SING OUT LOUD,LOVE-SIDE STORY 3
February 28, 2012 at 9:42am
SING OUT LOUD,LOVE-SIDE STORY 3
SIDE STORY 3
Cast :
Nora as Akiyo Takarai
U-know Yun Ho
—Yun Ho, April, 2011, Family House—
“Yun-ho… turun sebentar ke bawah…” suara Ibuku terdengar lagi memanggil.
“Ada apa, Bu?” tanyaku, menyahut malas-malasan. Hari ini hari libur. Sengaja kupilih rumahku sebagai tempat melepas lelah. Lagipula, sudah lama sekali aku tidak pulang ke rumah ini. tidak ada yang berubah di sini. Suasananya membuatku kaget, seperti inilah aku yang dulu, yang tbelum terkenal dan sesibuk sekarang. “Biarkan aku bersantai dulu…”
Dugaanku, di bawah ada tamu. Mungkin, karena suaranya terdengar ramai dan berisik sampai ke atas. “aRgh …” erangku sambil menutupi kepalaku dengan bantal. “Aku masih mau tidur siang…”
“Ya ampun, sampai kapan kau mau tidur-tiduran di sana?” Bersamaan dengan suara itu, sebuah tendangan melayang ringan ke bokongku. Dengan terkejut, kupaksakan tubuhku bangun. Aku baru saja mau mengomel ketika kulihat dia di sana.
Akiyo, gadis teman masa kecilku. Ia pindah meneruskan kuliahnya di Jepang. Terakhir kali melihatnya, gadis itu masih berambut sebahu dan berkacamata tebal. Sekarang, penampilannya berubah menjadi manis dan mengesankan. Rambutnya dipotong pendek, menegaskan bentuk wajahnya dan senyumannya terlihat percaya diri.
“Tidak kusangka kau akan sedepresi ini hanya karena patah hati…” omelnya sambil meraih bantal dan menimpukku.
“Akiyo, kau?! Kau kok bisa di Korea? Kenapa kau tidak di Jepang?”
“Berterimakasihlah karena aku sudah datang jauh-jauh hanya untuk menengokmu…” candanya sambil setengah tertawa.
Kuberikan pandangan masa bodohku. Dengan segera gadis itu meresponnya. “Hei! Pandangan macam apa itu!”
Kami segera larut dalam obrolan panjang yang mengasyikkan. Ketika kulihat jendela kamar, aku terkejut melihat betapa gelapnya langit malam di sana. “Kita sudah mengobrol sampai selama ini?” tanyaku kaget sambil melihat jam tanganku. Kami sudah mengobrol selama empat jam?
“Ayo, kita turun…” Akiyo bangkit dan menarik tanganku untuk berdiri. Aku tidak menyangka senyumannya membuatku ikut tertular untuk tersenyum. “Aku sudah lapar,” omelnya. “Bicara begitu banyak denganmu, energiku habis…”
“Dasar kau ini…” Aku tertawa sambil mengingat-ingat hobi makannya. “Kau selalu lemah dengan makanan buatan mamaku…”
—Akiyo, April, 2011, Yun Ho’sFamily House—
“Ayolah, ajak aku ke suatu tempat…”
“Liburku tinggal besok. Aku bisa rugi kalau harus menemanimu seharian ini…” erangnya sambil menutup kepalanya dengan selimut.
“Ayolah…” Aku menarik selimutnya lagi, tapi tiba-tiba cowok itu malah menarik tanganku. Posisi kami berbalik karena tiba-tiba dia ada di atasku. “SAkit…”
“Rasakan! Dasar tukang paksa!” ia tertawa sambil menekan pergelangan tanganku. Sejenak pandangan kami bertemu dan suasana berubah canggung. Jantungku berdentum keras di tempatnya.
“Ayolah,” Yun-ho berdehem canggung beberapa kali, “Kutemani kau berkeliling di dekat sini…”
“Toko itu es krimnya enak sekali…” ujar Yun-ho sambil menunjuk sebuah toko roti yang terletak tidak jauh dari kami.
“Benarkah?” wajahku langsung berubah senang, “Ayo kita mampir ke sana!” seruku senang.
Begitu es krim yang fluffy itu menyentuh lidahku, aku langsung menutup mata dan tersenyum senang. “Memang enak sekali!” Yun –ho yang duduk di sebelahku tertawa kecil. “Tidak mau coba?” tawarku sambil menyodorkan es krim milikku.
“Eh…” Yun-ho terpaku sejenak dengan wajah mempertimbangkan. Aku hampir menarik tanganku lagi ketika teringat bahwa mungkin saja ini bisa mengubah suasana menjadi canggung lagi. Ciuman tidak langsung, bukan?
—Yun Ho, April, 2011, Garden near Family House—
Aku masih menatap es krim itu dan ragu-ragu. Akiyo mungkin menawarkannya tanpa pikir panjang. Ia mungkin melupakan kalau memakan es krim itu bersama bisa-bisa kami akan sama-sama salah tingkah. Gadis itu baru menyadari keraguanku sejenak. Ia hendak menarik tangannya ketika tanpa sadar kepalaku bergerak maju dan memakan es krim di tangannya.
“Ahhh!! Jangan semuanya!!” protesnya saat sebagian besar es krim itu masuk ke mulutku.
Aku melihat gadis itu memakan sisa es krimnya dengan menatapku sebal. “Hem… enak sekali…” senyumnya sambil memegang pipinya.
Mataku menatap Akiyo dan tersenyum. Tidak berubah, dasar tukang makan. Namun perasaan lain bergejolak di dadaku. Kenapa aku tadi tergerak untuk memakan es krim itu? Sejenak wajahku terasa panas.
Kami menghabiskan banyak waktu sambil berkeliling dan menikmati jajanan apapun yang menyenangkan. Wajah Akiyo saat berbicara tentang sastra dan kuliahnya terlihat berbeda. Terutama ketika matanya berbinar senang saat menceritakan betapa asyiknya kehidupan kuliah. Sesaat ia terlihat begitu—menarik.
“Hei, masa kau tidak terpikat pada ketampananku?” godaku tiba-tiba.
Akiyo yang sedang makan langsung tersedak dan terbatuk-batuk tanpa henti.
“Astaga! Kau tidak apa-apa?!” Perasaanku mulai cemas karena batuknya tidak kunjung berhenti. Tanganku bergerak menepuk punggungnya sampai akhirnya Akiyo mengangkat tangannya, memintaku berhenti menepuk punggungnya. Ia mengambil gelas dan minum.
“Kau mengejutkanku…” ia menarik nafas dan mulai tertawa. “Hahaha… apa sih maksudmu? Begitu inginnya aku terpikat padamu?” Ia balas menggodaku.
Sekejap dadaku berdebar. Kenapa mulutku hampir menjawab… “ya”?
—Akiyo, April, 2011, Yun Ho’s Family House—
Aku senang karena sekalipun sudah menjadi penyanyi yang terkenal luar biasa, Yun-ho sama sekali tidak berubah. Ia masih sama seperti dulu. Ramah, menyenangkan, dan teman mengobrol yang baik.
“Lihat! Coba kemari sebentar, Yun-ho!” panggilku. Bibi tersenyum di sebelahku.
“Ada apa?” cowok itu menghampiriku dengan sekaleng kopi di tangannya. “Foto?” Ia mengernyitkan dahi saat melihat foto yang tersebar di depannya.
“Lihat wajahmu waktu SD. Lucu sekali…” tawaku mengembang.
Waktu SD, Yun-ho masih sangat penakut, belum seperti sekarang. Saat itu, akulah yang berperan sebagai kakaknya. Sejak kecil sampai sekarang aku memang sangat tomboy. Entah sejak kapan, Yun-ho berubah. Ia jadi lebih jantan, tidak pernah sembunyi di belakangku lagi, dan bahkan melindungiku dengan gagah berani. Aku jadi tersenyum sendiri ketika mengingat itu semua.
“Kau sendiri sama sekali tidak berubah…” ejeknya sambil berkacak pinggang.
“DAsar! Apa maksudmu tinggi badanku?” aku mulai memukul dadanya dengan kesal.
Yun-ho tertawa sambil menangkap lenganku. Kami sama-sama terkejut saat sensasi seperti aliran listrik itu terjadi lagi. Untuk beberapa saat lamanya, kami berdiri terpaku di sana. Bertatapan, tangan Yun-ho menyentuh tanganku, dan tidak ada yang lain selain kami. Jantungku berdebar begitu keras sampai aku takut dia bisa mendengarnya.
“Ehehmmm”
Karena Bibi—maksudku Mamanya Yun-ho—berdehem, kami langsung memisahkan diri dengan canggung. Kupaksakan tawaku berkembang. “Apa kau sudah terjerat pesonaku?”
Senyumku hampir memudar ketika Yun-ho membalas dengan tawa, mengacak rambutku dan pergi.
—Yun Ho, April, 2011, Family House—
Mataku menatap langit-langit kamar dengan tatapan menerawang. Masa SD kembali terbayang di kepalaku. Kenapa aku bisa melupakan semua itu?
“Apakah kalian pacaran?” tanya seorang anak perempuan kepada Akiyo. Telingaku otomatis menajam saat mendengar percakapan mereka. Dua sosok itu sedang duduk berselonjor di bawah pohon yang terletak di belakang halaman sekolah, asyik menikmati bekal mereka. Tidak menyadari bahwa aku duduk di dekat sana, di belakang semak-semak yang tersembunyi.
“Siapa?” Akiyo mengunyah makanannya perlahan. Aku bisa membayangkannya melotot kaget.
“Siapa lagi? Tentu saja Yun-ho. Dia yang paling dekat denganmu. Kau suka padanya?”
“Ehm… lumayan…” Jawaban Akiyo membuat jantungku berdebar.
“Jadi? Kalian tidak pacaran?” Bisa kutebak kalau Akiyo menggeleng. Gadis itu mendengus tidak senang dengan jawaban Akiyo. “Memangnya seperti apa tipe cowok yang kau sukai?”
“Yah…” Bisa kudengar Akiyo tertawa terbahak-bahak sekarang. “Yang jelas, seseorang yang lebih kuat dariku. Kelihatannya lebih keren begitu…”
“Hem…” gadis itu kelihatannya setuju. “Kau benar…”
Jawaban yang kuterima hari itu mengubahku. Menghancurkan hatiku—karena walaupun terlambat mengakuinya, aku benar-benar menyukai Akiyo saat itu—dan di satu sisi, mengubahku menjadi kuat. Aku memutuskan untuk tidak pernah lagi bergantung padanya. Aku tidak pernah lagi menangis. Aku tidak pernah lagi berlindung di belakangnya.
Akiyo awalnya terkejut dan mengira aku menjauh darinya. Namun, kami tetap berteman baik. Aku terus menduga-duga—kapan ia akan menyadari semua usahaku itu? Aku terus menduga-duga sampai akhirnya menyerah untuk berpikir.
Seperti sekarang, ketika semua ingatan masa laluku kembali, otakku terpaku di sana. Apakah memang itu semua hanya masa lalu? Jangan-jangan sampai sekarang pun—
Kuhela nafasku, menatap langit-langit dan menarik seulas senyum di bibirku. Jantungku masih berdebar sampai sekarang. Kurasa, aku sudah tahu jawabannya.
—Akiyo, April, 2011, Yun Ho’s Family House—
“Kau akan pulang ke apartemenmu? Secepat ini?’ tanyaku, merasa kehilangan.
“Kau akan merindukanku?” tanyanya sambil memasang wajah menggoda dan mengedipkan sebelah matanya padaku.
“Tentu saja,” jawabku tanpa pikir panjang. Yun-ho mengacak rambutku lagi. Dan begitu aku mau memprotes, ia sudah menarikku masuk dalam pelukannya. “Apa…”
“Rindukan aku. Setiap hari. Aku akan marah kalau kau tidak melakukannya…”
“Apa maksudmu?” tanyaku, kaget.
“Ada satu hal yang ingin kusampaikan padamu. Sejak SD sampai sekarang…” Ia melihat ke dalam mataku, sejenak membuatku berdebar.
“Apa?”
“Kau akan tahu nanti…” Kukernyitkan dahi—bingung—apa maksud cowok itu? “Dan aku sudah meninggalkan nomorku supaya kau bisa memberitahukan jawabannya padaku…”
“Jawaban?” Jawaban apa? Apaan sih ini?
“Sampai jumpa lagi. Aku pasti akan main ke JEpang dan menengokmu di sela-sela konserku…” ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata.
Yun-ho pergi tidak lama kemudian. Kunaiki tangga menuju kamarku ketika kulihat ada sebuah kotak kecil yang diletakkan di depan kamarku. Tertulis di sana: Untuk Akiyo.
“Apa ini…” gumamku sambil membuka kotaknya. Di dalam kotak itu hanya ada sebuah surat.
Aku berubah karena seseorang
Aku melupakan itu semua
Sampai ketika bertemu dengannya lagi
Aku teringat dan menyadari
Bahwa sebelumnya aku tidak pernah benar-benar patah hati pada gadis lain
Karena gadis itulah,
Satu-satunya gadis yang membuatku patah hati waktu SD
Kau tahu, Akiyo? Aku menyukaimu.
Kau menyukai pria yang lebih kuat darimu?
Itulah aku yang sekarang. Bagaimana menurutmu? Cukup kuat untuk melindungimu, bukan?
PS: telepon aku di XXXXXXXXXXXXXXXXXX untuk memberitahukan jawabannya.
Y.H.
Aku tertawa kecil menatap hadiah itu. Sambil menarik nafas, tanganku bergerak menyusuri meja untuk mengambil ponselku dan menekan nomor yang sesuai dengan nomor di kertas itu. Sambil menahan nafas, pelan-pelan kuhitung mundur waktu menuju mendengar suaranya.
10… 9… 8… 7… KLek. Eh? Secepat ini? “Halo?”
Sambil menggigit bibir, kupaksakan suaraku untuk terdengar ceria. “Hei, ini aku…” sapaku senang.
—Akiyo, 1997,Elementary School—
“Apakah kalian pacaran?” tanya teman sebangkuku padaku.
“Siapa?”
“Siapa lagi? Tentu saja Yun-ho. Dia yang paling dekat denganmu. Kau suka padanya?”
“Ehm… lumayan…” Jawabanku membuat jantungku berdebar sendiri.
“Jadi? Kalian tidak pacaran?” Kugelengkan kepalaku. “Memangnya seperti apa tipe cowok yang kau sukai?”
“Yah…” Sekarang aku hanya tertawa terbahak-bahak. “Yang jelas, seseorang yang lebih kuat dariku. Kelihatannya lebih keren begitu…”
“Hem…” gadis itu kelihatannya setuju. “Kau benar…”
“Tapi…” Kutambahkan kalimatku. “Aku suka seseorang yang bisa membuatku merasa nyaman. Pokoknya, aku tidak akan bosan dengannya…”
Saat itu, di kepalaku terbayang sebuah nama. Yun-ho. Cowok itu mungkin belum mampu memahami perasaanku padanya. Aku berharap ia akan lebih jantan dan lebih kuat dariku, tapi aku tidak bisa memaksakan itu padanya, bukan?
“Begitu juga bagus…” sahut gadis itu lagi. Kami tertawa bersama dan menghabiskan makan siang kami dengan gembira.
-tamat-
SIDE STORY 3
Cast :
Nora as Akiyo Takarai
U-know Yun Ho
—Yun Ho, April, 2011, Family House—
“Yun-ho… turun sebentar ke bawah…” suara Ibuku terdengar lagi memanggil.
“Ada apa, Bu?” tanyaku, menyahut malas-malasan. Hari ini hari libur. Sengaja kupilih rumahku sebagai tempat melepas lelah. Lagipula, sudah lama sekali aku tidak pulang ke rumah ini. tidak ada yang berubah di sini. Suasananya membuatku kaget, seperti inilah aku yang dulu, yang tbelum terkenal dan sesibuk sekarang. “Biarkan aku bersantai dulu…”
Dugaanku, di bawah ada tamu. Mungkin, karena suaranya terdengar ramai dan berisik sampai ke atas. “aRgh …” erangku sambil menutupi kepalaku dengan bantal. “Aku masih mau tidur siang…”
“Ya ampun, sampai kapan kau mau tidur-tiduran di sana?” Bersamaan dengan suara itu, sebuah tendangan melayang ringan ke bokongku. Dengan terkejut, kupaksakan tubuhku bangun. Aku baru saja mau mengomel ketika kulihat dia di sana.
Akiyo, gadis teman masa kecilku. Ia pindah meneruskan kuliahnya di Jepang. Terakhir kali melihatnya, gadis itu masih berambut sebahu dan berkacamata tebal. Sekarang, penampilannya berubah menjadi manis dan mengesankan. Rambutnya dipotong pendek, menegaskan bentuk wajahnya dan senyumannya terlihat percaya diri.
“Tidak kusangka kau akan sedepresi ini hanya karena patah hati…” omelnya sambil meraih bantal dan menimpukku.
“Akiyo, kau?! Kau kok bisa di Korea? Kenapa kau tidak di Jepang?”
“Berterimakasihlah karena aku sudah datang jauh-jauh hanya untuk menengokmu…” candanya sambil setengah tertawa.
Kuberikan pandangan masa bodohku. Dengan segera gadis itu meresponnya. “Hei! Pandangan macam apa itu!”
Kami segera larut dalam obrolan panjang yang mengasyikkan. Ketika kulihat jendela kamar, aku terkejut melihat betapa gelapnya langit malam di sana. “Kita sudah mengobrol sampai selama ini?” tanyaku kaget sambil melihat jam tanganku. Kami sudah mengobrol selama empat jam?
“Ayo, kita turun…” Akiyo bangkit dan menarik tanganku untuk berdiri. Aku tidak menyangka senyumannya membuatku ikut tertular untuk tersenyum. “Aku sudah lapar,” omelnya. “Bicara begitu banyak denganmu, energiku habis…”
“Dasar kau ini…” Aku tertawa sambil mengingat-ingat hobi makannya. “Kau selalu lemah dengan makanan buatan mamaku…”
—Akiyo, April, 2011, Yun Ho’sFamily House—
“Ayolah, ajak aku ke suatu tempat…”
“Liburku tinggal besok. Aku bisa rugi kalau harus menemanimu seharian ini…” erangnya sambil menutup kepalanya dengan selimut.
“Ayolah…” Aku menarik selimutnya lagi, tapi tiba-tiba cowok itu malah menarik tanganku. Posisi kami berbalik karena tiba-tiba dia ada di atasku. “SAkit…”
“Rasakan! Dasar tukang paksa!” ia tertawa sambil menekan pergelangan tanganku. Sejenak pandangan kami bertemu dan suasana berubah canggung. Jantungku berdentum keras di tempatnya.
“Ayolah,” Yun-ho berdehem canggung beberapa kali, “Kutemani kau berkeliling di dekat sini…”
“Toko itu es krimnya enak sekali…” ujar Yun-ho sambil menunjuk sebuah toko roti yang terletak tidak jauh dari kami.
“Benarkah?” wajahku langsung berubah senang, “Ayo kita mampir ke sana!” seruku senang.
Begitu es krim yang fluffy itu menyentuh lidahku, aku langsung menutup mata dan tersenyum senang. “Memang enak sekali!” Yun –ho yang duduk di sebelahku tertawa kecil. “Tidak mau coba?” tawarku sambil menyodorkan es krim milikku.
“Eh…” Yun-ho terpaku sejenak dengan wajah mempertimbangkan. Aku hampir menarik tanganku lagi ketika teringat bahwa mungkin saja ini bisa mengubah suasana menjadi canggung lagi. Ciuman tidak langsung, bukan?
—Yun Ho, April, 2011, Garden near Family House—
Aku masih menatap es krim itu dan ragu-ragu. Akiyo mungkin menawarkannya tanpa pikir panjang. Ia mungkin melupakan kalau memakan es krim itu bersama bisa-bisa kami akan sama-sama salah tingkah. Gadis itu baru menyadari keraguanku sejenak. Ia hendak menarik tangannya ketika tanpa sadar kepalaku bergerak maju dan memakan es krim di tangannya.
“Ahhh!! Jangan semuanya!!” protesnya saat sebagian besar es krim itu masuk ke mulutku.
Aku melihat gadis itu memakan sisa es krimnya dengan menatapku sebal. “Hem… enak sekali…” senyumnya sambil memegang pipinya.
Mataku menatap Akiyo dan tersenyum. Tidak berubah, dasar tukang makan. Namun perasaan lain bergejolak di dadaku. Kenapa aku tadi tergerak untuk memakan es krim itu? Sejenak wajahku terasa panas.
Kami menghabiskan banyak waktu sambil berkeliling dan menikmati jajanan apapun yang menyenangkan. Wajah Akiyo saat berbicara tentang sastra dan kuliahnya terlihat berbeda. Terutama ketika matanya berbinar senang saat menceritakan betapa asyiknya kehidupan kuliah. Sesaat ia terlihat begitu—menarik.
“Hei, masa kau tidak terpikat pada ketampananku?” godaku tiba-tiba.
Akiyo yang sedang makan langsung tersedak dan terbatuk-batuk tanpa henti.
“Astaga! Kau tidak apa-apa?!” Perasaanku mulai cemas karena batuknya tidak kunjung berhenti. Tanganku bergerak menepuk punggungnya sampai akhirnya Akiyo mengangkat tangannya, memintaku berhenti menepuk punggungnya. Ia mengambil gelas dan minum.
“Kau mengejutkanku…” ia menarik nafas dan mulai tertawa. “Hahaha… apa sih maksudmu? Begitu inginnya aku terpikat padamu?” Ia balas menggodaku.
Sekejap dadaku berdebar. Kenapa mulutku hampir menjawab… “ya”?
—Akiyo, April, 2011, Yun Ho’s Family House—
Aku senang karena sekalipun sudah menjadi penyanyi yang terkenal luar biasa, Yun-ho sama sekali tidak berubah. Ia masih sama seperti dulu. Ramah, menyenangkan, dan teman mengobrol yang baik.
“Lihat! Coba kemari sebentar, Yun-ho!” panggilku. Bibi tersenyum di sebelahku.
“Ada apa?” cowok itu menghampiriku dengan sekaleng kopi di tangannya. “Foto?” Ia mengernyitkan dahi saat melihat foto yang tersebar di depannya.
“Lihat wajahmu waktu SD. Lucu sekali…” tawaku mengembang.
Waktu SD, Yun-ho masih sangat penakut, belum seperti sekarang. Saat itu, akulah yang berperan sebagai kakaknya. Sejak kecil sampai sekarang aku memang sangat tomboy. Entah sejak kapan, Yun-ho berubah. Ia jadi lebih jantan, tidak pernah sembunyi di belakangku lagi, dan bahkan melindungiku dengan gagah berani. Aku jadi tersenyum sendiri ketika mengingat itu semua.
“Kau sendiri sama sekali tidak berubah…” ejeknya sambil berkacak pinggang.
“DAsar! Apa maksudmu tinggi badanku?” aku mulai memukul dadanya dengan kesal.
Yun-ho tertawa sambil menangkap lenganku. Kami sama-sama terkejut saat sensasi seperti aliran listrik itu terjadi lagi. Untuk beberapa saat lamanya, kami berdiri terpaku di sana. Bertatapan, tangan Yun-ho menyentuh tanganku, dan tidak ada yang lain selain kami. Jantungku berdebar begitu keras sampai aku takut dia bisa mendengarnya.
“Ehehmmm”
Karena Bibi—maksudku Mamanya Yun-ho—berdehem, kami langsung memisahkan diri dengan canggung. Kupaksakan tawaku berkembang. “Apa kau sudah terjerat pesonaku?”
Senyumku hampir memudar ketika Yun-ho membalas dengan tawa, mengacak rambutku dan pergi.
—Yun Ho, April, 2011, Family House—
Mataku menatap langit-langit kamar dengan tatapan menerawang. Masa SD kembali terbayang di kepalaku. Kenapa aku bisa melupakan semua itu?
“Apakah kalian pacaran?” tanya seorang anak perempuan kepada Akiyo. Telingaku otomatis menajam saat mendengar percakapan mereka. Dua sosok itu sedang duduk berselonjor di bawah pohon yang terletak di belakang halaman sekolah, asyik menikmati bekal mereka. Tidak menyadari bahwa aku duduk di dekat sana, di belakang semak-semak yang tersembunyi.
“Siapa?” Akiyo mengunyah makanannya perlahan. Aku bisa membayangkannya melotot kaget.
“Siapa lagi? Tentu saja Yun-ho. Dia yang paling dekat denganmu. Kau suka padanya?”
“Ehm… lumayan…” Jawaban Akiyo membuat jantungku berdebar.
“Jadi? Kalian tidak pacaran?” Bisa kutebak kalau Akiyo menggeleng. Gadis itu mendengus tidak senang dengan jawaban Akiyo. “Memangnya seperti apa tipe cowok yang kau sukai?”
“Yah…” Bisa kudengar Akiyo tertawa terbahak-bahak sekarang. “Yang jelas, seseorang yang lebih kuat dariku. Kelihatannya lebih keren begitu…”
“Hem…” gadis itu kelihatannya setuju. “Kau benar…”
Jawaban yang kuterima hari itu mengubahku. Menghancurkan hatiku—karena walaupun terlambat mengakuinya, aku benar-benar menyukai Akiyo saat itu—dan di satu sisi, mengubahku menjadi kuat. Aku memutuskan untuk tidak pernah lagi bergantung padanya. Aku tidak pernah lagi menangis. Aku tidak pernah lagi berlindung di belakangnya.
Akiyo awalnya terkejut dan mengira aku menjauh darinya. Namun, kami tetap berteman baik. Aku terus menduga-duga—kapan ia akan menyadari semua usahaku itu? Aku terus menduga-duga sampai akhirnya menyerah untuk berpikir.
Seperti sekarang, ketika semua ingatan masa laluku kembali, otakku terpaku di sana. Apakah memang itu semua hanya masa lalu? Jangan-jangan sampai sekarang pun—
Kuhela nafasku, menatap langit-langit dan menarik seulas senyum di bibirku. Jantungku masih berdebar sampai sekarang. Kurasa, aku sudah tahu jawabannya.
—Akiyo, April, 2011, Yun Ho’s Family House—
“Kau akan pulang ke apartemenmu? Secepat ini?’ tanyaku, merasa kehilangan.
“Kau akan merindukanku?” tanyanya sambil memasang wajah menggoda dan mengedipkan sebelah matanya padaku.
“Tentu saja,” jawabku tanpa pikir panjang. Yun-ho mengacak rambutku lagi. Dan begitu aku mau memprotes, ia sudah menarikku masuk dalam pelukannya. “Apa…”
“Rindukan aku. Setiap hari. Aku akan marah kalau kau tidak melakukannya…”
“Apa maksudmu?” tanyaku, kaget.
“Ada satu hal yang ingin kusampaikan padamu. Sejak SD sampai sekarang…” Ia melihat ke dalam mataku, sejenak membuatku berdebar.
“Apa?”
“Kau akan tahu nanti…” Kukernyitkan dahi—bingung—apa maksud cowok itu? “Dan aku sudah meninggalkan nomorku supaya kau bisa memberitahukan jawabannya padaku…”
“Jawaban?” Jawaban apa? Apaan sih ini?
“Sampai jumpa lagi. Aku pasti akan main ke JEpang dan menengokmu di sela-sela konserku…” ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata.
Yun-ho pergi tidak lama kemudian. Kunaiki tangga menuju kamarku ketika kulihat ada sebuah kotak kecil yang diletakkan di depan kamarku. Tertulis di sana: Untuk Akiyo.
“Apa ini…” gumamku sambil membuka kotaknya. Di dalam kotak itu hanya ada sebuah surat.
Aku berubah karena seseorang
Aku melupakan itu semua
Sampai ketika bertemu dengannya lagi
Aku teringat dan menyadari
Bahwa sebelumnya aku tidak pernah benar-benar patah hati pada gadis lain
Karena gadis itulah,
Satu-satunya gadis yang membuatku patah hati waktu SD
Kau tahu, Akiyo? Aku menyukaimu.
Kau menyukai pria yang lebih kuat darimu?
Itulah aku yang sekarang. Bagaimana menurutmu? Cukup kuat untuk melindungimu, bukan?
PS: telepon aku di XXXXXXXXXXXXXXXXXX untuk memberitahukan jawabannya.
Y.H.
Aku tertawa kecil menatap hadiah itu. Sambil menarik nafas, tanganku bergerak menyusuri meja untuk mengambil ponselku dan menekan nomor yang sesuai dengan nomor di kertas itu. Sambil menahan nafas, pelan-pelan kuhitung mundur waktu menuju mendengar suaranya.
10… 9… 8… 7… KLek. Eh? Secepat ini? “Halo?”
Sambil menggigit bibir, kupaksakan suaraku untuk terdengar ceria. “Hei, ini aku…” sapaku senang.
—Akiyo, 1997,Elementary School—
“Apakah kalian pacaran?” tanya teman sebangkuku padaku.
“Siapa?”
“Siapa lagi? Tentu saja Yun-ho. Dia yang paling dekat denganmu. Kau suka padanya?”
“Ehm… lumayan…” Jawabanku membuat jantungku berdebar sendiri.
“Jadi? Kalian tidak pacaran?” Kugelengkan kepalaku. “Memangnya seperti apa tipe cowok yang kau sukai?”
“Yah…” Sekarang aku hanya tertawa terbahak-bahak. “Yang jelas, seseorang yang lebih kuat dariku. Kelihatannya lebih keren begitu…”
“Hem…” gadis itu kelihatannya setuju. “Kau benar…”
“Tapi…” Kutambahkan kalimatku. “Aku suka seseorang yang bisa membuatku merasa nyaman. Pokoknya, aku tidak akan bosan dengannya…”
Saat itu, di kepalaku terbayang sebuah nama. Yun-ho. Cowok itu mungkin belum mampu memahami perasaanku padanya. Aku berharap ia akan lebih jantan dan lebih kuat dariku, tapi aku tidak bisa memaksakan itu padanya, bukan?
“Begitu juga bagus…” sahut gadis itu lagi. Kami tertawa bersama dan menghabiskan makan siang kami dengan gembira.
-tamat-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar