TRY MY LOVE 4
March 30, 2011 at 4:27pm
TRY MY LOVE
Chapter 4
Cast:
Author(Jesica) as Park Jae Shi
Han Geng as himself
Wei Li Zhi as herself
Ji Ro Wang
Dennies Oh
Kim Ri Na
Park Dae Jia (admin Park) as herself
Choi Shi Won
Dong Hae
Kang Hea In (Mila) as herself
--Wei Li Zhi, Café near Bei Jing Raffles Hotel, 2009--
“Jadi, bagaimana kau bisa mengenal Shi Won? Dia sangat keren!!” puji Jae Shi dengan kagum.
Sementara para pria asyik mendiskusikan konser dan pekerjaan mereka; kami para wanita menikmati waktu santai yang menyenangkan. Apalagi yang lebih seru selain mengobrol dan ditemani beragam kue manis dan teh panas yang lezat di kafe yang dekat dengan hotel.
“Tidak sedikit yang iri denganku,” ujar Dae Jia sambil memainkan rambutnya, jelas tampak bangga dengan kekasih tampannya. “Asal kalian tahu, dia sangat posesif…”
“Bukankah rasanya sangat romantis?” ujarku, menggigit kueku. Hm… enaknya, manisnya pas sekali.
“Kalau untuk tipe pria idaman, mungkin lebih tepat memilih Dong Hae,” ujar Dae Jia sambil melemparkan pandangan jahil ke arah Hea In yang sedari tadi hanya diam.
“Bisa saja, tapi ya, dia memang manis. Kalau aku marah, selalu saja dia yang mengalah…”
Ucapan Hea In dengan segera disambut suara ‘ooohhh…’ dan ‘wwooooowww…’ dari gadis lainnya. Sementara itu, kulirik Jae Shi yang tiba-tiba sudah membisu. Ia kerap mengatakan betapa dewasanya Kak Dennies yang disukainya. Mungkin, pria itu juga sering mengalah dulu. Hah… satu lagi kenangan tentang pria itu.
“Bagaimana dengan Jae Shi dan Li Zhi?” tukas Dae Jia tiba-tiba. “Kan nggak seru kalau dari tadi hanya kami yang bicara…”
“Oh… aku dan Ji Ro berkenalan dari sebuah konser. Dan hal itu berlanjut sampai sekarang…”
Para gadis mulai merapat dan memandangku iri. “Kalian sudah pacaran berapa lama?” begitu kuulurkan jari dan kusebutkan dua tahun, mereka langsung bersorak kagum. “Sepertinya kalian sama sekali tidak ada masalah?”
“Masalah sih pasti ada, tapi kami selalu saja bisa melewatinya dengan baik…”
“Ahhh… iri sekali… kalau saja aku dan Shi Won bisa bicara dengan tenang seperti kalian. Tanpa perlu bersikap posesif.. Eh, tapi kalau begitu hubungan kami mungkin jadi tidak seseru ini…” ia tertawa malu ketika yang lainnya mengomentarinya dengan sorakan, “Huuuu….”
“Bagaimana denganmu, Jae Shi?” tanya Hea In penasaran.
“Eh, aku…? Ng… tidak begitu istimewa…”
Astaga, astaga, ini berbahaya. Pikirku dalam hati. Wajah Jae Shi kembali mendung ketika memikirkan masa lalunya. Atau mungkin bukan—pikirku, ketika sesosok pria dan seorang gadis berjalan melewati jendela, dan secara tidak sengaja bertatapan dengan Jae Shi.
“Kak Dennies?” seruku kaget, nyaris berbarengan dengan Jae Shi.
Tentu saja aku tidak mengenal pria itu. Namun, aku pernah melihatnya sekali. Dan dari reaksi kaget Jae Shi, aku tahu, tebakanku tidak salah.
--Park Jae Shi, Café near Bei Jing Raffles Hotel, 2009—
“Kak Dennies?” seruku kaget, nyaris berbarengan dengan Li Zhi.
Para gadis bergantian menatapku dan pria yang ada di depan kaca. O-ow… mungkin ini terlalu tiba-tiba. Maksudku, aku tidak siap.
“Li Zhi, aku mau kembali ke rumahmu… Maksudku, ke hotel..” ujarku, menyambar tasku.
“Tunggu, aku ikut…” ujar Li Zhi, ikut panik melihatku.
“Kalian mau kemana?” tanya Hea In dan Dae Jia dengan bingung.
“Ke suatu tempa…” sebelum ucapanku selesai, sebuah tangan sudah mencengkeram pergelangan tanganku keras. “Aw…”
“Kenapa kau di sini?” tanya Kak Dennies dingin. Ia menatapku lama sampai jantungku terasa sakit.
“Tidak ada urusannya denganmu,” jawabku, berusaha wajar, namun kalimatku malah terdengar pedas dan defensif.
“Kau tidak datang untuk menemuiku?” tanyanya, jelas tampak terluka.
Kubalas pandangannya dengan rasa bimbang memenuhi dadaku. Ia tidak menyukaiku. Ia mencampakkanku. Dan seharusnya, ia tidak senang melihatku, bukankah demikian yang seharusnya terjadi? Lantas, kenapa wajahnya menunjukkan aku masih punya arti di matanya?
“Kakak berharap aku datang untuk tersenyum, menyalami Kakak dan Ri Na, mengucapkan selamat dan semoga berbahagia? Memangnya aku sebodoh itu?”
“Aku… tidak…” ia menatapku canggung, lalu menatap Li Zhi, Dae Jia, Hea In, dan tamu lainnya yang asyik menonton kami. “Kita bicara di tempat lain…” ujarnya.
“Tidak, lepaskan saja aku..” ujarku.
Pelan-pelan, hitungan mundur berkumandang di otakku. Lima empat… tiga… berapa lama lagi sampai air mataku akan jatuh?
“Jae Shi, ayolah, aku ingin menjelaskan semuanya…” ia menarikku lagi. “Tetapi, tidak di sini…” setengah memaksa, ia menarikku keluar café itu.
“Lepaskan aku,” pintaku, nyaris kesulitan bernafas. Sulit sekali menahan air mata ini.
“Dennies!!” suara yang lain memanggilnya dengan lembut dan manja. Suara yang kukenal, dan kali ini aku benci sekali mendengarnya.
Ri Na!!
Dengan kalut, kubalikkan wajahku. Bisa kulihat gadis itu semakin bertambah cantik dari terakhir kali aku melihatnya. Ia bergelayut manja di lengan pria yang sampai detik ini pun masih saja melukaiku.
“Kau menghilang begitu saja…” gerutunya manja.
Hentikan!
“Dan aku nyaris saja bosan menunggumu sendirian…”
“Hentikan! Sudah cukup!”
“Ri Na… aku sedang bicara dengan Jae Shi…” ujar Kak Dennies tenang. Ia masih memegang tanganku erat-erat.
“Jae Shi?” bisa kurasakan tusukan perasaan tidak suka saat ia menyebut namaku.
Ya, memang ini aku, pikirku kesal.
“Kau Jae Shi?” tanya Ri Na tidak yakin. “Astaga, apa kau mengejar Dennies sampai ke China? Astaga, bukankah itu sangat kekanak-kanakkan dan menggagu?”
Mengejar?
Kekanak-kanakkan dan mengganggu?
Perasaan kesal, marah, dan sedih bergumul di dadaku. Li Zhi memandangku khawatir dari kejauhan. Tidak, tidak. Ini bukan diriku. Jadi, dengan berusaha mempertahankan harga diriku yang tersisa, kuangkat wajahku dan memandangnya tajam.
“Setidaknya aku tidak seperti seekor serigala yang mencoba mencuri domba yang bukan miliknya,” sahutku sambil memandangnya.
“Kau?! Apa maksudmu?” tanyanya marah.
“Kau seharusnya bisa menilai dirimu sendiri…” balasku, masih merasakan amarah berkobar di dadaku. Cukup sudah. Aku tidak mau menghormati gadis ini lagi.
“Jae Shi…” ia mencoba membujukku, namun akhirnya menyerah.
“Sekarang, bisa kakak lepaskan aku?” tanyaku sambil mencoba tersenyum. Sewajar mungkin, tanpa menembus pertahanan terakhirku.
Begitu tangan Kak Dennies merenggang, sebuah tangan yang besar menangkup mataku, tepat saat air mataku hampir saja jatuh. Dan tangan yang lainnya memutar badanku sehingga posisiku membelakangi Kak Dennies dan Ri Na.
“Aku mencarimu kemana-mana…” ujar Han Geng sambil menatapku lembut. Ia memandang iba pada air mata yang masih menetes di pipiku, sesuatu yang sebenarnya sangat memalukan. Tapi, kalau disuruh memilih, aku lebih tidak mau wanita itu melihatku kalah dan menangis.
“Kau mencariku?” tanyaku, merasa linglung dan tidak yakin. Di seberang, bisa kulihat sudah ada beberapa pria yang datang menjemput gadis mereka. Astaga, ini sangat memalukan.
“Ya, ayo, kuantar ke rumah…”
“Siapa kau?” tanya Kak Dennies dengan suara yang terdengar aneh.
“Aku Han Geng..” jawab Han Geng enteng. Tangannya yang satu diletakkan di bahuku.
“Kau siapanya Jae Shi?” tanya Kak Dennies lagi.
“Bukan urusanmu,” sahut cowok itu lagi. Ia masih tersenyum lembut dan mencoba menguatkanku. Bisa kurasakan tangannya yang meremas tanganku terasa hangat.
“Jae Shi! Katakan, ini tidak benar…” ujar Kak Dennies lagi.
“Karena inikah kau tidak lagi mengirimi kabar padaku?” Suaranya terdengar marah dan kecewa sekarang.
Astaga, mau apa cowok ini, pikirku bingung. Kenapa begini? Memangnya siapa yang lebih dulu berhenti mengirimiku email?
“Kau bersama gadis itu, dia bersamaku,” tukas Han Geng, menggantikanku menjawab.
“Jae Shi,” Kak Dennies maju beberapa langkah, menarik bahuku agar menatapnya. “Jelaskan padaku…”
“Dennies, kita masih ada kuliah jam tiga…” seru Ri Na mengingatkan.
“Jae Shi, temui aku lagi. Di sini, besok, jam yang sama. Bisa?”
--Wei Li Zhi, Bei Jing, Wei’s house, 2009--
“Jadi, apa jawabanmu?”
Kulihat Jae Shi kembali mengangkat bahunya. Ia jadi agak kacau sejak bertemu dengan cowok itu lagi. Aduh….
Sekarang posisiku menjadi ikut sulit. Dae Jia dan Hea In berebutan menanyakan padaku siapa cowok tampan yang kami temui tadi. Dan apa perannya dalam hidup Jae Shi. Tanpa otorisasi dari Jae Shi, tidak mungkin aku sembarangan menceritakannya. Jadi, sampai sekarang, yang bisa kuucapkan hanyalah, ‘dia si pria yang bodoh karena menyia-nyiakan sahabatku.’
“Tapi Han Geng memang menaruh minat padamu. Begitu rombongan para pria datang, ia langsung menanyakanmu. Tidak perlu sebenarnya, karena kami memang masih menonton kalian. Dan begitu saja, kulihat ia sudah menarikmu berbalik menatapnya…”
“Yah… dia memang baik…”
“Sangat baik,” ujarku memaksa.
“Oke, sangat-sangat baik. Dia datang tepat sebelum aku menangis. Pasti akan sangat memalukan kalau wanita itu melihatku menangis…”
“Kurasa kau sangat keren waktu mengangkat wajahmu dan berbalik membalasnya. Seperti di film. Dia memang salah dan harus dihukum!”
“Tapi, aku tidak yakin dengan apa yang sebenarnya terjadi. Kalau Kak Dennies memang mencampakkanku, kenapa ia harus kecewa aku datang tidak untuk menemuinya? Dan kenapa ia harus menanyakan dan meminta penjelasanku tentang Han Geng?”
“Jadi, maksudmu ada yang aneh di balik ini semua?”
“Tapi, aku juga masih tidak yakin. Mungkin aku terlalu berlebihan…”
“Kalau melihat cara wanita itu bergelayut di lengan Kak Dennies, bisa kuduga kalau mereka memang sudah sangat dekat…”
“Dan dia mengatakan kalau aku yang berhenti mengiriminya email…”
“Aneh sekali…” pikirku bingung. “Kalau memang ada salah paham di antara kalian, kurasa memang karena wanita itu…”
Sebuah ketukan membuyarkan obrolan kami. Mamaku. “Li Zhi, Jae Shi, ada tamu di luar… katanya mencarimu…”
Pelan-pelan, aku dan Jae Shi beranjak turun dari ranjang dan berjalan ke koridor dan menuju ruang tamu. Di sana, sebuah sosok yang familiar duduk menunggu kami.
“Aku menunggu dari tadi…. Aku ingin menemui kalian…”
“Untuk apa kau datang kemari?” tanya Jae Shi sengit.
“Dari mana kau tahu rumahku?” tanyaku kesal.
-to be continued-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar