TRY MY LOVE 9
April 16, 2011 at 11:54am
TRY MY LOVE
Chapter 9
Cast:
Author (Jesica) as Park Jae Shi
Han Geng as himself
Wei Li Zhi as herself
Ji Ro Wang
Jay Chow as himself
Park Dae Jia
Choi Si Won
dll
(dialog dengan tanda * berarti berbahasa mandarin)
--Han Geng, Bei Jing, Raffles Hotel, 2010--
“Aku ingin bertemu denganmu…” ujarku.
Gadis di seberang terdengar ragu, sebelum akhirnya ia meminta maaf. “Aku… sedang tidak bisa. Maaf ya, Li Zhi sedang ada masalah, dan aku hanya tidak mau meninggalkannya…” ujarnya sopan.
“Bukan untuk menghindariku, kan?” tanyaku lagi.
Jae Shi terdiam sebentar. Bisa kubayangkan ia tersenyum malu saat menjawabku. “Aku juga belum bisa menjawab…” akunya.
Ia jujur. Sikap yang tidak dibuat-buat saat bersamaku. Dan itu, salah satu sikapnya yang membuatku menyukainya. “Kapan aku bisa menemuimu?” tanyaku lagi. Ia tidak kunjung menjawab sampai kutambahkan, “Setelah masalah Li Zhi selesai?”
“Ya,” sahutnya setuju. “Kalau masalah Li Zhi selesai…”
“Hei!!” Si Won duduk dan melempar bantal ke arahku. “Kau senyam-senyum sendirian… Telepon siapa sih?” tanyanya sambil tertawa dan merebut ponsel dari tanganku.
“Ooi!!”
“Oh.. gadis itu lagi…” ia tersenyum jenaka dan mengembalikan ponselku.
“Jangan bicara begitu. Kau perlu melihat ekspresimu sendiri kalau bicara dengan Dae Jia…” balasku, berusaha membela diri. Si Won hanya mengibaskan tangannya sambil tertawa meninggalkanku.
“Aku akan membeli makanan. Kalian mau pesan apa?” tanyaku, bangkit dan mengambil dompetku.
Hee Chul datang sambil nyengir lebar, “Bakpau. Daging. Nyam-nyam…” Syukurlah aku mengerti kalau nyam-nyam artinya dua buah. Temanku memang aneh.
“Mie!!” seru Henry sambil tersenyum, disusul anggukan setuju yang lainnya. “Plus susu untukku,” ujar Dong Hae serius.
“Perlu kubantu?” tawar Si Won saat mengantarku ke pintu.
“Tidak perlu. Aku tahu pacarmu sudah menunggu waktu jalan-jalan bersamamu…” Dan aku tidak mau Dae Jia protes padaku karena merebut kesempatan itu.
--Han Geng, Bei Jing, 2010--
Jalanan masih terasa dingin di pagi hari. Setelah membeli bakpao, kakiku melangkah ke pertokoan tempat Mie kesukaan Henry dijual. Di sana, di sudut jalan, aku melihat dia!
“Jae Shi!” panggilku. Beberapa gadis lain menoleh memandangku, tetapi tampaknya ia tidak mendengarku. Ia masuk ke sebuah toko dan menemui seseorang di sana.
“*Pak, mienya mau berapa bungkus?” tanya penjual itu.
Otakku tidak sanggup berpikir, sambil menyebut angka asalan-asalan, kutambahkan,”*Nanti saya ambil pesanannya…” seruku sambil mengejar gadis itu.
Ternyata ia menemui Ji Ro.
Kutarik topi di kepalaku sampai menutupi separuh wajahku, dan kuambil posisi duduk tepat di belakangnya, berhadapan punggung dengan Jae Shi. Mereka bicara dengan serius.
“*Kenapa kau memutuskan Li Zhi?” tanya Jae Shi. “*Setahuku hubungan kalian tidak ada masalah apapun…”
“*Aku tidak peka selama ini. Bahwa ternyata hubungan kami berat sebelah…” jawab Ji Ro.
“*Bagaimana bisa berat sebelah? Kalian kan saling menyukai? Itu lebih dari cukup, bukan?”
Kurasa Jae Shi memang tipikal gadis yang romantis. Rasanya aku mengerti mengapa ia begitu mempercayai pria bernama Dennies itu dulu. Karena ia merasa perasaan cinta itu lebih dari cukup untuk saling percaya.
“*Aku tidak bisa melihatnya menderita karena aku. Bersamaku, dia selalu tampak bahagia. Aku takut, ia memaksakan diri tertawa di depanku…”
Jae Shi terdiam.
“*Pesan apa Pak?” tanya pelayan di depanku sambil tersenyum.
Sialan, jangan sampai suaraku ketahuan. “*Teh,” ujarku sambil memencet hidungku sedikit. Pelayan itu tersenyum menggoda sambil mengiyakan dengan bingung. Terserahlah mau anggap aku aneh juga boleh.
“*Apa kau tahu… soal para fans yang menyakiti Li Zhi?” tanya Jae Shi setelah terdiam lama. “*Benar?”
“*Kau tahu soal itu?” balas Ji Ro tidak percaya.
“*Ji Ro… Li Zhi tidak mengatakannya, bukan karena ia memaksakan diri. Tetapi supaya kau tidak cemas. Kenapa? Karena ia ingin mempertahankanmu. Ia menyukaimu. Dan rasa sukanya lebih besar daripada rasa takutnya menghadapi para fansmu…”
“*Tapi, aku tidak bisa berdiam diri kalau ia disiksa…”
“*Sebenarnya, kalau boleh tahu, siapa yang mempengaruhimu begini?”
“*Kau tidak perlu tahu itu,” sahut Ji Ro. Lalu ia segera mengubah nada bicaranya,”*Maaf… maksudku bukan begitu…”
“*Tidak apa kok… Hanya saja, aku bingung karena kalian berdua sama-sama tidak saling jujur. Begini, bagaimana kalau kau datang ke rumah Li Zhi? Kau tahu, kalau ia menderita, ia akan semakin menderita kalau kau tidak di sampingnya…”
“*Jadi… maksudmu…”
“*Maksudku adalah, justru kalau kau memutuskannya begini, semua perjuangan Li Zhi untuk mempertahankan hubungan kalian akan sia-sia. Kau menyukainya? Justru di saat takut, kau harus menggenggam tangannya…”
“*Aku paham!” terdengar suara Ji Ro yang bahagia. Ia bangkit dan memeluk Jae Shi. “Terima kasih banyak!” serunya senang.
“*Tuan? Mau bayar sekarang?” tanya pelayan itu.
“*Oh ya,” ujarku. Ketika kulihat uangku, ternyata bentuknya sudah lecek karena kugenggam kuat-kuat. “*Maaf…” senyumku.
“*Loh? Han Geng?” tanya Ji Ro, mengintip dari balik badan Jae Shi saat melihatku tersenyum grogi ke arahnya. Teh yang kuminum terasa asing di lidahku.
“*Kau tidak mengikutiku kan?” tanya Jae Shi sambil menatapku curiga.
“*Tidak, hanya kebetulan merasa haus kok..” sahutku, mencoba tertawa. Sialan, rasanya kaku sekali.
“*Dan tidak sengaja mengambil tempat di belakang kami…” tambah Ji Ro, membuat Jae Shi menatapku curiga.
“*Baiklah, aku sedang membeli mie, saat kulihat kau di sana. Aku memanggil dan kau tidak mendengar, jadi kuputuskan datang. Kulihat kau bersama Ji Ro, jadi… aku tidak mau mengganggu.
“*Kalau begitu, aku pergi dulu ya…” ujar Ji Ro tiba-tiba. Ia terlihat jauh lebih baik daripada kemarin malam.
“*Kau harus membahagiakan Li Zhi ya…” ujar Jae Shi sambil melambaikan tangan. Ia lantas menatapku. “Maaf, aku tidak dengar kau memanggilku tadi…”
“Tidak apa-apa kok…” jawabku sambil tersenyum.
“Jadi?” Jae Shi menatapku dari atas sampai ke bawah. “Mana mienya?”
“Astaga…” dengan kesal kutepuk kepalaku. Hanya plastik bakpao yang ada di tanganku. “Aku melupakannya. Semoga paman itu tidak marah…” keluhku sambil mendengar tawa Jae Shi saat ia menemaniku ke tempatku membeli mie.
“*Sudah jadi, Pak?” tanyaku ragu. Berapa angka yang kusebutkan tadi? Astaga… itu saja aku lupa. Kalau aku beli kurang… Dan aku juga belum beli susu yang dipesan Dong Hae.
“*Ya, sepuluh bungkus sudah jadi…” sahut Bapak itu senang. Tampaknya aku pembeli terbanyak pagi ini.
“Memangnya berapa member Suju M yang makan mie?” tanya Jae Shi sambil mengamati wajahku yang terlihat kacau. “Itu bakpao siapa?” ia membantuku membeli susu kotak dari mesin penjual minuman.
“Hee Chul…”
“Oh… berarti semua Suju M makan mie. Ada 9 dong?” tanya Jae shi lagi..
“Mungkin simba mau makan bersama pacarnya?” keluhku. Tapi, Dae Jia mungkin sudah membawa Si Won makan entah dimana. Berarti jadi dua bungkus sisa. “Tidak. Si Won mungkin sudah makan sama Dae Jia. Tidak mungkin menyuruhnya makan lagi…”
Mungkinkah ini kesempatan? Pikirku. Mungkin….
“Jae Shi, kau sudah makan?” tanyaku germbira.
“Mhm.. belum,” sahut gadis itu. Ia tertawa dan mengangguk setuju. “Baiklah, ayo kita makan mie!!” tukasnya bersemangat.
Aku menatapnya dan tersenyum senang.
“Hei, jangan lihat begitu…” Jae Shi buru-buru memalingkan wajahnya. “Aku tahu, aku jelek kalau tertawa…”
“Kata siapa?” tanyaku, tersenyum. Kami berjalan memasuki lobi hotel dan kemudian mulai menaiki lift. “Aku suka melihatmu tertawa. Artinya, kau senang bersamaku…”
“Gombal,” olok Jae Shi sambil tertawa malu.
Kami sampai di lantaiyang dibooking super Junior M. Di beranda, aku melihat Zhou Mi dan Hee Chul, jadi kami membagikan makanan kepada mereka.
Ketika tiba di depan kamar, Dae Jia dan Si Won tanpa malu-malu saling menciumi dengan nafsu. Dae Jia bersandar ke dinding dan tangan Si Won mengurungnya. Mereka tertawa dan kemudian melepaskan diri malu saat melihat kami datang.
“Sori… mereka memang sering begitu…”
“Image Si Won jadi agak berbeda ya….” Tukas Jae Shi sambil mengibaskan tangan seolah udara terasa panas. Pipinya memerah malu. Menggemaskan.
Sejenak otakku kembali mengingat. “Oh ya, member nomor satu kesukaanmu kan Si Won. Jangan-jangan kau cemburu tadi…” ujarku, merasa garing dengan nada suaraku sendiri. Mungkin, akulah yang sekarang cemburu.
“Buatku Si Won adalah idola. Aku tidak cemburu. Menurutku dia sangat cocok dengan Dae Jia. Justru hebat kalau Dae Jia bisa menemukan sosok lain dari seorang Choi Si Won..”
“Begitu?” dalam hati aku cukup menyetujui pendapatnya. Kalau seorang pria bisa bersikap lain, itu hanya untuk gadis yang disukainya, memang benar.
“Selamat makan teman-teman…” ujarku sambil membuka pintu.
Sung Min berselonjor di sofa dan menunjukkan wajah menderita. “Kau lama sekali… Aku pikir aku akan pingsan….” Gerutunya sambil bangkit dan mengambil makanan bagiannya.
“Susu?” tanya Dong Hae. Ia tersenyum sekilas pada Jae Shi, “pagi,” sapanya. Dan mengedipkan mata jahil ke arahku. “Thanks…” ujarnya, setelah mengambil sekotak susu dan sebungkus mie miliknya.
“Hai,” sapa Henry sambil tersenyum.
“Kalian pacaran dan melupakan makananku…”gumam Eun Hyuk. Ia tersenyum pada ponselnya dan berbisik. “Aku makan dulu ya, Shin Woo sayang…” ujarnya. Ia lantas mematikan ponselnya dan beranjak mengambil makan paginya.
“Ayo kita makan di balkon…” kami berjalan ke balkon yang terletak di sayap timur hotel.
Jae Shi tersenyum senang sambil menatap pemandangan Bei Jing. “Aku suka sekali pemandangan dari ketinggian…” ia memotret pemandangan itu dan tersenyum. “Karena kau mengajakku, aku bisa memotret pemandangan sebagus ini… Thanks ya…”
“Apa aku boleh memotretmu?”
Jae Shi menggeleng dan menggeleng. “Tidak deh… aku gak suka difoto. Soalnya ngga fotogenik…” tolaknya halus.
Kenapa ia tidak bisa melihat apa yang dilihat olehku?
“Ayo kita foto bersama kalau begitu…” ujarku. Aku mendekatkan wajahku dan memotret kami berdua dengan background pemandangan Bei Jing. Jae Shi tersenyum malu melihat foto itu. “Kirimkan padaku…” pintanya.
“Nah, ayo kita makan!!” seruku sambil tersenyum dan mendorong kursi untuknya. Kami duduk dan dengan tenang menatap
Sambil mengamati gadis itu memakan mienya pelan, sebuah pertanyaan mendesak keluar dari dadaku. “Kau menatap Si Won sebagai idola, kan? Bagaimana denganku?”
“Apa maksudnya?” tanya gadis itu bingung.
“Saat aku mengatakan perasaanku…” ujarku, merasakan suaraku terdengar kering. “Apa kau menatapku sebagai idola? Atau… sebagai lelaki??”
--to be continued--
Chapter 9
Cast:
Author (Jesica) as Park Jae Shi
Han Geng as himself
Wei Li Zhi as herself
Ji Ro Wang
Jay Chow as himself
Park Dae Jia
Choi Si Won
dll
(dialog dengan tanda * berarti berbahasa mandarin)
--Han Geng, Bei Jing, Raffles Hotel, 2010--
“Aku ingin bertemu denganmu…” ujarku.
Gadis di seberang terdengar ragu, sebelum akhirnya ia meminta maaf. “Aku… sedang tidak bisa. Maaf ya, Li Zhi sedang ada masalah, dan aku hanya tidak mau meninggalkannya…” ujarnya sopan.
“Bukan untuk menghindariku, kan?” tanyaku lagi.
Jae Shi terdiam sebentar. Bisa kubayangkan ia tersenyum malu saat menjawabku. “Aku juga belum bisa menjawab…” akunya.
Ia jujur. Sikap yang tidak dibuat-buat saat bersamaku. Dan itu, salah satu sikapnya yang membuatku menyukainya. “Kapan aku bisa menemuimu?” tanyaku lagi. Ia tidak kunjung menjawab sampai kutambahkan, “Setelah masalah Li Zhi selesai?”
“Ya,” sahutnya setuju. “Kalau masalah Li Zhi selesai…”
“Hei!!” Si Won duduk dan melempar bantal ke arahku. “Kau senyam-senyum sendirian… Telepon siapa sih?” tanyanya sambil tertawa dan merebut ponsel dari tanganku.
“Ooi!!”
“Oh.. gadis itu lagi…” ia tersenyum jenaka dan mengembalikan ponselku.
“Jangan bicara begitu. Kau perlu melihat ekspresimu sendiri kalau bicara dengan Dae Jia…” balasku, berusaha membela diri. Si Won hanya mengibaskan tangannya sambil tertawa meninggalkanku.
“Aku akan membeli makanan. Kalian mau pesan apa?” tanyaku, bangkit dan mengambil dompetku.
Hee Chul datang sambil nyengir lebar, “Bakpau. Daging. Nyam-nyam…” Syukurlah aku mengerti kalau nyam-nyam artinya dua buah. Temanku memang aneh.
“Mie!!” seru Henry sambil tersenyum, disusul anggukan setuju yang lainnya. “Plus susu untukku,” ujar Dong Hae serius.
“Perlu kubantu?” tawar Si Won saat mengantarku ke pintu.
“Tidak perlu. Aku tahu pacarmu sudah menunggu waktu jalan-jalan bersamamu…” Dan aku tidak mau Dae Jia protes padaku karena merebut kesempatan itu.
--Han Geng, Bei Jing, 2010--
Jalanan masih terasa dingin di pagi hari. Setelah membeli bakpao, kakiku melangkah ke pertokoan tempat Mie kesukaan Henry dijual. Di sana, di sudut jalan, aku melihat dia!
“Jae Shi!” panggilku. Beberapa gadis lain menoleh memandangku, tetapi tampaknya ia tidak mendengarku. Ia masuk ke sebuah toko dan menemui seseorang di sana.
“*Pak, mienya mau berapa bungkus?” tanya penjual itu.
Otakku tidak sanggup berpikir, sambil menyebut angka asalan-asalan, kutambahkan,”*Nanti saya ambil pesanannya…” seruku sambil mengejar gadis itu.
Ternyata ia menemui Ji Ro.
Kutarik topi di kepalaku sampai menutupi separuh wajahku, dan kuambil posisi duduk tepat di belakangnya, berhadapan punggung dengan Jae Shi. Mereka bicara dengan serius.
“*Kenapa kau memutuskan Li Zhi?” tanya Jae Shi. “*Setahuku hubungan kalian tidak ada masalah apapun…”
“*Aku tidak peka selama ini. Bahwa ternyata hubungan kami berat sebelah…” jawab Ji Ro.
“*Bagaimana bisa berat sebelah? Kalian kan saling menyukai? Itu lebih dari cukup, bukan?”
Kurasa Jae Shi memang tipikal gadis yang romantis. Rasanya aku mengerti mengapa ia begitu mempercayai pria bernama Dennies itu dulu. Karena ia merasa perasaan cinta itu lebih dari cukup untuk saling percaya.
“*Aku tidak bisa melihatnya menderita karena aku. Bersamaku, dia selalu tampak bahagia. Aku takut, ia memaksakan diri tertawa di depanku…”
Jae Shi terdiam.
“*Pesan apa Pak?” tanya pelayan di depanku sambil tersenyum.
Sialan, jangan sampai suaraku ketahuan. “*Teh,” ujarku sambil memencet hidungku sedikit. Pelayan itu tersenyum menggoda sambil mengiyakan dengan bingung. Terserahlah mau anggap aku aneh juga boleh.
“*Apa kau tahu… soal para fans yang menyakiti Li Zhi?” tanya Jae Shi setelah terdiam lama. “*Benar?”
“*Kau tahu soal itu?” balas Ji Ro tidak percaya.
“*Ji Ro… Li Zhi tidak mengatakannya, bukan karena ia memaksakan diri. Tetapi supaya kau tidak cemas. Kenapa? Karena ia ingin mempertahankanmu. Ia menyukaimu. Dan rasa sukanya lebih besar daripada rasa takutnya menghadapi para fansmu…”
“*Tapi, aku tidak bisa berdiam diri kalau ia disiksa…”
“*Sebenarnya, kalau boleh tahu, siapa yang mempengaruhimu begini?”
“*Kau tidak perlu tahu itu,” sahut Ji Ro. Lalu ia segera mengubah nada bicaranya,”*Maaf… maksudku bukan begitu…”
“*Tidak apa kok… Hanya saja, aku bingung karena kalian berdua sama-sama tidak saling jujur. Begini, bagaimana kalau kau datang ke rumah Li Zhi? Kau tahu, kalau ia menderita, ia akan semakin menderita kalau kau tidak di sampingnya…”
“*Jadi… maksudmu…”
“*Maksudku adalah, justru kalau kau memutuskannya begini, semua perjuangan Li Zhi untuk mempertahankan hubungan kalian akan sia-sia. Kau menyukainya? Justru di saat takut, kau harus menggenggam tangannya…”
“*Aku paham!” terdengar suara Ji Ro yang bahagia. Ia bangkit dan memeluk Jae Shi. “Terima kasih banyak!” serunya senang.
“*Tuan? Mau bayar sekarang?” tanya pelayan itu.
“*Oh ya,” ujarku. Ketika kulihat uangku, ternyata bentuknya sudah lecek karena kugenggam kuat-kuat. “*Maaf…” senyumku.
“*Loh? Han Geng?” tanya Ji Ro, mengintip dari balik badan Jae Shi saat melihatku tersenyum grogi ke arahnya. Teh yang kuminum terasa asing di lidahku.
“*Kau tidak mengikutiku kan?” tanya Jae Shi sambil menatapku curiga.
“*Tidak, hanya kebetulan merasa haus kok..” sahutku, mencoba tertawa. Sialan, rasanya kaku sekali.
“*Dan tidak sengaja mengambil tempat di belakang kami…” tambah Ji Ro, membuat Jae Shi menatapku curiga.
“*Baiklah, aku sedang membeli mie, saat kulihat kau di sana. Aku memanggil dan kau tidak mendengar, jadi kuputuskan datang. Kulihat kau bersama Ji Ro, jadi… aku tidak mau mengganggu.
“*Kalau begitu, aku pergi dulu ya…” ujar Ji Ro tiba-tiba. Ia terlihat jauh lebih baik daripada kemarin malam.
“*Kau harus membahagiakan Li Zhi ya…” ujar Jae Shi sambil melambaikan tangan. Ia lantas menatapku. “Maaf, aku tidak dengar kau memanggilku tadi…”
“Tidak apa-apa kok…” jawabku sambil tersenyum.
“Jadi?” Jae Shi menatapku dari atas sampai ke bawah. “Mana mienya?”
“Astaga…” dengan kesal kutepuk kepalaku. Hanya plastik bakpao yang ada di tanganku. “Aku melupakannya. Semoga paman itu tidak marah…” keluhku sambil mendengar tawa Jae Shi saat ia menemaniku ke tempatku membeli mie.
“*Sudah jadi, Pak?” tanyaku ragu. Berapa angka yang kusebutkan tadi? Astaga… itu saja aku lupa. Kalau aku beli kurang… Dan aku juga belum beli susu yang dipesan Dong Hae.
“*Ya, sepuluh bungkus sudah jadi…” sahut Bapak itu senang. Tampaknya aku pembeli terbanyak pagi ini.
“Memangnya berapa member Suju M yang makan mie?” tanya Jae Shi sambil mengamati wajahku yang terlihat kacau. “Itu bakpao siapa?” ia membantuku membeli susu kotak dari mesin penjual minuman.
“Hee Chul…”
“Oh… berarti semua Suju M makan mie. Ada 9 dong?” tanya Jae shi lagi..
“Mungkin simba mau makan bersama pacarnya?” keluhku. Tapi, Dae Jia mungkin sudah membawa Si Won makan entah dimana. Berarti jadi dua bungkus sisa. “Tidak. Si Won mungkin sudah makan sama Dae Jia. Tidak mungkin menyuruhnya makan lagi…”
Mungkinkah ini kesempatan? Pikirku. Mungkin….
“Jae Shi, kau sudah makan?” tanyaku germbira.
“Mhm.. belum,” sahut gadis itu. Ia tertawa dan mengangguk setuju. “Baiklah, ayo kita makan mie!!” tukasnya bersemangat.
Aku menatapnya dan tersenyum senang.
“Hei, jangan lihat begitu…” Jae Shi buru-buru memalingkan wajahnya. “Aku tahu, aku jelek kalau tertawa…”
“Kata siapa?” tanyaku, tersenyum. Kami berjalan memasuki lobi hotel dan kemudian mulai menaiki lift. “Aku suka melihatmu tertawa. Artinya, kau senang bersamaku…”
“Gombal,” olok Jae Shi sambil tertawa malu.
Kami sampai di lantaiyang dibooking super Junior M. Di beranda, aku melihat Zhou Mi dan Hee Chul, jadi kami membagikan makanan kepada mereka.
Ketika tiba di depan kamar, Dae Jia dan Si Won tanpa malu-malu saling menciumi dengan nafsu. Dae Jia bersandar ke dinding dan tangan Si Won mengurungnya. Mereka tertawa dan kemudian melepaskan diri malu saat melihat kami datang.
“Sori… mereka memang sering begitu…”
“Image Si Won jadi agak berbeda ya….” Tukas Jae Shi sambil mengibaskan tangan seolah udara terasa panas. Pipinya memerah malu. Menggemaskan.
Sejenak otakku kembali mengingat. “Oh ya, member nomor satu kesukaanmu kan Si Won. Jangan-jangan kau cemburu tadi…” ujarku, merasa garing dengan nada suaraku sendiri. Mungkin, akulah yang sekarang cemburu.
“Buatku Si Won adalah idola. Aku tidak cemburu. Menurutku dia sangat cocok dengan Dae Jia. Justru hebat kalau Dae Jia bisa menemukan sosok lain dari seorang Choi Si Won..”
“Begitu?” dalam hati aku cukup menyetujui pendapatnya. Kalau seorang pria bisa bersikap lain, itu hanya untuk gadis yang disukainya, memang benar.
“Selamat makan teman-teman…” ujarku sambil membuka pintu.
Sung Min berselonjor di sofa dan menunjukkan wajah menderita. “Kau lama sekali… Aku pikir aku akan pingsan….” Gerutunya sambil bangkit dan mengambil makanan bagiannya.
“Susu?” tanya Dong Hae. Ia tersenyum sekilas pada Jae Shi, “pagi,” sapanya. Dan mengedipkan mata jahil ke arahku. “Thanks…” ujarnya, setelah mengambil sekotak susu dan sebungkus mie miliknya.
“Hai,” sapa Henry sambil tersenyum.
“Kalian pacaran dan melupakan makananku…”gumam Eun Hyuk. Ia tersenyum pada ponselnya dan berbisik. “Aku makan dulu ya, Shin Woo sayang…” ujarnya. Ia lantas mematikan ponselnya dan beranjak mengambil makan paginya.
“Ayo kita makan di balkon…” kami berjalan ke balkon yang terletak di sayap timur hotel.
Jae Shi tersenyum senang sambil menatap pemandangan Bei Jing. “Aku suka sekali pemandangan dari ketinggian…” ia memotret pemandangan itu dan tersenyum. “Karena kau mengajakku, aku bisa memotret pemandangan sebagus ini… Thanks ya…”
“Apa aku boleh memotretmu?”
Jae Shi menggeleng dan menggeleng. “Tidak deh… aku gak suka difoto. Soalnya ngga fotogenik…” tolaknya halus.
Kenapa ia tidak bisa melihat apa yang dilihat olehku?
“Ayo kita foto bersama kalau begitu…” ujarku. Aku mendekatkan wajahku dan memotret kami berdua dengan background pemandangan Bei Jing. Jae Shi tersenyum malu melihat foto itu. “Kirimkan padaku…” pintanya.
“Nah, ayo kita makan!!” seruku sambil tersenyum dan mendorong kursi untuknya. Kami duduk dan dengan tenang menatap
Sambil mengamati gadis itu memakan mienya pelan, sebuah pertanyaan mendesak keluar dari dadaku. “Kau menatap Si Won sebagai idola, kan? Bagaimana denganku?”
“Apa maksudnya?” tanya gadis itu bingung.
“Saat aku mengatakan perasaanku…” ujarku, merasakan suaraku terdengar kering. “Apa kau menatapku sebagai idola? Atau… sebagai lelaki??”
--to be continued--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar