kulupakan. Inilah, akhir dari kehidupanku di lapangan ini.

”Sampai kapanpun, kau akan menjadi anak didikku yang terbaik, Han Geng...” ujarnya dengan suara bergetar. Pria tua itu menatapku dan berusaha tersenyum simpul. ”Ada banyak hal yang pahit dalam hidup ini. Tetapi, semua itu pasti ada maknanya...” ujarnya bijak.

Aku tersenyum dan menjabat tangannya. ”Terimakasih karena selama ini sudah begitu baik pada saya, Pak. Saya pamit dulu...”

”Han Geng!” pria itu memanggilku lagi. Matanya diliputi kecemasan, seolah kalimat itu akan menjadi kalimat terakhir dariku. ”Jaga dirimu baik-baik,” ujarnya sambil setengah berteriak. Bisa kulihat ia mengusap air matanya dengan punggung tangannya.

”Hai, lama menunggu, ya?” sapaku pada So Eun yang berdiri menungguku di pinggir lapangan. ”Kita ke ruang klub dulu, aku ketinggalan sesuatu...” ujarku sambil menarik tangannya memasuki ruangan klub.

Begitu lampu kunyalakan, tiba-tiba terdengar teriakan dari seluruh ruangan. ”SURPRISEEE!!!!” seru anak-anak klub. Mereka tertawa dan ada pula yang menangis. ”Han Geng, kau benar akan meninggalkan klub ini?”

”Ya, aku harus bolak-balik ke rumah sakit untuk terapi...” anak-anak perempuan ada yang langsung berlari keluar ruangan sambil menangis. Bahkan beberapa anak lelaki memandangku dengan mata yang berkaca-kaca.

”Ayo, sekarang biarkan Han Geng bicara!!” seru anak cowok lainnya di sudut ruangan klub. Anak-anak lain pun berkumpul sambil diam mendengarkan.

”Terima kasih...” sambil menarik nafas pelan, aku mulai bicara. ”Selama ini, aku banyak merepotkan kalian. Dan aku juga harus minta maaf kalau beberapa tindakanku mungkin kurang pantas. Tetapi, pada intinya adalah, aku senang, pernah punya kesempatan berada di sini bersama kalian...”

”Kau pasti akan sembuh. Iya kan?” salah satu temanku menepuk pundakku dengan akrab. Ia tidak bisa menyembunyikan air matanya saat memelukku. ”Jaga dirimu, Han Geng...”

So Eun menyembunyikan dirinya di sudut. Tangannya menutupi bibirnya. Aku bisa melihat air mata menetes di pipinya. Satu per satu menyalamiku dan memelukku bersahabat. “Jangan mati, Kak...” bisik So Eun di sampingku.

Ucapan itu menyentak dadaku begitu dalam. Hari ini, hatiku nyaris teriris pedih melihat betapa banyak orang menangis untukku. Dan So Eun. Bagaimana dengannya, seandainya aku tidak bisa lagi berada di sisinya nanti? Kenyataan itu menghujam dadaku begitu dalam. Menyakitkan. Kematian itu... menyakitkan.


─Kim Bum, Seoul, 2009─

Kak Han Geng bolak-balik ke rumah sakit beberapa bulan ini. Dan So Eun selalu berada di sampingnya, nyaris setiap kali ada waktu luang, ia akan datang dan menemani Kak Han Geng.

”Hai, selamat sore,” sapaku sambil memamerkan senyum terbaikku. Kakakku menatapku senang dari atas ranjang.
Tenggorokanku terasa kering melihat kondisi tubuhnya menurun begitu drastis. Dan kini, ia terlihat kurus dan pucat, nyaris transparan. Tuhan, sampai kapan ia akan menderita? Rasanya tiba-tiba mataku terasa panas.

:”So Eun dimana, Kak?” tanyaku sambil meletakkan keranjang buah yang kubawa ke atas meja.

”Dia... di bawah...” jawab Kakakku dengan suara serak.

”Aku mencarinya dulu...” sahutku sambil tersenyum kering. Tenggorokanku selalu sakit melihat betapa sulit ia bicara akhir-akhir ini. Menurut dokter, kemungkinan gangguan bicara bisa terjadi kalau kankernya sudah merambat ke lobus parietal.

Secepat kilat aku berjalan ke atap rumah sakit dan berteriak di sana. Sekuat tenaga. ”KENAPA!? KENAPA HARUS KAKAKKU!?” protesku pada Tuhan. Tetapi, Ia tidak menjawabku. Bibirku bergetar saat air mata mulai tumpah dari mataku.

”Kata Kak Han Geng, kau mencariku...” ucapan So Eun terputus saat ia melihatku menangis. ”Kau pulang saja, Kim Bum...”

”Kau tidak melihatnya?!” otakku mulai terasa kalut di tempatnya. ”Aku tidak tahan melihatnya! Kau lihat bagaimana ia menjadi begitu pucat dan kurus?! Kenapa dia yang harus menderita?” amarah tanpa daya membakar dadaku, menjadikan air mata sebagai tempat pelarian emosiku yang tidak labil.

”Kau jangan membuatnya merasa tidak berdaya dengan menunjukkan wajah seperti itu sekarang...” dan secepat kilat, So Eun berlari kembali ke ruangan kakakku. Aku berjalan mengikutinya ketika tiba-tiba dari arah kamar terdengar suara benda berat yang jatuh.

Nafasku nyaris habis ketika melihat kakakku terjatuh di lantai. So Eun berlutut di depannya, memastikan tidak ada yang terluka. ”Aku hanya... mau berjalan sebentar...” ujar Kakakku dengan terbata-bata. Awalnya ia tersenyum mengejek, namun kemudian ekspresinya mengeras, digantikan rasa kecewa yang dalam.

”Kaki sialan ini! Sialan!! Kenapa... kenapa dia tidak cukup kuat... u-untuk menyangga tubuhku sekarang!? Kenapa?! Bahkan... a-aku tidak bisa berjalan lagi!!”

Dengan putus asa, Kak Han Geng menangis di bahu So Eun. So Eun memeluknya dengan senyuman menenangkan. So Eun sangat kuat. Ia bahkan tidak menunjukkan air matanya di depan kakakku. Padahal aku tahu, ia yang paling ingin menangis saat ini.

Dengan perasaan tidak berdaya, aku hanya mampu menahan sesak di dadaku dari luar kamarnya. Rasa sakit itu menusukku begitu dalam. Atlet lari yang kehilangan kakinya, terlalu ironis.

”Ng... aku minta maaf, So Eun...” ujarku padanya ketika kami berjalan pulang ke rumah dalam diam.

Ia menatapku dan tersenyum jenaka. ”Begitu lebih baik. Tapi, kau tidak seharusnya minta maaf padaku. Kakakmulah yang membutuhkan dukunganmu...”

”Kau kuat sekali, So Eun...” ujarku tanpa pikir panjang.

So Eun tersenyum dan nenatap langit dengan matanya yang besar. ”Aku terbiasa menumpahkan semuanya di kamar. Yang pasti, tidak di depannya...”


─Kim So Eun, Seoul, 2010─

“K-kau d-datang...” senyuman Kak Han Geng kembali menggores hatiku. ”T-tahun baru... sudah lewat, ya…?” Tiap hari, wajahnya semakin pucat dan kurus. Aku semakin kesulitan untuk tidak menangis akhir-akhir ini.

”Bagaimana kondisi Kakak akhir-akhir ini?” tanyaku sambil duduk di sampingnya dan menggenggam tangannya. Aku berusaha menanamkan bayangannya yang sehat dan kuat ketika jarinya yang terasa kurus menyentuh kulitku.

”Kau s-sendiri, b-bagaimana?” Tanya Kak Han Geng sambil menatapku sendu. Sekalipun wajahnya pucat dan kusut, ia tetap memiliki pandangan mata yang tajam, yang sangat kusukai.

“Kenapa Kakak malah menghawatirkan aku?” tanyaku sambil tersenyum, meletakkan tangannya di pipiku. Sekarang tangannya terasa hangat. Setetes air mata meluncur di pipiku.

Kak Han Geng menatapku dengan wajah pedih. ”B-bagaimana pun, yang d-ditinggal pasti akan...lebih menderita, ya?” tanyanya.

Kali itu pertahananku hancur. Sambil berusaha bangkit dengan susah payah, lengannya yang kurus merengkuhku. Aku terus menangis di bahunya. Bahu yang kusukai, orang yang kusukai, senyuman yang kusukai. Sekarang, bahu itu terasa begitu asing dan kurus.

”Maafkan aku, Kak... Aku seharusnya bisa lebih kuat...”

”Kau sangat tegar, So Eun...” suaranya terdengar teduh di telingaku. ”Kalau tidak ada kau, aku mungkin sudah tidak tahan lagi di sini...”

Air mataku semakin merebak kala mengingat wajahnya yang menderita setiap kali jarum-jarum ditancapkan di tubuhnya. Dan tangannya bahkan terasa begitu kecil, lebih kurus dari tanganku. Jantungku terasa luar biasa nyeri.


Sore hari, Kak Han Geng kembali muntah-muntah. ”Aku tidak ada nafsu makan...” ujarnya sambil menggeleng saat melihat nampan yang kubawakan untuknya.

”Kakak harus makan, dong...” saat itu, tiba-tiba aku ingin sekali menyentuhnya. Namun, begitu tangan kuulurkan, segumpal rambut jatuh dari kepalanya. Dengan gemetar, mataku terus mengamati rambut di tanganku.

”Efek samping dari kemoterapi...” jawabnya sambil meraih rambut itu dan melemparnya ke tong sampah. Dengan ngeri, kulihat begitu banyak rambut di sana.

”So Eun...” dengan susah payah kubalikkan tubuhku. Tanganku menutup mulutku kuat-kuat. Jangan sampai ia melihatku menangis. ”Kau menangis?”

”Maaf Kak...” saat aku berbalik, ia sedang menatapku cemas.

”J-jangan menangis, So Eun... A-aku akan... makan, t-tentu saja aku akan makan!” ujarnya terbata-bata.
Ia berusaha menelan makanannya dengan ekspresi gembira. Melihatnya, dadaku terasa semakin sakit. Rasanya ada banyak orang melempariku dengan batu sekarang.

”Makannya pelan-pelan saja, Kak...” ujarku sambil menepuk punggungnya pelan-pelan dan memberikannya segelas air. Ia terbatuk-batuk. Dan batuknya terdengar menyakitkan di telingaku.

Sudut mataku terasa panas merasakan tulang punggungnya yang menonjol di tanganku. ”Aku ke toilet sebentar, ya...” Dan untuk waktu lama, aku kesulitan menghentikan tangisku di sana. Tidak di depannya.


─Han Geng, Seoul, 2009─

Sore itu, Kim Bum datang menengokku. Mataku nyaris kabur akhir-akhir ini. Namun, tidak sulit untuk mengenali senyuman anak itu. ”Hai,” sapanya riang.

Karena akhir-akhir ini semakin sulit bicara, kuputuskan untuk tersenyum saja menanggapinya. ”Ya ampun, di bawah tadi aku bertemu banyak perawat cantik. Kau beruntung sekali,” decaknya iri.

Aku tersenyum. ”Kim Bum...” aku harus mengatakannya sekarang juga. ”K-kau... menyukai... So Eun... bu-kan?”

Ekspresi wajahnya berubah keras mendengar pertanyaanku. ”Ah, semua orang juga menyukainya,” elaknya. Tetapi ia lantas terdiam ketika melihat ekspresi wajahku yang serius.

”Ka-kalau aku nanti... tidak ada... t-tolong... j-jaga dia...” Kim Bum langsung menangkap tanganku yang berusaha menggapai tangannya.

”Kau yang harus menjaganya,” tukasnya dengan ekspresi keras dan tegang. ”Dan berhentilah bicara soal mati. Kau menderita?! Mama juga! Aku juga! Aku juga menderita! Aku tidak mau melihatmu seperti ini!”

Kim Bum menatapku dengan air mata menggenang. ”Jangan begini... Jangan menyerah Kak... So Eun tidak menyerah, jadi, Kakak juga jangan menyerah...” ia menangkap tanganku dan menunduk. Bahunya berguncang-guncang saat air matanya jatuh ke sprei ranjangku.

Air mata mengalir dari sudut mataku. Panas. Aku tidak ingin menyerah, tentu saja. Aku mencintai So Eun, dan aku ingin selalu bersamanya. Tetapi, sampai kapan? Dan... bagaimana?


─Kim Bum, Seoul, 2009─

Langit keemasan senja itu. Sepulang sekolah, seperti biasanya aku datang untuk menjenguknya. Lamat-lamat terdengar suara dari dalam ruangannya. Kuurungkan niatku sejenak untuk masuk.

”K-kalau aku m-mati, k-kau tidak boleh... menangis...” suara Kakakku yang terbata-bata terasa menggores dadaku.
Mereka berdua duduk berdampingan, bersama-sama menatap senja. So Eun terdiam dan menyenderkan kepala di bahu Kak Han Geng. ”Apakah, Kakak akan selamanya bersamaku?”

”M-maaf... So Eun…” suara Kakakku terdengar terluka. Tetapi, tangannya kemudian terjulur lemah ke arah langit. ”M-mungkin, h-hanya bisa mengawasimu... dari sana...”

So Eun tertawa kecil dan mengangguk. Ia memeluk Kakakku yang telah kehilangan tenaganya. ”Berarti, aku harus menulis surat ke Kakak setiap hari. Mungkin karena jauh, suaraku tidak terdengar. Surat lebih efektif...”

”Y-ya, surat...” tiba-tiba suara Kakakku terdengar lebih bertenaga. ”K-kau tahu,,, So Eun?”

”Hm? Tahu apa?” So Eun menatap Kakakku dan tersenyum.

”Aku... mencintaimu...”


─Kim So Eun, Seoul, 2010─

“Ada apa?!” kepanikan jelas-jelas melandaku saat tempat tidur Kak Han Geng dilarikan perawat ke ruangan UGD. “Kenapa dengannya!?”

Dokter masuk secepat kilat. Kim Bum datang dan bertanya dengan matanya. Dengan bingung, aku menggeleng tidak mengerti. Mamanya datang beberapa saat kemudian, ditemani Papanya.

Begitu dokter keluar, kami langsung menyerbunya. ”Maaf, tidak banyak yang bisa kami lakukan...” ujar dokter itu. ”Mungkin ada yang ingin ia sampaikan pada kalian... Silahkan...”

Dengan langkah bergetar, aku masuk ke ruangan itu. bahkan kakiku sendiri tidak terasa pada tempatnya. Di sana, dengan nafas satu-satu, ia terbaring menatap kami. Wajahnya terlihat tenang dan pucat.

”Kakak...” suaraku nyaris tidak terdengar saat meraih tangannya dan menempelkannya di pipiku.

”P-papa, Mama” suaranya terdengar seperti bisikan kecil. Kami semua mendekat dan mengerumuninya.

”A-aku, m-mungkin bukan anak yang baik, t-tapi... aku beruntung m-menjadi... anak kalian...” air mata menetes dari sudut matanya.

Mama dan Papanya mengangguk dan mengusap tangannya lembut. Dadaku terasa berat dan semakin berat saat pandangan matanya semakin menerawang jauh.

”Kim Bum... jangan lupa, k-kau... berjanji p-padaku...” Kim Bum menggenggam tangan kakaknya dan mengangguk keras.
”Pasti... Aku... akan memenuhi janjiku...”

”So... So Eun...” dengan susah payah ia menarik nafas berulang kali dan mengucapkan namaku.

”Ya? Ada apa, Kak?”

”Aku m-menunggu surat...mu...” dan begitu saja, tangannya terkulai lemas, lepas dari genggamanku.

”So Eun!” Kim Bum menahan pundakku agar tidak jatuh. Dengan gemetar aku menggunakan tangan Kim Bum untuk bangkit berdiri. ”Tidak... mungkin... kan?” tanyaku padanya dengan gugup, lalu menatap wajah Kak Han Geng sekali lagi.
Ia terlihat begitu tenang. Sekalipun wajahnya pucat, ia seolah hanya tertidur di sana. ”Kakak...?” bibirku bergetar tiada henti saat tanganku mengusap wajahnya yang dingin. ”Kenapa... dingin sekali...?”

Air mataku menetes-netes ke seprai putihnya. ”Bangun…lah… Kak…” suaraku terdengar seperti desahan putus asa.
“Sudahlah, So Eun…” Mamanya Kak Han Geng memelukku dari belakang, berusaha menenangkanku. “Sudahlah…”ia menangis putus asa di sampingku.

“Tidak bisa begini… bukalah... matamu Kak... aku masih ingin… melihatmu tersenyum, menggandengku, menciumku, berjalan bersamaku…”

Suaraku semakin hilang ditimpa tangisan patah-patah dari dadaku. Nafasku naik turun dengan berat. “Kak Han Geng… Kak Han Geng… jangan pergi…”


─Kim So Eun, Seoul, 2011─
 -----------------------------------------------------------------------------------
Untuk Kak Han Geng,

Beberapa hari lalu Kim Bum menyatakan perasaannya padaku, dan kuputuskan uintuk menerimanya. Aku tahu, kakak menyuruhnya untuk menjagaku, dan aku sangat berterima kasih untuk itu.
Setelah Kakak meninggal, ia tidak pernah pergi dari sisiku. Dan setiap kali sedih, ia datang menghiburku. Mungkin aneh kalau kukatakan aku mulai menyukainya. Tetapi, kuharap ia juga merasakan perasaan yang sama padaku, bukan sekedar simpati.
Kuharap Kakak tidak marah kalau kukatakan aku mulai menyukainya. Selamanya, Kakak akan selalu memiliki tempat istimewa di hatiku. Selalu dan selamanya.

PS: Hari ini langitnya cerah. Kurasa, Kakak sedang berlari dengan wajah gembira saat ini. Bisa kubayangkan betapa luasnya lapangan atletik di langit sana! Dan aku, akan menghargai setiap detik hidupku, sampai saatnya aku menyusul Kakak di sana.

Salam bahagia,

Kim So Eun









--------------------------------------------------------------------------------
FIN

LETTER TO HEAVEN - Chap 2 -

LETTER TO HEAVEN - Chap 2 -

February 9, 2011 at 11:59am
Sebelumnya, sekedar pemberitahuan, FF ini sudah di publikasi oleh admin untuk lomba FF

berhubung tag sudah penuh; maka dengan seijin admin, saya memindahkan ke note saya

bagi yang minta di tag, comment atau post wall saya
...
thanks

Chapter 2



─Kim So Eun, Seoul, 2009─

“Benar nih, sudah merasa lebih baik?” tanyaku cemas saat Kak Han Geng berjalan bersamaku melangkah di atas trotoar yang mulai dipenuhi timbunan salju. Wajahnya terlihat sama pucatnya dengan kemarin.

“Ya, sudah lebih segar sekarang,” ia mengangkat tangannya dan memamerkan ototnya. ”Dan aku sudah kangen sama lapangan itu...”

Pelan, kusupkan tanganku ke lengannya. ”Aku tidak mau Kakak berlari dulu sementara ini. Aku tidak mau melihatmu jatuh...”

Rasanya setiap kali kututup mataku, semua kejadian itu masih bisa kugambarkan dengan tepat. Seperti gerakan lambat yang seakan hendak menghujam jantungku.

”Aku takut sekali kemarin...” ucapku tanpa pikir panjang.

Kak Han Geng menepuk pipiku dan tersenyum. ”Aku akan berhati-hati...” ia beruaha menenangkanku. ”Kemarin sangat memalukan ya?” ia mendesah dan menghembuskan nafas keras-keras.

Pipiku merona merah mengingat tatapan matanya yang lurus dan tajam.

”So Eun?” Kak Han Geng memiringkan wajahnya dan menatapku. ”Kau melamun kenapa? Pipimu merah sekali...”

Dengan terbata-bata, aku menjawabnya. ”Aku, sangat menyukai mata Kak Han Geng saat berlari. Rasanya jadi berdebar-debar...”

”Oh ya?” senyuman malu muncul di wajahnya. “Aku, selalu serius terhadap banyak hal. Salah satunya lari. Dan terutama, perasaanku padamu...” kali ini ia menatapku langsung di mataku.

Matanya tajam menatapku, seolah hendak menembusku. Dengan gugup, kubalas tatapan mata itu. Wajah kami semakin dekat, dan nafasnya terasa hangat namun segar menyapu hidungku.

Pelan, ia menciumku. Bibirnya terasa dingin bagai salju, namun perasaanku nyaris meleleh dalam ciumannya yang memabukkanku. Lebih dari sejam yang lalu, semenit yang lalu, setiap detiknya aku semakin menyukainya.

Seandainya bisa bersama Kak Han Geng selamanya, aku tidak akan pernah meminta lebih.


─Han Geng, Seoul, 2009─

BRUKH!!

”Ya ampun, Han Geng!!” Mama berseru kaget ketika melihatku terjatuh beberapa anak tangga.

”Kau kenapa, Kak?” Kim Bum menghampiriku kaget. Matanya memandangku dengan awas.

”Tidak apa-apa, mataku sedikit kabur tadi... Mungkin karena baru bangun tidur siang, jadinya masih agak linglung...”

”Akhir-akhir ini kau agak kurang sehat, Han Geng...” Mama menatapku cemas. ”Tempo hari kau jatuh di lapangan. Dan kemarin seharian kau sakit kepala...”

”Mungkin aku sedang tidak fit saja, Ma... Atau mungkin gejala flu...” sahutku sambil tersenyum.

”Kau memang agak aneh akhir-akhir ini, Kak...” Kim Bum memandangku lalu mendukung pendapat Mama. ”Mungkin sebaiknya dia periksa ke dokter, Ma...”

”Benar, bagaimana kalau ke dokter saja, Han Geng?”

”Sudahlah, Ma... Aku benar tidak apa-apa, kok...” tukasku lalu bangkit sambil berjalan ke ruang duduk dan menghidupkan televisi. ”Kapan-kapan saja ke dokternya,” ujarku malas.

Akhir-akhir ini aku hanya sedang tidak enak badan saja, pikirku sambil memusatkan perhatianku ke televisi. Setiap kali mendengar kata dokter disebut, ada perasaan tidak nyaman singgah di dadaku.

Kuharap, itu bukan suatu firasat buruk. Aku tahu kondisi badanku sendiri. Dan kurasa, ini semua hanya penyakit ringan saja. Nanti juga akan sembuh dengan sendirinya. Iya kan?


─Kim Bum, Seoul, 2009─

Kamis sore, So Eun duduk di kursi yang biasa, menunggu kedatangan kakakku. Ia mengangkat wajahnya dan tersenyum saat melihatku datang menghampirinya.

”Hai,” sapanya sambil tersenyum tulus.

Kurasa akhir-akhir ini status pacaran mereka nyaris dalam tahap yang menyenangkan. Kalau melihat wajahnya seceria ini, selalu saja dugaan itu yang muncul di otakku.

”Kau sadar tidak, Kakakku itu akhir-akhir ini jadi agak aneh?” tanyaku pada So Eun, melontarkan kecemasan utamaku akhir-akhir ini.

”Aneh bagaimana?” So Eun memandangku dengan bingung.

”Minggu ini sudah dua kali dia jatuh di tangga rumah kami. Alasannya karena matanya agak kabur lantaran baru bangun tidur siang. Dan kepalanya juga sering sakit... Kau tahu kenapa?”

So Eun terpekur mendengarkan, lalu menggeleng bingung. ”Kemarin juga, saat pulang bersama, kami sempat berhenti dan duduk sebentar di pinggir taman, karena kata Kak Han Geng, kepalanya agak pusing...”

”Nah, dan dia jadi sangat keras kepala. Dia benar-benar menolak ke dokter. Padahal biasanya dia tidak sebandel itu...”
So Eun tersenyum kecil mendengar caraku menyebut Kakakku bandel. ”Kalau begitu, kurasa memang agak aneh. Jadi, kapan kalian akan ke dokter?”

”Itulah, mana bisa kalau dia sendiri tidak mau?”

”Ah, itu dia!” So Eun serta merta bangkit berdiri melihat sosok Kak Han Geng berjalan ke arah kami sambil berlari-lari kecil.
”Maaf ya, aku lupa kalau hari ini hari Kamis, dan kemarin aku sudah janji dengan pelatihku untuk latihan lebih lama...”
Sorot kekecewaan di wajah So Eun dengan cepat tertangkap mataku. Kakakku tidak biasanya pelupa seperti ini. Ia sangat rapi dan disiplin dalam membuat janji. Semua ini jadi semakin aneh saja, pikirku.

”Tidak apa-apa,” So Eun tersenyum sabar. ”Biar kutunggu saja... Lagipula, aku sedang tidak ada kerjaan...”

”Tidak, kau jangan menunggu di sini. Udaranya kan dingin sekali, So Eun...” Kakakku menepuk kepalanya dan tersenyum. ”Kalian berdua pulang duluan saja, oke? Jangan khawatirkan aku...” ia berbalik dan segera berlari pergi meninggalkan kami berdua.

Nah, ini lebih aneh lagi, pikirku. Kapan sih, kakakku pernah menolak pulang bareng dengan So Eun. Memang sih, cukup rasional untuk tidak membiarkan So Eun menunggu di udara sedingin ini. Tapi... Ah, sudahlah! Apa aku terlalu banyak berpikir?

So Eun segera menatapku ketika Kak Han Geng telah jauh meninggalkan kami. Ia memutar bola matanya dan tersenyum menyetujui, ”Kau benar, dia memang jadi aneh sekarang...”


─Kim So Eun, Seoul, 2009─

“Kak, aku di sini!!” seruku sambil melambai-lambaikan tangan. Cowok itu kelihatan kesulitan mencariku. Ia celingukan ke kanan dan ke kiri, kemudian akhirnya berjalan ke arahku dengan mata dipicingkan sedikit.

“Mungkin aku perlu pakai kacamata,” ujarnya sambil menertawakan dirinya sendiri.

Aku memandangnya dengan cemas. “Nanti kita beli kacamata, ya? Tapi, Kakak perlu ke dokter dulu...” dengan khawatir kupandang wajahnya yang tampan. “Nah, ayo kita makan es krim!!” seruku sambil bergelayut di lengannya.

Ia tertawa dan berjalan bersamaku. Hari ini bisa dibilang kencan pertama kami, dan aku sama sekali nggak mau merusaknya dengan bersikap terlalu menuntutnya untuk memeriksakan diri ke dokter.

Setelah membeli dua ice cream cone, kami mengambil tempat dan duduk di sebuah kursi taman yang tidak jauh letaknya dari tukang es krim itu.

”Oh ya, aku ada hadiah untuk Kakak!!” wajahnya tampak gembira ketika menerima bungkusan dariku di tangannya. ”Eit, jangan dibuka! Coba tebak apa isinya!”

Kak Han Geng menatapku lalu tersenyum jahil. ”Ada kata kuncinya, nggak?”

”Ada. Aroma yang nggak terlupakan...” sahutku senang.

Aku mengetahui dari Kim Bum kalau Kak Han Geng sangat menyukai cokelat cake yang ada aroma rhum­-nya. Karena itu, semalaman kubuat. Hasilnya bagus dan aromanya sangat enak. Bahkan aku sendiri nggak menduga kalau aku bisa membuat hasil sebagus itu.

”Maaf, aku, kok,” ia menampakkan wajah bingung saat mengendus bungkusan itu. ”Aku tidak bisa menebaknya,” ujarnya sambil tertawa heran.

”Coba pinjam, Kak...” saat kudekatkan hidungku, otomatis aroma kental rhum terasa memenuhi udara. ”Kak, sedang flu ya?” godaku sambil tersenyum. ”Aromanya kan kental banget...”

”Biar kubuka ya,” Kak Han Geng menatapku lalu membuka kadonya dan berseru senang. ”Wah, iya, ini kue kesukaanku...” ia memakannya dengan wajah gembira. ”Aneh ya, masa aroma sekental ini aku kesulitan menciumnya?”
Pelan-pelan, dadaku bergemuruh melihat wajah gembiranya yang tampak begitu polos. Satu demi satu kejadian aneh berputar di kepalaku bagai memori pendek. Ia jadi sering jatuh, penglihatannya kadang terganggu, dan kini... penciumannya.

”Kak,” Kak Han Geng menghentikan kegiatannya mengunyah saat tanganku yang gemetar menyentuh lengannya.
”Ada apa, So Eun?”

”Ternyata... Kim Bum benar... Kakak jadi aneh...”

”Aku? Aneh? Apanya?” ia mengangkat daguku, memaksaku menatap matanya. ”Kau kenapa menangis, So Eun?”

”A-aku takut... Kakak sepertinya sakit. Kita periksa ke dokter ya?”

”So Eun, ya ampun, aku tidak apa-apa...” ia mencoba melepaskan tangannya dariku, dan menenangkanku.
Aku tidak bisa melepaskan tangannya. Sambil tetap menggeleng keras, aku menggigit bibir untuk tidak menangis. ”Aku takut terjadi sesuatu...Aku tahu, pasti ada yang salah...”

Kak Han Geng menatapku dengan bingung, lalu menyurukkan kepalaku di dadanya. Samar-samar bisa kudengar jantungnya yang berdegup cepat. ”Baiklah, aku akan ke dokter. Jangan menangis lagi...”


─Han Geng, Seoul, 2009─

”Jadi, bagaimana hasilnya, dokter?” ranyaku sambil berusaha tampak tenang.

Dokter itu mengamatiku dari balik kacamatanya. ”Kurasa masih terlalu cepat untuk mengambil kesimpulan, Nak. Mungkin kau seharusnya mengadakan check up keseluruhan dan CT scan...”

”Tapi, penyakit saya tidak seserius itu, kan, dokter?”

Dokter itu tidak menjawab apapun. Di sampingku, Mama menatapku cemas. Pelan, bisa kurasakan tangan dinginnya meremas tanganku perlahan.


”Bagaimana hasilnya?”

Di rumah, ada dua orang yang rupanya menunggu kepulanganku. So Eun dan Kim Bum. Mereka berdua menatapku dengan ekspresi cemas.

”Aku harus melakukan pemeriksaan menyeluruh dulu, dokternya aneh,” tukasku sambil tersenyum. Wajah Kim Bum mengerut bingung, sementara So Eun menampakkan kecemasan.

”Kurasa itu artinya tidak apa-apa...” ujarku lagi.

Setelah mendengarnya, So Eun lantas tersenyum lega. ”Ya, kurasa tidak apa-apa...” suaranya seolah ditujukan pada dirinya sendiri.

”Semoga kau tidak apa-apa, Kak...” Kim Bum menatapku sekilas dan tersenyum. Tidak biasanya ia begini cemasnya padaku.


Keesokan harinya, serangkaian test dilakukan di rumah sakit yang lebih besar. Kepalaku berdenyut sakit di tempatnya. Kadang kala seperti ini, menyakitkan sampai membuat perasaanku mual.

Seusai test dilakukan, kuhampiri Mamaku yang menunggu di kursi ruang tunggu. ”Tidak ada masalah, tinggal tunggu hasilnya keluar saja dalam beberapa hari ini,” ujarku menjelaskan.

Mama mengangguk paham, lalu menggandengku pulang. Sekilas, kulihat raut wajah mama pucat dan sedih. Dan sudut matanya sembab. Kenapa? ”Mama sakit ya? Mama kelihatannya habis menangis...”

”Tidak apa-apa, Han Geng... Tadi Mama hanya ngobrol banyak dengan dokter. Dan ia meminta Mama sabar menunggu hasil test-nya saja...” jawab Mama sambil kembali terdiam dan memandangi kaca jendela.

Firasat buruk kembali menerpa dadaku. Apa yang dibicarakan dokter? Kenapa Mama begini sedih? Apakah penyakitku gawat? Jantungku mulai berdetak gugup di tempatnya. Seandainya So Eun ada di sampingku, perasaanku tidak akan sekalut ini. Cukup dengan melihat senyumannya, itu saja.


─Kim Bum, Seoul, 2009─

Malam hari, terdorong oleh rasa haus, kakiku menuruni tangga dan berjalan menuju dapur. Lampu ruang makan masih menyala. Kulihat Mama berdiri di depan kamar Han Geng dengan penampilan kusut. Sepulang dari rumah sakit hari ini, Mama memang jadi agak pendiam.

”Ma? Kenapa belum tidur?” tanyaku sambil menyentuh bahunya.

Mama menatapku kaget, sudut bibirnya bergetar. Ia tersenyum, lalu menggeleng. ”Tidak bisa tidur... Kau sendiri?”

”Aku haus,” jawabku sambil tersenyum singkat dan menuntun Mama untuk duduk di kursi ruang makan. Sementara aku minum, kulihat Mama membenamkan wajahnya ke telapak tangannya.

”Pusing, Ma?” tanyaku sambil mengambil posisi duduk di hadapannya.

Mama menyentuh tanganku dan meremasnya. Tangannya terasa dingin dan gemetar di kulitku. Sudut bibirnya berkedut. Ia terliht berusaha keras tersenyum, tetapi kemudian gagal. Air mata berjatuhan di pipinya.

”Apa yang harus, Mama lakukan...?” suaranya pecah oleh tangisan. Mama menutup wajahnya dengan tangan dan menangis terisak-isak.

”Ma? Ada apa? Kenapa?!” tidak mungkin kejadian itu tidak mengejutkanku. Mama tidak pernah menangis seperti ini sebelumnya. Bahkan ketika Papa memutuskan untuk bekerja di luar negeri, Mama tidak menangis.

”Kakakmu... Kakakmu...” Mama menutup wajahnya dengan tangan. Bahunya bergerak naik turun. ”Dokter mengatakan, Kakakmu sakit...”

”Kenapa Kakak, Ma?” jantungku berdebar naik turun dengan gelisah. ”Dia sakit apa?” bahkan pertanyaan terakhir itu terlalu menyakitkan saat keluar dari tenggorokanku.

”Dia kanker otak, Kim Bum...”

Lututku nyaris kehilangan tenaga di tempatnya. Tanganku menekan pinggiran meja dengan kuat. Kak Han Geng kanker otak? Tidak mungkin.... tidak mungkin!!! Apa yang harus kukatakan padanya? Apa yang harus kukatakan pada So Eun?!


To Be Continued......


LETTER TO HEAVEN -Chap 1-

LETTER TO HEAVEN -Chap 1-

February 9, 2011 at 11:54am
Sebelumnya, sekedar pemberitahuan, FF ini sudah di publikasi oleh admin untuk lomba FF
berhubung tag sudah penuh; maka dengan seijin admin, saya memindahkan ke note saya
bagi yang minta di tag, comment atau post wall saya
thanks

LETTER TO HEAVEN -Chap 1-


Chapter 1



─Kim So Eun, Seoul, 2009─

Langit cerah hari ini. Sambil menarik nafas senang, kususuri pinggir lapangan atletik yang dipenuhi oleh teriakan anak-anak perempuan. Seperti biasanya, hari ini pun ia masih menjadi idola nomor satu dari klub atletik.

“Kyaaa!! Kak Han Geng!!!” teriak para siswi di sebelahku.

”Permisi,” ujarku, berusaha menyeruak dari antara gerombolan itu. Akhirnya, tanganku berhasil mencapai pagar kawat pembatas lapangan atletik itu.

”Kak Han Geng!” teriakku padanya, berharap suaraku bisa didengarnya dari antara suara puluhan gadis lain yang juga meneriakkan namanya.

Tetapi cowok itu mendengarnya. Dadaku berdentum keras. Kak Han Geng lewat sambil memberikan senyuman manis ke arahku.

”Tidaaak!! Dia tersenyum ke arahku!!” seru seorang gadis,

”Salah, ke arahku tahu!!” tukas gadis lainnya tidak mau kalah.

”Kalian berdua aneh.” seru gadis lainnya. Ketika dua temannya menoleh, dengan memiringkan kepala sedikit, ia berujar dengan wajah serius, ”Kurasa, ia malah jatuh cinta padaku!!”

Kontan, kedua temannya berteriak, ”Bhhuuu....” bersamaan sambil mencubitinya kiri kanan. Senyuman geli tidak bisa kutahan dari wajahku.

Kak Han Geng berdiri di samping pelatih sambil melihat catatan waktunya. Ia menoleh sekilas, dan melambai padaku. Lagi-lagi para gadis menjerit gila-gilaan. Dari lambaian tangannya yang sepintas itu, aku tahu sebentar lagi latihannya selesai. Dan itu artinya, kami akan berkumpul di halaman belakang, seperti biasanya.



”Hei,” suara seorang cowok memanggilku.

“Hei, Kim Bum, aku juga punya nama tahu...” ujarku sambil mengernyitkan dahiku, kesal. “Coba kau eja namaku, So Eun...”

“Malas,” sahutnya angkuh. Ia menyampirkan tasnya yang berisi saksofon ke kursi tempat kami duduk. “Eh, Kak Han Geng masih lama tidak?”

Kim Bum adalah adik dari Han Geng. Dan seperti Kakaknya yang populer di antara siswi, demikian pula adiknya. Kami bertiga sudah bertetangga sejak kecil. Kegiatan pulang bersama semacam ini seolah sudah menjadi ritual kecil di antara kami.

Bicara soal bintang atletik? Sebut saja nama Han Geng, dan para gadis itu akan menjerit kesetanan. Bintangnya musik? Ucapkan nama Kim Bum dan para gadis akan meleleh karena senyumannya.

”Kurasa tidak begitu lama,” sahutku, berusaha tampak santai. Dan dugaanku tepat, sejurus kemudian, Kak Han Geng datang sambil menenteng sport bag-nya.

”Maaf ya, membuat kalian menunggu...” ujarnya sambil tersenyum ramah. ”Udaranya mulai dingin, kan?” dengan cepat, ia membuka jaketnya dan memakaikannya padaku.

”Wah, tidak usah, Kak...” seruku kaget, berusaha menolak.

”Jaketmu nggak bau keringat, ya?” tanya Kim Bum dengan nada mencela.

”Oooh... Bau ya?” Kak Han Geng menatap mataku langsung, membuat jantungku terasa mau melompat keluar.

”B-bukan, tidak bau kok!” seruku kaget. Malahan sangat harum. Wangi yang maskulin. Kurasa ia mengenakan jaketnya setelah membilas badan di ruang ganti. ”Maksudku, apa Kak sendiri tidak kedinginan?”

”Tidak, aku sih laki-laki, jadi aku lebih kuat...” suaranya terdengar menyenangkan. Rasanya sulit untuk tidak menyukai senyuman sehangat itu.

Kak Han Geng... sejak kecil, nama itu selalu memiliki tempat istimewa di hatiku. Aku menyukainya. Senyumannya, tatapan matanya, caranya memanggil namaku. Kapan ya, ia akan menyadari perasaanku?



─Han Geng, Seoul, 2009─

“Han Geng, cepat bangun, sudah pagi nih!” Mama membangunkanku sambil membuka tirai lebar-lebar.

”Oke,” jawabku. Lalu mendadak, rasa sakit yang hebat menyentak kepalaku. Kupejamkan mataku sesaat, berusaha meredakan rasa sakitnya dengan memijit keningku.

“Kau kenapa?” Mama menatapku khawatir. ”Pusing?”

”Mungkin gejala anemia ringan,” sahutku sambil tersenyum, berusaha meredakan kekhawatiran di wajah Mamaku.

”Mau ijin sekolah, hari ini?”

”Tidak perlu,” tukasku sambil buru-buru bangkit dan mengambil handukku. ”Aku ada test lari hari ini...”

”Berusahalah,” Mama menepuk bahuku lembut.


”Hari ini akan lahir seorang mega bintang!!” seru So Eun sambil tersenyum senang. Uap putih mengepul saat kami berbicara. Udara semakin dingin.

”Masih belum tahu, kan belum diketahui sampai test-nya dilakukan...” jawabku sambil tersenyum.

So Eun menatapku dengan matanya yang bulat besar. ”Aku pasti mendukungmu!!” ia mengepalkan tangan dan dengan bersemangat bicara sambil menatapku. ”Oh ya, ini jaketnya, terima kasih, Kak...” ia mengeluarkan jaket yang sepertinya sudah disterika rapi dari tasnya.

”Sebenarnya tidak perlu dikembalikan sekarang,” ujarku sambil memakainya. Gadis itu tersenyum senang, membuat denyut jantungku sepuluh kali lebih cepat.

”Aku tidak bisa membiarkan mega bintang atletik sakit hanya karena aku lupa mengembalikan jaketnya, dong...” sahutnya sambil tersenyum jahil.

Aku menyukai So Eun. Sejak pertama kali melihatnya, sejak pertama kali bicara dengannya. Aku menyukainya. Tetapi, sampai sekarang, aku tidak memiliki keberanian mengungkapkannya.

Mungkin nanti? Ya, tidak sekarang. Tentu saja tidak sekarang.



─Kim Bum, Seoul, 2009─

Dua sosok itu melupakanku begitu saja, pikirku sambil menatap Han Geng dan So Eun yang berjalan berdampingan di udara yang begitu dingin. Dan mereka terlihat sangat cocok. Sampai kapan sih dua orang itu akan bersikap tidak jujur pada perasaan mereka satu sama lain?

”Hei, kalian melupakan aku!!” seruku sambil berlari menyusul dan menubruk mereka. So Eun menatapku dengan kesal.

”Kau lama sekali sih, bangunnya!” ia menggerutu, namun masih terlihat manis.

”Aku main saksofon sampai malam...” jawabku enteng.

”Kelihatannya dia membuat lagu baru,” sahut Kak Han Geng santai.

”Begitulah,” jawabku asal.

“Kau membuat lagu baru?” mata bulat So Eun spontan berbinar kagum.

Ia terbiasa mendukung kami berdua. Saat melihat Han Geng berlari, ia akan ikut bersorak. Sementara saat mendengarku memainkan musik, ia akan tersenyum dan menunggu sampai tiba saatnya bertepuk tangan keras-keras.

”Belum selesai,” sahutku, berusaha meredakan rasa cemburu di dadaku.

Entah sudah berapa kali kuingatkan diriku untuk menyudahi perasaanku padanya, tetapi entah berapa kali pula aku gagal. Sampai detik ini. Padahal aku tahu dengan jelas, kalau mereka saling menyukai. Dan tidak ada tempat untukku di sana.



─Kim So Eun, Seoul, 2009─

Kak Han Geng meletakkan jarinya di tanah. Matanya menatap tajam ke depan. Wajahnya tampak sangat serius. Ia selalu terlihat serius saat berlari, dan kurasa, kalau matanya menatapku seperti itu, aku bisa meledak detik itu juga.
Perasaanku berdebar naik turun. Kalau lulus test kali ini, Han Geng akan dipilih untuk mewakili sekolah mengikuti lomba tingkat nasional.

”Prittttt!!!!!!!!!!!!!!”

Begitu peluit ditiup, cowok itu melesat dengan sempurna, seperti peluru. Dan nyaris semua anak perempuan menjerit gila-gilaan di sampingku. Jantungku berdentum, seolah memukul rongga dadaku.

Berusahalah! Rasanya setiap sel tubuhku menyuarakan dukungan untuknya.

Kemudian, insiden itu terjadi. Kak Han Geng tiba-tiba jatuh tersungkur. Bersamaan dengan itu, para gadis ikut menjerit tertahan melihat posisi jatuhnya yang begitu tiba-tiba.

Petugas P3K yang berdiri di pinggir lapangan langsung datang menyerbunya. ”Kak!!” suaraku terasa tertelan oleh rasa sesak di dadaku. ”Kak!!” seruku lebih kuat, tetapi gagal. Suaraku musnah diantara jeritan gadis-gadis lainnya.

Tiba-tiba sebuah tangan menarikku dengan kencang. “Apa yang terjadi?” Kim Bum menatapku dan wajah cemasnya menatap lapangan.

”Semuanya begitu cepat, dia tiba-tiba jatuh...” dengan tangan gemetar, aku berusaha mengingat setiap detik kejadian itu.

Kim Bum masih menatapku. ”Padahal awalnya kondisinya sangat prima. Ia melesat,” nafasku nyaris habis saat mengucapkannya. ”Seperti... peluru... dan kemudian... dia jatuh...”

Begitu kalimatku selesai, air mataku tumpah begitu saja. Kim Bum meraih bahuku dan memelukku.

”Padahal, ini adalah saat terbaiknya, dan tadi pagi... rasanya...” dadaku bertambah sesak seiring isakan tangisku. ”Rasanya semua baik-baik saja...”

”Masih ada kesempatan lain untuknya,” jawab Kim Bum, berusaha untuk menenangkanku. ”Sekarang, ayo kita temui dia...”

Masih banyak siswi yang berpelukan dan menangis di pinggir lapangan. Mereka nyaris sama kecewanya denganku. Idola mereka gagal secara mengenaskan. Rasanya dadaku sakit seperti disayat-sayat.


─Han Geng, Seoul, 2009─

”Kak, tidak apa-apa?” So Eun menyerbu masuk ketika kesadaranku mulai kembali. ”Ada yang sakit?”

”Tidak, tidak apa-apa kok...” sahutku, berusaha menyembunyikan kekecewaan besar di dadaku.

Air mata menggenang di matanya yang semula ceria. ”Apanya yang tidak apa-apa?” ia menggigit bibirnya dan menundukkan kepalanya. ”Padahal kau terjatuh begitu kerasnya tadi...”

”Kak, kau sakit?” Kim Bum memasuki ruangan dan menatapku tajam. ”Kau tidak pernah jatuh separah itu sebelumnya...”

”Tadi pagi aku agak sakit kepala,” jawabku. ”Mungkin karena anemia...” So Eun membalikkan badannya, berusaha menghapus air mata dari wajahnya.

”Mungkin masuk angin, gara-gara meminjamkan jaket padaku kemarin...” sahutnya dengan suara galau.

”Ya ampun, masa aku masuk angin? Sama sekali tidak. Aku hanya agak ceroboh. Mungkin tadi ada gundukan tanah dan aku tidak melihatnya...”

”Kau roboh,” ujar Kim Bum menyela. ”Kau tiba-tiba roboh di tengah kecepatan tinggi. Akibatnya, kau jatuh tersungkur...”

”Aku belum sarapan,” sahutku, berusaha mencari alasan lain.

So Eun terus menyalahkan dirinya, dan aku tidak menginginkan itu. Kim Bum menatapku dengan sorot mata yang mengatakan kalau aku tidak mungkin bisa menipunya.

”Aku tinggal kalian dulu. Aku mau membeli teh hangat. Kau mau, So Eun?” gadis itu menjawab dengan anggukan singkat.
Pintu tertutup dan suasana kembali hening. ”Kurasa aku gagal, ya...” suaraku terdengar tawar, bahkan di tenggorokanku sendiri.

”Kak...” So Eun menatapku dengan matanya, terlihat cemas.

”Maaf ya, So Eun, aku jadi mengecewakanmu...”

”Tidak kok, Kakak masih terlihat luar biasa di mataku...” dengan keras ia menggigit bibirnya, berusaha menahan air matanya.

”Dan terima kasih, karena menggantikanku menangis, So Eun...”

Kali ini So Eun maju dan memeluk kepalaku sampai bersender di bahunya. ”Aku tidak mau melihat wajah Kakak yang seperti itu!” bahunya bergerak naik turun seiring isakan tangisnya. ”Kakak kan juga manusia, tidak apa kalau sesekali menangis!”

”Padahal, aku berniat menyatakan perasaanku kalau aku terpilih...” kubenamkan kepalaku di bahunya. ”Dan aku gagal. Tidak bisa menyatakannya dengan keren...”


─Kim Bum, Seoul, 2009─

”Aku juga menyukai Kak Han Geng...” suara So Eun terdengar pilu dan sekaligus lirih. Pelan kutolehkan kepalaku, menatap ruangan UKS itu.

Kakakku yang biasanya terlihat kuat, hari ini tiba-tiba jatuh dan roboh. Aku tahu, sebagai laki-laki harga dirinya sangat terluka. Ia gagal menunjukkan kemampuannya di hadapan gadis yang disukainya.

Kemudian mereka berciuman. Aku tidak mau melihatnya. Mendengarkan pernyataan cinta mereka saja, hatiku sudah hancur. Kulangkahkan kakiku ke mesin minuman terdekat, dan membeli tiga kaleng teh panas.

Sambil berjalan kembali ke ruangan itu, sebagian hatiku cemburu dan sebagian lagi bersyukur. Akhirnya mereka berdua bisa bersama, itu bagus. Tetapi, bagaimana denganku? Semuanya tidak akan sama lagi mulai sekarang. Tidak ada tempatku di tengah mereka.

Sorry kalau lama,” kusodorkan minuman itu ke tangan mereka. ”Jadi, ceritanya kalian sudah jadian, nih?” tanyaku sambil tersenyum menggoda.

Otomatis mereka berdua kelihatan salah tingkah. Wajah So Eun memerah sampai ke telinga.

“Tenang, aku sih tidak apa-apa...” jawabku, berusaha menekan perasaanku sendiri. “Malah dari dulu aku gregetan sendiri melihat kalian berdua seperti itu…” kupaksakan sebuah tawa ceria keluar dari bibirku.

Thanks ya,” ujar Kak Han Geng dengan senyuman tulus. Di matanya sama sekali tidak ada rasa curiga padaku.
So Eun menatapku dengan wajah merah. ”Terima kasih, Kim Bum...” ujarnya terbata-bata.

Dengan susah payah, kutahan nafasku sebelum membalas senyuman mereka.. Aku harus menghapus perasaan ini, sebelum terlambat.


To Be Continued......