try my love 19
July 11, 2011 at 8:04am
TRY MY LOVE
Chapter 19
Cast:
Author (Jesica) as Park Jae Shi
Han Geng as himself
Wei Li Zhi as herself
Ji Ro Wang
Kim Ri Na
―Park Jae Shi, Park’s House, 2010―
“Kudengar Han Geng sudah pulang ke China…” ujar Kak Dennies sore itu. Tidak biasanya ia bertandang ke rumahku pada sore hari. Bahkan raut wajahnya terlihat berbeda dari biasanya.
“Ya, ada masalah kontrak dengan manajemennya…” jawabku seadanya. Kami duduk di teras rumah, meminum secangkir teh. Rasanya seperti kembali ke masa lalu.
“Kuharap bukan karena aku...” ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Bukan kok,” sahutku, merasa tidak enak melihat caranya memandangku.
“Aku akan kembali ke China, Jae Shi. Liburanku sudah hampir habis…” ia meneguk tehnya perlahan. “Aku akan merindukanmu…”
“Aku juga…” Sebagai kakak. “Kakak harus jadi koki nomor satu nantinya,” sambungku dengan nada bersemangat.
“Sebagai Kakak, bukan?” tanyanya sambil memandangku dalam-dalam. Aku mengangguk. Pelan, ia berujar, “Aku juga mau minta maaf untuk kelakuanku…”
“Minta maaf?”
“Kurasa aku akhir-akhir ini terlalu… kekanak-kanakan…” ia menghembuskan nafas kuat-kuat dari rahangnya. “Kurasa aku yang salah. Aku memaksakan perasaanku padamu. Seharusnya tidak begitu. Kalau aku memang mencintaimu, aku tidak boleh egois…”
“Kak Dennies…”
“Kurasa aku jadi tidak mengenal diriku sendiri…” ia menutup wajahnya dengan tangan yang tertangkup. “Aku tidak mengerti kenapa aku bisa berubah begini buruk. Kurasa, ini bukan aku yang sebenarnya. Karena itu, aku minta maaf…”
“Aku tahu kok,” senyumku. “Kak Dennies memang selalu begitu. Kau sangat baik, memperhatikanku. Dan sampai kapan pun, sekalipun bukan sebagai kekasih, Kakak selalu punya tempat yang isitmewa di hatiku…”
Kak Dennies tersenyum memandangku. “Kurasa aku lupa mengatakan satu hal…” ia menatapku tajam ketika mengucapkannya. “Walaupun menyesali situasinya saat itu, aku tidak pernah menyesal telah menciummu. Walaupun caraku salah, aku benar-benar menyayangimu, Jae Shi…”
“Ehm… ya… aku tahu itu, terima kasih sudah menyayangiku…” ujarku sambil tersenyum canggung.
“Aku akan mendewasakan diriku lagi. Tadinya, kukira aku sudah lebih mampu menghadapimu, lebih dewasa dan lebih mampu melindungimu. Nyatanya belum bisa…” ia tertawa hambar.
“Kakak sudah melindungiku loh, ingat tidak?” ia menatapku bingung ketika kutambahkan. “Itu loh, yang hampir jatuh dari bus itu. Sampai sekarang aku belum bilang terima kasih, maaf ya Kak, aku baru bilang sekarang. Waktu itu memang situasinya mengesalkan…”
“Hahahaha…” ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Setidaknya ada sekali, ya?”
“Dan belum termasuk masa-masa sebelum Kakak ke China. Banyak hal yang menyenangkan dulu…”
“Sekarang tidak lagi, ya?” ia tersenyum kaku. “Aku merusak semuanya…”
“Tidak juga, kok. Setidaknya, semua pengalaman dengan Kak Dennies membantuku lebih mengenali diriku sendiri dan Han Geng. Kalau aku tidak bisa melewati semua itu dengannya, berarti hubungan kami memang rapuh…”
“Kata-katamu membuatku merasa seperti sudah melakukan kebaikan saja…” kata Kak Dennies sambil setengah tertawa. “Kau betul-betul menyukainya, ya?”
“Ya…”
“Kalau begitu, aku akan mendoakan kalian…” katanya sungguh-sungguh. Pandangan matanya terlihat tulus.
“Terima kasih, aku juga akan mendoakan Kak Dennies…” sahutku, tersenyum. “Kuharap, Kakak bisa menemukan wanita yang tepat… yang lebih baik dariku…”
“Ya…” ia berdiri dan melebarkan tangannya. “Kau tidak perlu mengantarku ke bandara besok…” ujarnya sambil tersenyum. Senyum yang sangat kusukai.
“Kakak harus sukses di sana…” ujarku, melangkah masuk dalam pelukannya. Kak Dennies yang tinggi dan tegap. Sosok yang akan selalu kusukai. Bersamanya selalu membuatku nyaman dan aman. Bersamanya aku selalu merasa kecil dan rapuh.
Senja hari itu benar-benar indah. Menyesakkan dada. Senja yang tidak akan pernah kulupakan. Rasanya aku hampir menangis dalam pelukannya. Cinta pertamaku yang berakhir. Kali ini, benar-benar berakhir.
“*Sampai jumpa, putri kecilku…”
Dalam salam terakhirnya, ia memanggilku dalam bahasa mandarin, panggilan yang sering kali ia gunakan saat menyiapkan sarapan untukku. Aku pernah sangat menyukainya dulu. Dan sekarang, aku masih menyukainya. Hanya saja dalam cara yang berbeda.
Selamat tinggal.
Kali ini, benar-benar selamat tinggal untuk selamanya…
Cinta pertamaku, lelaki yang begitu baik…
Hanya saja, dia memang bukan untukku…
Semoga kau pun mendapatkan yang terbaik….
Aku akan selamanya mendoakanmu, Kak Dennies.
Aku tidak bisa menjawab kalimat itu. Selamanya, panggilan itu akan disimpannya untukku, aku tahu itu. Separuh dadaku terasa sakit mengingat begitu banyaknya hari kuhabiskan dulu untuk menyukainya. Betapa banyaknya waktu yang selamanya akan menjadi kenangan di antara kami. Air mataku menetes tanpa henti.
Aku pasti akan merindukanmu.
Satu per satu orang terdekat denganku meninggalkanku sendirian. Rasanya mengerikan. Dan sepi.
―Wei Li Zhi, Seoul, 2010―
“Aku pulang!!!” seruku riang sambil menenteng koperku. Yoo Hee dan tunangannya menyambutku di pintu. “Terima kasih, Kak…” ujarku pada Kak Nam Gil yang membantuku mengangkat koperku masuk.
“Bagaimana kabar Ji Ro? Temanmu menelepon beberapa kali.”
“Jae Shi, ya?”
Astaga, dia pasti marah karena aku tidak memberikan kabar apapun selama dua minggu terakhir ini. Bersama-sama menghabiskan waktu dengan Ji Ro kadang membuatku lupa waktu. Aku bahkan lupa mengirimkan email padanya.
“Ya, aku juga beberapa kali mengangkat teleponnya…” ujar Kak Nam Gil sambil mengambil tempat di sofa. “Bagaimana tunanganmu?”
“Ternyata ia membohongiku! Kukira dia kenapa, tahunya hanya patah tulang. Tepatnya, teman-temannya, sih. Mereka memutuskan untuk memanggilku ke sana karena Ji Ro tidak mau makan beberapa hari. Astaga, kadang-kadang pria bisa kekanak-kanakkan juga…”
“Tentu saja. Artinya dia sangat menyukaimu, kan?” Kak Nam Gil tertawa geli sambil merangkul pundak Yoo Hee.
“Makanya, kadang-kadang sulit memahami pria… Ah, sudahlah, selamat malam! Aku ke kamar dulu ya, mau menelepon Jae Shi dan sesudah itu segera tidur!”
Sambil menaiki tangga, kutekan tombol-tombol di ponselku, “Jae Shi?”
“Li Zhi! Astaga, kau sudah pulang?” ia tampak terkejut menerima teleponku. “Banyak sekali yang mau kuceritakan padamu…”
“Ya, aku minta maaf sekali. Aku juga mau bercerita banyak… Bagaimana keadaanmu di sana?”
“Lumayan,” jawabnya. “Sebenarnya kesepian, karena tidak ada kau. Kak Dennies ke China, dan Han geng juga…”
“Astaga. Jadi mereka pada pergi meninggalkanmu. Maaf ya… aku selalu saja lupa menghubungimu…”
“Tidak apa. Kau jarang bertemu Ji Ro, jadi aku harus maklum. Bagaimana keadaannya?” tanyanya cemas.
“Astaga, dia hanya patah tulang. Aku hampir pingsan melihatnya hari itu. Duduk santai dengan tangan di gips dan sedang asyik menonton TV. Ternyata teman-temannya yang membohongiku hanya untuk datang dan membujuknya makan…”
“Hahahaha… manis sekali dia…” tawa Jae Shi. “Tapi, syukurlah, dia tidak apa-apa.”
“Bagaimana dengan Han Geng? Kata Ji Ro, dia sedang ada masalah kontrak. Kuharap hal itu tidak mengganggu hubungan kalian…”
“Kami berjanji untuk saling menunggu. Kurasa aku harus berguru padamu. Kau kan sudah berpengalaman dengan Ji Ro. Awalnya aku memang tidak yakin, tapi, kurasa aku tidak bisa menyerah dulu. Aku harus memperjuangkan ini…”
“Dan bagaimana dengan Papamu?”
“Katanya akan dipertimbangkan…”
“Astaga, hahaha… Papamu memang keras kepala. Eh, apa Han Geng bilang kapan dia akan pulang?”
“Masih belum ada kepastian sih,” suara Jae Shi tiba-tiba terdengar muram.
“Tapi, dia pasti akan pulang, kan?” tanyaku, tiba-tiba merasa kasihan padanya.
“Itu juga belum pasti. Tapi, kalau tidak pulang lagi, aah… entahlah, nanti saja dipikirkan…” elaknya. “Eh, sebenarnya aneh tidak sih, kalau aku kasihan pada Ri Na?”
“Hah?”
Apa aku salah dengar?
“Aneh ya?” Tanya Jae Shi lagi. “Sudah kuduga, aku memang kelainan…” ia mulai menyalahkan dirinya.
“Ada cerita apa sih sampai kau mengasihani makhluk menyebalkan itu?”
“Sampai sekarang pun sebenarnya aku masih sebal padanya…” aku Jae Shi. “Tapi, kalau dipikir-pikir, nasibnya juga tidak begitu bagus. Selain Kak Dennies dan anak-anak cowok, aku tidak pernah melihatnya punya sahabat perempuan…”
“Eh… benar juga…” Sambil berpikir, aku mencoba mengingat-ingat. Cewek itu kadang terlalu menyebalkan sampai hal semacam itu juga tidak kuperhatikan. “Kenapa kau bisa menyadarinya?”
“Makanya itu… Ah, besok aku ingin cerita banyak padamu!” seru Jae Shi tidak sabar.
“Eh, tunggu! Sebelum teleponnya dimatikan, aku mau memastikan satu hal…”
“Apa itu?”
“Kau tidak lupa membantuku memfotokopikan catatan, kan?”
“Dasar Li Zhi, aku ingat kok! Besok kubawa deh!”
―Wei Li Zhi, Seoul University, 2010―
“Kenapa sih, gadis itu masih berani datang ke kampus?”
“Gila, mungkin dia menantang maut…”
“Eh, benar kan, dia yang katanya kencan dengan Dosen itu?”
“Astaga? Bukannya dia kencan dengan Mahasiswa S2 sebelumnya?”
“Eh? Aku belum dengar itu…”
Sejak pagi bisik-bisik sudah terdengar di sekeliling kampus setiap kali aku dan Jae Shi berpapasan dengan Ri Na. Jae Shi hanya bisa memutar bola matanya dan mengangkat bahu bingung ketika kutanyakan padanya apa maksud semua gossip itu.
“Dia kencan dengan Dosen? Dia kencan dengan Mahasiswa S2? Sebelumnya menggoda Han geng, sebelumnya lagi Dennies…” ujarku mencoba menghitung.
Jae Shi meletakkan telunjuknya di bibir. “Sst… jangan dibocorkan soal Han Geng dan Dennies. Aku tidak mau dikaitkan dengannya. Kau tidak tahu sih, sebelumnya bahkan gosipnya lebih parah. Ada yang membuat daftarnya…”
“Daftar? Daftar apa?”
“Itu loh… daftar pria yang pernah dia kencani. Kasihan kan? Katanya sampai dua lembar…”
“Ckckckck… sadis juga. Astaga, sampai dua lembar? Berarti dia sangat berpengalaman…”
Jae Shi mengangkat bahunya tidak yakin. Aneh. Kenapa aku merasa ada yang ia sembunyikan dariku?
“Dan yang mau kau ceritakan adalah…?”
“Soal Kak Dennies….” Jae Shi mengecilkan suaranya. Perlahan ia menceritakan padaku kejadian yang dialaminya di bus. Bersama dua gadis itu. Dan bagaimana Kak Dennies menolongnya lewat sebuah ciuman.
“Ngng… sebenarnya, aku tidak mau kau marah. Tapi, aku sudah tahu soal itu…” akuku jujur.
“Apa iya?” ia tampak kaget melihatku. “Bagaimana bisa?”
“Kau terlalu tidak peka saat itu. Mungkin karena kau terlalu sibuk dengan dua gadis itu. Dan Kak Dennies. Aku duduk di seberangmu, hanya saja di dekat jendela, jadi mungkin tertutup orang di sebelahku. Tenang saja, aku tidak bilang siapapun…”
“Astaga, memang memalukan, bukan?” Jae Shi menutup wajahnya yang terasa panas. “Maaf, seharusnya lebih cepat kuceritakan…”
“Tidak apa-apa. Aku paham perasaanmu. Kadang kala tidak enak juga pacaran dengan superstar…”
“Lalu, tidak lama, Han Geng mengajakku kencan….” Kali ini Jae Shi menceritakan tentang kedatangan Kak Dennies ke tempatnya karaoke. Bagaimana Han Geng mempercayainya sampai akhir.
“Wow, aku benar-benar terkesan…” ujarku, bertepuk tangan dan tulus memujinya. “Kurasa ya, dia memang menyayangimu…”
“Ya, aku tahu itu…” Jae Shi menunduk dengan pipi memerah. Sejenak kemudian ekspresinya berubah kelam. “Aku rindu padanya…”
“Apa dia tidak memberi kabar?”
“Ada. Email. Kurasa dia sangat sibuk…” Jae Shi memilin jarinya. “Dan Kak Dennies, kami… sudah berpisah baik-baik…”
“Benar-benar selesai, ya…” gumamku, menghela nafas.
Sebenarnya cukup disayangkan hubungan Jae Shi dan Kak Dennies telah berakhir. Ada kalanya aku merasa mereka cukup cocok satu sama lain. Namun, tentu saja, aku lebih mendukung hubungannya dengan Han Geng.
―Park Jae Shi, Seoul University, 2010―
“Permi…” kutahan suaraku ketika lagi-lagi aku masuk pada situasi yang salah. “Maaf, Pak. Saya akan datang lain kali saja…” ujarku memohon diri.
“Tidak perlu, tidak perlu. Ayo, kemari saja. Urusanku dengan Nona ini sudah selesai…” ujar Dosen Proyekku itu. Tampaknya ia memandangku sebagai jalan alternatif untuk mengusir Ri Na dari sana.
“Pak! Bapak kan pernah bilang…” ucapan Ri Na terhenti ketika mata Dosen itu hanya menatapnya dingin. “Kau kejam sekali…” desis Ri Na marah.
“Pembicaraan kita lanjutkan lain waktu saja…” potong Dosen itu, berusaha tampak wajar.
Astaga, jangan-jangan dosen inilah yang membina hubungan ‘terlarang’ dengan Ri Na. Ya, kenapa aku bisa lupa? Dosen ini kan salah satu anak dari Dekan Universitas ini.
“Kau membohongiku!” maki Ri Na dengan suara putus asa. Dengan segera ia berlari meninggalkan kami. Teringat olehku ia hamil. Kuharap ia bisa lebih berhati-hati dengan bayinya.
“Nah, ada keperluan apa, Nona?”
Sebisa mungkin kutekan ekspresiku agar tampak tenang. Seolah aku tidak mengetahui apapun. Pria ini membuatku kehilangan respek. Aku tahu dia memang sudah beristri. Tetapi, seharusnya dari awal dia juga bisa menahan diri.
“Saya mau bertanya soal bahan untuk riset, Pak…” jelasku.
“Oh…” ia mengambil berkasku, menelitinya, dan kemudian mulai berbicara. Sambil mengingat semua itu, tanganku sebagian mencatat, sebagian lagi mengasihani musuhku.
“Kudengar dari cowokku, kau yang menggodanya!” ujar seorang gadis. Saat itu banyak yang mengerumuni gadis itu dan Ri Na di kantin.
“Aku tidak menggodanya. Dia sendiri yang datang padaku. Mungkin kau yang tidak cukup cantik sehingga dia bosan padamu!” jawab Ri Na culas.
“Wanita murahan!” gadis itu bermaksud menampar Ri Na, namun ia bisa menghindarinya dengan gesit. Tetapi, ketika Ri Na melangkah, ia mengangkat kakinya untuk menjegal Ri Na.
“Awas!” dengan panik, aku berlari ke arahnya dan membantunya agar tidak jatuh. Ri Na menabrakku dan kami berdua terhuyung. Namun, syukurlah ia tidak jatuh.
“Kenapa kau menolongku?” tanyanya terkejut.
“Aku tidak menolongmu…” balasku membela diri. “Bukan kau. Tapi yang lain…”
Seketika wajah Ri na memucat. Astaga. Apa yang kuucapkan?
“Kau… kau tahu?” tanyanya, tercengang. “Bagaimana?!” ia tampak panik. Seketika kemudian ia lari menghindariku.
“Ri Na! Hei, kau tidak boleh lari begitu!” ujarku, mengejarnya, namun ia tidak peduli. Li Zhi yang baru kembali dari toilet memandangku bingung.
“Jae Shi?” ia memanggilku, jelas-jelas merasa heran.
“Nanti kujelaskan!” seruku, masih mengejar Ri Na. “Mungkin aku bolos pelajaran berikutnya,nanti pinjam ya!!”
Samar-samar aku bisa mendengar Li Zhi mengatakan oke. Apapun itu, aku harus bisa meyakinkan gadis itu. Ri Na. Musuhku. Dan sekarang, orang yang kukasihani.
“Jangan lari lagi!” pintaku, nafasku terasa ngos-ngosan. Perutku sampai sakit mengejarnya. “Larimu cepat sekali…”
Ia menyeka keringat di dahinya dan duduk. Matanya masih memandangku dengan tatapan curiga. “Kenapa? Apa maumu? Dari mana kau tahu?!” nada suaranya semakin meninggi saat melihatku berjalan mendekat.
“Yang mana yang harus kujawab duluan?” tanyaku, tersenyum padanya.
“Dari mana kau tahu aku hamil?” tanyanya, langsung ke pokok permasalahan.
“Aku tidak sengaja mendengar percakapanmu dengan Dekan kita.” Wajah Rina pucat pasi mendengar penuturanku. “Dan apakah Dosen yang tadi itu…”
Ri Na membuang wajahnya, menolak menjawab. Baiklah, aku tidak akan memaksa. ”Bagaimana rencanamu dengan bayi itu?”
“Aku membenci Ayahnya!” ia menatapku marah. “Tapi, anak ini? Dia tidak bersalah…” ekspresinya sesaat melembut saat menyentuh perutnya. “Dan aku tidak mau membuangnya. Aku harus membuat mereka mau bertanggungjawab…”
“Tekad yang bagus,” pujiku.
“Kenapa? Kenapa kau selalu berlagak seolah kau mau membantuku? Apa maumu?”
“Aku jujur saja…” jawabku, malas bertele-tele. “Aku kasihan padamu. Harga diriku sebagai perempuan terusik. Ini murni hati nuraniku…”
“Heh…” ia tersenyum sinis dengan sebelah bibirnya. “Ini konyol sekali. Kau pikir aku senang mendengar kau mengasihaniku?”
“Ri Na… Kenapa? Aku sendiri juga tidak mengerti. Kau pernah menyukai Kak Dennies. Kukira kau serius dengannya. Tapi, sekarang, bukannya konsisten dengannya, kau malah berkencan dengan banyak pria sekaligus…”
“Apa?! Jadi kau menyalahkanku!” ia memakiku marah. Aku tetap di tempatku, diam dan menatapnya. “Semua karena kau!” ia menunjukku dan mulai histeris.
“Aku?” Apa salahku?
“Kau! Kau begitu beruntung! Kau punya keluarga yang baik! Kau punya Dennies! Kau punya Han Geng! Kau punya teman! Aku? Aku tidak punya apa-apa. Bahkan Dosen itu… tadinya ia setuju membantuku…”
Apa yang ia katakan?
“Apa maksudmu…?” tanyaku, berharap aku hanya salah dengar barusan.
“Baiklah, kau mau tahu yang sebenarnya?” ia tersenyum mengejekku sambil bangkit dari duduknya. “Aku merayu dosen itu untuk menghambat proyekmu! Sialnya aku gagal, dan kena karmanya! Huuh…” Ia memalingkan wajahnya lagi untuk menghapus air matanya.
“Sebenarnya, kenapa? Kenapa kau begitu membenciku?”
“Apakah benci itu butuh alasan? Apakah cinta juga butuh alasan? Aku muak melihatmu, kau tahu! Kau dikelilingi keluarga yang baik, teman-teman yang menyenangkan, dan pria-pria yang menyayangimu! Aku menginginkan semua itu jadi milikku!”
“Ri Na…” Iri? Hanya itukah alasannya? “Padahal selama ini aku begitu iri padamu… Kau cantik, tinggi, dan populer di hadapan pria…”
“Mau mencoba membujukku?” tatapannya masih sama sinisnya dengan sebelumnya. “Dan sekarang, aku tidak tahu harus bagaimana dengan bayi ini…” keluhnya. Tangannya menutupi wajahnya. Untuk sesaat, Ri Na terlihat begitu rapuh.
“Bagaimana kalau aku bisa membantumu…?” tanyaku, merogoh handphoneku dari dalam tas. Ri Na mengangkat wajahnya dan melirikku sekilas. “Aku serius..”
“Bagaimana?” tantangnya.
“Sebenarnya aku agak ragu karena ini bisa menghancurkan keluarga orang lain. Tapi, kau juga butuh keadilan” ujarku, berjalan ke arahnya.
“Jangan mendekat!” ia menatapku serius. “Aku tidak mau kau mendekat!”
“Dengarkan saja ini…” ujarku, tersenyum. Tanganku bergerak menekan tombol ‘play’.
“Saya harus apakan anak ini, Pak!?” keluh Ri Na. Terdengar sesal dan kepanikan dalam suaranya. “Benar, Pak. Sungguh, ini cucu Bapak. Ini yang pertama untuk saya…”
“Apa yang kamu mau, hah?! Uang? Baiklah, akan saya berikan! Kamu gugurkan saja anak itu!” Dekan itu menggeram marah dan menggebrak meja.
Ri Na tercengang memandang bukti yang kusodorkan ke hadapannya.
“Kapan…” ia menggumam.
“Tidak ada yang tahu, bukan? Aku hanya kebetulan lewat saat itu. Sebenarnya, bukan kebetulan. Aku sedang ingin mengajukan permohonan beasiswa… Dan kebetulan lewat dan mendengar semuanya…”
“Jae Shi…”
Baru kali ini kudengar ia memanggil namaku dengan nada bersahabat. Aku maju dan memeluknya. Ri Na tampak kaget namun tidak bergeming.
“Selama ini, kau selalu kesepian, bukan?” tanyaku. Bisa kurasakan kepalanya mengangguk ragu.
“Maaf ya…” ia mengucapkan frase itu dengan suara terpatah-patah. “Maaf…” Suaranya semakin serak ketika ia melanjutkan, “Maafkan aku…”
“Aku tahu… aku tahu…” bisikku. Membayangkan kehidupanku ketika secara bersamaan orang-orang terdekatku pergi. “Kesepian itu… mengerikan…”
Tangis Ri Na pecah dalam pelukanku. Ia menangis meraung-raung sambil memelukku. Begitu eratnya, sampai tanpa sadar, air mataku ikut menetes.
-to be continued-
Chapter 19
Cast:
Author (Jesica) as Park Jae Shi
Han Geng as himself
Wei Li Zhi as herself
Ji Ro Wang
Kim Ri Na
―Park Jae Shi, Park’s House, 2010―
“Kudengar Han Geng sudah pulang ke China…” ujar Kak Dennies sore itu. Tidak biasanya ia bertandang ke rumahku pada sore hari. Bahkan raut wajahnya terlihat berbeda dari biasanya.
“Ya, ada masalah kontrak dengan manajemennya…” jawabku seadanya. Kami duduk di teras rumah, meminum secangkir teh. Rasanya seperti kembali ke masa lalu.
“Kuharap bukan karena aku...” ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Bukan kok,” sahutku, merasa tidak enak melihat caranya memandangku.
“Aku akan kembali ke China, Jae Shi. Liburanku sudah hampir habis…” ia meneguk tehnya perlahan. “Aku akan merindukanmu…”
“Aku juga…” Sebagai kakak. “Kakak harus jadi koki nomor satu nantinya,” sambungku dengan nada bersemangat.
“Sebagai Kakak, bukan?” tanyanya sambil memandangku dalam-dalam. Aku mengangguk. Pelan, ia berujar, “Aku juga mau minta maaf untuk kelakuanku…”
“Minta maaf?”
“Kurasa aku akhir-akhir ini terlalu… kekanak-kanakan…” ia menghembuskan nafas kuat-kuat dari rahangnya. “Kurasa aku yang salah. Aku memaksakan perasaanku padamu. Seharusnya tidak begitu. Kalau aku memang mencintaimu, aku tidak boleh egois…”
“Kak Dennies…”
“Kurasa aku jadi tidak mengenal diriku sendiri…” ia menutup wajahnya dengan tangan yang tertangkup. “Aku tidak mengerti kenapa aku bisa berubah begini buruk. Kurasa, ini bukan aku yang sebenarnya. Karena itu, aku minta maaf…”
“Aku tahu kok,” senyumku. “Kak Dennies memang selalu begitu. Kau sangat baik, memperhatikanku. Dan sampai kapan pun, sekalipun bukan sebagai kekasih, Kakak selalu punya tempat yang isitmewa di hatiku…”
Kak Dennies tersenyum memandangku. “Kurasa aku lupa mengatakan satu hal…” ia menatapku tajam ketika mengucapkannya. “Walaupun menyesali situasinya saat itu, aku tidak pernah menyesal telah menciummu. Walaupun caraku salah, aku benar-benar menyayangimu, Jae Shi…”
“Ehm… ya… aku tahu itu, terima kasih sudah menyayangiku…” ujarku sambil tersenyum canggung.
“Aku akan mendewasakan diriku lagi. Tadinya, kukira aku sudah lebih mampu menghadapimu, lebih dewasa dan lebih mampu melindungimu. Nyatanya belum bisa…” ia tertawa hambar.
“Kakak sudah melindungiku loh, ingat tidak?” ia menatapku bingung ketika kutambahkan. “Itu loh, yang hampir jatuh dari bus itu. Sampai sekarang aku belum bilang terima kasih, maaf ya Kak, aku baru bilang sekarang. Waktu itu memang situasinya mengesalkan…”
“Hahahaha…” ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Setidaknya ada sekali, ya?”
“Dan belum termasuk masa-masa sebelum Kakak ke China. Banyak hal yang menyenangkan dulu…”
“Sekarang tidak lagi, ya?” ia tersenyum kaku. “Aku merusak semuanya…”
“Tidak juga, kok. Setidaknya, semua pengalaman dengan Kak Dennies membantuku lebih mengenali diriku sendiri dan Han Geng. Kalau aku tidak bisa melewati semua itu dengannya, berarti hubungan kami memang rapuh…”
“Kata-katamu membuatku merasa seperti sudah melakukan kebaikan saja…” kata Kak Dennies sambil setengah tertawa. “Kau betul-betul menyukainya, ya?”
“Ya…”
“Kalau begitu, aku akan mendoakan kalian…” katanya sungguh-sungguh. Pandangan matanya terlihat tulus.
“Terima kasih, aku juga akan mendoakan Kak Dennies…” sahutku, tersenyum. “Kuharap, Kakak bisa menemukan wanita yang tepat… yang lebih baik dariku…”
“Ya…” ia berdiri dan melebarkan tangannya. “Kau tidak perlu mengantarku ke bandara besok…” ujarnya sambil tersenyum. Senyum yang sangat kusukai.
“Kakak harus sukses di sana…” ujarku, melangkah masuk dalam pelukannya. Kak Dennies yang tinggi dan tegap. Sosok yang akan selalu kusukai. Bersamanya selalu membuatku nyaman dan aman. Bersamanya aku selalu merasa kecil dan rapuh.
Senja hari itu benar-benar indah. Menyesakkan dada. Senja yang tidak akan pernah kulupakan. Rasanya aku hampir menangis dalam pelukannya. Cinta pertamaku yang berakhir. Kali ini, benar-benar berakhir.
“*Sampai jumpa, putri kecilku…”
Dalam salam terakhirnya, ia memanggilku dalam bahasa mandarin, panggilan yang sering kali ia gunakan saat menyiapkan sarapan untukku. Aku pernah sangat menyukainya dulu. Dan sekarang, aku masih menyukainya. Hanya saja dalam cara yang berbeda.
Selamat tinggal.
Kali ini, benar-benar selamat tinggal untuk selamanya…
Cinta pertamaku, lelaki yang begitu baik…
Hanya saja, dia memang bukan untukku…
Semoga kau pun mendapatkan yang terbaik….
Aku akan selamanya mendoakanmu, Kak Dennies.
Aku tidak bisa menjawab kalimat itu. Selamanya, panggilan itu akan disimpannya untukku, aku tahu itu. Separuh dadaku terasa sakit mengingat begitu banyaknya hari kuhabiskan dulu untuk menyukainya. Betapa banyaknya waktu yang selamanya akan menjadi kenangan di antara kami. Air mataku menetes tanpa henti.
Aku pasti akan merindukanmu.
Satu per satu orang terdekat denganku meninggalkanku sendirian. Rasanya mengerikan. Dan sepi.
―Wei Li Zhi, Seoul, 2010―
“Aku pulang!!!” seruku riang sambil menenteng koperku. Yoo Hee dan tunangannya menyambutku di pintu. “Terima kasih, Kak…” ujarku pada Kak Nam Gil yang membantuku mengangkat koperku masuk.
“Bagaimana kabar Ji Ro? Temanmu menelepon beberapa kali.”
“Jae Shi, ya?”
Astaga, dia pasti marah karena aku tidak memberikan kabar apapun selama dua minggu terakhir ini. Bersama-sama menghabiskan waktu dengan Ji Ro kadang membuatku lupa waktu. Aku bahkan lupa mengirimkan email padanya.
“Ya, aku juga beberapa kali mengangkat teleponnya…” ujar Kak Nam Gil sambil mengambil tempat di sofa. “Bagaimana tunanganmu?”
“Ternyata ia membohongiku! Kukira dia kenapa, tahunya hanya patah tulang. Tepatnya, teman-temannya, sih. Mereka memutuskan untuk memanggilku ke sana karena Ji Ro tidak mau makan beberapa hari. Astaga, kadang-kadang pria bisa kekanak-kanakkan juga…”
“Tentu saja. Artinya dia sangat menyukaimu, kan?” Kak Nam Gil tertawa geli sambil merangkul pundak Yoo Hee.
“Makanya, kadang-kadang sulit memahami pria… Ah, sudahlah, selamat malam! Aku ke kamar dulu ya, mau menelepon Jae Shi dan sesudah itu segera tidur!”
Sambil menaiki tangga, kutekan tombol-tombol di ponselku, “Jae Shi?”
“Li Zhi! Astaga, kau sudah pulang?” ia tampak terkejut menerima teleponku. “Banyak sekali yang mau kuceritakan padamu…”
“Ya, aku minta maaf sekali. Aku juga mau bercerita banyak… Bagaimana keadaanmu di sana?”
“Lumayan,” jawabnya. “Sebenarnya kesepian, karena tidak ada kau. Kak Dennies ke China, dan Han geng juga…”
“Astaga. Jadi mereka pada pergi meninggalkanmu. Maaf ya… aku selalu saja lupa menghubungimu…”
“Tidak apa. Kau jarang bertemu Ji Ro, jadi aku harus maklum. Bagaimana keadaannya?” tanyanya cemas.
“Astaga, dia hanya patah tulang. Aku hampir pingsan melihatnya hari itu. Duduk santai dengan tangan di gips dan sedang asyik menonton TV. Ternyata teman-temannya yang membohongiku hanya untuk datang dan membujuknya makan…”
“Hahahaha… manis sekali dia…” tawa Jae Shi. “Tapi, syukurlah, dia tidak apa-apa.”
“Bagaimana dengan Han Geng? Kata Ji Ro, dia sedang ada masalah kontrak. Kuharap hal itu tidak mengganggu hubungan kalian…”
“Kami berjanji untuk saling menunggu. Kurasa aku harus berguru padamu. Kau kan sudah berpengalaman dengan Ji Ro. Awalnya aku memang tidak yakin, tapi, kurasa aku tidak bisa menyerah dulu. Aku harus memperjuangkan ini…”
“Dan bagaimana dengan Papamu?”
“Katanya akan dipertimbangkan…”
“Astaga, hahaha… Papamu memang keras kepala. Eh, apa Han Geng bilang kapan dia akan pulang?”
“Masih belum ada kepastian sih,” suara Jae Shi tiba-tiba terdengar muram.
“Tapi, dia pasti akan pulang, kan?” tanyaku, tiba-tiba merasa kasihan padanya.
“Itu juga belum pasti. Tapi, kalau tidak pulang lagi, aah… entahlah, nanti saja dipikirkan…” elaknya. “Eh, sebenarnya aneh tidak sih, kalau aku kasihan pada Ri Na?”
“Hah?”
Apa aku salah dengar?
“Aneh ya?” Tanya Jae Shi lagi. “Sudah kuduga, aku memang kelainan…” ia mulai menyalahkan dirinya.
“Ada cerita apa sih sampai kau mengasihani makhluk menyebalkan itu?”
“Sampai sekarang pun sebenarnya aku masih sebal padanya…” aku Jae Shi. “Tapi, kalau dipikir-pikir, nasibnya juga tidak begitu bagus. Selain Kak Dennies dan anak-anak cowok, aku tidak pernah melihatnya punya sahabat perempuan…”
“Eh… benar juga…” Sambil berpikir, aku mencoba mengingat-ingat. Cewek itu kadang terlalu menyebalkan sampai hal semacam itu juga tidak kuperhatikan. “Kenapa kau bisa menyadarinya?”
“Makanya itu… Ah, besok aku ingin cerita banyak padamu!” seru Jae Shi tidak sabar.
“Eh, tunggu! Sebelum teleponnya dimatikan, aku mau memastikan satu hal…”
“Apa itu?”
“Kau tidak lupa membantuku memfotokopikan catatan, kan?”
“Dasar Li Zhi, aku ingat kok! Besok kubawa deh!”
―Wei Li Zhi, Seoul University, 2010―
“Kenapa sih, gadis itu masih berani datang ke kampus?”
“Gila, mungkin dia menantang maut…”
“Eh, benar kan, dia yang katanya kencan dengan Dosen itu?”
“Astaga? Bukannya dia kencan dengan Mahasiswa S2 sebelumnya?”
“Eh? Aku belum dengar itu…”
Sejak pagi bisik-bisik sudah terdengar di sekeliling kampus setiap kali aku dan Jae Shi berpapasan dengan Ri Na. Jae Shi hanya bisa memutar bola matanya dan mengangkat bahu bingung ketika kutanyakan padanya apa maksud semua gossip itu.
“Dia kencan dengan Dosen? Dia kencan dengan Mahasiswa S2? Sebelumnya menggoda Han geng, sebelumnya lagi Dennies…” ujarku mencoba menghitung.
Jae Shi meletakkan telunjuknya di bibir. “Sst… jangan dibocorkan soal Han Geng dan Dennies. Aku tidak mau dikaitkan dengannya. Kau tidak tahu sih, sebelumnya bahkan gosipnya lebih parah. Ada yang membuat daftarnya…”
“Daftar? Daftar apa?”
“Itu loh… daftar pria yang pernah dia kencani. Kasihan kan? Katanya sampai dua lembar…”
“Ckckckck… sadis juga. Astaga, sampai dua lembar? Berarti dia sangat berpengalaman…”
Jae Shi mengangkat bahunya tidak yakin. Aneh. Kenapa aku merasa ada yang ia sembunyikan dariku?
“Dan yang mau kau ceritakan adalah…?”
“Soal Kak Dennies….” Jae Shi mengecilkan suaranya. Perlahan ia menceritakan padaku kejadian yang dialaminya di bus. Bersama dua gadis itu. Dan bagaimana Kak Dennies menolongnya lewat sebuah ciuman.
“Ngng… sebenarnya, aku tidak mau kau marah. Tapi, aku sudah tahu soal itu…” akuku jujur.
“Apa iya?” ia tampak kaget melihatku. “Bagaimana bisa?”
“Kau terlalu tidak peka saat itu. Mungkin karena kau terlalu sibuk dengan dua gadis itu. Dan Kak Dennies. Aku duduk di seberangmu, hanya saja di dekat jendela, jadi mungkin tertutup orang di sebelahku. Tenang saja, aku tidak bilang siapapun…”
“Astaga, memang memalukan, bukan?” Jae Shi menutup wajahnya yang terasa panas. “Maaf, seharusnya lebih cepat kuceritakan…”
“Tidak apa-apa. Aku paham perasaanmu. Kadang kala tidak enak juga pacaran dengan superstar…”
“Lalu, tidak lama, Han Geng mengajakku kencan….” Kali ini Jae Shi menceritakan tentang kedatangan Kak Dennies ke tempatnya karaoke. Bagaimana Han Geng mempercayainya sampai akhir.
“Wow, aku benar-benar terkesan…” ujarku, bertepuk tangan dan tulus memujinya. “Kurasa ya, dia memang menyayangimu…”
“Ya, aku tahu itu…” Jae Shi menunduk dengan pipi memerah. Sejenak kemudian ekspresinya berubah kelam. “Aku rindu padanya…”
“Apa dia tidak memberi kabar?”
“Ada. Email. Kurasa dia sangat sibuk…” Jae Shi memilin jarinya. “Dan Kak Dennies, kami… sudah berpisah baik-baik…”
“Benar-benar selesai, ya…” gumamku, menghela nafas.
Sebenarnya cukup disayangkan hubungan Jae Shi dan Kak Dennies telah berakhir. Ada kalanya aku merasa mereka cukup cocok satu sama lain. Namun, tentu saja, aku lebih mendukung hubungannya dengan Han Geng.
―Park Jae Shi, Seoul University, 2010―
“Permi…” kutahan suaraku ketika lagi-lagi aku masuk pada situasi yang salah. “Maaf, Pak. Saya akan datang lain kali saja…” ujarku memohon diri.
“Tidak perlu, tidak perlu. Ayo, kemari saja. Urusanku dengan Nona ini sudah selesai…” ujar Dosen Proyekku itu. Tampaknya ia memandangku sebagai jalan alternatif untuk mengusir Ri Na dari sana.
“Pak! Bapak kan pernah bilang…” ucapan Ri Na terhenti ketika mata Dosen itu hanya menatapnya dingin. “Kau kejam sekali…” desis Ri Na marah.
“Pembicaraan kita lanjutkan lain waktu saja…” potong Dosen itu, berusaha tampak wajar.
Astaga, jangan-jangan dosen inilah yang membina hubungan ‘terlarang’ dengan Ri Na. Ya, kenapa aku bisa lupa? Dosen ini kan salah satu anak dari Dekan Universitas ini.
“Kau membohongiku!” maki Ri Na dengan suara putus asa. Dengan segera ia berlari meninggalkan kami. Teringat olehku ia hamil. Kuharap ia bisa lebih berhati-hati dengan bayinya.
“Nah, ada keperluan apa, Nona?”
Sebisa mungkin kutekan ekspresiku agar tampak tenang. Seolah aku tidak mengetahui apapun. Pria ini membuatku kehilangan respek. Aku tahu dia memang sudah beristri. Tetapi, seharusnya dari awal dia juga bisa menahan diri.
“Saya mau bertanya soal bahan untuk riset, Pak…” jelasku.
“Oh…” ia mengambil berkasku, menelitinya, dan kemudian mulai berbicara. Sambil mengingat semua itu, tanganku sebagian mencatat, sebagian lagi mengasihani musuhku.
“Kudengar dari cowokku, kau yang menggodanya!” ujar seorang gadis. Saat itu banyak yang mengerumuni gadis itu dan Ri Na di kantin.
“Aku tidak menggodanya. Dia sendiri yang datang padaku. Mungkin kau yang tidak cukup cantik sehingga dia bosan padamu!” jawab Ri Na culas.
“Wanita murahan!” gadis itu bermaksud menampar Ri Na, namun ia bisa menghindarinya dengan gesit. Tetapi, ketika Ri Na melangkah, ia mengangkat kakinya untuk menjegal Ri Na.
“Awas!” dengan panik, aku berlari ke arahnya dan membantunya agar tidak jatuh. Ri Na menabrakku dan kami berdua terhuyung. Namun, syukurlah ia tidak jatuh.
“Kenapa kau menolongku?” tanyanya terkejut.
“Aku tidak menolongmu…” balasku membela diri. “Bukan kau. Tapi yang lain…”
Seketika wajah Ri na memucat. Astaga. Apa yang kuucapkan?
“Kau… kau tahu?” tanyanya, tercengang. “Bagaimana?!” ia tampak panik. Seketika kemudian ia lari menghindariku.
“Ri Na! Hei, kau tidak boleh lari begitu!” ujarku, mengejarnya, namun ia tidak peduli. Li Zhi yang baru kembali dari toilet memandangku bingung.
“Jae Shi?” ia memanggilku, jelas-jelas merasa heran.
“Nanti kujelaskan!” seruku, masih mengejar Ri Na. “Mungkin aku bolos pelajaran berikutnya,nanti pinjam ya!!”
Samar-samar aku bisa mendengar Li Zhi mengatakan oke. Apapun itu, aku harus bisa meyakinkan gadis itu. Ri Na. Musuhku. Dan sekarang, orang yang kukasihani.
“Jangan lari lagi!” pintaku, nafasku terasa ngos-ngosan. Perutku sampai sakit mengejarnya. “Larimu cepat sekali…”
Ia menyeka keringat di dahinya dan duduk. Matanya masih memandangku dengan tatapan curiga. “Kenapa? Apa maumu? Dari mana kau tahu?!” nada suaranya semakin meninggi saat melihatku berjalan mendekat.
“Yang mana yang harus kujawab duluan?” tanyaku, tersenyum padanya.
“Dari mana kau tahu aku hamil?” tanyanya, langsung ke pokok permasalahan.
“Aku tidak sengaja mendengar percakapanmu dengan Dekan kita.” Wajah Rina pucat pasi mendengar penuturanku. “Dan apakah Dosen yang tadi itu…”
Ri Na membuang wajahnya, menolak menjawab. Baiklah, aku tidak akan memaksa. ”Bagaimana rencanamu dengan bayi itu?”
“Aku membenci Ayahnya!” ia menatapku marah. “Tapi, anak ini? Dia tidak bersalah…” ekspresinya sesaat melembut saat menyentuh perutnya. “Dan aku tidak mau membuangnya. Aku harus membuat mereka mau bertanggungjawab…”
“Tekad yang bagus,” pujiku.
“Kenapa? Kenapa kau selalu berlagak seolah kau mau membantuku? Apa maumu?”
“Aku jujur saja…” jawabku, malas bertele-tele. “Aku kasihan padamu. Harga diriku sebagai perempuan terusik. Ini murni hati nuraniku…”
“Heh…” ia tersenyum sinis dengan sebelah bibirnya. “Ini konyol sekali. Kau pikir aku senang mendengar kau mengasihaniku?”
“Ri Na… Kenapa? Aku sendiri juga tidak mengerti. Kau pernah menyukai Kak Dennies. Kukira kau serius dengannya. Tapi, sekarang, bukannya konsisten dengannya, kau malah berkencan dengan banyak pria sekaligus…”
“Apa?! Jadi kau menyalahkanku!” ia memakiku marah. Aku tetap di tempatku, diam dan menatapnya. “Semua karena kau!” ia menunjukku dan mulai histeris.
“Aku?” Apa salahku?
“Kau! Kau begitu beruntung! Kau punya keluarga yang baik! Kau punya Dennies! Kau punya Han Geng! Kau punya teman! Aku? Aku tidak punya apa-apa. Bahkan Dosen itu… tadinya ia setuju membantuku…”
Apa yang ia katakan?
“Apa maksudmu…?” tanyaku, berharap aku hanya salah dengar barusan.
“Baiklah, kau mau tahu yang sebenarnya?” ia tersenyum mengejekku sambil bangkit dari duduknya. “Aku merayu dosen itu untuk menghambat proyekmu! Sialnya aku gagal, dan kena karmanya! Huuh…” Ia memalingkan wajahnya lagi untuk menghapus air matanya.
“Sebenarnya, kenapa? Kenapa kau begitu membenciku?”
“Apakah benci itu butuh alasan? Apakah cinta juga butuh alasan? Aku muak melihatmu, kau tahu! Kau dikelilingi keluarga yang baik, teman-teman yang menyenangkan, dan pria-pria yang menyayangimu! Aku menginginkan semua itu jadi milikku!”
“Ri Na…” Iri? Hanya itukah alasannya? “Padahal selama ini aku begitu iri padamu… Kau cantik, tinggi, dan populer di hadapan pria…”
“Mau mencoba membujukku?” tatapannya masih sama sinisnya dengan sebelumnya. “Dan sekarang, aku tidak tahu harus bagaimana dengan bayi ini…” keluhnya. Tangannya menutupi wajahnya. Untuk sesaat, Ri Na terlihat begitu rapuh.
“Bagaimana kalau aku bisa membantumu…?” tanyaku, merogoh handphoneku dari dalam tas. Ri Na mengangkat wajahnya dan melirikku sekilas. “Aku serius..”
“Bagaimana?” tantangnya.
“Sebenarnya aku agak ragu karena ini bisa menghancurkan keluarga orang lain. Tapi, kau juga butuh keadilan” ujarku, berjalan ke arahnya.
“Jangan mendekat!” ia menatapku serius. “Aku tidak mau kau mendekat!”
“Dengarkan saja ini…” ujarku, tersenyum. Tanganku bergerak menekan tombol ‘play’.
“Saya harus apakan anak ini, Pak!?” keluh Ri Na. Terdengar sesal dan kepanikan dalam suaranya. “Benar, Pak. Sungguh, ini cucu Bapak. Ini yang pertama untuk saya…”
“Apa yang kamu mau, hah?! Uang? Baiklah, akan saya berikan! Kamu gugurkan saja anak itu!” Dekan itu menggeram marah dan menggebrak meja.
Ri Na tercengang memandang bukti yang kusodorkan ke hadapannya.
“Kapan…” ia menggumam.
“Tidak ada yang tahu, bukan? Aku hanya kebetulan lewat saat itu. Sebenarnya, bukan kebetulan. Aku sedang ingin mengajukan permohonan beasiswa… Dan kebetulan lewat dan mendengar semuanya…”
“Jae Shi…”
Baru kali ini kudengar ia memanggil namaku dengan nada bersahabat. Aku maju dan memeluknya. Ri Na tampak kaget namun tidak bergeming.
“Selama ini, kau selalu kesepian, bukan?” tanyaku. Bisa kurasakan kepalanya mengangguk ragu.
“Maaf ya…” ia mengucapkan frase itu dengan suara terpatah-patah. “Maaf…” Suaranya semakin serak ketika ia melanjutkan, “Maafkan aku…”
“Aku tahu… aku tahu…” bisikku. Membayangkan kehidupanku ketika secara bersamaan orang-orang terdekatku pergi. “Kesepian itu… mengerikan…”
Tangis Ri Na pecah dalam pelukanku. Ia menangis meraung-raung sambil memelukku. Begitu eratnya, sampai tanpa sadar, air mataku ikut menetes.
-to be continued-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar