LETTER TO HEAVEN - Chap 3 -
February 9, 2011 at 12:01pm
Chapter 3
─Kim So Eun, Seoul, 2009─
“Hari ini hasilnya keluar, ya?” Kak Han Geng menggandeng tanganku dan tersenyum seolah hasil pemeriksaannya sama sekali tidak penting.
“Kim Bum tidak berangkat bersama kita ya?” tanyaku bingung.
Mama Kak Han Geng tersenyum singkat menanggapi pertanyaanku. ”Dia ada urusan, katanya...”
”Oooh...”
”Pasien Han Geng...” panggil perawat dari ruangan dokter. Spontan kami bertiga berdiri dan masuk ke ruangan itu.
Dokter membolak-balik hasil CT scan dengan dahi berkerut. Ia memandang kami dan tersenyum mempersilakan duduk. Sementara itu, dahinya kembali berkerut saat menatap hasil pemeriksaan itu.
”Han Geng, sudah berapa lama kau merasakan sakit di kepala seperti ini?” tanya dokter pada Kak Han Geng yang duduk di sebelahku.
”Sebenarnya sudah sejak setahun yang lalu, tapi yang terasa mengganggu baru akhir-akhir ini...”
Dokter berdehem untuk kembali menelusuri hasil pemeriksaan itu. ”Kau bisa melihat benjolan di sini?” ia menunjuk ke gambar pemeriksaan yang hitam putih. Tiba-tiba rasa takut melandaku. ”Ini gambar tumor pada lobus frontal di kepalamu...”
Mulutku terasa kering saat mengulangi kata-kata dokter itu. ”Tumor?”
”Dan sayangnya, ini adalah tumor ganas. Sekarang ini, diduga perkembangannya sudah sampai ke sini, lobus oksipital. Kau merasakan gangguan penglihatan, tidak?”
”Ya,” Kak Han Geng menatap dokter dan dengan tenang bertanya. ”Apakah saya masih bisa tertolong, dokter?”
Dokter itu melepaskan kacamatanya dan meremas jarinya pelan. ”Selalu berharap pada keajaiban...” jawabnya.
Mama Kak Han Geng mulai menangis histeris di sebelahku. Bahkan suara dokter itu terdengar begitu jauh. Jauh seolah berasal dari planet lain. Bisa kurasakan jantungku berdetak cepat dan nafasku mulai memburu.
Kak Han Geng memeluk Mamanya yang menangis sesunggukan. Pelan, kuangkat wajahku, berusaha mengambil nafas sebanyak mungkin. Ini tidak benar, jerit batinku. Ketika Kak Han Geng bertemu pandang denganku, air mata langsung membuyarkan pandanganku. Ia dengan cepat menarikku dalam pelukannya.
”Tidak adil! Ini tidak adil!!” dalam pelukannya, aku terus saja menangis seperti anak kecil. ”Padahal, padahal, aku.. kita... Padahal Kakak masih sangat muda!!” Kak Han Geng memelukku erat-erat.
Air mata mengucur deras dari mataku, seolah tidak akan pernah berhenti. ”A-Aku ... aku...tidak mau Kakak mati... aku tidak mau...”
Senyuman Kak Han Geng yang sangat kusukai, dan genggaman tangannya. Apakah semua itu akan hilang? Semua itu akan diambil dariku? ”Tidak boleh! Tidak boleh!!” jeritku kehabisan nafas. Tanganku menggapai dan menariknya. Memeluknya. ”Jangan pergi Kakaaaak....”
Kak Han Geng tersenyum dan menggigit bibirnya pedih. Ia mengangkat satu tangan menutupi wajahnya, menangis tanpa suara.. Tangannya bergetar saat menghapus air mata di wajahku. ”Maaf, maafkan aku So Eun...”
Detik itu juga aku pingsan.
─Han Geng, Seoul, 2009─
”Han Geng,” berhentilah berlari...” pelatihku, memandangiku dengan mata tuanya yang ramah. Air mata membayang di sudut matanya. ”Kau jangan berlari lagi...” ujarnya tegas.
Kutatap kakiku yang terasa lemah di tempatnya. Lagi-lagi tadi aku terjatuh. Pelan-pelan, dengan tangan besarnya, pelatih itu membantuku berdiri. ”Mamamu sudah bicara banyak denganku...” ia menepuk bahuku dengan bersahabat.
”Saya minta maaf karena mengecewakan Bapak,” ujarku sambil memberikan senyum terbaikku dan menunduk hormat padanya.
Tangan tua itu memelukku dan mengusap punggungku. Matahari terbenam keemasan di horizon langit. Selamanya pemandangan ini tidak akan kulupakan. Inilah, akhir dari kehidupanku di lapangan ini.
”Sampai kapanpun, kau akan menjadi anak didikku yang terbaik, Han Geng...” ujarnya dengan suara bergetar. Pria tua itu menatapku dan berusaha tersenyum simpul. ”Ada banyak hal yang pahit dalam hidup ini. Tetapi, semua itu pasti ada maknanya...” ujarnya bijak.
Aku tersenyum dan menjabat tangannya. ”Terimakasih karena selama ini sudah begitu baik pada saya, Pak. Saya pamit dulu...”
”Han Geng!” pria itu memanggilku lagi. Matanya diliputi kecemasan, seolah kalimat itu akan menjadi kalimat terakhir dariku. ”Jaga dirimu baik-baik,” ujarnya sambil setengah berteriak. Bisa kulihat ia mengusap air matanya dengan punggung tangannya.
”Hai, lama menunggu, ya?” sapaku pada So Eun yang berdiri menungguku di pinggir lapangan. ”Kita ke ruang klub dulu, aku ketinggalan sesuatu...” ujarku sambil menarik tangannya memasuki ruangan klub.
Begitu lampu kunyalakan, tiba-tiba terdengar teriakan dari seluruh ruangan. ”SURPRISEEE!!!!” seru anak-anak klub. Mereka tertawa dan ada pula yang menangis. ”Han Geng, kau benar akan meninggalkan klub ini?”
”Ya, aku harus bolak-balik ke rumah sakit untuk terapi...” anak-anak perempuan ada yang langsung berlari keluar ruangan sambil menangis. Bahkan beberapa anak lelaki memandangku dengan mata yang berkaca-kaca.
”Ayo, sekarang biarkan Han Geng bicara!!” seru anak cowok lainnya di sudut ruangan klub. Anak-anak lain pun berkumpul sambil diam mendengarkan.
”Terima kasih...” sambil menarik nafas pelan, aku mulai bicara. ”Selama ini, aku banyak merepotkan kalian. Dan aku juga harus minta maaf kalau beberapa tindakanku mungkin kurang pantas. Tetapi, pada intinya adalah, aku senang, pernah punya kesempatan berada di sini bersama kalian...”
”Kau pasti akan sembuh. Iya kan?” salah satu temanku menepuk pundakku dengan akrab. Ia tidak bisa menyembunyikan air matanya saat memelukku. ”Jaga dirimu, Han Geng...”
So Eun menyembunyikan dirinya di sudut. Tangannya menutupi bibirnya. Aku bisa melihat air mata menetes di pipinya. Satu per satu menyalamiku dan memelukku bersahabat. “Jangan mati, Kak...” bisik So Eun di sampingku.
Ucapan itu menyentak dadaku begitu dalam. Hari ini, hatiku nyaris teriris pedih melihat betapa banyak orang menangis untukku. Dan So Eun. Bagaimana dengannya, seandainya aku tidak bisa lagi berada di sisinya nanti? Kenyataan itu menghujam dadaku begitu dalam. Menyakitkan. Kematian itu... menyakitkan.
─Kim Bum, Seoul, 2009─
Kak Han Geng bolak-balik ke rumah sakit beberapa bulan ini. Dan So Eun selalu berada di sampingnya, nyaris setiap kali ada waktu luang, ia akan datang dan menemani Kak Han Geng.
”Hai, selamat sore,” sapaku sambil memamerkan senyum terbaikku. Kakakku menatapku senang dari atas ranjang.
Tenggorokanku terasa kering melihat kondisi tubuhnya menurun begitu drastis. Dan kini, ia terlihat kurus dan pucat, nyaris transparan. Tuhan, sampai kapan ia akan menderita? Rasanya tiba-tiba mataku terasa panas.
:”So Eun dimana, Kak?” tanyaku sambil meletakkan keranjang buah yang kubawa ke atas meja.
”Dia... di bawah...” jawab Kakakku dengan suara serak.
”Aku mencarinya dulu...” sahutku sambil tersenyum kering. Tenggorokanku selalu sakit melihat betapa sulit ia bicara akhir-akhir ini. Menurut dokter, kemungkinan gangguan bicara bisa terjadi kalau kankernya sudah merambat ke lobus parietal.
Secepat kilat aku berjalan ke atap rumah sakit dan berteriak di sana. Sekuat tenaga. ”KENAPA!? KENAPA HARUS KAKAKKU!?” protesku pada Tuhan. Tetapi, Ia tidak menjawabku. Bibirku bergetar saat air mata mulai tumpah dari mataku.
”Kata Kak Han Geng, kau mencariku...” ucapan So Eun terputus saat ia melihatku menangis. ”Kau pulang saja, Kim Bum...”
”Kau tidak melihatnya?!” otakku mulai terasa kalut di tempatnya. ”Aku tidak tahan melihatnya! Kau lihat bagaimana ia menjadi begitu pucat dan kurus?! Kenapa dia yang harus menderita?” amarah tanpa daya membakar dadaku, menjadikan air mata sebagai tempat pelarian emosiku yang tidak labil.
”Kau jangan membuatnya merasa tidak berdaya dengan menunjukkan wajah seperti itu sekarang...” dan secepat kilat, So Eun berlari kembali ke ruangan kakakku. Aku berjalan mengikutinya ketika tiba-tiba dari arah kamar terdengar suara benda berat yang jatuh.
Nafasku nyaris habis ketika melihat kakakku terjatuh di lantai. So Eun berlutut di depannya, memastikan tidak ada yang terluka. ”Aku hanya... mau berjalan sebentar...” ujar Kakakku dengan terbata-bata. Awalnya ia tersenyum mengejek, namun kemudian ekspresinya mengeras, digantikan rasa kecewa yang dalam.
”Kaki sialan ini! Sialan!! Kenapa... kenapa dia tidak cukup kuat... u-untuk menyangga tubuhku sekarang!? Kenapa?! Bahkan... a-aku tidak bisa berjalan lagi!!”
Dengan putus asa, Kak Han Geng menangis di bahu So Eun. So Eun memeluknya dengan senyuman menenangkan. So Eun sangat kuat. Ia bahkan tidak menunjukkan air matanya di depan kakakku. Padahal aku tahu, ia yang paling ingin menangis saat ini.
Dengan perasaan tidak berdaya, aku hanya mampu menahan sesak di dadaku dari luar kamarnya. Rasa sakit itu menusukku begitu dalam. Atlet lari yang kehilangan kakinya, terlalu ironis.
”Ng... aku minta maaf, So Eun...” ujarku padanya ketika kami berjalan pulang ke rumah dalam diam.
Ia menatapku dan tersenyum jenaka. ”Begitu lebih baik. Tapi, kau tidak seharusnya minta maaf padaku. Kakakmulah yang membutuhkan dukunganmu...”
”Kau kuat sekali, So Eun...” ujarku tanpa pikir panjang.
So Eun tersenyum dan nenatap langit dengan matanya yang besar. ”Aku terbiasa menumpahkan semuanya di kamar. Yang pasti, tidak di depannya...”
─Kim So Eun, Seoul, 2010─
“K-kau d-datang...” senyuman Kak Han Geng kembali menggores hatiku. ”T-tahun baru... sudah lewat, ya…?” Tiap hari, wajahnya semakin pucat dan kurus. Aku semakin kesulitan untuk tidak menangis akhir-akhir ini.
”Bagaimana kondisi Kakak akhir-akhir ini?” tanyaku sambil duduk di sampingnya dan menggenggam tangannya. Aku berusaha menanamkan bayangannya yang sehat dan kuat ketika jarinya yang terasa kurus menyentuh kulitku.
”Kau s-sendiri, b-bagaimana?” Tanya Kak Han Geng sambil menatapku sendu. Sekalipun wajahnya pucat dan kusut, ia tetap memiliki pandangan mata yang tajam, yang sangat kusukai.
“Kenapa Kakak malah menghawatirkan aku?” tanyaku sambil tersenyum, meletakkan tangannya di pipiku. Sekarang tangannya terasa hangat. Setetes air mata meluncur di pipiku.
Kak Han Geng menatapku dengan wajah pedih. ”B-bagaimana pun, yang d-ditinggal pasti akan...lebih menderita, ya?” tanyanya.
Kali itu pertahananku hancur. Sambil berusaha bangkit dengan susah payah, lengannya yang kurus merengkuhku. Aku terus menangis di bahunya. Bahu yang kusukai, orang yang kusukai, senyuman yang kusukai. Sekarang, bahu itu terasa begitu asing dan kurus.
”Maafkan aku, Kak... Aku seharusnya bisa lebih kuat...”
”Kau sangat tegar, So Eun...” suaranya terdengar teduh di telingaku. ”Kalau tidak ada kau, aku mungkin sudah tidak tahan lagi di sini...”
Air mataku semakin merebak kala mengingat wajahnya yang menderita setiap kali jarum-jarum ditancapkan di tubuhnya. Dan tangannya bahkan terasa begitu kecil, lebih kurus dari tanganku. Jantungku terasa luar biasa nyeri.
Sore hari, Kak Han Geng kembali muntah-muntah. ”Aku tidak ada nafsu makan...” ujarnya sambil menggeleng saat melihat nampan yang kubawakan untuknya.
”Kakak harus makan, dong...” saat itu, tiba-tiba aku ingin sekali menyentuhnya. Namun, begitu tangan kuulurkan, segumpal rambut jatuh dari kepalanya. Dengan gemetar, mataku terus mengamati rambut di tanganku.
”Efek samping dari kemoterapi...” jawabnya sambil meraih rambut itu dan melemparnya ke tong sampah. Dengan ngeri, kulihat begitu banyak rambut di sana.
”So Eun...” dengan susah payah kubalikkan tubuhku. Tanganku menutup mulutku kuat-kuat. Jangan sampai ia melihatku menangis. ”Kau menangis?”
”Maaf Kak...” saat aku berbalik, ia sedang menatapku cemas.
”J-jangan menangis, So Eun... A-aku akan... makan, t-tentu saja aku akan makan!” ujarnya terbata-bata.
Ia berusaha menelan makanannya dengan ekspresi gembira. Melihatnya, dadaku terasa semakin sakit. Rasanya ada banyak orang melempariku dengan batu sekarang.
”Makannya pelan-pelan saja, Kak...” ujarku sambil menepuk punggungnya pelan-pelan dan memberikannya segelas air. Ia terbatuk-batuk. Dan batuknya terdengar menyakitkan di telingaku.
Sudut mataku terasa panas merasakan tulang punggungnya yang menonjol di tanganku. ”Aku ke toilet sebentar, ya...” Dan untuk waktu lama, aku kesulitan menghentikan tangisku di sana. Tidak di depannya.
─Han Geng, Seoul, 2009─
Sore itu, Kim Bum datang menengokku. Mataku nyaris kabur akhir-akhir ini. Namun, tidak sulit untuk mengenali senyuman anak itu. ”Hai,” sapanya riang.
Karena akhir-akhir ini semakin sulit bicara, kuputuskan untuk tersenyum saja menanggapinya. ”Ya ampun, di bawah tadi aku bertemu banyak perawat cantik. Kau beruntung sekali,” decaknya iri.
Aku tersenyum. ”Kim Bum...” aku harus mengatakannya sekarang juga. ”K-kau... menyukai... So Eun... bu-kan?”
Ekspresi wajahnya berubah keras mendengar pertanyaanku. ”Ah, semua orang juga menyukainya,” elaknya. Tetapi ia lantas terdiam ketika melihat ekspresi wajahku yang serius.
”Ka-kalau aku nanti... tidak ada... t-tolong... j-jaga dia...” Kim Bum langsung menangkap tanganku yang berusaha menggapai tangannya.
”Kau yang harus menjaganya,” tukasnya dengan ekspresi keras dan tegang. ”Dan berhentilah bicara soal mati. Kau menderita?! Mama juga! Aku juga! Aku juga menderita! Aku tidak mau melihatmu seperti ini!”
Kim Bum menatapku dengan air mata menggenang. ”Jangan begini... Jangan menyerah Kak... So Eun tidak menyerah, jadi, Kakak juga jangan menyerah...” ia menangkap tanganku dan menunduk. Bahunya berguncang-guncang saat air matanya jatuh ke sprei ranjangku.
Air mata mengalir dari sudut mataku. Panas. Aku tidak ingin menyerah, tentu saja. Aku mencintai So Eun, dan aku ingin selalu bersamanya. Tetapi, sampai kapan? Dan... bagaimana?
─Kim Bum, Seoul, 2009─
Langit keemasan senja itu. Sepulang sekolah, seperti biasanya aku datang untuk menjenguknya. Lamat-lamat terdengar suara dari dalam ruangannya. Kuurungkan niatku sejenak untuk masuk.
”K-kalau aku m-mati, k-kau tidak boleh... menangis...” suara Kakakku yang terbata-bata terasa menggores dadaku.
Mereka berdua duduk berdampingan, bersama-sama menatap senja. So Eun terdiam dan menyenderkan kepala di bahu Kak Han Geng. ”Apakah, Kakak akan selamanya bersamaku?”
”M-maaf... So Eun…” suara Kakakku terdengar terluka. Tetapi, tangannya kemudian terjulur lemah ke arah langit. ”M-mungkin, h-hanya bisa mengawasimu... dari sana...”
So Eun tertawa kecil dan mengangguk. Ia memeluk Kakakku yang telah kehilangan tenaganya. ”Berarti, aku harus menulis surat ke Kakak setiap hari. Mungkin karena jauh, suaraku tidak terdengar. Surat lebih efektif...”
”Y-ya, surat...” tiba-tiba suara Kakakku terdengar lebih bertenaga. ”K-kau tahu,,, So Eun?”
”Hm? Tahu apa?” So Eun menatap Kakakku dan tersenyum.
”Aku... mencintaimu...”
─Kim So Eun, Seoul, 2010─
“Ada apa?!” kepanikan jelas-jelas melandaku saat tempat tidur Kak Han Geng dilarikan perawat ke ruangan UGD. “Kenapa dengannya!?”
Dokter masuk secepat kilat. Kim Bum datang dan bertanya dengan matanya. Dengan bingung, aku menggeleng tidak mengerti. Mamanya datang beberapa saat kemudian, ditemani Papanya.
Begitu dokter keluar, kami langsung menyerbunya. ”Maaf, tidak banyak yang bisa kami lakukan...” ujar dokter itu. ”Mungkin ada yang ingin ia sampaikan pada kalian... Silahkan...”
Dengan langkah bergetar, aku masuk ke ruangan itu. bahkan kakiku sendiri tidak terasa pada tempatnya. Di sana, dengan nafas satu-satu, ia terbaring menatap kami. Wajahnya terlihat tenang dan pucat.
”Kakak...” suaraku nyaris tidak terdengar saat meraih tangannya dan menempelkannya di pipiku.
”P-papa, Mama” suaranya terdengar seperti bisikan kecil. Kami semua mendekat dan mengerumuninya.
”A-aku, m-mungkin bukan anak yang baik, t-tapi... aku beruntung m-menjadi... anak kalian...” air mata menetes dari sudut matanya.
Mama dan Papanya mengangguk dan mengusap tangannya lembut. Dadaku terasa berat dan semakin berat saat pandangan matanya semakin menerawang jauh.
”Kim Bum... jangan lupa, k-kau... berjanji p-padaku...” Kim Bum menggenggam tangan kakaknya dan mengangguk keras.
”Pasti... Aku... akan memenuhi janjiku...”
”So... So Eun...” dengan susah payah ia menarik nafas berulang kali dan mengucapkan namaku.
”Ya? Ada apa, Kak?”
”Aku m-menunggu surat...mu...” dan begitu saja, tangannya terkulai lemas, lepas dari genggamanku.
”So Eun!” Kim Bum menahan pundakku agar tidak jatuh. Dengan gemetar aku menggunakan tangan Kim Bum untuk bangkit berdiri. ”Tidak... mungkin... kan?” tanyaku padanya dengan gugup, lalu menatap wajah Kak Han Geng sekali lagi.
Ia terlihat begitu tenang. Sekalipun wajahnya pucat, ia seolah hanya tertidur di sana. ”Kakak...?” bibirku bergetar tiada henti saat tanganku mengusap wajahnya yang dingin. ”Kenapa... dingin sekali...?”
Air mataku menetes-netes ke seprai putihnya. ”Bangun…lah… Kak…” suaraku terdengar seperti desahan putus asa.
“Sudahlah, So Eun…” Mamanya Kak Han Geng memelukku dari belakang, berusaha menenangkanku. “Sudahlah…”ia menangis putus asa di sampingku.
“Tidak bisa begini… bukalah... matamu Kak... aku masih ingin… melihatmu tersenyum, menggandengku, menciumku, berjalan bersamaku…”
Suaraku semakin hilang ditimpa tangisan patah-patah dari dadaku. Nafasku naik turun dengan berat. “Kak Han Geng… Kak Han Geng… jangan pergi…”
─Kim So Eun, Seoul, 2011─
-----------------------------------------------------------------------------------
Untuk Kak Han Geng,
Beberapa hari lalu Kim Bum menyatakan perasaannya padaku, dan kuputuskan uintuk menerimanya. Aku tahu, kakak menyuruhnya untuk menjagaku, dan aku sangat berterima kasih untuk itu.
Setelah Kakak meninggal, ia tidak pernah pergi dari sisiku. Dan setiap kali sedih, ia datang menghiburku. Mungkin aneh kalau kukatakan aku mulai menyukainya. Tetapi, kuharap ia juga merasakan perasaan yang sama padaku, bukan sekedar simpati.
Kuharap Kakak tidak marah kalau kukatakan aku mulai menyukainya. Selamanya, Kakak akan selalu memiliki tempat istimewa di hatiku. Selalu dan selamanya.
PS: Hari ini langitnya cerah. Kurasa, Kakak sedang berlari dengan wajah gembira saat ini. Bisa kubayangkan betapa luasnya lapangan atletik di langit sana! Dan aku, akan menghargai setiap detik hidupku, sampai saatnya aku menyusul Kakak di sana.
Salam bahagia,
Kim So Eun
--------------------------------------------------------------------------------
FIN
─Kim So Eun, Seoul, 2009─
“Hari ini hasilnya keluar, ya?” Kak Han Geng menggandeng tanganku dan tersenyum seolah hasil pemeriksaannya sama sekali tidak penting.
“Kim Bum tidak berangkat bersama kita ya?” tanyaku bingung.
Mama Kak Han Geng tersenyum singkat menanggapi pertanyaanku. ”Dia ada urusan, katanya...”
”Oooh...”
”Pasien Han Geng...” panggil perawat dari ruangan dokter. Spontan kami bertiga berdiri dan masuk ke ruangan itu.
Dokter membolak-balik hasil CT scan dengan dahi berkerut. Ia memandang kami dan tersenyum mempersilakan duduk. Sementara itu, dahinya kembali berkerut saat menatap hasil pemeriksaan itu.
”Han Geng, sudah berapa lama kau merasakan sakit di kepala seperti ini?” tanya dokter pada Kak Han Geng yang duduk di sebelahku.
”Sebenarnya sudah sejak setahun yang lalu, tapi yang terasa mengganggu baru akhir-akhir ini...”
Dokter berdehem untuk kembali menelusuri hasil pemeriksaan itu. ”Kau bisa melihat benjolan di sini?” ia menunjuk ke gambar pemeriksaan yang hitam putih. Tiba-tiba rasa takut melandaku. ”Ini gambar tumor pada lobus frontal di kepalamu...”
Mulutku terasa kering saat mengulangi kata-kata dokter itu. ”Tumor?”
”Dan sayangnya, ini adalah tumor ganas. Sekarang ini, diduga perkembangannya sudah sampai ke sini, lobus oksipital. Kau merasakan gangguan penglihatan, tidak?”
”Ya,” Kak Han Geng menatap dokter dan dengan tenang bertanya. ”Apakah saya masih bisa tertolong, dokter?”
Dokter itu melepaskan kacamatanya dan meremas jarinya pelan. ”Selalu berharap pada keajaiban...” jawabnya.
Mama Kak Han Geng mulai menangis histeris di sebelahku. Bahkan suara dokter itu terdengar begitu jauh. Jauh seolah berasal dari planet lain. Bisa kurasakan jantungku berdetak cepat dan nafasku mulai memburu.
Kak Han Geng memeluk Mamanya yang menangis sesunggukan. Pelan, kuangkat wajahku, berusaha mengambil nafas sebanyak mungkin. Ini tidak benar, jerit batinku. Ketika Kak Han Geng bertemu pandang denganku, air mata langsung membuyarkan pandanganku. Ia dengan cepat menarikku dalam pelukannya.
”Tidak adil! Ini tidak adil!!” dalam pelukannya, aku terus saja menangis seperti anak kecil. ”Padahal, padahal, aku.. kita... Padahal Kakak masih sangat muda!!” Kak Han Geng memelukku erat-erat.
Air mata mengucur deras dari mataku, seolah tidak akan pernah berhenti. ”A-Aku ... aku...tidak mau Kakak mati... aku tidak mau...”
Senyuman Kak Han Geng yang sangat kusukai, dan genggaman tangannya. Apakah semua itu akan hilang? Semua itu akan diambil dariku? ”Tidak boleh! Tidak boleh!!” jeritku kehabisan nafas. Tanganku menggapai dan menariknya. Memeluknya. ”Jangan pergi Kakaaaak....”
Kak Han Geng tersenyum dan menggigit bibirnya pedih. Ia mengangkat satu tangan menutupi wajahnya, menangis tanpa suara.. Tangannya bergetar saat menghapus air mata di wajahku. ”Maaf, maafkan aku So Eun...”
Detik itu juga aku pingsan.
─Han Geng, Seoul, 2009─
”Han Geng,” berhentilah berlari...” pelatihku, memandangiku dengan mata tuanya yang ramah. Air mata membayang di sudut matanya. ”Kau jangan berlari lagi...” ujarnya tegas.
Kutatap kakiku yang terasa lemah di tempatnya. Lagi-lagi tadi aku terjatuh. Pelan-pelan, dengan tangan besarnya, pelatih itu membantuku berdiri. ”Mamamu sudah bicara banyak denganku...” ia menepuk bahuku dengan bersahabat.
”Saya minta maaf karena mengecewakan Bapak,” ujarku sambil memberikan senyum terbaikku dan menunduk hormat padanya.
Tangan tua itu memelukku dan mengusap punggungku. Matahari terbenam keemasan di horizon langit. Selamanya pemandangan ini tidak akan kulupakan. Inilah, akhir dari kehidupanku di lapangan ini.
”Sampai kapanpun, kau akan menjadi anak didikku yang terbaik, Han Geng...” ujarnya dengan suara bergetar. Pria tua itu menatapku dan berusaha tersenyum simpul. ”Ada banyak hal yang pahit dalam hidup ini. Tetapi, semua itu pasti ada maknanya...” ujarnya bijak.
Aku tersenyum dan menjabat tangannya. ”Terimakasih karena selama ini sudah begitu baik pada saya, Pak. Saya pamit dulu...”
”Han Geng!” pria itu memanggilku lagi. Matanya diliputi kecemasan, seolah kalimat itu akan menjadi kalimat terakhir dariku. ”Jaga dirimu baik-baik,” ujarnya sambil setengah berteriak. Bisa kulihat ia mengusap air matanya dengan punggung tangannya.
”Hai, lama menunggu, ya?” sapaku pada So Eun yang berdiri menungguku di pinggir lapangan. ”Kita ke ruang klub dulu, aku ketinggalan sesuatu...” ujarku sambil menarik tangannya memasuki ruangan klub.
Begitu lampu kunyalakan, tiba-tiba terdengar teriakan dari seluruh ruangan. ”SURPRISEEE!!!!” seru anak-anak klub. Mereka tertawa dan ada pula yang menangis. ”Han Geng, kau benar akan meninggalkan klub ini?”
”Ya, aku harus bolak-balik ke rumah sakit untuk terapi...” anak-anak perempuan ada yang langsung berlari keluar ruangan sambil menangis. Bahkan beberapa anak lelaki memandangku dengan mata yang berkaca-kaca.
”Ayo, sekarang biarkan Han Geng bicara!!” seru anak cowok lainnya di sudut ruangan klub. Anak-anak lain pun berkumpul sambil diam mendengarkan.
”Terima kasih...” sambil menarik nafas pelan, aku mulai bicara. ”Selama ini, aku banyak merepotkan kalian. Dan aku juga harus minta maaf kalau beberapa tindakanku mungkin kurang pantas. Tetapi, pada intinya adalah, aku senang, pernah punya kesempatan berada di sini bersama kalian...”
”Kau pasti akan sembuh. Iya kan?” salah satu temanku menepuk pundakku dengan akrab. Ia tidak bisa menyembunyikan air matanya saat memelukku. ”Jaga dirimu, Han Geng...”
So Eun menyembunyikan dirinya di sudut. Tangannya menutupi bibirnya. Aku bisa melihat air mata menetes di pipinya. Satu per satu menyalamiku dan memelukku bersahabat. “Jangan mati, Kak...” bisik So Eun di sampingku.
Ucapan itu menyentak dadaku begitu dalam. Hari ini, hatiku nyaris teriris pedih melihat betapa banyak orang menangis untukku. Dan So Eun. Bagaimana dengannya, seandainya aku tidak bisa lagi berada di sisinya nanti? Kenyataan itu menghujam dadaku begitu dalam. Menyakitkan. Kematian itu... menyakitkan.
─Kim Bum, Seoul, 2009─
Kak Han Geng bolak-balik ke rumah sakit beberapa bulan ini. Dan So Eun selalu berada di sampingnya, nyaris setiap kali ada waktu luang, ia akan datang dan menemani Kak Han Geng.
”Hai, selamat sore,” sapaku sambil memamerkan senyum terbaikku. Kakakku menatapku senang dari atas ranjang.
Tenggorokanku terasa kering melihat kondisi tubuhnya menurun begitu drastis. Dan kini, ia terlihat kurus dan pucat, nyaris transparan. Tuhan, sampai kapan ia akan menderita? Rasanya tiba-tiba mataku terasa panas.
:”So Eun dimana, Kak?” tanyaku sambil meletakkan keranjang buah yang kubawa ke atas meja.
”Dia... di bawah...” jawab Kakakku dengan suara serak.
”Aku mencarinya dulu...” sahutku sambil tersenyum kering. Tenggorokanku selalu sakit melihat betapa sulit ia bicara akhir-akhir ini. Menurut dokter, kemungkinan gangguan bicara bisa terjadi kalau kankernya sudah merambat ke lobus parietal.
Secepat kilat aku berjalan ke atap rumah sakit dan berteriak di sana. Sekuat tenaga. ”KENAPA!? KENAPA HARUS KAKAKKU!?” protesku pada Tuhan. Tetapi, Ia tidak menjawabku. Bibirku bergetar saat air mata mulai tumpah dari mataku.
”Kata Kak Han Geng, kau mencariku...” ucapan So Eun terputus saat ia melihatku menangis. ”Kau pulang saja, Kim Bum...”
”Kau tidak melihatnya?!” otakku mulai terasa kalut di tempatnya. ”Aku tidak tahan melihatnya! Kau lihat bagaimana ia menjadi begitu pucat dan kurus?! Kenapa dia yang harus menderita?” amarah tanpa daya membakar dadaku, menjadikan air mata sebagai tempat pelarian emosiku yang tidak labil.
”Kau jangan membuatnya merasa tidak berdaya dengan menunjukkan wajah seperti itu sekarang...” dan secepat kilat, So Eun berlari kembali ke ruangan kakakku. Aku berjalan mengikutinya ketika tiba-tiba dari arah kamar terdengar suara benda berat yang jatuh.
Nafasku nyaris habis ketika melihat kakakku terjatuh di lantai. So Eun berlutut di depannya, memastikan tidak ada yang terluka. ”Aku hanya... mau berjalan sebentar...” ujar Kakakku dengan terbata-bata. Awalnya ia tersenyum mengejek, namun kemudian ekspresinya mengeras, digantikan rasa kecewa yang dalam.
”Kaki sialan ini! Sialan!! Kenapa... kenapa dia tidak cukup kuat... u-untuk menyangga tubuhku sekarang!? Kenapa?! Bahkan... a-aku tidak bisa berjalan lagi!!”
Dengan putus asa, Kak Han Geng menangis di bahu So Eun. So Eun memeluknya dengan senyuman menenangkan. So Eun sangat kuat. Ia bahkan tidak menunjukkan air matanya di depan kakakku. Padahal aku tahu, ia yang paling ingin menangis saat ini.
Dengan perasaan tidak berdaya, aku hanya mampu menahan sesak di dadaku dari luar kamarnya. Rasa sakit itu menusukku begitu dalam. Atlet lari yang kehilangan kakinya, terlalu ironis.
”Ng... aku minta maaf, So Eun...” ujarku padanya ketika kami berjalan pulang ke rumah dalam diam.
Ia menatapku dan tersenyum jenaka. ”Begitu lebih baik. Tapi, kau tidak seharusnya minta maaf padaku. Kakakmulah yang membutuhkan dukunganmu...”
”Kau kuat sekali, So Eun...” ujarku tanpa pikir panjang.
So Eun tersenyum dan nenatap langit dengan matanya yang besar. ”Aku terbiasa menumpahkan semuanya di kamar. Yang pasti, tidak di depannya...”
─Kim So Eun, Seoul, 2010─
“K-kau d-datang...” senyuman Kak Han Geng kembali menggores hatiku. ”T-tahun baru... sudah lewat, ya…?” Tiap hari, wajahnya semakin pucat dan kurus. Aku semakin kesulitan untuk tidak menangis akhir-akhir ini.
”Bagaimana kondisi Kakak akhir-akhir ini?” tanyaku sambil duduk di sampingnya dan menggenggam tangannya. Aku berusaha menanamkan bayangannya yang sehat dan kuat ketika jarinya yang terasa kurus menyentuh kulitku.
”Kau s-sendiri, b-bagaimana?” Tanya Kak Han Geng sambil menatapku sendu. Sekalipun wajahnya pucat dan kusut, ia tetap memiliki pandangan mata yang tajam, yang sangat kusukai.
“Kenapa Kakak malah menghawatirkan aku?” tanyaku sambil tersenyum, meletakkan tangannya di pipiku. Sekarang tangannya terasa hangat. Setetes air mata meluncur di pipiku.
Kak Han Geng menatapku dengan wajah pedih. ”B-bagaimana pun, yang d-ditinggal pasti akan...lebih menderita, ya?” tanyanya.
Kali itu pertahananku hancur. Sambil berusaha bangkit dengan susah payah, lengannya yang kurus merengkuhku. Aku terus menangis di bahunya. Bahu yang kusukai, orang yang kusukai, senyuman yang kusukai. Sekarang, bahu itu terasa begitu asing dan kurus.
”Maafkan aku, Kak... Aku seharusnya bisa lebih kuat...”
”Kau sangat tegar, So Eun...” suaranya terdengar teduh di telingaku. ”Kalau tidak ada kau, aku mungkin sudah tidak tahan lagi di sini...”
Air mataku semakin merebak kala mengingat wajahnya yang menderita setiap kali jarum-jarum ditancapkan di tubuhnya. Dan tangannya bahkan terasa begitu kecil, lebih kurus dari tanganku. Jantungku terasa luar biasa nyeri.
Sore hari, Kak Han Geng kembali muntah-muntah. ”Aku tidak ada nafsu makan...” ujarnya sambil menggeleng saat melihat nampan yang kubawakan untuknya.
”Kakak harus makan, dong...” saat itu, tiba-tiba aku ingin sekali menyentuhnya. Namun, begitu tangan kuulurkan, segumpal rambut jatuh dari kepalanya. Dengan gemetar, mataku terus mengamati rambut di tanganku.
”Efek samping dari kemoterapi...” jawabnya sambil meraih rambut itu dan melemparnya ke tong sampah. Dengan ngeri, kulihat begitu banyak rambut di sana.
”So Eun...” dengan susah payah kubalikkan tubuhku. Tanganku menutup mulutku kuat-kuat. Jangan sampai ia melihatku menangis. ”Kau menangis?”
”Maaf Kak...” saat aku berbalik, ia sedang menatapku cemas.
”J-jangan menangis, So Eun... A-aku akan... makan, t-tentu saja aku akan makan!” ujarnya terbata-bata.
Ia berusaha menelan makanannya dengan ekspresi gembira. Melihatnya, dadaku terasa semakin sakit. Rasanya ada banyak orang melempariku dengan batu sekarang.
”Makannya pelan-pelan saja, Kak...” ujarku sambil menepuk punggungnya pelan-pelan dan memberikannya segelas air. Ia terbatuk-batuk. Dan batuknya terdengar menyakitkan di telingaku.
Sudut mataku terasa panas merasakan tulang punggungnya yang menonjol di tanganku. ”Aku ke toilet sebentar, ya...” Dan untuk waktu lama, aku kesulitan menghentikan tangisku di sana. Tidak di depannya.
─Han Geng, Seoul, 2009─
Sore itu, Kim Bum datang menengokku. Mataku nyaris kabur akhir-akhir ini. Namun, tidak sulit untuk mengenali senyuman anak itu. ”Hai,” sapanya riang.
Karena akhir-akhir ini semakin sulit bicara, kuputuskan untuk tersenyum saja menanggapinya. ”Ya ampun, di bawah tadi aku bertemu banyak perawat cantik. Kau beruntung sekali,” decaknya iri.
Aku tersenyum. ”Kim Bum...” aku harus mengatakannya sekarang juga. ”K-kau... menyukai... So Eun... bu-kan?”
Ekspresi wajahnya berubah keras mendengar pertanyaanku. ”Ah, semua orang juga menyukainya,” elaknya. Tetapi ia lantas terdiam ketika melihat ekspresi wajahku yang serius.
”Ka-kalau aku nanti... tidak ada... t-tolong... j-jaga dia...” Kim Bum langsung menangkap tanganku yang berusaha menggapai tangannya.
”Kau yang harus menjaganya,” tukasnya dengan ekspresi keras dan tegang. ”Dan berhentilah bicara soal mati. Kau menderita?! Mama juga! Aku juga! Aku juga menderita! Aku tidak mau melihatmu seperti ini!”
Kim Bum menatapku dengan air mata menggenang. ”Jangan begini... Jangan menyerah Kak... So Eun tidak menyerah, jadi, Kakak juga jangan menyerah...” ia menangkap tanganku dan menunduk. Bahunya berguncang-guncang saat air matanya jatuh ke sprei ranjangku.
Air mata mengalir dari sudut mataku. Panas. Aku tidak ingin menyerah, tentu saja. Aku mencintai So Eun, dan aku ingin selalu bersamanya. Tetapi, sampai kapan? Dan... bagaimana?
─Kim Bum, Seoul, 2009─
Langit keemasan senja itu. Sepulang sekolah, seperti biasanya aku datang untuk menjenguknya. Lamat-lamat terdengar suara dari dalam ruangannya. Kuurungkan niatku sejenak untuk masuk.
”K-kalau aku m-mati, k-kau tidak boleh... menangis...” suara Kakakku yang terbata-bata terasa menggores dadaku.
Mereka berdua duduk berdampingan, bersama-sama menatap senja. So Eun terdiam dan menyenderkan kepala di bahu Kak Han Geng. ”Apakah, Kakak akan selamanya bersamaku?”
”M-maaf... So Eun…” suara Kakakku terdengar terluka. Tetapi, tangannya kemudian terjulur lemah ke arah langit. ”M-mungkin, h-hanya bisa mengawasimu... dari sana...”
So Eun tertawa kecil dan mengangguk. Ia memeluk Kakakku yang telah kehilangan tenaganya. ”Berarti, aku harus menulis surat ke Kakak setiap hari. Mungkin karena jauh, suaraku tidak terdengar. Surat lebih efektif...”
”Y-ya, surat...” tiba-tiba suara Kakakku terdengar lebih bertenaga. ”K-kau tahu,,, So Eun?”
”Hm? Tahu apa?” So Eun menatap Kakakku dan tersenyum.
”Aku... mencintaimu...”
─Kim So Eun, Seoul, 2010─
“Ada apa?!” kepanikan jelas-jelas melandaku saat tempat tidur Kak Han Geng dilarikan perawat ke ruangan UGD. “Kenapa dengannya!?”
Dokter masuk secepat kilat. Kim Bum datang dan bertanya dengan matanya. Dengan bingung, aku menggeleng tidak mengerti. Mamanya datang beberapa saat kemudian, ditemani Papanya.
Begitu dokter keluar, kami langsung menyerbunya. ”Maaf, tidak banyak yang bisa kami lakukan...” ujar dokter itu. ”Mungkin ada yang ingin ia sampaikan pada kalian... Silahkan...”
Dengan langkah bergetar, aku masuk ke ruangan itu. bahkan kakiku sendiri tidak terasa pada tempatnya. Di sana, dengan nafas satu-satu, ia terbaring menatap kami. Wajahnya terlihat tenang dan pucat.
”Kakak...” suaraku nyaris tidak terdengar saat meraih tangannya dan menempelkannya di pipiku.
”P-papa, Mama” suaranya terdengar seperti bisikan kecil. Kami semua mendekat dan mengerumuninya.
”A-aku, m-mungkin bukan anak yang baik, t-tapi... aku beruntung m-menjadi... anak kalian...” air mata menetes dari sudut matanya.
Mama dan Papanya mengangguk dan mengusap tangannya lembut. Dadaku terasa berat dan semakin berat saat pandangan matanya semakin menerawang jauh.
”Kim Bum... jangan lupa, k-kau... berjanji p-padaku...” Kim Bum menggenggam tangan kakaknya dan mengangguk keras.
”Pasti... Aku... akan memenuhi janjiku...”
”So... So Eun...” dengan susah payah ia menarik nafas berulang kali dan mengucapkan namaku.
”Ya? Ada apa, Kak?”
”Aku m-menunggu surat...mu...” dan begitu saja, tangannya terkulai lemas, lepas dari genggamanku.
”So Eun!” Kim Bum menahan pundakku agar tidak jatuh. Dengan gemetar aku menggunakan tangan Kim Bum untuk bangkit berdiri. ”Tidak... mungkin... kan?” tanyaku padanya dengan gugup, lalu menatap wajah Kak Han Geng sekali lagi.
Ia terlihat begitu tenang. Sekalipun wajahnya pucat, ia seolah hanya tertidur di sana. ”Kakak...?” bibirku bergetar tiada henti saat tanganku mengusap wajahnya yang dingin. ”Kenapa... dingin sekali...?”
Air mataku menetes-netes ke seprai putihnya. ”Bangun…lah… Kak…” suaraku terdengar seperti desahan putus asa.
“Sudahlah, So Eun…” Mamanya Kak Han Geng memelukku dari belakang, berusaha menenangkanku. “Sudahlah…”ia menangis putus asa di sampingku.
“Tidak bisa begini… bukalah... matamu Kak... aku masih ingin… melihatmu tersenyum, menggandengku, menciumku, berjalan bersamaku…”
Suaraku semakin hilang ditimpa tangisan patah-patah dari dadaku. Nafasku naik turun dengan berat. “Kak Han Geng… Kak Han Geng… jangan pergi…”
─Kim So Eun, Seoul, 2011─
-----------------------------------------------------------------------------------
Untuk Kak Han Geng,
Beberapa hari lalu Kim Bum menyatakan perasaannya padaku, dan kuputuskan uintuk menerimanya. Aku tahu, kakak menyuruhnya untuk menjagaku, dan aku sangat berterima kasih untuk itu.
Setelah Kakak meninggal, ia tidak pernah pergi dari sisiku. Dan setiap kali sedih, ia datang menghiburku. Mungkin aneh kalau kukatakan aku mulai menyukainya. Tetapi, kuharap ia juga merasakan perasaan yang sama padaku, bukan sekedar simpati.
Kuharap Kakak tidak marah kalau kukatakan aku mulai menyukainya. Selamanya, Kakak akan selalu memiliki tempat istimewa di hatiku. Selalu dan selamanya.
PS: Hari ini langitnya cerah. Kurasa, Kakak sedang berlari dengan wajah gembira saat ini. Bisa kubayangkan betapa luasnya lapangan atletik di langit sana! Dan aku, akan menghargai setiap detik hidupku, sampai saatnya aku menyusul Kakak di sana.
Salam bahagia,
Kim So Eun
--------------------------------------------------------------------------------
FIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar