Kamis, 17 Juli 2014

Sing out loud, love Side Story 5

Sing out loud, love Side Story 5

May 1, 2012 at 9:27am
Sing out loud, love
Side Story 5
Cast:
Kim Jae Joong
Evhy Vhiesa as Choi Hye Bin

—Kim Jae Joong, March 2012, Apartment—
“Aku tidak ingin berhenti menyanyi…” ucap Yoo-chun. “Untuk sementara, ini pilihan hidup yang kupilih. Kau keberatan tidak?”

Perbincangan mereka terdengar dengan jelas dari ruang tamu tempatku duduk menikmati buku bacaan. Walau tidak bermaksud menguping, pembicaraan itu seolah memang untuk kudengarkan.

“Aku tidak keberatan…” terdengar suara sopran Jae-shi. “AKu tahu betapa senangnya perasaanmu saat ada begitu banyak orang bernyanyi dan menikmati musik bersamamu. Memang menyenangkan…”

“Kalau begitu, kapan kita akan melaksanakan pesta itu?”

“Pesta?” Suara Jae-shi mengecil.

“Pertunangan, tentu saja! Kau kan sudah menerima buket dari Nona Ha-na!”

“T-tapi…”

“Aku tidak sabar melihatmu dalam gaun seperti itu…”

Aku tersenyum dan menggelengkan kepala. Yoo-chun berubah sejak bertemu Jae-shi.  Aku juga berubah. Awalnya, aku sama sekali tidak menganggap keberadaan gadis itu. Sampai kami akhirnya dekat dan aku merasa ia mengubahku.

Sayangnya, pilihan Jae-shi bukan aku. Pria yang paling istimewa di hatinya bukan aku, tetapi Yoo-chun. Dulu, rasanya begitu menyebalkan melihat kedekatan mereka berdua, atau bahkan ketika mereka menjaga jarak saat melihatku, berusaha untuk tidak menyakiti perasaanku.

Sekarang… tidak, maksudku… setelah mengenal Hye Bin, sakit hatiku perlahan menghilang. Aku bisa bersikap wajar dan tersenyum di depan mereka. Aku bisa bersyukur karena mereka bahagia. Dan aku juga bisa bersyukur karena hari itu bisa melepaskan Jae-shi.

Semua berkat Hye Bin.




—Choi Hye Bin, March 2012, Bioskop—
“Wah, kau menonton di sini juga Hye Bin?” tanya seseorang. Ternyata teman yang seangkatan kuliah denganku.

“Ah… benar…” jawabku sambil tersenyum. Mataku masih mencarinya ke kiri dan kanan. Dia belum datang juga, pikirku.

“Menunggu seseorang? Siapa?”

“Ahh… tidak…” Seperti biasa, dia sudah menyuruhku masuk duluan dan menunggunya di dalam. “Ayo, kita masuk saja…”

Selang beberapa menit setelah lampu bioskop dimatikan, pria itu muncul dan mengambil tempat di sebelahku. “Maaf, aku terlambat…”

“Kau selalu menunggu lampunya dimatikan supaya tidak ada yang mengenalimu kan? Tenang saja, aku sudah hapal gayamu…” tawaku. “Yang penting kita bisa nonton bersama…” jawabku dengan suara berbisik.

Kemudian, Jae-joong tidak bicara lagi. Matanya menatap serius ke layar bioskop. Kami menonton film Hunger Games. Tentu saja lebih banyak action yang terdapat di film itu daripada masalah percintaan. Tapi entah mengapa, bumbu cinta memang selalu ada dalam setiap film, bahkan film action sekalipun.

Dalam Hunger games, tokoh utama wanita terjebak di antara dua pria. Diam-diam kutatap wajah tampan Jae-joong yang menekuni film di sebelahku. Kenyataan tentang kisah cinta segitiga itu menggelitikku.

Kisah cinta selebritis adalah sasaran empuk bagi para wartawan. Aku tahu dengan jelas ada begitu banyak gossip di antara Jae-joong, Jae-shi, dan Yoo-chun. Jae sendiri pernah menceritakan padaku tentang perasaannya dulu pada Jae-shi.

Aku tidak bisa menyalahkannya karena pernah menyukai gadis itu. Jae-joong pernah membawaku bertemu gadis itu. Kami akrab dengan cepat, dan dia memang gadis yang menyenangkan. Jae-shi juga  menyebutku sebagai gadis yang baik dan pujian kecil itu membuatku tersenyum.

Jae memang pernah bilang kalau ia… emm.. menyukaiku. Dan ia ingin membangun hubungan yang berbeda denganku.

 Tapi setiap kali melihat Jae-shi dan Jae-joong berduaan, tidak bisa kupungkiri, ada perasaan tidak tenang di dadaku. Bagaimana kalau Jae-joong tenyata salah? Ia bilang sudah melupakannya tetapi ternyata belum?

Jadi, di sinilah aku, terjebak dalam perasaanku sendiri. Aku dan Jae-joong biasa menghabiskan waktu bersama, tapi rasanya belum bisa disebut pacaran. Kenapa? Karena aku tidak yakin dengan diriku sendiri.  Pernah suatu waktu, Jae-joong bertanya bagaimana perasaanku padanya. Nah, pertanyaan itu belum kujawab sampai sekarang.

ADa tidak yang mau bilang aku bodoh?



—Kim Jae Joong, March 2012, Sushi Restaurant—
“Jadi,” kuulangi kalimatku sambil tertawa. “Mereka sudah secepat itu memutuskan masa depan mereka. Aku sampai terkejut mendengarnya… Menurutku sih, usia segitu terlalu muda bagi Jae-shi, bahkan untuk bertunangan. Eh, bagaimana menurutmu?”

Hye-bin menatapku serius dan kemudian mengunyah makanannya. “Selama mereka bahagia, menurutku tidak masalah. Apalagi kelihatannya mereka benar-benar saling menyukai satu sama lain…”

“Kau benar juga…” ucapku.

“Kenapa wajahmu terlihat tidak rela?” tanya Hye-bin tiba-tiba.

“Tidak rela? Aku?” Aku berpikir sejenak sebelum menjawab. Benarkah wajahku terlihat tidak rela? “Kalau Yoo-chun menikah… otomatis ia akan kehilangan beberapa kesempatan tampil bersama kami. Tentu saja karena ada beberapa urusan pernikahan, bulan madu dan lain-lainnya. Lalu DBSK akan terasa tidak lengkap…”

“Sungguh?” Hye-bin menatapku penasaran. “Sungguh hanya itu?”

“Apa maksudmu?” tanyaku tidak mengerti. Jantungku tiba-tiba berdebar. Kalau kuakui, aku memang merasa agak canggung membayangkan gadis yang dulu pernah kusukai akan menikah dengan teman baikku. Aku manusia normal, wajar punya pemikiran semacam itu. Tapi…

Kuraih tangan Hye-bin dan meremasnya pelan. “Ada apa? Kau sungguh tidak seperti biasanya hari ini. kau jadi banyak bertanya padaku. Ada masalah?”

Hye-bin menggeleng. “Aku ini… biasanya dikenal sebagai orang yang suka mengutarakan apa yang kupikirkan…”

“Ah, aku tahu itu,” tawaku.

“Tapi denganmu, aku jadi banyak berpikir sebelum bicara.”

Nah loh. “Kenapa?”

“Karena menurutku ada beberapa pertanyaan yang kalau kutanyakan, aku takut kau malah akan menjauh dan marah padaku…”

Sebuah nama melintas di benakku dengan cepat. Jae-shi. Mungkin Hye bin tidak tahu, tapi daripada mencemaskan Jae-shi, aku lebih mencemaskan wajahnya yang murung seperti ini. Seperti ada yang hilang karena seharian ini ia jarang tertawa bersamaku.

“Contohnya…” Hye Bin berdehem dan memainkan jemarinya sesaat. “Tentang film tadi. Apa tidak mengingatkanmu pada Jae-shi?”

Kunaikkan alisku sedikit. “Dalam hal apa?”

“Cinta segitiga. Ah, maksudku…” Hye-bin menunduk dalam-dalam. “Aku tidak bermaksud menyinggung, tapi aku hanya penasaran, dan…”

“Aku bohong kalau bilang aku sama sekali melupakannya.” Hye-bin mengangkat kepalanya dan lama menatapku. “Kami satu kantor, sering bertemu, sering menyapa, sering terlibat dalam pekerjaan yang sama. Kau bisa membayangkannya?”

Hye-bin mengangguk. Ragu-ragu. Kuteruskan kalimatku. “Tapi perasaannya, situasinya, semua terasa berbeda dengan dulu. Dulu aku tidak nyaman melihatnya bersama Yoo-chun, bersama cowok lain. Tapi sekarang, aku bisa tertawa dan menggodanya seperti dulu. Rasanya wajar sekali…”

Hye-bin masih menatapku. “Kau tahu sejak kapan aku merasakan hal semacam itu? Sejak kepulanganku dari Nagano. Sejak pertemuanku denganmu… Perlahan-lahan, semuanya berubah…”


—Choi Hye Bin, March 2012, Apartment―

“Nah, sampai kapan kau mau menyembunyikan wajahmu seperti itu?” Jae-joong tertawa geli melihatku menyembunyikan wajah dengan kedua tanganku.

“Kata-katamu membuat wajahku terasa panas setiap kali mengingatnya…”

“Apa aku membuatmu jadi tidak bisa tidur malam ini?”

“Mungkin saja begitu. Kau mau bertanggung jawab?”

“Tentu saja. Pilihanmu hanya dua sekarang. Pikirkan aku sampai pagi, atau mimpikan aku…” ujar cowok itu santai. “Oh ya, dank au juga belum bilang bagaimana perasaanmu sebenarnya padaku. Mungkin itu juga harus kau pikirkan…”

“Tapi…”

“Selamat malam…” cowok itu membalikkan badannya dan pergi, setengah melambai.

“Aku menyukaimu, Jae-joong…” ucapku tanpa sadar.

Jae-joong membalikkan badannya dengan wajah terkejut.  Aku ikut melotot melihatnya. Tidak kusangka ia bisa mendengarku.

“Kau dengar?”

“Ya…”

Selanjutnya ia membiarkanku menghambur masuk pelukannya. “Dasar bodoh, kenapa aku juga begini bodoh waktu bersamamu…” keluhnya, lalu kami sama-sama tertawa. Perlahan, Jae-joong menyentuh daguku dan menatapku lama, sebelum akhirnya bibir kami bersentuhan.


-Tamat-

Sing out loud, love Side Story 4 (AFTER EP 16)

Sing out loud, love Side Story 4

May 1, 2012 at 8:58am
Sing out loud, love
Side Story 4
Cast:
Park Hae Bin
Max Chang Min

Hae Bin, Februari 2012, SM Entertainment
Sudah lebih dari setengah tahun sejak pernikahan antara Lee-ah dan Hyun-joong terjadi. Semenjak hari itu, Jae-shi yang tidak pernah berhenti berkarir sebagai penyanyi semakin terkenal dan sibuk.

“Pernikahan Nona Ha-na akan diadakan pada hari Valentine. Jadi, pada hari itu kita tidak bisa kencan…” Chang-min melihat agendanya sambil berpikir. “Bagaimana kalau sebelumnya?”

“Jae-shi ada pertunjukan. Show yang dilaksanakan hari itu akan diputar waktu Valentine nanti… Jadi, tidak bisa…” ucapku sambil menggeleng. “Bagaimana kalau tanggal sesudahnya? Hari itu jadwal Jae-shi juga kosong…”

“Jadwalku padat hari itu…” sesal Chang-min. “Ada wawancara dimana-mana. Intinya mereka mau tahu bagaimana DBSK menghabiskan hari valentine mereka…”

“Ohh…” aku berusaha memahami kesibukan Chang-min seperti ia juga memahami kesibukanku. Akhir-akhir ini kami berdua sama-sama sibuk sampai-sampai untuk mendapatkan waktu kencan sehari saja susahnya bukan main.

“Bagaimana kalau… tanggal ulangtahunmu saja?” tanyaku sambil tersenyum. Ulangtahun Chang-min adalah pada tanggal 18 Februari. Wajahnya mencerah ketika mendengarku masih mengingat tanggal ulangtahunnya.

“Aku senang kau mengingatnya. Tapi, kurasa tidak bisa…” Chang-min menunduk lagi. “Biasanya ulangtahun dirayakan bersama para fans. Kau tahu, kami selalu berusaha untuk tidak mengecewakan mereka…”

“Kau benar…” aku bodoh sekali bisa melupakan hal itu.

“Biar bagaimana pun, aku hanya dapat libur waktu tanggal 13...” ucap Chang-min sambil menatap langit-langit kantor. Aku ikut mendesah bersamanya.

“Hari itu jadwal Jae-shi padat…” jawabku.

“Kalian membicarakan apa? Membicarakanku?” tanya sebuah suara tiba-tiba. Jae-shi muncul di depan kami dengan sekotak kue kering hadiah dari para fans.

“Tidak…” jawabku dan Chang-min hampir bersamaan. Bodohnya, kami menjawab terlalu cepat. Jae-shi menyunggingkan senyuman—aku tidak percaya—pada kami.

“Tenang saja, Yoo-chun sudah berjanji akan menemaniku hari itu…” Jae-shi meletakkan kotak kue keringnya di pangkuanku. “Dan kakakku akan datang bersama Kak Hyun-joong. Kau tidak perlu menghawatirkanku, aku bisa kok.”

“T-tapi…” Aku hendak menyanggah dengan mengatakan bahwa sudah menjadi tugasku untuk selalu menemaninya.

“Kalian bersenang-senang saja. Chang-min kan jarang mendapat hari libur. Sayang sekali kalau tidak dimanfaatkan.”

“T-tapi…” Chang-min masih berusaha memanggil Jae-shi, “Sungguh, bukan begitu…”

“Tenang saja sunbae…” Jae-shi menepuk pundak Chang-min dengan gembira. “Akan kurahasiakan!” matanya bahkan terlihat berbinar saat mengucapkannya. “ Nah, selamat menikmati!” Jae-shi melambai ringan dan pergi meninggalkan kami yang masih duduk melongo.

“Apa maksud ucapan selamat menikmati darinya itu?” tanya Chang-min.

“Kuenya, mungkin…” ucapku. “Atau… menikmati… kencan kita?”

Wajah kami berdua sama-sama memerah mendengar ucapanku. Terima kasih, Jae-shi. Aku akan berusaha menikmati kencan ini dengan baik! Dan berikutnya, akan kucarikan sponsor yang lebih baik untukmu!


Max Chang Min, 13 Februari 2012, SM Entertainment
“Hai!” Aku setengah berlari mulai menghampiri gadisku, Hae-bin yang berdiri menunggu di depan tiang putih besar. Tempat janjian yang paling mudah untuk kami memang gedung ini.

“Enaknya kemana ya?” tanyaku sambil menggandeng tangannya keluar gedung.

“Eh… kemana ya…”

Melihat Hae-bin memasang wajah sangat serius saat berpikir, tanpa sadar aku juga ikut berpikir bersamanya. Kami sama-sama terdiam karena baru menyadari kalau kami berdua memang jarang sekali mendapat kesempatan untuk kencan berdua.

“Oh!” Tiba-tiba sebuah ide tercetus di kepalaku. “Makan saja dulu!” seruku.

“I-ide bagus!” Hae-bin menyahut dengan antusias sekaligus gugup.

Kami terbiasa menghabiskan waktu bersama. Tapi, jarang sekali kami benar-benar bisa berduaan seperti hari ini. Untuk waktu yang lama pula. Sebagian besar waktu kami dihabiskan di kantor. Jadi, kadang-kadang kami hanya bisa mengobrol bersama, bertemu sebentar di sela-sela kesibukan, atau sama-sama melempar lirikan saat Jae-shi sedang ada acara gabungan dengan DBSK.

“Bagaimana kalau kita ke Seoul Tower?” Aku masih mengunyah jajangmyung milikku ketika mendengar Hae-bin menatapku sambil tersenyum. “Tidak suka tempat itu?”

“Tidak… tidak masalah sebenarnya…” jawabku sambil tersenyum. Di manapun, asalkan bersamanya, akan terasa menyenangkan.

“Bagaimana kalau kita juga membeli dulu hadiah untuk pernikahan Nona Ha-na?”

“Ah, benar juga…”

Aku membalas senyuman riang Hae-bin. Gadisku memang pintar. Itulah mengapa aku sangat menghargai sekaligus menghormatinya.



Park Hae-bin, 13 Februari 2012,Seoul Street
“Yang ini lebih bagus bukan?”

Saat ini  kami sedang memilih satu set peralatan makan yang terdiri dari piring, cangkir, poci, dan gelas bertema sama.

“Aku lebih suka warna biru laut ini…” ucapku sambil berpikir. Tapi sebenarnya bentuk yang dipilih Chang-min lebih elegan dan menunjukkan kelasnya. “Tapi yang itu bentuknya bagus…”

“Pilih saja sambil tutup mata…” usulnya sambil mengulum senyum.

“Tidak, tidak. Karena dua lawan satu, kita pilih yang ada di tanganmu saja. Bagaimana?” Chang-min mengangguk yakin padaku.

“Sayang sekali kau tidak mau menutup matamu tadi…” guraunya sambil membayar di kasir.  Aku menatap Chang-min dengan tatapan heran. Chang-min tertawa sambil mengibaskan tangannya, tampak malu-malu. “Aku bermaksud mencium pipimu saat kau menutup matamu…”

Wajahku serasa memerah sampai leher mendengarnya. Chang-min memalingkan wajahnya ke samping. Telinganya juga memerah. “Karena itu tadi aku ragu-ragu mau mengatakannya…”

“Sekarang kemana?” tanya Chang-min sambil menggandeng tanganku. Seorang gadis yang berjalan terburu-buru tanpa melihat ke depan tidak sengaja menabraknya. Chang-min membungkuk untuk mengambil kaca matanya yang terjatuh ketika gadis itu berulang kali meminta maaf dan menundukkan kepalanya.

“Aku minta maaf sekali… astaga… kau…”

Aku langsung melepaskan gandengan tanganku dari tangan Chang-min. Ucapan tidak apa-apa yang mau diucapkan Chang-min juga langsung menghilang ketika gadis itu tiba-tiba berseru keras dengan gaya heboh.

“Astaga!! Astaga! Chang-min oppa!!!” serunya sambil berjingkrakan di tempatnya berdiri. “Bo-bolehkan aku minta foto bersamamu?”

Aku langsung menghilang dan bersembunyi ketika Chang-min menatapku sekilas dan memberikan isyarat padaku.

Dalam sekejap, Chang-min sudah dikerbungi para fansnya—begitu banyak gadis-gadis entah darimana—berkumpul mengelilinginya. Berfoto, meminta tandatangan, meminta salaman, semua seolah tidak ada habisnya.

Sambil menghela nafas, aku hanya bisa menatap sosoknya. Habislah, kencan kami memang sudah berantakan sekarang.



Max Chang Min, 13 Februari 2012, Seoul Tower
Nafasku hampir putus ketika berusaha keras berlari meninggalkan para fansku. Jumlah mereka semakin tidak terkontrol. Oleh karena itu, kurasa sudah saatnya aku kabur dari sana.

Hae-bin tidak kutemukan di tempat yang kuisyaratkan padanya. Aku memintanya menunggu di toko tempat kami makan mie tadi. Mungkin ia tidak sempat melihat isyaratku karena keadaan benar-benar kacau tadi.

Kakiku mengitari department store tempat kami membeli seperangkat peralatan makan. Tidak ada juga tanda keberadaannya di sana.

“Halo? Jae-shi?” Mungkin kedengerananya bodoh, tapi kuharap Jae-shi tahu—atau setidaknya punya ide—di mana aku bisa menemukan Hae-bin. “Apa show nya sudah selesai? Sudah? Oooh… kau bersama Yoo-chun sekarang? Ah, sebenarnya aku mau bertanya tentang Hae-bin… Tidak melihatnya? Dia tidak menelepon? Baiklah, nanti kalau dia menelepon tolong hubungi aku. Bertengkar? Tidak… kami tidak bertengkar. Semuanya kacau karena tidak sengaja penyamaranku terbongkar dan kami jadi terpisah… Ya, baiklah…”

Jae-shi juga tidak melihat Hae-bin. Jadi, di mana lagi aku harus mencari?




Park Hae-bin, 13 Februari 2012,Seoul Tower
“Sepertinya memang mustahil…” keluhku sambil menatap gembok di tanganku. “Kalau tidak sepasang, tidak bisa…”

Seoul Tower. Di menara ini aku bisa melihat ada begitu banyak gembok dipasang di sini. Semuanya sepasang. Kutatap gembok yang kubeli berdua dengan Chang-min tadi, sebelum kami membeli perabotan makan.

 Chang-min menyuruhku menunggu di toko mie tadi. Tapi, aku sudah tidak berselera melanjutkan kencan kami. Tidak sengaja setitik air mata jatuh ke gembok di tanganku. Dasar bodoh, untuk apa menangis?

“Karena tidak ada pasangannya, gembok yang itu jadi menangis sedih, kan?” ucap sebuah suara.

Aku mengangkat wajahku dan menutup mulut dengan tangan, terkejut setengah mati melihat Chang-min berdiri dengan nafas putus-putus dan wajah pucat berkeringat di depanku.

“Sudah kuduga kau memang di sini…” ujarnya sambil menarik tanganku.

“KAu… ingat ya…”

“Aku ingat semuanya…” ucap Chang-min. ia membantuku memasangkan gembok itu dan melemparkan kuncinya jauh-jauh. Di gembok itu, dengan spidol permanen, Chang-min menuliskan tiga kata. Selamanya sampai mati. Aku tidak tahan untuk melompat dan memeluknya.

“Besok…” Ia berbisik di telingaku. “Akan kubantu kau merebut buket bunga milik Nona Ha-na…” Sambil tersenyum ia menambahkan. “Supaya aku bisa mendahului  Yoo-chun dan menikahimu…”

“Tapi… bukankah buket itu milik Jae-shi…” Ucapanku terputus ketika Chang-min memeluk pingganggku dan menciumku lembut.

“Jae-shi bisa menunggu. Karirnya masih panjang. Dia juga masih muda. Kau dan aku? Kita sudah terlalu lama menunggu…”

Chang-min menciumku lagi. Sambil tersenyum, aku menarik lehernya mendekat. “Jadi, hanya itu yang kau ucapkan untuk melamarku?”

“Ada versi lengkapnya…” ujarnya sambil tersenyum manis. “Tapi supaya lebih mendebarkan, tunggulah sampai hari H-nya tiba…”




-tamat-

Sing out loud, love 16-end

Sing out loud, love 16-end

May 1, 2012 at 8:49am
Sing out loud, love 16-end
Chapter 16
Cast:
Liana Wijaya as Kim Lee Ah
Kim Hyun Joong
Author as Kim Jae shi (Lee Ah’s younger sister)
Micky Yoo-chun (TVXQ)



—Lee-ah, March 2011, France Restaurant—
Malam itu Hyun-joong memaksaku mengenakan sebuah gaun putih. Ia memainkan piano di sudut ruangan dan bernyanyi untukku, membuatku tersentuh.

“Lee-ah… mereka sudah datang…” Ketika mengatakan itu, tiba-tiba dari arah pintu datang sepasang pria dan wanita menghampiri kami. “Kedua orangtuaku…”

Tepatnya, orang tua angkatnya. “Salam kenal, saya Lee-ah…”

“Kami banyak mendengar cerita tentangmu dari Hyun-joong…” ujar Mamanya Hyun-joong.

“KElihatannya lebih cantik daripada yang terlihat di televisi…” ujar Papanya Hyun-joong sambil tertawa.

Kami menikmati makan malam dengan gembira. Hyun-joong tidak banyak menyinggung tentang orangtuaku. Kedua orangtuanya juga bersikap ramah dan kelihatannya cukup menerimaku sebagai kekasih anaknya. Sampai tiba-tiba…

“Jadi, kapan kau akan menikahinya?” tanya Papanya tiba-tiba.

Hyun-joong dan aku sama-sama kesulitan menelan makanan dan terbatuk-batuk beberapa kali. “Secepatnya…” jawab Hyun-joong setelah ekspresi jahilnya kembali. Astaga, aku hampir saja menjatuhkan gelas minumanku ke meja kalau saja Hyun-joong tidak menangkapnya dengan sigap.


—Jae-shi, April 2011, Apartment—
(setelah side story 2 & 3)
“Halo, aku datang untuk meminjam kakakmu…” Kak Hyun-joong datang ke apartemen kami dengan gayanya yang keren seperti biasa.

“Kakakku? Silahkan, pinjam sepuasnya…” tawaku sambil mendorong bahu kakakku ke pintu.

“Eh, Jae-shi? Apaan sih…” wajah kakakku memerah dan sedikit memprotes. Terdengar suara adu argumentasi yang disusul dengan tawa. Bagus kalau kakakku bisa gembira.

Kuhela nafasku sambil menatap ponselku yang mulai bordering. Jam menunjukkan pukul sepuluh. Ah, kenapa dia harus begitu tepat waktu? “Aku akan segera ke rumah sakit itu. Tunggu saja…”

Ting tong

Kubuka pintu dan di sana, berdiri Yoo-chun dengan senyumnya yang semanis biasanya. “MElihat wajahmu, apa dia sudah menelepon?”

Aku mengangguk dan Yoo-chun hanya menarikku masuk dalam pelukannya. “Ayo, kuantar kau ke sana…”



—Hyun-joong, April 2011, Seoul Hotel—
Lee ah pergi meninggalkanku dengan ragu-ragu. Saat ia menghilang bersama pelayan yang kutunjuk untuk mendampinginya, kakiku melangkah ke ball room. Semuanya sempurna, batinku sambil tersenyum. Semua harus sempurna untuk gadisku.

“Apa ada lagi yang perlu saya siapkan?” manajer operasional restoran ini melangkah ke arahku dengan senyuman lebar.

“Kau sudah melakukan semua sesuai permintaanku?” tanyaku sambil menatap sekeliling. Kakiku kembali melangkah ke tempat semula, di dekat pintu masuk.

“Tentu saja. Tidak satu detail pun saya lupakan…”

Bersamaan dengan itu, tiba-tiba terdengar suara di belakang kami. “Tuan, ehm…” pelayan tadi kembali dengan tatapan kagum. “Nona Lee-ah sudah siap…”

Secepat itu, kubalikkan wajahku dan menatapnya. Di sanalah Lee-ah, berdiri, tepat dengan bayanganku ketika membeli baju itu untuknya. Bedanya adalah—walaupun sudah beberapa kali membayangkan sosoknya dalam gaun yang kubelikan—tetap saja aku tidak bisa menyembunyikan ekspresi kaget ini dari wajahku.

“Eh…” Lee-ah menatapku dan menunduk lagi dengan malu. “Jadi… apa cocok denganku?”

Sangat. “Sempurna…” jawabku, apa adanya.

Gaun putih itu membungkus tubuh Lee-ah dengan tepat. Ia terlihat seperti… seorang dewi. “Tapi…” ia bergumam pendek sambil menatap gaunnya. “Tidakkah ini berlebihan? Untuk makan malam, kan?” Ia menatapku yang sudah berganti dengan jas. “Kau juga memakai jas…”

“Sebentar lagi mereka akan datang…” bisik manajer restoran di telingaku. Kulirik arlojiku dan mengangguk.

“Hyun-joong…” Lee-ah menarik tanganku.

“Kenapa tidak kau katakan padaku?” tanyaku sambil menarik tangannya kea rah ballroom.

“Katakan? Soal apa?”

“Kalau kau ketakutan….” Menangkap kebingungan di wajahnya, kulanjutkan kalimatku. “Setelah malam itu… di penginapan. Kita berduaan…”

“Oh…” Wajah Lee-ah memerah saat ia menunduk untuk menyembunyikannya.

“Jae-shi cerita padaku…” akuku. “Tunggu, jangan marah dulu padanya. Aku justru berterimakasih padanya. Ia menyadarkanku bahwa ini sangat penting untukku. Untuk kita…”

“Aku tidak mau kelihatan berusaha mengikatmu…”

“KAu tidak mengikatku, dasar bodoh…” kucubit hidungnya sambil tertawa. Kami bergandengan tangan di depan pintu ball room. “Jae-shi cerita bagaimana kau menggunakan tes kehamilan diam-diam. Untung kau ceroboh waktu membuangnya…”

“Aku…”

“Apapun hasilnya,” potongku. “Aku akan menemanimu menghadapinya…”

Lee-ah menatapku bingung dengan matanya. Aku meletakkan tanganku di depan pintu ballroom dan mendorongnya terbuka. “Percaya saja padaku…”

Begitu pintu terbuka, wajah Lee-ah langsung tampak kaget setengah mati.


—Lee-ah, April 2011, Seoul Hotel—
“Jae-shi? Bagaimana mungkin kau bisa kemari?” tanyaku sambil memeluk adikku.

“Kak Hyun-joong memang bilang mau meminjam kakak… Tapi belakangan dia diam-diam mengirimkan sms, menyuruhku datang kemari dengan baju bagus bersama Yoo-chun…”

“Akhirnya kami buru-buru pergi ke butik untuk mencarikannya baju…” Yoo-chun menoleh senang ke arah Jae-shi yang mengenakan mini dress berwarna pastel. Pilihannya bagus karena bahan gaun itu terlihat indah dan jatuh dengan baik di pinggangnya.

“Selamat ya…” bisik Jae-shi sambil memelukku lagi.

“Eh? Selamat kenapa?”

Jae-shi berpandangan dengan Yoo-chun dan menahan senyum. “Pokoknya selamat saja…” tegasnya.

“Eh, tapi…”

“Hei, Lee-ah…” Young-saeng dan Ha-na datang untuk menyelamatiku. Semenjak Ha-na menceritakan padaku bagaimana kejadian April Mop itu berujung pada ciuman yang manis, aku selalu tidak tahan untuk tidak menggodanya seharian.

“Selamat ya…”

Lagi-lagi ucapan selamat. “Apa maksudnya…”

“Hai, Lee-ah…” anggota SS501 yang lain dan anggota DBSK teman-teman Yoo-chun dan Hyun-joong datang menghampiriku dan Hyun-joong, sekali lagi menyelamati kami.

“JAdi?” tanyaku sambil menatap Hyun-joong. “Bisa kau jelaskan sebelum aku mati penasaran? Kenapa semua orang memberikan ucapan selamat padaku?”

“Sebentar lagi…” Ia mengedipkan sebelah matanya.

Lampu tiba-tiba dimatikan, dan sebuah cahaya menyorot kami berdua. Semua yang hadir di sana, termasuk teman-temanku menepukkan tangan dengan keras.

Seorang MC mengumumkan dengan bersemangat.“Kita semua hadir di malam ini, di saat yang berbahagia ini untuk menghadiri upacara pertunangan untuk Hyun-joong, Leader SS501 dan seorang penyanyi cantik yang sedang naik dauh, Nona Lee-ah!!!”

Apa? Pertunangan? Aku tidak salah dengar? Dengan bingung, kutatap Hyun-joong.  Cowok itu tertawa lebar padaku. “Bukan, kau tidak salah dengar…”

“Tapi… kedua orangtuamu… orangtuaku…”

“Mereka sudah tiba…” Hyun-joong melirik ke ujung ruangan dan tersenyum. Bisa kurasakan jantungku berhenti berdetak saat melihat siapa saja yang datang. Ada orangtua angkat Hyun-joong. Ada orangtua angkatku. Dan ada… Papa kandungku!


—Hyun-joong, April 2011, Seoul Hotel—
“Apa aku membuatmu marah?” tanyaku hati-hati. Bisa kulihat wajah gadis itu memucat melihat Papa kandungnya berdiri di sana. “Kupikir…”

“Tidak… aku tidak marah. Lagipula, dia memang orangtua kandungku…”

“Ayo…” Aku mendorong Lee-ah ke tengah-tengah ruangan. Lampu masih menyorot kami. Lee-ah yang sudah biasa tersorot kamera, tersenyum cemerlang seperti biasanya.

MC memberikan mic padaku. “Hari ini, aku tidak hanya ingin bertunangan denganmu…” ucapku jujur. “Secara resmi, di hadapan semua yang hadir di sini, aku ingin memintamu menikah denganku. Bersediakah kau menerimaku?”

Lee-ah menatapku dengan wajah terkejut. Sekejap kemudian, senyumannya kembali. “Aku sudah lama sekali menunggunya….”

Kami berpelukan di tengah derai tepuk tangan semua yang hadir di sana.




—Jae-shi, Mei 2011, Apartment—
“Jadi? Kau akan menjadi pendampingku. Kau tidak bohong padaku, kan?” Entah keberapa kalinya kakakku mengulangi pertanyaan yang sama.

“Sudah ratusan kali kau menanyakannya minggu ini. jawabanku adalah “ya, kakakku yang cantik…” Dan kemarin kau juga meminta Yun-ho menjadi best-man mu…”

“Benar…” Kakakku yang tertawa malu terlihat semakin cantik.

Beberapa minggu terakhir, ia dan Hyun-joong mengumumkan pernikahan mereka ke pers. Fans mereka terguncang. Dunia musik Korea terguncang. Dan pemberitaan mereka semakin heboh dari waktu ke waktu.

“Aku akan segera pergi memilih gaunnya. Kau mau menemaniku, kan?” tanyanya lagi.

“Bagaimana dengan pertunjukkan itu? Kau akan melaksanakannya?”

“Ya…” angguknya.

Kakakku sudah memutuskan untuk meliburkan kariernya sebagai penyanyi selama beberapa waktu. Jadi, dalam rangka pengumuman resmi, ia bermaksud untuk tampil terakhir kalinya dalam sebuah pertunjukkan. Bersama Hyun-joong, tentu saja.

Bayangkan reaksi public mendengar berita ini. tiket habis lebih cepat dari jentikan jari. Bahkan ratusan tiket yang hanya berdiri sudah dipesan. Bagaimana pun, mereka berdua adalah tokoh paling sensasional saat ini.

“Kau berhutang cerita padaku…” oloknya tiba-tiba.

“Apa?”

“Kau sudah menemui Papa kandung kita lagi, bukan? Apa kau sudah melakukan… tes DNA itu?”

“Ya… sudah…” Aku menatapnya dan tertawa. Kami berpelukan lama sekali. “Sudah kuduga, memang hanya kau kakakku!”

“Dan hanya kau adikku!” ia membalas pelukanku dengan gembira. “Kubilang juga apa!”



—Hyun-joong, MEi 2011, DSP Entertainment—
“Mari kita lakukan sebaik mungkin…” candaku sambil menyelipkan tanganku di pinggang Lee-ah.

Beberapa waktu lalu, setelah tes yang terakhir, Lee-ah dinyatakan positif hamil. Pernikahan memang tidak  bisa ditunda untuk kami berdua. Lee-ah memutuskan untuk konsentrasi merawat anak kami nanti, dank arena itu kami memutuskan untuk melakukan konser sayonara ini.

Konser berlangsung dengan sukses. Kami melakukan duet lagu First Love, mengingat kembali bagaimana pertama kali kami berjumpa di panti asuhan itu.

“Untuk terakhir kalinya. Saya ingin menyanyikan lagu ini untuk mengingat masa lalu bersama seseorang yang selalu sangat berarti bagi saya…”

Fans berteriak histeris ketika Lee-ah mulai menyanyikan lagu yang diajarkan ibunya. Someone’s watching over me.

Bersamaan dengan itu, berbagai kenangan seolah membungkus kami berdua. Bagaimana pertama kami bertemu, berciuman tidak sengaja. Lalu, bagaimana Lee-ah mengikuti audisi dan kami memulai duet pertama kami. Pertengkaran. Air mata. Dan senyuman bahagia. Kurasa semua itu menjadi bagian dari cerita cinta di antara kami.

Sambil membawa sebuah buket bunga, aku melangkah naik ke panggung untuk memberikannya pada gadisku. Lagi-lagi fans berteriak histeris.

“Aku akan selalu bersamamu…” janjiku.

“Ingat, kau sudah berjanji…” bisiknya sambil memelukku. Di tengah jeritan histeris dan tepukan tangan yang membahana di seluruh panggung, aku mencium gadisku.



—Jae-shi, June 2011, Grand Hotel Seoul—

“Ahh… Kakakku memang cantik sekali…” ucapku sambil memandangi sosok pasangan bahagia yang tidak berhenti tersenyum di depan sana.

Kakakku dan Kak Hyun-joong memilih bulan Juni sebagai bulan pernikahan mereka. mereka percaya bahwa pengantin bulan Juni akan berbahagia. Aku percaya bahwa tanpa perlu berlatar belakang bulan Juni pun, mereka akan bahagia selamanya.

“Kau sudah hampir menyaingi pengantinnya…” bisik Yoo-chun di sebelahku. Ia membawakan segelas air padaku. “Aku tahu kau pasti haus…”

“Sangat…” senyumku sambil meminumnya.  Hari ini memang kukenakan gaun putih panjang, bagian dari tugasku sebagai pengiring pengantin. “Terima kasih untuk pujiannya…”

“Kalau aku menikah denganmu nanti, apa kau akan berhenti menyanyi?” tanya Yoo-chun tiba-tiba.

“Apa…” hampir saja aku menyemburkan air dari mulutku. “Kenapa tiba-tiba tanya begitu?” tanyaku panik.

“Jangan berhenti….” Tegas Yoo-chun. “Maksudku, kau boleh berhenti jadi penyanyi untuk umum. Tapi, jangan berhenti menyanyi untukku. Bahkan mungkin kau bisa mengajarkan anak kita bernyanyi…”

“Tapi…” wajahku memerah sampai telinga. “Tidakkah terlalu cepat untuk kita? Membicarakan hal semacam ini?”

“Tidak juga.” Yoo-chun berdehem pendek melirikku. “Kurasa aku bisa membayangkanmu dalam gaun semacam itu. Dalam jangka waktu tidak lama lagi….”

Perlahan, jemarinya meremas jemariku lembut. Aku menyenderkan kepala di bahunya dan tersenyum. “Ingat pertama kali kita bertemu? Kau juga tidak sabaran. Seperti sekarang ini…”

“Karena itu, kukatakan jangan berhenti menyanyi. Tiap mendengarmu bernyanyi, aku bisa mengingat dengan jelas pertemuan pertama kita…”

“Jangan sebut-sebut itu lagi karena rasanya memalukan…” omelku.

KAkakku mulai berkeliling ruangan, digandeng Hyun-joong, dan menerima semua ucapan selamat dengan senyuman lebar di wajahnya. Ia meyenggolku dan mengingatkanku untuk menangkap buket miliknya.

“Tidak memalukan. Kau tahu? Aku baru tahu sebuah lagu bisa terasa sesedih itu karena kau menyanyikannya. Aku sudah menyukaimu sejak saat itu. Kau saja yang selalu lari melihatku…”

“Huuh… Karena kau mengajakku untuk debut sesegera mungkin. Bayangkan betapa kagetnya aku…” Yoo-chun mengajakku kea rah tribun tempat kakakku akan segera melempar buketnya.

“Ayo, berjuanglah…”

“Satu… Dua… tiga!!”

Buket itu berlarian ke sana kemari, terpantul kesana kemari karena begitu banyak tangan mencoba untuk meraihnya. Sampai tiba-tiba buket itu jatuh ke pelukan Ha-na, manajer kakakku yang kebetulan berdiri di dekat sana.

“Ah… akan kuberikan ini padamu…” ia melirikku gugup.

“Tidak, tidak…” Aku tersenyum dan melirik Kak Young-saeng. “Kelihatannya Kak Young-saeng senang. Kurasa memang itu milikmu…” ucapku.

“Ah…” Ha-na membalas senyuman lebar Young-saeng dengan canggung. “Kalau begitu, bagaimana kalau kau menunggu buket dariku?”

“SEbaiknya memang begitu…” canda Yoo-chun sambil meletakkan kedua tangannya di bahuku. “Karena aku sudah tidak sabar menunggu giliranku…” tawanya.


-tamat-
*bersambung ke side story  4.5



SING OUT LOUD,LOVE-SIDE STORY 3 (AFTER SIDE STORY 2)

SING OUT LOUD,LOVE-SIDE STORY 3

February 28, 2012 at 9:42am
SING OUT LOUD,LOVE-SIDE STORY 3
SIDE STORY 3
Cast :
Nora as Akiyo Takarai
U-know Yun Ho

—Yun Ho, April, 2011, Family House—
“Yun-ho… turun sebentar ke bawah…” suara Ibuku terdengar lagi memanggil.

“Ada apa, Bu?” tanyaku, menyahut malas-malasan. Hari ini hari libur. Sengaja kupilih rumahku sebagai tempat melepas lelah. Lagipula, sudah lama sekali aku tidak pulang ke rumah ini. tidak ada yang berubah di sini. Suasananya membuatku kaget, seperti inilah aku yang dulu, yang tbelum terkenal dan sesibuk sekarang. “Biarkan aku bersantai dulu…”

Dugaanku, di bawah ada tamu. Mungkin, karena suaranya terdengar ramai dan berisik sampai ke atas. “aRgh …” erangku sambil menutupi kepalaku dengan bantal. “Aku masih mau tidur siang…”

“Ya ampun, sampai kapan kau mau tidur-tiduran di sana?” Bersamaan dengan suara itu, sebuah tendangan melayang ringan ke bokongku. Dengan terkejut, kupaksakan tubuhku bangun. Aku baru saja mau mengomel ketika kulihat dia di sana.

Akiyo, gadis teman masa kecilku. Ia pindah meneruskan kuliahnya di Jepang. Terakhir kali melihatnya, gadis itu masih berambut sebahu dan berkacamata tebal. Sekarang, penampilannya berubah menjadi manis dan mengesankan. Rambutnya dipotong pendek, menegaskan bentuk wajahnya dan senyumannya terlihat percaya diri.

“Tidak kusangka kau akan sedepresi ini hanya karena patah hati…” omelnya sambil meraih bantal dan menimpukku.

“Akiyo, kau?! Kau kok bisa di Korea? Kenapa kau tidak di Jepang?”

“Berterimakasihlah karena aku sudah datang jauh-jauh hanya untuk menengokmu…” candanya sambil setengah tertawa.

Kuberikan pandangan masa bodohku. Dengan segera gadis itu meresponnya. “Hei! Pandangan macam apa itu!”

Kami segera larut dalam obrolan panjang yang mengasyikkan. Ketika kulihat jendela kamar, aku terkejut melihat betapa gelapnya langit malam di sana. “Kita sudah mengobrol sampai selama ini?” tanyaku kaget sambil melihat jam tanganku. Kami sudah mengobrol selama empat jam?

“Ayo, kita turun…” Akiyo bangkit dan menarik tanganku untuk berdiri. Aku tidak menyangka senyumannya membuatku ikut tertular untuk tersenyum. “Aku sudah lapar,” omelnya. “Bicara begitu banyak denganmu, energiku habis…”

“Dasar kau ini…” Aku tertawa sambil mengingat-ingat hobi makannya. “Kau selalu lemah dengan makanan buatan mamaku…”



—Akiyo, April, 2011, Yun Ho’sFamily House—
“Ayolah, ajak aku ke suatu tempat…”

“Liburku tinggal besok. Aku bisa rugi kalau harus menemanimu seharian ini…” erangnya sambil menutup kepalanya dengan selimut.

“Ayolah…” Aku menarik selimutnya lagi, tapi tiba-tiba cowok itu malah menarik tanganku. Posisi kami berbalik karena tiba-tiba dia ada di atasku. “SAkit…”

“Rasakan! Dasar tukang paksa!” ia tertawa sambil menekan pergelangan tanganku. Sejenak pandangan kami bertemu dan suasana berubah canggung. Jantungku berdentum keras di tempatnya.

“Ayolah,” Yun-ho berdehem canggung beberapa kali, “Kutemani kau berkeliling di dekat sini…”



“Toko itu es krimnya enak sekali…” ujar Yun-ho sambil menunjuk sebuah toko roti yang terletak tidak jauh dari kami.

“Benarkah?” wajahku langsung berubah senang, “Ayo kita mampir ke sana!” seruku senang.

Begitu es krim yang fluffy itu menyentuh lidahku, aku langsung menutup mata dan tersenyum senang. “Memang enak sekali!” Yun –ho yang duduk di sebelahku tertawa kecil. “Tidak mau coba?” tawarku sambil menyodorkan es krim milikku.

“Eh…” Yun-ho terpaku sejenak dengan wajah mempertimbangkan. Aku hampir menarik tanganku lagi ketika teringat bahwa mungkin saja ini bisa mengubah suasana menjadi canggung lagi. Ciuman tidak langsung, bukan?



—Yun Ho, April, 2011, Garden near Family House—
Aku masih menatap es krim itu dan ragu-ragu. Akiyo mungkin menawarkannya tanpa pikir panjang. Ia mungkin melupakan kalau memakan es krim itu bersama bisa-bisa kami akan sama-sama salah tingkah. Gadis itu baru menyadari keraguanku sejenak. Ia hendak menarik tangannya ketika tanpa sadar kepalaku bergerak maju dan memakan es krim di tangannya.

“Ahhh!! Jangan semuanya!!” protesnya saat sebagian besar es krim itu masuk ke mulutku.

Aku melihat gadis itu memakan sisa es krimnya dengan menatapku sebal. “Hem… enak sekali…” senyumnya sambil memegang pipinya.

Mataku menatap Akiyo dan tersenyum. Tidak berubah, dasar tukang makan. Namun perasaan lain bergejolak di dadaku. Kenapa aku tadi tergerak untuk memakan es krim itu? Sejenak wajahku terasa panas.


Kami menghabiskan banyak waktu sambil berkeliling dan menikmati jajanan apapun yang menyenangkan. Wajah Akiyo saat berbicara tentang sastra dan kuliahnya terlihat berbeda. Terutama ketika matanya berbinar senang saat menceritakan betapa asyiknya kehidupan kuliah. Sesaat ia terlihat begitu—menarik.

“Hei, masa kau tidak terpikat pada ketampananku?” godaku tiba-tiba.

Akiyo yang sedang makan langsung tersedak dan terbatuk-batuk tanpa henti.

“Astaga! Kau tidak apa-apa?!” Perasaanku mulai cemas karena batuknya tidak kunjung berhenti. Tanganku bergerak menepuk punggungnya sampai akhirnya Akiyo mengangkat tangannya, memintaku berhenti menepuk punggungnya. Ia mengambil gelas dan minum.

“Kau mengejutkanku…” ia menarik nafas dan mulai tertawa. “Hahaha… apa sih maksudmu? Begitu inginnya aku terpikat padamu?” Ia balas menggodaku.

Sekejap dadaku berdebar. Kenapa mulutku hampir menjawab… “ya”?



—Akiyo, April, 2011, Yun Ho’s Family House—
Aku senang karena sekalipun sudah menjadi penyanyi yang terkenal luar biasa, Yun-ho sama sekali tidak berubah. Ia masih sama seperti dulu. Ramah, menyenangkan, dan teman mengobrol yang baik.

“Lihat! Coba kemari sebentar, Yun-ho!” panggilku. Bibi tersenyum di sebelahku.

“Ada apa?” cowok itu menghampiriku dengan sekaleng kopi di tangannya. “Foto?” Ia mengernyitkan dahi saat melihat foto yang tersebar di depannya.

“Lihat wajahmu waktu SD. Lucu sekali…” tawaku mengembang.

Waktu SD, Yun-ho masih sangat penakut, belum seperti sekarang. Saat itu, akulah yang berperan sebagai kakaknya. Sejak kecil sampai sekarang aku memang sangat tomboy. Entah sejak kapan, Yun-ho berubah. Ia jadi lebih jantan, tidak pernah sembunyi di belakangku lagi, dan bahkan melindungiku dengan gagah berani. Aku jadi tersenyum sendiri ketika mengingat itu semua.

“Kau sendiri sama sekali tidak berubah…” ejeknya sambil berkacak pinggang.

“DAsar! Apa maksudmu tinggi badanku?” aku mulai memukul dadanya dengan kesal.

Yun-ho tertawa sambil menangkap lenganku. Kami sama-sama terkejut saat sensasi seperti aliran listrik itu terjadi lagi. Untuk beberapa saat lamanya, kami berdiri terpaku di sana. Bertatapan, tangan Yun-ho menyentuh tanganku, dan tidak ada yang lain selain kami. Jantungku berdebar begitu keras sampai aku takut dia bisa mendengarnya.

“Ehehmmm”

Karena Bibi—maksudku Mamanya Yun-ho—berdehem, kami langsung memisahkan diri dengan canggung. Kupaksakan tawaku berkembang. “Apa kau sudah terjerat pesonaku?”

Senyumku hampir memudar ketika Yun-ho membalas dengan tawa, mengacak rambutku dan pergi.



—Yun Ho, April, 2011, Family House—
Mataku menatap langit-langit kamar dengan tatapan menerawang. Masa SD kembali terbayang di kepalaku. Kenapa aku bisa melupakan  semua itu?


“Apakah kalian pacaran?” tanya seorang anak perempuan kepada Akiyo. Telingaku otomatis menajam saat mendengar percakapan mereka. Dua sosok itu sedang duduk berselonjor di bawah pohon yang terletak di belakang halaman sekolah, asyik menikmati bekal mereka. Tidak menyadari bahwa aku duduk di dekat sana, di belakang semak-semak yang tersembunyi.

“Siapa?” Akiyo mengunyah makanannya perlahan. Aku bisa membayangkannya melotot kaget.

“Siapa lagi? Tentu saja Yun-ho. Dia yang paling dekat denganmu. Kau suka padanya?”

“Ehm… lumayan…” Jawaban Akiyo membuat jantungku berdebar.

“Jadi? Kalian tidak pacaran?” Bisa kutebak kalau Akiyo menggeleng. Gadis itu mendengus tidak senang dengan jawaban Akiyo. “Memangnya seperti apa tipe cowok yang kau sukai?”

“Yah…” Bisa kudengar Akiyo tertawa terbahak-bahak sekarang. “Yang jelas, seseorang yang lebih kuat dariku. Kelihatannya lebih keren begitu…”

“Hem…” gadis itu kelihatannya setuju. “Kau benar…”

Jawaban yang kuterima hari itu mengubahku. Menghancurkan hatiku—karena walaupun terlambat mengakuinya, aku benar-benar menyukai Akiyo saat itu—dan di satu sisi, mengubahku menjadi kuat. Aku memutuskan untuk tidak pernah lagi bergantung padanya. Aku tidak pernah lagi menangis. Aku tidak pernah lagi berlindung di belakangnya.

Akiyo awalnya terkejut dan mengira aku menjauh darinya. Namun, kami tetap berteman baik. Aku terus menduga-duga—kapan ia akan menyadari semua usahaku itu? Aku terus menduga-duga sampai akhirnya menyerah untuk berpikir.

Seperti sekarang, ketika semua ingatan masa laluku kembali, otakku terpaku di sana. Apakah memang itu semua hanya masa lalu? Jangan-jangan sampai sekarang pun—

Kuhela nafasku, menatap langit-langit dan menarik seulas senyum di bibirku. Jantungku masih berdebar sampai sekarang. Kurasa, aku sudah tahu jawabannya.




—Akiyo, April, 2011, Yun Ho’s Family House—
“Kau akan pulang ke apartemenmu? Secepat ini?’ tanyaku, merasa kehilangan.

“Kau akan merindukanku?” tanyanya sambil memasang wajah menggoda dan mengedipkan sebelah matanya padaku.

“Tentu saja,” jawabku tanpa pikir panjang. Yun-ho mengacak rambutku lagi. Dan begitu aku mau memprotes, ia sudah menarikku masuk dalam pelukannya. “Apa…”

“Rindukan aku. Setiap hari. Aku akan marah kalau kau tidak melakukannya…”

“Apa maksudmu?” tanyaku, kaget.

“Ada satu hal yang ingin kusampaikan padamu. Sejak SD sampai sekarang…” Ia melihat ke dalam mataku, sejenak membuatku berdebar.

“Apa?”

“Kau akan  tahu nanti…” Kukernyitkan dahi—bingung—apa maksud cowok itu? “Dan aku sudah meninggalkan nomorku supaya kau bisa memberitahukan jawabannya padaku…”

“Jawaban?” Jawaban apa? Apaan sih ini?

“Sampai jumpa lagi. Aku pasti akan main ke JEpang dan menengokmu di sela-sela konserku…” ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata.

Yun-ho pergi tidak lama kemudian. Kunaiki tangga menuju kamarku ketika kulihat ada sebuah kotak kecil yang diletakkan di depan kamarku. Tertulis di sana: Untuk Akiyo.

“Apa ini…” gumamku sambil membuka kotaknya. Di dalam kotak itu hanya ada sebuah surat.




Aku berubah karena seseorang
Aku melupakan  itu semua
Sampai ketika bertemu dengannya lagi
Aku teringat dan menyadari
Bahwa sebelumnya aku tidak pernah benar-benar patah hati pada gadis lain
Karena gadis itulah,
Satu-satunya gadis yang membuatku patah hati waktu SD


Kau tahu, Akiyo? Aku menyukaimu.
Kau menyukai pria yang lebih kuat darimu?
Itulah aku yang sekarang. Bagaimana menurutmu? Cukup kuat untuk melindungimu, bukan?
PS: telepon aku di XXXXXXXXXXXXXXXXXX untuk memberitahukan jawabannya.

Y.H.


Aku tertawa kecil menatap hadiah itu. Sambil menarik nafas, tanganku bergerak menyusuri meja untuk mengambil ponselku dan menekan nomor yang sesuai dengan nomor di kertas itu. Sambil menahan nafas, pelan-pelan kuhitung mundur waktu menuju mendengar suaranya.

10… 9… 8… 7… KLek. Eh? Secepat ini? “Halo?”

Sambil menggigit bibir, kupaksakan suaraku untuk terdengar ceria. “Hei, ini aku…” sapaku senang.





—Akiyo, 1997,Elementary School—

“Apakah kalian pacaran?” tanya teman sebangkuku padaku.

“Siapa?”

“Siapa lagi? Tentu saja Yun-ho. Dia yang paling dekat denganmu. Kau suka padanya?”

“Ehm… lumayan…” Jawabanku membuat jantungku berdebar sendiri.

“Jadi? Kalian tidak pacaran?” Kugelengkan kepalaku. “Memangnya seperti apa tipe cowok yang kau sukai?”

“Yah…” Sekarang aku hanya tertawa terbahak-bahak. “Yang jelas, seseorang yang lebih kuat dariku. Kelihatannya lebih keren begitu…”

“Hem…” gadis itu kelihatannya setuju. “Kau benar…”

“Tapi…” Kutambahkan kalimatku. “Aku suka seseorang yang bisa membuatku merasa nyaman. Pokoknya, aku tidak akan bosan dengannya…”

Saat itu, di kepalaku terbayang sebuah nama. Yun-ho. Cowok itu mungkin belum mampu memahami perasaanku padanya. Aku berharap ia akan lebih jantan dan lebih kuat dariku, tapi aku tidak bisa memaksakan itu padanya, bukan?

“Begitu juga bagus…” sahut gadis itu lagi. Kami tertawa bersama dan menghabiskan makan siang kami dengan gembira.




-tamat-



SING OUT LOUD,LOVE-SIDE STORY 2 (AFTER EP 14)

SING OUT LOUD,LOVE-SIDE STORY 2

February 28, 2012 at 9:36am
SING OUT LOUD,LOVE-SIDE STORY 2
SIDE STORY 2
Cast :
Adriana Wijaya as Lee Ha-na
Heo Young Saeng

—Lee Ha Na, Apartment, Seoul, March 2011—

“Kau tidak kedinginan? Pakai saja syalku…”

Aku mendesah sambil menatap syal putih bergaris-garis hitam yang kugantung di samping lemari pakaianku. Pelan tanganku terulur untuk menyentuh syal itu. “Apa kau sudah melupakan syalmu sendiri?” tanyaku setengah menggumam.

Aku tidak bisa melupakan kejadian hari itu. Setiap kali memandang syal itu, aku akan mengingatnya. Setiap kali melihat pria itu, aku akan mengingatnya. Setiap kali melihat tanganku sendiri, aku akan mengingat bagaimana ia menggandeng tanganku.

“Dasar bodoh…” kumasukkan syal itu ke dalam kantong kertas bergaris-garis. “Kalau kukembalikan, bagaimana reaksinya?” sambil berpikir, pelan-pelan kuhela nafasku.

Siang itu, harapanku kembali padam.  Buyar begitu saja. Pria itu lagi-lagi menghilang seperti angin pada saat jam istirahat tiba.

“Ke mana dia?’ tanyaku sambil memandang sekeliling.

“Dia sedang ada urusan.” Jawab Jung-min sambil menatapku lama. Matanya terlihat jahil seperti biasa. “Kenapa tidak mencariku? Tidak rindu padaku?” tanyanya sambil mengedipkan sebelah mata. “Kau tahu aku selalu ada waktu untukmu…” tanpa ragu tangannya berpindah ke bahu untuk merangkulku.

“Terima kasih banyak,” jawabku sambil tersenyum manis. Secepat itu pula kusingkirkan tangannya halus, tepat ketika mata Lee-ah menatapku dan tersenyum penuh arti. Haahh… kemana pria itu di saat aku ingin melihatnya?


—Heo Young Saeng, DSP Entertainment, March 2011—
“Apa ada yang mencariku tadi?”

Manajerku mengangguk sementara tangannya masih sibuk menelusuri tabby –nya. “Ada yang mau memakaimu sebagai bintang iklannya.” Ia menjelaskan sementara tangannya masih menatap benda di tangannya. “Persyaratannya lumayan.”

Kuputar bola mataku. “Tidak ada pekerjaan lagi kan, setelah ini? Apa aku boleh pulang duluan? Ada yang perlu kukerjakan…”

“Tidak masalah,” Akhirnya pria itu tersenyum dan mengangguk. “Jangan lupa besok ada pemotretan dan show case. Kulihat kau sering pergi akhir-akhir ini. Apa kau punya pacar?”

Aku hanya tersenyum simpul mendengar pertanyaannya. Pria itu tidak lagi mendesakku. “Aku tidak lupa. Tenang saja, aku akan muncul tepat waktu besok. Nah, sekarang aku pulang dulu…”

“Ah… hampir saja lupa…” Kakiku terhenti di pintu ketika mendengar pria itu mulai menggumam. ‘Sepertinya nona Ha-na mencarimu tadi…”

Ha-na? “Kenapa dengannya?” Kepalaku berputar terlalu cepat untuk merespon nama itu. Manajerku tersenyum penuh arti.

“Bukankah hanya kau yang tahu mengapa ia mencarimu?”

Aku menahan senyumku dan mengangguk. “Kuharap alasannya sama seperti alasan yang kupikirkan…” gumamku sambil berjalan pergi.



—Lee Ha Na, Apartment, Seoul, March 2011—
“Selamat pagi semuanya…” Kuletakkan tas di atas meja dan seketika itu mataku menatap sekaleng jus jeruk yang diletakkan di sana. Ada secarik kertas yang diletakkan di bawah kaleng itu. Tertulis: Untuk Ha-na. Hanya itu, namun perasaanku melambung bahagia. Jangan-jangan Young-saeng? Kuminum jus itu dengan perasaan gembira.

“Sudah kuduga, kau akan menyukainya…” ujar seseorang di belakangku. Mataku membelalak kaget saat melihat Jung-min memandangiku dengan senyuman lebar di wajahnya. “Ini… darimu?” tanyaku ragu. Melihat cowok itu mengangguk, seberkas rasa kecewa muncul di dadaku. Buru-buru kusingkirkan perasaan itu. “Thanks…” ujarku sambil berusaha tersenyum.

Dasar Ha-na bodoh… mungkinkah Young-saeng memang perhatian begitu padamu? Syalnya saja sudah jamuran di rumahmu! Omelku dalam hati.


“Hei….”Malam itu aku sudah hampir terlelap ketika tahu-tahu ponselku berbunyi. Peneleponnya ternyata Young-saeng. Mataku terasa berat saat kubuka. Jam menunjukkan pukul dua belas lewat dua menit.

“Ada apa?” tanyaku, suaraku terdengar malas-malasan. “Kau tahu hari ini jam berapa?”

“Ya, aku tahu. Bagaimana kalau kita kencan saja?” tanyanya. Kulirik kalenderku. Apa dia mau membohongiku? Lelucon satu April? April Mop? “Aku akan menunggumu di Restoran Perancis yang terletak di ujung jalan rumahmu. Kau tahu tempatnya. Jam tujuh pagi. Sarapan bersama. Bagaimana?”

“Terserah…” sahutku. Mataku terlalu mengantuk sampai aku sama sekali tidak kesal dengan upaya payahnya untuk membohongiku. “Aku mau tidur lagi…”

“Oke, selamat tidur…” KLIK.


Paginya, aku terbangun ketika jam dinding menunjukkan pukul enam pagi. Setengah menguap, kuamati wajahku yang tampak lelah. Tanggal satu April terlihat jelas di kalenderku ketika kutarik robek kertas tanggalan sebelumnya. “Lelucon yang menyebalkan…” Omelku pada ponselku. “Dasar Young-saeng bodoh…” gumamku kesal sambil mendelik. Ponselku yang malang menjadi sasaran kemarahanku. Biar saja!

Di kantor, para personel SS501 memulai aksi jahilnya seharian. Kecuali Young-saeng. Aku tidak melihatnya seharian. Kebohongan konyol seperti uang jatuh, ristleting terbuka menjadi salah satu kasus yang terjadi hampir seharian ini.

“Jadi? Kenapa aku tidak melihat Young-saeng?” tanyaku pada Hyun-joong.

“KEnapa? Kau merindukannya?”

“Jangan konyol…” ucapku sambil menarik nafas. “Kau tahu jelas maksudku. Aku mau marah padanya! Dia memberikan kebohongan yang… menyebalkan…”

Hyun-joong mengedikkan bahu dan memutar bola matanya. “Pagi-pagi dia sudah pergi… Katanya sudah ada janji dengan seseorang.” Wajah Hyun-joong berubah ketika ia pelan-pelan berpikir. “Maksudmu… dia juga bohong padaku? Wah, sialan!”

Kuhela nafas dengan kesal. Apa maunya cowok itu? Seharian kuhabiskan waktuku untuk memaksakan diri tertawa bersama Lee-ah. Hanya Tuhan yang tahu berapa kali ia dikerjai oleh Hyun-joong dan teman-temannya hari ini.

“SAmpai jumpa besok… Terima kasih untuk kerja kerasnya…” Setelah mengucapkan pamit dan membungkukkan badan, kuamati ruangan sekitar. Young-saeng belum tampak di manapun. Apa yang terjadi?

“Eh… Ha-na…” Lee-ah menyentuh lenganku perlahan. “Aku hanya penasaran satu hal. Tadi kau cerita padaku… tentang kebohongan Young-saeng padamu…” Mataku melotot dan Lee-ah tertawa kecil. “Aku tahu, tidak usah marah begitu. Aku hanya bilang apa yang kupikirkan. Terserah padamu mau mendengarku atau tidak…”

“Teruskan…” pintaku.

“Begini, bagaimana kalau seandainya pria itu tidak berbohong padamu?”

Satu pertanyaan itu menyentak kuat ke dalam otakku. “Kalau dia tidak berbohong…” lidahku mulai bicara. “Berarti… apa dia akan menungguku sampai sekarang?” tanyaku ragu.

Lee-ah menatap dalam ke mataku lalu mengangguk dan tersenyum lebar. “Pergilah, temui dia…”

Kusambar jaket dan tasku lalu berlari secepat kilat menuju lift. Jantungku berdebar keras di tempatnya. kalau dia tidak berbohong…. Kalau dia tidak berbohong… apakah dia masih menungguku? Apakah dia tidak akan marah padaku karena sudah menunggu begitu lama?





—Heo Young Saeng, DSP Entertainment, March 2011—
Apa dia masih belum datang? Jemariku bergerak gelisah di atas tuts piano. Pilihan hari yang buruk, sesalku. Jangan-jangan dia mengira aku… berbohong karena April Mop?

Tanganku bergerak menuju ponselku, hendak meneleponnya. Tidak-tidak… kuurungkan niatku dan kuletakkan lagi ponsel itu di meja. Aku bisa merusak semua ini kalau meneleponnya. Kutanamkan lagi harapan dalam dadaku. Ia akan datang, pasti.

BLAM!

Pintu terbuka dan seketika itu juga harapanku terjawab. Ha-na berdiri di depan pintu, memandang kaget ke arahku. Wajahnya pucat dan lelah, kelihatannya ia habis berlari ke sini. “Young-saeng!” serunya kaget. “Aku tidak percaya kau masih menungguku di sini! Dari jam tujuh pagi? Apa saja yang kau lakukan? Kenapa tidak meneleponku saja?!”

Sementara bibirnya masih mengomel, kutarik tangannya untuk duduk di salah satu kursi yang terletak di depan grand piano besar. “Kau sudah menungguku selama ini. tidak masalah bagiku untuk menunggu beberapa jam untukumu…”

“Apa…” Ia memiringkan kepalanya bingung. Matanya menatap sekeliling ruangan. “Kenapa tempat ini sepi sekali?” tanyanya.

“Aku membuat lagu ini untukmu…” ujarku sambil menekan nada-nada pertama. Untuk membuat lagu ini sempurna baginya, beberapa kali aku terpaksa pulang lebih cepat dari yang lainnya, bahkan kabur di saat istirahat makan siang tiba. Gadis itu terdiam dan menatapku ragu. “Kau akan tahu artinya setelah mendengarkan…”

Waktu adalah yang tersisa untuk kita
Selama ini kubiarkan kau menunggu
Dan kini kusesali itu
Tanganku terulur untuk meraihmu
Apakah sekarang kau melihatnya?
Bersamamu menghabiskan waktu
Bersamamu tertawa berdua
Entah sejak kapan menjadi anganku
Jawablah aku
Dan terimalah aku…

Ketika lagu selesai mengalun, gadis itu masih di sana. Tidak merespon. Kuangkat wajahku untuk memandangnya, dan seketika itu pula aku terkejut. Ha-na menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Bahunya bergerak naik turun seiring tangisannya.

“Kukira… kau masih menyukai… Lee-ah…”

“Tidak…” Kuulurkan tanganku untuk menyentuh pundaknya. “Aku pasti bodoh sekali kalau selama ini tidak menyadari arti kehadiranmu di sisiku…” jawabku sambil meraihnya dalam pelukanku. “Aku menyukaimu, Aku menyukaimu. Lee-ha-na… jadilah kekasihku…”

Samar-samar, bisa kulihat kepala Ha-na mengangguk dalam temaram cahaya lampu restoran. Dan perlahan, bibir kami bertemu.


-selesai-

Sing out loud, love 15

Sing out loud, love 15

February 28, 2012 at 9:33am
Sing out loud, love 15
Chapter 15
Cast:
Liana Wijaya as Kim Lee Ah
Kim Hyun Joong
Author as Kim Jae shi (Lee Ah’s younger sister)
Micky Yoo-chun (TVXQ)
Hero Jae-joong (TVXQ)
Adriana Wijaya as Lee Ha na
Park Hae bin

—Micky Yoo-chun, March 2011, Apartment—
“Permisi…” Jae-shi mengekor masuk di belakangku dan menatap apartemenku dengan pandangan kagum. “Tidak kusangka aku benar-benar bisa masuk ke apartemen DBSK!” matanya berbinar senang saat mengucapkannya.

Cuaca memburuk dengan cepat ketika kami sedang kencan sebentar di taman. Hujan turun begitu derasnya sehingga kutawarkan pada gadis itu untuk mengeringkan diri di tempatku. Waktu mengucapkannya, tidak kusangka jawaban “ya” dari gadis itu akan membuat jantungku melonjak kaget.

“Walaupun begitu, kau sendirian di sini…” tawaku sambil mengedipkan sebelah mata. “Memangnya kau tidak takut padaku?”

“Benar juga ya,” Jae-shi menatap wajahku dan berpikir sejenak. “Media banyak meliputmu sebagai playboy…” Sejenak kemudian, wajahnya tersenyum kembali. “Tapi aku tahu kau tidak begitu. Aku percaya padamu…”

“Ahh.. Eh… begitu ya…” Tanganku bergerak menyusuri dan menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Kenapa malah aku yang jadi grogi di sini? “Kamar mandinya di sana. Aku akan meminjamkanmu baju kaosku. Tunggu sebentar…”

Tidak berapa lama, aku sudah sibuk mondar-mandir di ruang tamu. Jantungku berdebar membayangkan bagaimana situasi bisa menjebak kami seperti ini. Biar bagaimana pun, aku lelaki. Gadis yang kusukai ada di rumahku, sedang mandi sambil…. Bersenandung, dan jantungku berdebar begitu saja. Sialan….

Tiba-tiba ponsel Jae-shi bordering. Kuperhatikan nomor peneleponnya tidak diberi nama. Alisku naik sedikit. Aneh. “Halo?” Akhirnya kuputuskan untuk menerima telepon itu.

“Apa ini telepon milik Jae-shi?” Tanya suara yang terdengar berat dari seberang. Suara pria. Siapa?

“Ah ya, tetapi Jae-shi sedang tidak dapat mengangkat ponselnya…”

“Siapa yang meneleponku?” gadis itu tahu-tahu sudah muncul di sana. Dengan kaos kedodoran, celana pendekku—yang di tubuhnya terlihat seperti celana kedodoran—dia tampak begitu mungil. Sesaat aku terpana menatapnya, melupakan ponsel yang ada dalam genggamanku, sampai gadis itu maju untuk mengambilnya dari tanganku.

“Siapa ini—oh…” ia segera menyelinap keluar dan melanjutkan pembicaraannya yang berkesan pribadi.

Pertanyaan demi pertanyaan mulai berkecamuk di dadaku. Siapa? Siapa pria itu? Kenapa aku tidak boleh tahu? Hanya saja suaranya—terdengar tidak asing.


—Lee Ah, March 2011, DSP ENTERTAINMENT—
“Aku pergi dulu ya…” Young-saeng menarik gagang pintu dan melangkah dengan ringan. Dua hari terakhir ini ia selalu melakukan hal seperti ini. Menghilang saat jam istirahat, kembali muncul tepat waktu sebelum rekaman atau latihan, dan kemudian pulang lebih dulu dari yang lainnya.

Kulirik Hyun-joong yang hanya tersenyum melihat sahabatnya melenggang pergi. “Kenapa dengannya?” tanyaku penasaran.

“Ahh… urusan pria…” senyumnya senang. “Kuharap dia bisa berusaha lebih baik lagi…” jawabannya terdengar mengambang.

Apa maksudnya itu?

Hyun-joong lantas tersenyum dan mencubit pipiku. “Aku tidak bisa membocorkan rahasianya padamu sekarang. Tapi percaya saja padaku, dia melalukannya untuk tujuan yang baik. Dan sekarang, bagaimana kalau kau menemaniku makan malam?” tanyanya sambil mengambil sejumput rambutku dan menciumnya. Gerakannya selalu saja membuatku berdebar dan merasa perutku mulas.

“Tidak mengganggu jadwalmu?” tanyaku, tersenyum menggodanya.

“Tidak akan,” jawabnya cepat. “Aku sudah mengosongkannya untukmu…”

“Bagaimana kalau aku mengajak Jae-shi dan Yoo-chun juga? Pasti asyik sekali…” cetusku tiba-tiba. Kurasa ideku cukup cemerlang.

Hyun-joong tidak berkomentar apapun ketika kukeluarkan ponselku dan kutempelkan ke telinga. Nada dering terdengar, dan ketika suara Jae-shi yang menyahut terdengar, “Hai Jae-shi…”—Belum sempat kukeluarkan kalimat selanjutnya, Hyun joong sudah mengambil ponsel dari tanganku.

“Apa—“

Hyun-joong meletakkan jarinya di bibirku. Dengan terpaksa kubungkam mulutku. “Jae-shi, ini aku, Kak Hyun-joong. Apa? Oh… ya, Kakakmu tadi hanya ingin menanyakan kabarmu. Dimana kau—“ Hyun-joong sejenak tampak kaget lalu tersenyum kecil. “Hebat juga,” komentarnya sambil menggelengkan kepala. “Oh, aku? Aku hanya mau meminta ijin padamu. Mungkin aku akan mengajak kakakmu jalan berdua hari ini. Makan malam dan lainnya. Tidak apa kalau dia tidak pulang?”

Apa?

Mataku melotot ketika Hyun-joong masih meneruskan teleponnya. “Bisa aku bicara dengan Chun?” apa yang tadi dikatakannya? Tidak pulang? Aku… tidak pulang…? Kenapa… “Ya, ini aku, Hyun-joong…” Pria itu tertawa lagi. “Pastikan saja ia pulang dalam keadaan utuh. Oke, ya, selamat bersenang-senang…”

“Apa?” tanyaku.

“Oh, Jae-shi sedang bersama chun. Kurasa semacam kencan. Kau tidak mungkin mengganggu mereka kan?” Ia mengedipkan sebelah mata ketika mengembalikan ponsel itu ke tanganku.

“Bukan, maksudku…” Wajahku mulai memerah seperti orang bodoh. “Maksudku… kenapa aku tidak akan pulang…”

“Yah,” Ia menghela nafas dan menatapku memelas. “Aku kesepian sekali. Kurasa malam ini situasinya akan berbeda kalau kau bersamaku…”

Jantungku nyaris copot ketika pria itu tahu-tahu menarikku pergi.


—Jae-shi, March 2011, Apartment—
“Hyun-joong…” Yoo-chun terbatuk dengan suara serak. “Dia kadang agak berlebihan…”

“Ehm… iya…” sahutku. Malu. Mungkin tolol kalau aku baru menyadarinya. Di sini terasa sepi sekali. Apalagi kami hanya berduaan.

“Minum kopi dulu…” ia menarik tanganku untuk mengikutinya ke ruang duduk. “Kau bisa minum kopi, kan?” tanyanya tiba-tiba.

“Bisa,” jawabku tanpa pikir panjang.

“Silahkan diminum…” ia mengulurkan segelas kopi yang baru diseduh. Aromanya menguar dari dalam cangkir. Kupegang cangkir itu dengan kedua tangan.

“Kau tidak mau menceritakannya padaku?” tanyanya tiba-tiba.

Aku mengangkat kepala terkejut. “Soal apa?”

“Telepon itu. Maksudku—yang sebelumnya, dari ehm… pria…” Ia berdehem ketika kutatap matanya.

“Tidak mungkin kan, kau cemburu…” candaku, berusaha tertawa. Tapi Yoo-chun sama sekali tidak merespon.

“Apa aku tidak boleh cemburu?” Suaranya yang berat dan dalam membuatku kaget. Pelan, ketika kuangkat wajahku, pandangan kami bertemu. “Aku lelaki…”

“Kau tidak perlu cemburu…” jawabku sambil menghela nafas. “Yang menelepon itu, Papaku…”

“Jae-shi…” Yoo-chun mengulurkan tangan untuk menyentuh wajahku. Ia menyentuhkan jemarinya untuk menghapus air mata yang entah sejak kapan sudah menetes turun di sana. “Maaf…”

“Tidak. Aku tidak apa…” tanganku menggenggam cangkir semakin kuat. “Ia memaksaku untuk—melakukan tes DNA. Aku ingin melakukannya, tapi aku takut mendengar hasilnya. Bagaimana kalau—kalau ternyata aku bukan adik kandung kakakku? Eh, itu artinya kau akan berpacaran dengan gadis yang tidak jelas asal usulnya.” Aku berusaha tertawa, tapi sebutir air mata menetes turun lagi. Kuangkat tanganku untuk menghapusnya.

Yoo-chun menarikku dalam pelukannya. “Tidak penting siapa kau, margamu apa. Yang jelas kau selalu akan menjadi Jae-shiku…” Debaran jantung yang kurasakan dari Yoo-chun membuatku merasa tenang. “Lagipula, kalau menikah, otomatis kau akan mengambil margaku.”

“Apa—“

“Itu baru rencanaku.” Ia mengoreksi ucapannya dengan wajah memerah malu. “Kuharap seperti itu, tapi aku tidak tahu kapan bisa melaksanakan itu… dan apa kau setuju untuk…” Ia tersenyum lebar sambil memelukku lagi. “Menikahlah denganku, walaupun aku tidak tahu kapan aku bisa secara formal melamarmu…”

Aku tertawa dan menyusupkan kepala di bahunya. “Selalu, jawabanku akan selalu ya…”



—Hyun-joong, March 2011, DSP ENTERTAINMENT—
“Wow, bukankah restoran ini mahal sekali…” Lee-ah menggenggam tanganku keras-keras. “Pakaianku tidak pantas…” Ia memandang blus dan jeans yang dikenakannya karena mengira tidak akan kemanapun.

“Itu bisa diatur,” senyumku sambil menjentikkan jari. Seorang pelayan berseragam hitam putih menghampiri kami dan mengulurkan sebuah kotak besar berpita putih  kepada Lee-ah.

“Apa ini…” Pandangan curiganya membuatku menahan senyum. “Kau sudah merencanakan ini semua sejak lama?” tanyanya.

“Menurutmu bagaimana?” tanyaku jahil. Lee-ah menerima kotak itu dan mengikuti pelayan menuntunnya ke toilet.

Bersiaplah, Lee-ah. Aku tersenyum sambil menatap sosok punggungnya. Kau tidak akan bisa lari dariku malam ini.


To be continued-

SING OUT LOUD, LOVE 14

SING OUT LOUD, LOVE 14

February 14, 2012 at 6:16pm
Sing out loud, love 14
Chapter 14
Cast:
Liana Wijaya as Kim Lee Ah
Kim Hyun Joong
Author as Kim Jae shi (Lee Ah’s younger sister)
Micky Yoo-chun (TVXQ)
Hero Jae-joong (TVXQ)
Uknow Yun-ho (TVXQ)
Adriana Wijaya as Lee Ha na
Park Hae bin
 Young Saeng

—Lee ah, Nagano Ski Resort, March 2011
“Aduuuh…” keluhku setengah meringis. Rasanya kepalaku masih pusing setelah terguling dan terperosok jatuh seperti tadi. Rasanya aku masih mau berbaring sebentar….

“Hei~… jangan bergerak sembarangan saat kau menindihku…”

“Apa…” Aku buru-buru mengangkat wajahku dan bertemu pandang dengan Hyun-joong. Wajah kami hanya berjarak beberapa senti dan nafasnya yang segar terasa di wajahku. “Hyun-joong! Astaga, maafkan aku!” seruku  kalut.

“Sudahlah…” pria itu meletakkan tangannya di punggungku dan menekanku mendekat. “Lagipula begini nyaman juga… Biarkan begini sebentar…”

Aku tergoda untuk menurutinya ketika tiba-tiba suara guntur terdengar dari kejauhan. “Itu suara apa?”

“Ck… sial, situasi mulai memburuk. Kita harus cepat mencari tempat berlindung. Kelihatannya akan ada badai sebentar lagi…”

“Iya!” aku bergegas berdiri dan memapah Hyun-joong yang kelihatan kesulitan berdiri. “Apa kau tidak apa-apa?” tanyaku.

“Tidak, kita sebaiknya cepat pergi saja!” ia meraih tanganku dan menggandengnya. “Jangan sampai terpisah dariku.”


—Jae-shi, Nagano Ski Resort, March 2011

“Awas!” Yoo-chun berteriak memperingatkan, tapi aku sudah terlanjur membakar tanganku sendiri dengan air panas dari termos.

“Aduh!” cepat-cepat pria itu menarikku ke wastafel dan menyiramku terus dengan air yang terasa dingin.

“Siapa sangka termos itu sudah tua dan bias bocor?” Gumam Yoo-chun sambil melihat tanganku yang sedikit melepuh. “Mungkin kau harus memakai salep… Hei, kau melamun?”

“Aku lupa… aku belum melihat kakak seharian ini…” gumamku. Jantungku terasa tidak nyaman.

“Tidak apa, kan? Mungkin dia punya acara sendiri dengan Hyun-joong. Jangan mengganggu mereka berdua.”

“Tapi… aku merasa harus melihatnya segera… perasaanku tidak enak…” Kutatap Yoo-chun dengan gelisah. Pria itu hanya tersenyum memaklumi.

“Baiklah, kita akan mencarinya. Tapi kita harus membeli salep untukmu dulu. Oke?” Tidak ada cara lain selain patuh padanya.


—Hyun joong, Nagano Ski Resort, March 2011
“Hyun-joong? Apakah ada yang sakit? Biar kulihat kakimu. Jalanmu sepertinya sulit…” Lee-ah terus menarik tanganku, memaksaku memperlambat langkahku.

“Tidak ada yang perlu dicemaskan sebenarnya…” ujarku. Namun Lee-ah sudah terlanjur berjongkok dan menarik ujung celanaku yang robek. Bagian itu terasa lengket dan nyeri. Lee-ah memandang kakiku dengan wajah ngeri dan takut.

“Sejak kapan kau menahannya?” ia mulai merogoh kantungnya dan mengeluarkan sapu tangan. “Sejak tadi? Lukamu begini dalam…”

“Tidak sesakit itu… Diobati nanti saja…” protesku.

“Tidak boleh begitu!” ia memarahiku dengan mata berkaca-kaca. Aku tertegun sejenak melihatnya menahan tangis saat membalut kakiku dengan sapu tangannya. Saat itu wajahnya terlihat begitu menggemaskan sampai begitu sulit untuk tidak memeluknya.

Tidak berapa lama kemudian, ia sudah memapahku lagi. “Di sana saja!” seruku sambil menunjuk sebuah rumah. Sepasang suami istri mengamati kami dan mempersilahkan kami masuk ke dalamnya untuk tinggal.

“Dulu tempat  ini terkenal sebagai tempat menginap… Tapi sejak resort dibangun di sana, akhirnya di tempat ini hanya tinggal kami berdua,” kenang pasangan itu sambil berpegangan tangan. Bisa kulihat Lee-ah tersenyum kagum dan mengangguk mengerti saat memandang dua pasangan tua di depannya. Aku mengenalinya dengan baik, bias kutebak bagaimana perasaannya melihat kemesraan pasangan tua itu. Kagum dan terharu.



—Park Yoo chun, Nagano Ski Resort, March 2011
“Tidak ada? Maksud Kakak… mereka belum kembali dari lokasi ski?” Tanya Jae-shi panik pada manajer Lee-ah yang berdiri di depannya.

“Aku sudah berusaha menelepon ponselnya dan Hyun-joong berkali-kali. Petugas penjaga setempat juga sudah kuberitahu, kita cuma bisa menunggu kabar…”

“Oh…” bahu Jae-shi terkulai lemas. “Benar sekali, firasat burukku…” ia menutup wajah dengan kedua tangannya.

“Kita tunggu saja…” ucapku sambil menepuk bahunya. Kuharap wajahnya jangan sesedih itu. “Bagaimana kalau kau makan sesuatu? Sesudah itu kita bisa menunggu di lobi hotel…”

Jae-shi memaksakan seulas senyum dan berterima kasih padaku.


—Hyun joong, Nagano Ski Resort, March 2011
“Kamar ini nyaman dan memiliki perapian… Sayang sekali aku tidak membawa dompetku kemari…” ujarku sambil membaringkan tubuh di kasur.

Lee-ah memasuki kamar dengan sebaskom air dan handuk. “Aku meminjamnya untuk membersihkan lukamu…” Lee-ah menatap mataku lama. “Besok kita kembali lagi ke sini untuk membayar biaya penginapan ini. Malam ini Hyun-joong jangan berpikir macam-macam. Istirahat saja…”

Sejak kapan gadisku jadi begini dewasa?

“Tidak boleh berpikir macam-macam?” Ide untuk mengusilinya muncul begitu saja. “Walaupun kita hanya berdua di kamar ini? Sepasang pria dan wanita?”

“Eh itu…” Lee-ah memalingkan wajahnya, “Sekarang kan kau sedang sakit. Mana punya energi untuk menakutiku?” cibirnya.

“Oh ya? Kau mau mencobanya?” Kutarik lengan Lee-ah agak keras, gadis itu tersentak dan jatuh dalam pelukanku, lalu dalam sekejap kuputar tubuhku sehingga posisi kami terbalik. Lee-ah yang terbaring di kasur menatapku dengan bola matanya yang besar. Kilasan cahaya api dan bayangan diriku terpantul di bola matanya.

Perlahan kusingkirkan rambut yang menyentuh wajahnya. “Pernahkan kukatakan kau begitu cantik?” tanyaku sambil menciumnya pelan.

Lee-ah terkejut namun tidak melawan. Tangannya mencengkeram bajuku kuat-kuat dan terasa gemetar. “Kau takut padaku?” tanyaku, terkejut. Senyum jahil segera kembali di wajahku.

“Kau menggodaku lagi?” wajahnya berubah dari kaget jadi marah. Ia memukuli dadaku berulang-ulang. “Dasar jahil!!!”

“Tidak, aku tidak bercanda…” kutangkap tangannya. Pelan kubuka telapak tangannya untuk menelusurinya. Lee-ah menutup matanya dan menghindari tatapanku. “Aku menahan diri seharian untuk menciummu… Apa tidak boleh?”

Lee-ah menahan nafas lagi saat tanganku menyentuh bahunya dan menariknya untuk mendekat. Aroma lehernya yang manis, tubuhnya yang terasa rapuh setiap kali berada dalam pelukanku. Semuanya terasa terlalu tepat, seolah memang seharusnya di sanalah ia berada.

Kami saling bertatapan lama. Lee-ah tersenyum saat aku maju untuk mencium dahinya. Entah siapa yang memulai, namun selanjutnya ciuman itu begitu memabukkan. Membuatku merasa pusing. Kepalaku dipenuhi dirinya. Selanjutnya, yang kuingat hanya itu.



—Jae-shi, Nagano Ski Resort, March 2011
Pagi sudah tiba namun belum ada tanda-tanda kemunculan kakakku. Yoo-chun tertidur di sofa sebelahku dengan tangan satunya masih menggenggam tanganku. Ha-na, manajer Kak Lee-ah menghampiriku bersama Young-saeng.

“Aku akan mencarinya. Badai salju sudah reda. Apa kau mau ikut denganku?” tanyanya. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengangguk menyanggupi.

Di luar cottage, salju sudah menumpuk tebal dan tinggi. Jalanku terasa sulit dan terseok-seok. Yoo-chun buru-buru menarik tanganku untuk membantuku berjalan. Di samping, kulihat Young-saeng juga menggandeng tangan Ha-na dengan hati-hati. Aku tidak tahu bagaimana hubungan mereka, sepertinya mereka saling menyukai.

“Kau tidak kedinginan?” samar-samar terdengar suara Young-saeng bertanya pada gadis di sebelahnya. “Pakailah ini.” Ia memakaikan syalnya ke leher gadis itu.

“Apa kau mau memakai jaketku?” Tanya Yoo-chun sambil tersenyum menawarkan. Melihatku menggeleng, ia menarik tanganku dan memasukkannya ke dalam saku jaketnya.

Ha-na menahan wajahnya yang memerah dan menundukkan kepala. Saat berpaling, pandangan kami tidak sengaja bertemu dan kami bertukar senyuman malu.
—Lee ah, Nagano Ski Resort, March 2011
“Pagi…” Hyun-joong menatapku sambil tersenyum. Kepalaku masih terasa berat. Pelan-pelan, saat kesadaranku kembali, bisa kurasakan darah naik ke kepalaku dan wajahku terasa terbakar.

“Jangan melihatku seperti itu,” pintaku. Kepalaku kubenamkan ke dalam selimut. Aku tidak percaya kami berdua semalam benar-benar telah melakukannya. “Aduh… apa yang harus kukatakan pada Jae-shi?”

Hyun-joong meraih tanganku dan memelukku. Di dadanya yang bidang, pelukan itu terasa hangat dan menenangkan. “Rasanya seperti mimpi. Begitu membuka mata, yang pertama kali ada di depanku adalah wajahmu. Aku sudah sejak lama menunggu saat seperti ini…”

“Ingat, kau sudah berjanji padaku…” senyumku sambil memeluk lehernya.

“Kau salah Lee-ah,” Hyun-joon memiringkan wajahnya dan mulai menciumiku lagi. “Itu bukan janji, tapi sumpah.” Kami mulai berciuman lagi ketika tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.

“Apa kalian mau sarapan bersama kami?”

Uh-oh. “Ya…” Hyun-joong mencubit hidungku dan tersenyum. Ia meraih baju untuk menutupi dadanya yang telanjang. “Sepertinya kita harus segera pulang. Adikmu pasti cemas…”

“Ya,” senyumku. Hyun-joong terus menatapku. “Balik badanmu, aku mau ganti baju…” tukasku sambil meraih bajuku.

“Kenapa masih malu padaku?” ia mengedip jahil dan langsung pergi menutup pintu ketika kulemparkan bantal ke arahnya.


—Jae-shi, Nagano Ski Resort, March 2011
Kami sudah berjalan sekitar belasan menit ketika dari jauh, terlihat dua sosok manusia berjalan mendekat kea rah kami dengan posisi tubuh merapat. Apa mataku salah lihat? Bukankah itu….

Yoo-chun menyentuh bahuku dan tersenyum. “Itu kakakmu!” Kami bertatapan dan ia segera memahami maksudku. Ia melepaskan pegangan tangannya, membiarkanku berlari untuk menyongsong kakakku dan memeluknya.

“Kakak! Kukira kau terjebak badai salju itu!” seruku sambil memeluknya erat-erat. “Aku cemas setengah mati…”

“Aku tidak apa-apa. Ada Hyun-joong yang menjagaku,” ia menepukku dan tersenyum. Ada sesuatu dari caranya mereka bertatapan yang terlihat… berbeda.

“Ada yang terjadi?” tanyaku, kak Lee-ah mengangkat alisnya, heran. “MAksudku, kalian berduaan semalaman. Ada yang terjadi?”

Sejenak kulihat Kak Hyun-joong berdehem dan Kak Lee-ah salah tingkah. Uh-oh. Sesuatu memang terjadi. Pertanyaannya, apakah dugaanku tepat?

yunHy H

—Lee ah, Nagano Ski Resort, March 2011
Hyun-joong ditemani manajernya pergi untuk mencari kembali losmen tempat kami menginap semalam dan membereskan urusan pembayaran dan semacamnya. Sekarang, aku dan Jae-shi hanya berdua. Kami membereskan barang bawaan dan bersiap pulang. Aku menahan nafas, menghitung mundur waktu. Kapan Jae-shi akan mulai bertanya?

“Ehm….” Ia mulai berdehem kecil.

Sudah mulai, pikirku panik. Saatnya interogasi.

“Kalian menginap di satu kamar?” kulihat di sudut mataku Jae-shi melipat dan memasukkan pakaian ke dalam kopernya.

“Uuh… iya…” akuku, mengingat apa yang terjadi semalam.

“Semalaman? Hanya berdua?” tanyanya lagi. Nadanya mulai terdengar curiga.

“Iya… dan iya…” jawabku lagi. Tenggorokanku mulai terasa kering.

“Kak, apa kalian…” ia tidak menyelesaikan kalimatnya, melainkan menatapku. Melihatku memegang pipiku dengan kedua tanganku, Jae-shi hanya bisa menatapku kaget dengan mulut menganga. “Jadi, benar-benar terjadi?!”

“Ssstt!! Pelankan suaramu!” tanganku langsung bergerak untuk membekap mulutnya. Jae-shi mengangguk dan memberikan isyarat bahwa ia kesulitan bernafas. “Kami harus merahasiakannya dari manajer kami…”

“Pantas saja tatapan kalian jadi berbeda. Apa ya? Tidak bisa kujelaskan, tapi aku tahu kalau tatapan kalian berbeda…” Jae-shi meraih tanganku dan bertanya dengan hati-hati. “Jadi, apa seharusnya aku memberi ucapan selamat?”

“Dasar kau,” gumamku sambil tersenyum dan mencubit pipinya gemas.



—Yoo-chun, Nagano Ski Resort, March 2011
Cuaca cerah dan perasaanku luar biasa lega. Kaget juga melihat Jae-joong bisa menyerahkan cokelat ke Jae-shi dengan mimik setulus itu. “Ah… lega sekali…” pikirku.

Bus lain berhenti di sebelah bus milik SM entertainment dan kulihat Jae-joong membantu seorang gadis mengangkat kopernya. Tidak biasanya ia mau repot-repot mengurus masalah orang lain. Mungkin gadis itu yang berhasil membuatnya mengatasi patah hatinya.

“Halo? Ya, ini Yun-ho.” Yun-ho di sebelahku, memasukkan sebelah tangannya ke saku dan tangan lainnya memegangi ponsel, “Ya, aku di Nagano. Apa? Kenapa Ma?”

Ooh… dia sedang bicara dengan Ibunya. “Akiyo? Akiyo yang itu? Kenapa dengannya?”

Aku ingat Yun-ho pernah bercerita padaku tentang gadis blasteran Jepang, teman baiknya waktu kecil yang sekarang kuliah di Jepang. Mungkin mereka sedang membicarakan sesuatu tentang gadis itu.

“Oh… Mamanya dating mengunjungi Mama? Oke, sampaikan saja kabarku baik. Tidak masalah, makanku teratur, oke, bye…” Yun-ho menutup teleponnya dan tersenyum. “Udara cerah, Chun…”

“Ya, nyaman sekali…” seruku tersenyum. Saatnya menghampiri gadisku. “Aku masuk dulu. Mau membantu Jae-shi mengangkat kopernya.” Yun-ho mengangguk dan melambai masuk ke dalam bis.



—Lee ah, Nagano Ski Resort, March 2011
Jae-shi mengangkat ponselnya yang bordering dan terlihat pucat. “Ya, ini aku…” jawabnya. “Apa? Tapi… ya, baiklah…”

“Dari siapa?” tanyaku.

“Papa…”

Nyaris saja kemarahanku meledak sampai ke kepala dan mengatakan bahwa pria itu tidak boleh disebut Papa. Tapi kebahagiaanku terlalu besar untuk bisa marah hari ini. “Apa katanya?”

“Dia mau aku tes DNA…”

“Untuk apa?” tanyaku. “Apa dia bermaksud mengatakan kalau ia mau menampung kita?” jae-shi mengangguk. “Setelah semuanya itu, dia mau bertindak sebagai Papa kandung?”

“Tenanglah Kak,” senyum Jae-shi sambil menggenggam tanganku. “Kita bisa bicara baik-baik dengannya. Ia pasti bisa mengerti… aku juga tidak bermaksud tinggal bersamanya…”

Samar-samar kurasakan ada yang disembunyikan Jae-shi dariku. Tapi… apa?

“Lee-ah, bagaimana kalau kubantu kau membawa barang?” Tanya Hyun-joong yang tahu-tahu sudah bersender di pintu. “Chun, kau akan membantu membawakan barang Jae-shi?” tanyanya.

Dua pria itu bertukar senyum dan menghampiri kami. Jae-shi tersenyum tapi senyumnya tidak terlihat seceria biasanya. Apa yang terjadi? Apa yang disembunyikannya dariku?

-to be continued-


SING OUT LOUD, LOVE-SIDE STORY1 (AFTER EP 13)

SING OUT LOUD, LOVE-SIDE STORY1

February 2, 2012 at 10:11am
Side Story 1
Sing out loud, Love
Cast:
Kim Jae-joong
Evhy as Choi Hye Bin

-Jae-joong, Maret 2011, Nagano Ski Resort-
Uap nafasku terasa panas, seperti hatiku saat ini. Terbakar. Kembali terulang di kepalaku bagaimana wajah Jae-shi tadi.

“Kenapa hanya dia yang kau pikirkan? Bagaimana dengan perasaanku?”

“Waktu itu... kau tanya apa aku membencimu? Jawabannya memang tidak. Lalu, apa aku tidak menyukaimu? Tentu saja aku menyukaimu, tapi...”

“Tapi apa? Aku masih tidak sebaik dia di hatimu?!”

“Bukan...” Gadis itu menutup wajahnya dengan tangan. “Kumohon jangan teruskan. Aku tidak mau menyakitimu...”

“Baiklah...” kuhembuskan nafasku kuat-kuat. Aku sudah lelah. “Kita sudahi saja sampai sini. Anggap saja kau sudah menolakku!”

“Kak Jae...”

Tidak kupedulikan gadis itu. Kakiku melangkah keluar cottage dengan tergesa-gesa. Langit begitu biru pucat. Dataran begitu putih. Seandainya semua ini bisa menelanku bulat-bulat. Membantuku melupakan gadis itu.

“Sialan...” gerutuku sambil menghela nafas lagi. “Seharusnya aku tidak memaksanya seperti tadi...”

“Waahhh!! “ dari jauh terdengar teriakan seorang gadis. Secara otomatis aku berdiri untuk mengamati si pemilik suara. Suaranya mirip dengan suara Jae-shi.

“Astaga... dari tadi kenapa kau tidak bisa juga?” tanya seorang wanita yang terlihat seperti pemain ski professional. “Kutinggal sebentar, kau latihan saja sendirian dulu.”

“Maafkan aku...”

Mereka bicara dalam bahasa korea. Berarti gadis itu juga dari Korea, bukan penduduk asli Nagano ini.

Gayanya juga mirip, pikirku sambil mengamati bagaimana gadis itu berulang kali meminta maaf pada instrukturnya karena tidak kunjung bisa melakukan apa yang diperintahkan. Setelah agak lama mengobrol, instruktur itu meninggalkannya untuk latihan sendirian.

Kukenakan masker dan google (kacamata ski) milikku. Gadis itu mengepalkan tangannya dengan bersemangat, seolah bertekad untuk berusaha keras agar bisa melakukan gerakan ski yang dicontohkan oleh instrukturnya. Sikapnya membuatku tergelitik untuk menghampirinya.

“Hei...”

“Ya?” Gadis itu menoleh, dan tentu saja―wajahnya tidak mirip dengan Jae-shi. Namun senyum cerianya membuatku tidak tahan untuk ikut tersenyum.

“Kulihat dari tadi, caramu salah total.”

“Astaga...” Ia menutup pipinya dengan kedua tangan karena malu. Hidungnya ikut memerah karena kedinginan. “Memalukan sekali.”

“Bagaimana kalau aku mengajarimu?”

“Benarkah?” Gadis itu mengamatiku lalu tertawa sesaat. “Oh ya, aku baru sadar kau bicara dalam bahasa korea!” Ia mengetuk kepalanya karena malu. “Maafkan aku karena terlambat menyadarinya. Sungguh kau mau mengajariku?”

Kepolosannya mengundangku untuk ikut tertawa. “Asal kau tahu saja, aku ini guru yang galak!”

“Eh? Benarkah demikian?” gadis itu bertanya dengan mata membelalak kaget. “Kurasa tidak, suaramu terdengar lembut dan ramah...”

Wajahku jadi terasa panas sesaat. “Dasar sok tahu,” gumamku sambil menahan senyum. “Ayo! Latihan pertama dimulai!”



-Choi Hye Bin, Maret 2011, Nagano Ski Resort-
“Nah, sekarang sudah lebih baik!”

“Aku masih tidak bisa berbelok... susah sekali...” keluhku sambil menepuk salju yang mengotori pundak dan pantatku. Walaupun berhasil melaju dengan baik, belokan masih sulit kutempuh, tapi pria ini begitu sabar mengajariku... namanya... namanya... Loh, pria ini? namanya siapa ya?

“Oh ya, apa tadi kita sudah berkenalan?” ucapku sambil memiringkan kepalaku.

“Oh...” Pria itu tersentak kaget sedikit. “Belum. Apa perlu?”

“Namaku Choi Hye bin!” seruku riang. “Aku tidak tahu namamu, kupanggil kau Pak guru saja ya?”

“Oh... Pak guru?” Pria itu seperti berpikir sesaat. Wajahnya serius menatapku, lalu tiba-tiba muncul senyuman sebelumnya. “Tidak masalah, Pak guru, itu kedengaran keren.”

Apa aku salah sudah memanggilnya begitu? Pikiranku mulai melantur saat tatapan kami bersirobok. Rasanya mata itu pernah kulihat dimana ya.... “Karena kau sudah banyak mengajariku, aku harus membalas apa?”

“Oh, tidak perlu kok...” Pria itu menepuk kepalaku dan tersenyum. “Aku pergi saja ya?”

“Jangan! Jangan!” tanpa pikir panjang kutarik tangannya. “Ayolah, kutraktir kau makan!”



-Jae-joong, Maret 2011, Nagano Ski Resort-
Gadis ini terlalu membuatku serba salah. Memanggilku Pak guru, mengingatkanku tentang panggilan yang diberikan Jae-shi kepada Yoo-chun. Dan sekarang, wajahnya melongo terkejut ketika kubuka google dan maskerku untuk menikmati makanan yang dibelikannya.

“Ada masalah? Terkejut karena aku begitu tampan?”

“Astaga...” Hye-bin masih mengangguk saking terkejutnya. “Iya, dua-duanya benar! Ada masalah karena jantungku jadi berdebar sekarang.... soalnya kau tampan sekali.” Pengakuannya yang jujur membuatku nyaris menyemburkan makananku. “Eh, apa tidak masalah makan di tempat seramai ini? tidak masalah kau tidak menyamar?”

“Teruskan saja makanmu,” senyumku sambil menatapnya. Ia kelihatan ragu-ragu menatapku. “Ada yang mau kau katakan?”

“Eh, apa makanan di sini cocok dengan seleramu? Bukannya artis biasa makan yang lebih mahal? Rasanya aku jadi ragu menghabiskan waktu untuk makan, seharusnya sepanjang hari berfoto denganmu...”

Selorohan panjang gadis itu membuatku tertawa tanpa henti. Tidak ada yang sejujur ini sebelumnya. Jae-shi juga tidak. “Tidak apa, aku suka tempat ini...” Yang terpenting, aku merasa nyaman bersamanya.

“Eh... apa aku boleh minta tanda tanganmu? Bagaimana kalau aku tidak bisa bertemu denganmu lagi...”

Senyuman tipis mengembang di bibirku. “Tidak masalah, besok saja. Aku masih ingin bertemu denganmu.”



“Hei, Jae!” Chang-min memanggilku dari ujung lorong. Ia kelihatan segar seperti baru selesai berendam. “Aku bertemu dengan produser, kelihatannya ada yang ingin dibicarakan denganmu.”

“Ada apa ya?” tanyaku bingung. Setahuku syuting sudah selesai dan sekarang semua kru sudah beristirahat. Chang-min mengedikkan bahu pertanda ia juga tidak tahu apapun. Produser kami terkenal perfeksionis, kurasa sebaiknya aku bertemu dengannya.

“Jae! Akhirnya kau datang juga!” produser itu menepuk pundakku begitu aku memasuki ruangan tempat proses syuting dilaksanakan. Masih terlihat beragam background si sana-sini, pertanda lokasi syuting itu belum dibereskan. Di sebelah sutradara itu, Jae-shi dan Yoo-chun berdiri dan agak ragu menatapku.

“Begini, kurasa dalam pengambilan gambar tadi, aku kurang lama menyorot wajahmu. Jadi kuputuskan untuk mengubah sedikit. Jadi, kau dan Chun akan menemani Jae-shi dengan gitarnya. Kalian bertiga bernyanyi bersama, jadi seperti sekali tepuk dua lalat. Pengambilan gambarmu lebih banyak, porsi menyanyimu lebih banyak, dan suasana juga akan lebih ceria.”

Cih! “Ceria?” Nyaris saja emosiku naik gara-gara teringat dua orang di depanku sudah jadian. Tidak, tidak tetaplah berkepala dingin, Jae. Bersikap profesionallah! “Baiklah, kenapa tidak?” sahutku lantang. Kulihat Jae-shi menatapku kaget dan kemudian tersenyum. Nyaris hatiku kembali luluh melihatnya. Aku masih menyukainya. Sialan.

“It’s holiday and I’m dreaming of snowy land....” Jae-shi memetik gitarnya dan menyanyi riang. Aku dan Yoo-chun kemudian bergantian menyanyikan beberapa baris selanjutnya. Suasananya seolah masih sama. Namun yang berbeda adalah tatapan di antara kami. Aku berusaha untuk tidak membalas tatapan dan senyumannya, tapi ya ampun sulit sekali.

“I hope I can be the only one...” nyanyiku sambil menatapnya. Jae-shi membalas senyumanku tanpa ragu, masih selugu biasanya.

“I hope it’s snowing forever...” sambung Yoo-chun sambil terus menyanyi dan tersenyum pada Jae-shi. Gadis itu memetik gitarnya dan tersenyum. Selesai. Fiuh... Akhirnya aku bisa bernafas lega karena sudah selesai!!

“Maaf ya, merepotkan Kak Jae-joong...” Jae-shi menatapku ragu sebelum akhirnya tersenyum. Tiba-tiba aku teringat gadis itu lagi. “Ada apa? Ada yang menyenangkan?”

“Ah... tidak... Ada seorang gadis yang mirip denganmu...” gumamku. Teringat senyumnya, buru-buru kukoreksi. “Tidak... aku salah. Maksudku, kau sangat mirip dengannya...”

Jae-shi menatapku bingung sementara Yoo-chun menepuk bahuku. “Teman?” tawarnya. Kubalas tepukan tangannya tanpa ragu.


-Choi Hye Bin, Maret 2011, Nagano Ski Resort-
“Sedang mendengarkan lagu apa?”

Cowok itu muncul bagai angin. Tiba-tiba saja ia sudah berjongkok di depanku, menatapku dalam-dalam dan wajahnya hanya berjarak beberapa centi dariku. Ya Tuhan, dia sangat tampan.

“Eh.. ini mp3 hadiah teman...” kulepaskan headsetku dan pria itu menyambutnya. Ia mendengarkan dan tersenyum. Ada sesuatu di senyumannya yang sulit kuartikan.

“Lagunya Jae-shi? Pastel love?”

“Iya... aku suka lagu ini,” jawabku sambil menekan dadaku. Jarak kami dekat sekali, apalagi sekarang ia sedang mengenakan sebelah headset-ku. Astaga, aku akan menyimpan benda ini seumur hidupku.

Tiba-tiba aku teringat betapa banyaknya gossip mengenai kedekatan Jae-shi dan Jae-joong. “Oh, apakah kau dan Jae-shi pacaran?” Pertanyaan bodoh itu tercetus begitu saja dari bibirku. Jae-joong menatapku kaget namun tetap diam, aku jadi kebingungan harus bagaimana. “Maaf, apa aku salah bertanya? Maksudku... ada begitu banyak gossip tentang kalian. Juga bagaimana kau memeluknya di panggung waktu debut pertamanya.”

“Ohh itu...”

“Waktu dia menyanyikan lagu itu, rasanya momen itu indah sekali, aku sampai sesak nafas dan menontonnya berulang-ulang. Kau seperti malaikat untuknya...”

“Malaikat? Jadi begitu... mungkin saja, aku ini malaikat pelindungnya. Tapi aku bukan kekasihnya.”

“Oh ya? Kenapa?” tanyaku bingung.

“Misalnya, karena aku ditolak? Atau karena aku lebih menyukai gadis yang bisa membuatku nyaman?”

Tatapannya seolah membuat jantungku seperti diremas kuat-kuat. “Eh... aku harus pilih yang mana?” Jae-joong tertawa lagi.

“Bagaimana kalau kau memberikan nomor ponselmu padaku? Akan kuberikan milikku.”

Apa?! Apa aku tidak salah dengar?!

“Tapi jadikan ini rahasia kita...” ia mengeluarkan kelingkingnya. “Janji?”

Hari itu adalah hari terindah untukku. Membuat janji dengan seorang superstar tampan seperti Jae-joong. Walaupun janji itu seperti janji anak-anak, aku percaya takdir di antara kami tidak berhenti sampai di sini.



-Jae-joong, Maret 2011, Nagano Ski Resort-
“Untukmu...” ujarku sambil memberikan sebuah cokelat batangan ke tangan Jae-shi. Gadis itu memandangku tidak percaya. Yoo-chun yang berdiri tidak jauh darinya juga memandangku heran. “Perjalanan akan panjang, kau bisa memakannya bersama Yoo-chun. Lagipula hari ini white day. Maaf, aku tidak sempat membungkusnya. Itu balasan untuk cokelat yang kau berikan waktu valentine...”


“Oh.. kak Jae tidak perlu repot-repot,” senyum Jae-shi sambil mendekap cokelat itu dengan hati-hati. “Aku suka merk ini, terima kasih...”

Dengan begini sama sekali impas. Aku tidak berhutang apapun padanya. “Ayo kita ke bis...”

Uap nafasku masih saja putih, langit masih saja biru pucat, dan salju masih saja memenuhi seluruh dataran ski resort ini. Lantas, apanya yang berbeda?

Brumm.... bus pariwisata lain berhenti di dekat bus milik SM Entertainment. Terlihat seorang gadis menyeret kopernya dengan susah payah. Otomatis tanganku bergerak untuk membantunya mengangkat koper itu ke bagasi.

“Ohh... “ Gadis itu―Hye Bin― menatapku dan tersenyum. Aku membalas senyumannya dan menggerakkan tanganku di samping telinga, yang artinya adalah sebuah isyarat. Telepon aku begitu kau sampai di Seoul. Gadis itu mengangguk tanpa ragu dan aku tertawa kecil sambil menaiki busku.

Ya, uap nafasku masih saja putih; langit masih saja biru pucat; dataran masih saja berselimut salju; tapi perasaanku sudah berbeda. Aku percaya suatu hari nanti, aku akan menemukan gadis yang ditakdirkan untukku, seperti halnya Chun menemukan Jae-shi.


-selesai-