Sabtu, 28 Agustus 2010

my latest art at deviantart





















I love Vampire knight manga
And this one, consisted of three page, made by me...
I made this before The ballroom chapter's out (before chapter 53's out)
(sorry for the plain color and sorry too because I kinda lazy on drawing background, so it's look too... plain, maybe, yeah, it's plain)

Hope you enjoy







Kamis, 12 Agustus 2010

my feeling^^

I'm truly glad and happy that my fan fiction on Kimnamgil website..
( http://kimnamgilfansindonesia.ning.com/ )

got many good responses from all the sister's there

More than 1000 recent comments and that's all thanks to my best sisters there^^ *hugs and many2 loves to you...*

Here's the prove...(I made a snapshot at the forum and cropped the part that I'm on it...)

Tears on my face, and all thanks to you guys... you are so lovely, never expected that I can get 1157 comments

Fanfic The Future and the Past 45

-------------------------------------------------------------------------------------------------
FORTY FIFTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Ho Jae: Go Yoon Hoo (memakai nama asli di FF)
Bakui: Jang Hee Woong (memakai nama asli di FF)
Kim Yong Soo : Park Jung Chul(nama asli): Jung Yong Soo (nama di FF)
lady Ma Ya (King Jinyeong's wife) : Yoon Yoo Sun (Ibu dari Yo Won dan Ye Jin, memakai nama asli di FF)
General Ga Baek: Seo Bum Shik (memakai nama asli di FF)
Yeom Jong
-------------------------------------------------------------------------------------------------

─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“Dia akan lumpuh selamanya…” tukas dokter itu sambil membetulkan letak kacamatanya.

Aku memandang pria yang sudah merenggut nyawa Nam Gil dari kaca luar. Sekujur tubuhnya terbalut perban. Luka bakarnya terlihat parah dan beberapa hantaman merusak saraf penggeraknya.

Dari surat kabar dikatakan kalau Pamannya, Seo Bum Shik langsung tewas di tempat saat mesin mobil mereka komplikasi dan menabrak pembatas jalan, berulang kali terguling sampai akhirnya meledak.

“Kurasa itu karena tembakan yang dilakukan Nam Gil di mesin mereka… Kukira meleset, ternyata tidak… Pria itu akan lumpuh selamanya. Menyedihkan…”

Perasaanku sudah membeku. Bahkan ucapan Yoon Hoo yang mengasihani mereka tidak membuatku tersentuh. “Mereka pantas mendapatkannya,” ujarku dengan suara dingin dan kaku.

“Ya, dalam keadaan seperti itu, lebih baik mati daripada cacat seumur hidup…” Yoon Hoo menepuk pundakku dan Ye Jin yang berdiri di sebelahku merangkulku lembut.



Seoul, dua tahun kemudian…

─Lee Yo Won, Seoul, 2010─

“Yo Won, kau sudah siap?” tanya Ye Jin sambil mengintipku. “Oh, waw, kau cantik sekali, Yo Won…”

“Thanks, tapi aku sebetulnya masih malas pergi…” balasku sambil menghela nafas panjang.

Hari ini adalah hari pernikahan Baek Do Bin dan Park Ri Chan. Mereka mengatakan kalau kedatanganku ke sana sama seperti kedatangan Nam Gil sendiri. Terpaksa aku menerima undangan mereka, walaupun rasanya seperti membuka luka lamaku.

“Kau masih mengingatnya?”

“Aku tidak mungkin melupakannya. Sampai kapanpun…”

“Kau cantik Yo Won. Dan pria di dunia ini ada ribuan…” Ye Jin memelukku dan menepuk pipiku lembut. “Sudah saatnya kau bergerak maju…”

“Entahlah, Ye Jin…” jawabku, meraih tasku dan pergi.

Ye Jin ada kencan hari ini dengan Yong Soo dan sudah sepantasnya aku tidak mengajaknya. Sebagai gantinya, aku meminta Yoo Jin, adik Nam Gil menemaniku. Semenjak kepergian kakaknya, kami jadi sangat dekat.

Entahlah, sampai detik ini aku tidak bisa menyebutnya kematian. Aku percaya ia masih ada di sampingku, dan semua ini hanya mimpi buruk. Oleh karena itu, aku hanya mampu menyebutnya… ‘kepergian’, bukan ‘kematian’.

“Hai Yo Won, kau cantik…” puji Yoo Jin sambil memelukku dan menunjukkan mobil tunangannya padaku.

“Ke Hotel Grand Hyatt Seoul…” ujar Yoo Jin sambil tersenyum pada si supir yang tidak lain tidak bukan adalah Kak Sang Wook yang dimintanya untuk mengantar kami.

“Maaf merepotkan Kak Sang Wook…” ujarku berbasa-basi.

“Tidak apa Yo Won… kebetulan searah dengan jalanku ke apartemen adikku…” jawabnya sambil tersenyum kasual. Yoo Jin mengedipkan mata dan mereka tertawa bersama.

Aku masih tidak bisa melihat kebahagiaan semacam itu. Ada rasa sakit mendalam saat melihat keakraban orang di sampingku dengan pasangan mereka masing-masing. Rasanya… entahlah, terlalu menyakitkan. Aku tidak boleh iri, aku tahu itu. Sebagai gantinya, rasa sakit mendalam menusuk hatiku.

“Sudah sampai, dan selamat bersenang-senang Yo Won… Dan Yoo Jin, ingatlah aku kalau ada cowok tampan di sana…” canda Sang Wook sambil melajukan mobilnya.

“Kuharap kami tidak membuatmu sakit hati, Yo Won…” ujar Yoo Jin sambil memandangku dengan sepasang mata bulatnya. Senyumannya terlihat resah.

“Tidak apa-apa, Yoo Jin… aku paham kok…” jawabku, berusaha menenangkannya. Tentu saja aku berbohong.

“Semoga pestanya menyenangkan! Lihat, tempatnya semewah ini, pasti makanannya lezat!” seru Yoo Jin sambil melangkah dengan gembira. Aku mengiringinya sambil tersenyum.

“Yo Won, sebentar, aku ke toilet dulu untuk merapikan dandananku ya…” ujar Yoo Jin sambil tersenyum manis.

Aku berdiri di samping pintu, kemudian berbisik pada Yoo Jin. “Aku cari minum dulu…” ia menjawab ya dan kemudian kakiku bergerak ke tempat minuman. Rasanya tiba-tiba haus sekali.

“Ups, maaf…” ujarku kaget, ketika mendadak tanganku menyentuh tangan seorang pria saat kami bermaksud mengambil gelas yang sama.

Tanganku mendadak terasa aneh. Tidak mungkin, tetapi… rasanya sentuhan itu begitu familiar… rasanya… aku mengenalnya… Pelan, kuangkat kepalaku dan jantungku nyaris lepas melihat pria di depanku begitu mirip dengan Kim Nam Gil.

“Nam Gil?” tanyaku, nyaris pingsan dan tidak mempercayai penglihatanku sendiri. Tanganku berusaha mengingat sentuhan sekilas tangannya di kulitku. Rasanya begitu nyata… ini bukan mimpi…

Alisnya yang tebal bertaut bingung, namun senyumannya tetap seramah biasanya. Kalimat berikut yang meluncur di bibirnya membuat nafasku terhenti beberapa detik.

“Apa aku mengenalmu?”







─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

Wanita cantik di depanku tersenyum kaget. Ia memandangku dari atas sampai ke bawah. “Kau… Kim Nam Gil?” tanyanya lagi.

Ada yang salah dengan wanita ini. Suaranya… wajahnya… gerak-geriknya… semuanya menimbulkan sensasi aneh di dadaku. Rasanya begitu sulit mengambil nafas saat ia berdiri di depanku dan menatapku dalam-dalam.

“Benar, kalau tidak salah memang itu namaku…” jawabnya. “Tapi Nam Gil, cukup Nam Gil saja…”

Aku masih berusaha mengingat sentuhan tangannya di kulitku. Rasanya seperti kejutan listrik. Seperti biasanya… kepalaku terasa sakit lagi… Selalu saja begini tiap kali ada peristiwa kecil yang terasa tidak asing denganku.

Aku mengenali sentuhan itu. Entah bagaimana aku cukup yakin dengan pikiranku itu. Dan melihatnya, mendnegar suaranya, tenggorokanku terasa panas. Aneh, aku merasa… ingin menangis saat membalas tatapan matanya.

“Yo Won, ternyata kau di sini…!!” seru seorang gadis cantik sambil menghampirinya. Gadis ini juga memandangku dengan kaget. “Kak Nam Gil?!” serunya kaget.

“Kau mengenalku?” tanyaku lagi. Kali ini mereka berdua terdiam.

“Apa yang terjadi?” tanya gadis itu pada wanita pertama.

“Dia bilang namanya Nam Gil. Itu saja… dan dia bertanya apa aku mengenalnya atau tidak. Yoo Jin, mungkin aku gila, tapi.. rasanya dia benar-benar Kim Nam Gil…”

“Yo Won, kalau dia tidak mengenalmu, berarti dia memang bukan kakak… Tapi, ada berapa orang yang nama dan wajahnya sama di Korea?”

Namanya… Yo Won… dadaku berdentam keras mendengarkan nama itu. Dan Yoo Jin… rasanya aku sering mendengarmya. Entah di mana.

“Selamat datang, Yo Won…” ujar seorang pria di belakangku. Aku mengangguk hormat ke arahnya dan tersenyum. “Kalian sudah bertemu, rupanya…”

“Baek Do Bin, mungkin kau bisa jelaskan padaku ada apa ini sebenarnya…” ujar wanita itu dengan suara tegas dan dalam.

“Dia Kim Nam Gil, aku menyelamatkannya, dari kebakaran yang dibuat Yeom Jong. Dan ingatannya hilang, karena tembakan di pelipisnya dan gumpalan darah akibat pukulan-pukulan keras di kepalanya…”

Dadaku berdebar keras mendengar penuturan Baek Do Bin. Selama dua tahun terakhir, bekerja dengannya sebagai general manager di perusahaan miliknya, ia merahasiakan identitasku karena tiap kali menceritakannya, kepalaku terasa sakit seperti mau meledak.

Apakah… aku mengenal wanita ini seperti halnya ia mengenalku? Jantungku terus berdebar. Ada amarah yang tidak bisa kusembunyikan saat mendengar nama Yeom Jong disebutkan. Kenapa?

“Yo Won!” Yoo Jin berteriak kaget saat melihat wanita bernama Yo Won mendadak limbung.

Sebelum wanita itu jatuh pingsan, aku keburu menangkapnya. Dan detik itu juga, bagai sambaran petir, kepalaku terasa sakit luar biasa.

“Arrgh…” erangku sambil memegangi kepalaku.

“Ada apa? Kenapa dia?” Yo Won menatapku bingung dengan matanya yang berkaca-kaca. “Baek Do Bin! Kenapa dia!?”

“Selalu begitu setiap kali aku berusaha mengingatkannya akan masa lalunya…”

“ARRGGHHH!!” sakit kepalaku bertambah hebat ketika Yo Won menyentuhku dan memelukku. Aku mengerang dan bergerak liar dalam pelukannya. Sakit kepala menghentak-hentak kepalaku seperti akan memecahkannya.

“Seseorang, tolonglah dia… hentikan.. kau sudah tidak eprlu mengingatnya.. Lupakan… lupakan saja aku…” serunya dengan air mata tertahan.

Tanganku terangkat menghapus air matanya. Ia memandangku ragu sebelum akhirnya menyebutkan sebuah nama… “Bi Dam…”


Berbagai ingatan merembes masuk ke otakku. Rasanya menyakitkan seperti pukulan-pukulan berkali-kali di kepalaku.

Suara-suara bergantian mengisi kepalaku.

“Kau sudah tamat, Kim Nam Gil….”

“Kau sudah janji Nam Gil.. kau akan pulang…”

“Maafkan aku, Yo Won…”

“Kak Nam Gil!!”

“Aku mencintaimu…”

“Bi Dam…”

“Deok Man…”

Dan detik itu, kepalaku terasa ringan, pemandangan berputar dan segalanya menghitam.


─Lee Yo Won, Seoul, 2010─

“Kapan dia akan sadar?” tanyaku pada Dokter jaga di klinik itu. Untunglah tidak sulit menghubungi Hee Wong. Yoo Jin terus bersamaku dan dialah yang mengucapkan salam pada Baek Do Bin dan Ri Chan lalu mengucapkan pamit pada mereka.

Dalam sekejap Hee Wong dan Yoon Hoo, serta Yong Soo dan Ye Jin sudah berkumpul di tempat itu.

“Dia akan sadar ketika obat penenangnya habis… mungkin sekitar dua tiga jam lagi…”

“Maafkan aku karena merusak kencanmu, Ye Jin…” ujarku sambil menatap Ye Jin.

Saudariku menatapku simpatik dan tersenyum. “Sudahlah, yang penting semuanya baik-baik saja. Dan ternyata dia masih hidup…”

Tiga pria itu memandang Nam Gil yang terbaring tidak sadar dengan ekspresi senang. “Jadi dia masih hidup, brengsek Baek Do Bin tidak cerita apapun.,. Tetapi, syukurlah…”

“Ya, hebat juga Do Bin…” puji dua lainnya. “Dan syukurlah, dia masih hidup…”

Yong Soo menatapku dan tersenyum. “Soal kenangan, kalau dia masih tidak bisa mengingatnya, kau buat saja yang baru bersamanya…”

“Aku tahu itu,” jawabku menyetujui. Kenyataan kalau dia masih hidup adalah hal terindah dalam hidupku.

“Pengunjung dpersilakan masuk…” ujar perawat itu. Aku mengangguk dan mempersilakan Yoo Jin dan sahabat Nam Gil masuk, namun mereka menolak dan menyuruhku segera masuk.


Nafasnya terdengar teratur, walaupun wajahnya masih terlihat pucat. Nam Gil pria yang kuat. Belum pernah aku melihatnya begitu menderita seperti tadi. Seolah kepalanya akan pecah tadi. menyedihkan…

Aku menyentuh tangannya dan mengusapnya pelan. “Kau janji… kau akan pulang… Mungkin terlambat dua tahun, tetapi kau memenuhinya… terimakasih, Nam Gil…” air mata meluncur turun dari pipiku.

Tiba-tiba sebuah tangan mengusap pipiku lembut dan menghapus air mataku. “Kau masih saja cengeng, Yo won…” ujar suara itu.

Aku memandang raut wajah di depanku dengan mimik tidak percaya. “Kau… mengingtku… Nam Gil?” tanyaku dengan suara bergetar.

“Maaf, Yo Won…” tangannya bergerak menyusuri tulang pipiku. “Mungkin terlambat, tetapi… aku sudah pulang….”

Aku memeluknya dan menangis sesunggukan di pelukannya. Nam Gil tersenyum dan ia mengusap punggungku, berusaha meredakan tangisku. “Maaf membuatmu menunggu lama…”

“Lama sekali, tahu…” balasku setengah mengomel.

“Kalau begitu, apa kuucapkan sekarang saja?” tanyanya sambil mencium dahiku lembut. “Aku… ingin menikahimu, Yo Won…”

Mataku kututup perlahan dan bibirnya menekan bibirku lembut. Awalnya bibirnya hanya menyentuh bibirku bagai sapuan ringan marshmallow. Namun, ketika tanganku kulingkarkan di lehernya, ciumannya bergerak semakin mendalam dan semakin menuntut.

Dentang lonceng kebahagiaan berkumandang di kepalaku. Saat menoleh ke samping, wajahku serta merta memerah melihat Yoo Jin, Ye Jin, Yong Soo, Hee Wong dan Yoon Hoo bersorak dari kaca rumah sakit.

Nam Gil tertawa dan memelukku sambil mengeluarkan tanda victory dengan jarinya. Kali ini kami takkan terpisahkan lagi, selamanya, selamanya, dan selamanya. Aku tahu itu…





TAMAT



Note: fyuhh... finally, it's done...

Fanfic The Future and the Past 44

-------------------------------------------------------------------------------------------------
FORTY FOURTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Ho Jae: Go Yoon Hoo (memakai nama asli di FF)
Bakui: Jang Hee Woong (memakai nama asli di FF)
Kim Yong Soo : Park Jung Chul(nama asli): Jung Yong Soo (nama di FF)
lady Ma Ya (King Jinyeong's wife) : Yoon Yoo Sun (Ibu dari Yo Won dan Ye Jin, memakai nama asli di FF)
General Ga Baek: Seo Bum Shik (memakai nama asli di FF)
Yeom Jong
-------------------------------------------------------------------------------------------------
─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

“Yong Soo? Bagaimana keadaan di sana?” Yoon Hoo melakukan hal yang sama denganku, menggunakan handsfree dan tidak melepaskan pandangannya dari mobil di depan kami. Mereka memasukkan sejumlah bagasi dan bersiap pergi. “Di rumah itu tampaknya tidak ada perubahan? Oke, ya, kami sudah menemukan mereka. Kalian segeralah kemari. Tempatnya di….”

“Mereka bergerak…”

“Kalian menyusullah selagi sempat…” ucapan Yoon Hoo terputus begtiu saja. Ia segera meraih motornya dan menghidupkan mesin. Sebisa mungkin kami menjaga jarak.

Tidak lama giliran ponselku yang bergetar. “Do Bin?” sebuah suara menjawabku dari seberang.

“Tampaknya penerbangan mereka sejam lagi. Kalian sudah menemukannya?” tanya Do Bin.

“Ya, sekarang ia berada di pom bensin yang jaraknya sekitar 200 meter dari bandara…” Do Bin menyarankan diri untuk ikut dan aku tidak sempat menjawabnya karena pria itu sudah bergerak lagi. “Nanti kuhubungi lagi…” ucapnya saat memutuskan teleponnya.

“Mereka ke sana…” Yoon Hoo mengikuti petunjukku. Pria itu pandai memanfaatkan jalan-jalan sempit untuk mencapai tempat tujuannya. Tampaknya rencana ini sudah mereka siapkan dari dulu.

“Jalan buntu!!” tukasku dan Yoon Hoo bersamaan. Dari belakang, suara deruman mobil mengejutkan kami. Yoon Hoo memandangku dengan wajah pucat pasi.

“Kita terjebak…” ujarku dengan suara bergetar.

“Bukan, dia yang menjebak kita… Ternyata dia tidak sebodoh dugaanku…” suara Yoon Hoo terdengar panik, namun ia mengusahakan eskpresinya tetap tenang.

Mobil itu berhenti di depan sudut jalan dan menghalangi kami kabur. Aku berpandangan dengan Yoon Hoo, dan kami berdua bergerak turun dari motor. Dua orang Seo Bum Shik turun dari mobil dan mengamati kami dengan senyuman menyeringai.


─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“BLAMMM!!!”

“Ye Jin! Kalau tutup pintu pelan-pelan, dong…” gerutuku sambil menghembuskan nafas kesal. “Perasaanku lagi nggak enak nih!!”

“Perasaanku juga nggak enak, Yo Won. Sorry…” sahut YeJin sambil menghempaskan tubuhnya ke kasur. “Apa yang mereka lakukan sekarang?”

“Tidak tahu. Kita hanya bisa menunggu kabar dari mereka…” jawabku dengan perasaan campur aduk. “Kenapa sih sementara para pria maju ke medan perang, para wanita hanya bisa menunggu dengan perasaan kacau setengah mati?”

“Tidak tahu, Yo Won...” ucapan Ye Jin terhenti saat melihat wajahku. “Ya ampun, coba lihat wajahmu! Kau seperti hantu!!”

“Aku memang akan jadi hantu kalau ia pergi meninggalkanku….”

“Sama denganku…”

─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

“Akhirnya aku bisa membalas sakit hatiku, Kim Nam Gil…” ujar Yeom Jong. “Seharusnya kau tidak perlu membantu Do Bin…”

“Kau yang seharusnya tidak perlu merusak hidup orang lain. Dan kau membunuh orang hanya supaya kau bisa melarikan diri…”

“Itu bukan urusanmu. Dan sekalian kukenalkan, Pamanku, Seo Bum Shik yang ternyata juga pernah sakit hati padamu…”

“Bahumu tidak sakit lagi kan?” tanyanya sambil tersenyum culas. “Tapi hatiku masih sakit dan jujur saja, melihatmu, darahku semakin mendidih…”

“Terimakasih untuk salamnya yang hangat…” jawabku sambil meludah ke tanah di depan mereka. “Kau menjebakku karena menyadari aku mengintaimu?”

“Aku menyadarinya dari pom bensin…” Yeom Jong tertawa culas. “Dan temanmu, apa aku kenal? Oh, ya, dia si pria di asrama dulu… Hmm… aku tidak punya dendam padanya, tetapi sayang sekali, dia berada dalam posisi tidak tepat…”

“Kalian pecundang…” ujar Yoon Hoo. Ia mengeratkan kepalan tangannya dan memandang dua pria di depannya dengan berani.

“Kau jangan gegabah. Sebaiknya kau melarikan diri dan membantuku memanggil bantuan…” bisikku ke Yoon Hoo begitu dua pria itu saling mendiskusikan cara terbaik membunuhku, kalau aku tidak salah dengar.

“Mereka hanya berdua…” protes Yoon Hoo sambil setengah berbisik.

“Pria macam mereka tidak akan bergerak hanya dengan dua orang. Dengarkan aku, begitu aku maju dan menyerang mereka, kau lari dan memanggil bala bantuan. Percayalah, larimu sangat cepat…”

“Tapi Nam Gil…” Yoon Hoo terlihat mencemaskan keadaanku.

“Dengarkan saja aku. Dan kemudian, kalau ada sesuatu yang terjadi padaku, kau berikan ini pada Yo Won…” secepat kilat kuselipkan sebuah surat ke saku jaket hitam Yoon Hoo. “Kau harus ingat janjimu pada Rae Na…”

“Hati-hatilah Nam Gil…” ujar Yoon Hoo sambil menatapku dengan pandangan serba salah. Ia bersiap di tempatnya, menunggu aba-aba dariku.

“Halo? Kalian ke sini sekarang…” ujar Yeom Jong di teleponnya.

Secepat kilat kakiku kulangkahkan ke arah mereka. Memanggil bawahan pasti butuh waktu. Dan waktu adalah hal terpenting untuk membantu Yoon Hoo pergi dari sini.

“Brengsek!!” ujar Yeom Jong saat tendanganku mengenai perutnya. Seo Bum Shik membekukku dari belakang dan begitu kuputar tubuhku, kakinya malah menghantam keponakannya sendiri.

“Pergilah, Yoon Hoo!!” seruku begitu tanganku menahan kerah baju Yeom Jong dan menjatuhkan pukulan bertubi-tubi ke arahnya. Dalam waktu yang sekejap itu, pistol Yeom Jong kutembakkan ke mesin mobilnya.

“Tembakanmu meleset, Nam Gil!!” seru Seo Bum Shik puas. Ia menghantamku dan secepat itu pula kubalas pukulannya.

Yoon Hoo berlari pergi dengan langkah lebar dan memanjat kap mobil lalu melompat lari dari lorong kami. Bafasku berangsur lega ketika sosoknya tidak lagi terlihat.

“Jangan biarkan dia lolos!!” seru Seo Bum Shik. “Mana anak buahmu!!” serunya gusar pada Yeom Jong. Ia berlari namun kuhempaskan tubuhku menubruknya.

“Lepaskan! Lepaskan aku!!” serunya kalap. Dengan gusar ia meraih benda apapun untuk melempariku. “Yeom Jong! Kejar! Kejar temannya itu!”

Yeom Jong menggosok kepalanya dan menggerakkannya. Ia terlihat sempoyongan dan dengan mudah terjatuh ketika kakiku menjegalnya. “Aku tidak akan biarkan kalian melukainya…” seruku marah.

“Kalian! Lama sekali kalian datang!!”

Wajahku memucat melihat beberapa pria bertubuh besar datang ke hadapanku. Jumlah mereka sekitar 10 orang. Kalau kondisiku baik, mungkin aku masih bisa menghadapi mereka.

Tapi, selain keadaanku terjepit, kondisiku juga tidak lagi prima. Apakah keputusanku menyuruh Yoon Hoo pergi adalah keputusan yang salah? Tidak. Tidak. Ini adalah masalahku sendiri. Dan aku… harus bisa mengatasinya sendiri. Maafkan aku, Yo Won… mungkin… aku tidak bisa pulang…

Pria itu mengepungku dan memukuliku. Aku membalas sekuat tenaga tetapi tenagaku semakin habis sementara jumlah mereka semakin bertambah. Akhirnya aku kalah dan semakin terdesak. Tubuhku dioper ke kiri dank e kanan, dan dihadiahi pukulan di sekujur tubuhku.

“Kau tamat Nam Gil…” Yeom Jong mengeluarkan tawanya yang licik. Ia menjentikkan jarinya dan beberapa anak buahnya menyiramkan minyak ke kardus-kardus di dekatku.

“Selamat tinggal…” perlahan, Yeom Jong mengangkat pistolnya dan mengarahkannya ke kepalaku. Mataku nyaris buram oleh darah dari kepalaku. Ia menarik pelatuknya dan nafasku tersangkut di tenggorokanku.

Maafkan aku, Yo Won… mungkin… aku tidak bisa pulang…

─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

Beberapa tubuh perkasa mengelilinginya dan menjatuhkan sejumlah pukulan bertubi-tubi ke tubuhnya. Wajahnya pucat namun dipenuhi darah… hentikan.. cukup… cukup…

“Jangan! Jangan! Jangan!”

“Yo Won! Yo Won! Bangunlah!!” Ye Jin mengguncang tubuhku beberapa kali, membangunkanku dari mimpi.

“Hah! Apa… apa yang terjadi…?” tanyaku, memegang dahiku dan menyentuhnya. Keringat membasahi peluhku.

“Kau mimpi buruk?” tanya Ye Jin. Aku mengangguk. “Masih kilasan itu?”

“Bukan.. mimpi itu sudah lama sekali tidak muncul sejak ingatanku kembali… Aku memimpikan Nam Gil… dia.. dikeroyok…”

“Doakan saja semoga ia tidak apa-apa…” Ye Jin memelukku dan menepuk punggungku beberapa kali, mencoba menenangkanku.

“Masih belum ada kabar?” tanyaku dengan suara getir.

“Belum…” ujar Ye Jin sambil memaksakan senyuman di bibirnya. “Barangkali….” Namun, belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, sebuah suara memanggil nama kami berdua.

“Ye Jin! Yo Won! Ada tamu!!” seru Mama dari lantai bawah. Kami berpandangan dan dengan segera berlarian dan berebutan menerobos turun tangga.

Yoon Hoo, Hee Wong dan Yong Soo berdiri di depan pintu dengan wajah kuyu. Ye Jin langsung melompat ke pelukan Yong Soo dan menangis bahagia karena lega.

“Apa yang terjadi? Bagaimana?” suaraku bagai melayang tidak menentu. “Mana… Nam Gil? Kenapa aku tidak melihatnya?”

“Yoon Hoo, bicaralah…” ujar Hee Wong menyenggol siku Yoon Hoo yang berdiri kaku di sampingnya. Wajahnya muram.

“Nam Gil menghadapi mereka sendirian… dan ia menyuruhku pergi memanggil bantuan. Ketika aku kembali.. di sana sudah jadi lautan api…”

Aku memandang pria tegap itu dengan perasaan tidak percaya. Wajahnya terkena beberapa luka bakar. “Kau… menemukannya? Kau menemukannya, iya kan?”

“Maaf Yo Won…” tangis Yoon Hoo meledak seketika. Ia meletakkan tangannya di bahuku dan mengeraskan rahangnya. “Aku tidak menemukannya….dalam lautan api itu…”

“Apa…” suaraku hilang bagai tercekik. “Kau.. bohong kan…” aku nyaris tidak bisa mengenali suaraku sendiri. “Kau bohong! Katakanlah kau bohong padaku!!”

“Aku juga tidak percaya! Seharusnya aku menemaninya!” Yoon Hoo memukuli dadanya sendiri dengan perasaan hancur. “Seharusnya aku tidak mendengarkan perintahnya!!” ia menyalahkan dirinya sendiri.

Bahunya berguncang-guncang dengan pedih. Teman-temannya menahannya agar tidak jatuh. Kakiku terasa begitu lemasnya sampai-sampai Ye Jin membantuku tetap berdiri.

“Kembalikan… Nam Gil.. tidak..” tangisku meledak di bahu Ye Jin. “Dia janji… akan kencan denganku… kami akan menghitung countdown bersama…” nafasku terasa naik turun di dadaku. “Dan dia… dia sudah janji… akan pulang…”

“Nam Gil menitipkan ini untukmu…” Yoon Hoo mengulurkan sebuah surat yang tersimpan rapi di sakunya. Tanganku bergetar saat mengenali tulisan yang rapi dan tegas menuliskan namaku. Tulisan Nam Gil.

Yo Won,

Saat kau menerima surat ini, mungkin aku tidak lagi bersamamu…
Aku menjanjikan akan pulang, tetapi, maaf karena aku tidak bisa memenuhi janji itu. Sebagai gantinya, saat malam tiba, kau bisa memandang bintang dan menemukan aku ada di sana…

Mencintaimu selamanya, dan akan terus mencintaimu, berapa kalipun reinkarnasi, kurasa aku akan terus mencintaimu…


Air mataku tumpah tiada henti. Ye Jin memelukku dari samping. Aku bahkan masih bisa mengingat ciuman darinya, genggaman tangannya, dan suaranya. Suaranya bahkan masih terasa begitu dekat denganku. Dan… aku tidak bisa melihatnya lagi….


-to be continued-