Kamis, 13 Mei 2010

Fanfic The Future and the Past 31

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
THIRY FIRST SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Han Ga In : (memakai nama asli di FF)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Wolya: Joo Sang Wook (memakai nama asli di FF)
San Tak: Kang Sung Pil (memakai nama asli di FF)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

”Kim Nam Gil...” kutatap ia dalam-dalam saat berdiri di depanku. ”Kau... tidak menyembunyikan apapun dariku, bukan?” tanyaku lagi.

Ia terdiam lama sebelum akhirnya ia tersenyum. “Bagaimana menurutmu?” tanyanya kembali padaku.

Aku menatapnya dengan bingung, mengerutkan alis. Kenapa akhir-akhir ini sikapnya aneh. Bahkan bertanya kalau seandainya ia mati... ”Kau tidak sakit apapun, bukan?” tanyaku, merasa was-was.

Ia menatapku lama sampai akhirnya tawanya meledak. ”Tentu saja tidak! Kau pernah melihat pria sesehat aku?”

”Huuh... tidak lucu....” gerutuku. Padahal aku benar-benar serius mencemaskannya. ”Lalu... mengapa kau bertanya... seakan kau akan pergi?” tanyaku asal-asalan, menyarakan apa yang ada di otakku.

Ia lama tidak bereaksi, sampai akhirnya aku memandangnya. Kulihat rahangnya mengeras dan alisnya bertaut, bingung. Apakah tebakanku benar? ”Kemana?” tanyaku tanpa pikir panjang.

”Bukan apa-apa... Itu bukan urusanmu juga...” jawabnya sambil berjalan meninggalkanku begitu saja.

”Hei, Kim Nam Gil! Kenapa kau tidak mau menjawabku!!” aku berteriak memanggilnya tapi sia-sia. Kenapa? Benarkah ia akan pergi? Kemana?


─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

Untuk apa aku menanggapi pertanyaannya tadi? Sekarang aku menyesalinya. Selalu saja tiap kali semakin dekat dengannya, aku menyesalinya. Berada di dekatnya selalu membuatku bertindak gegabah.

Ponselku bergetar, dan aku tidak perlu melihatnya. ”Apa kau siap? Kudengar Papamu meninggal...”

“Tidak apa, aku siap...” jawabku, saat kulirik ke belakang, gadis itu masih berjalan di belakangku, memandangku dengan curiga. “Ya, besok, lebih cepat lebih baik...”



Aku tidak menyangka ia akan mengirim seseorang sebagai asistenku. Dan bisa kutebak, Baek Do Bin cukup cerdas untuk memilih orang yang memang bisa kupercaya.

“Aku tidak tahu mengapa, tapi, kurasa ini memang tugas untukku, yoo..” tawanya saat menatapku melalui kacamata hitamnya. “Eh, apa kulepas saja kacamata ini, yoo?”

“Kau lumayan keren mengenakannya Sung Pil,” jawabku sambil menarik nafas panjang dan memandang tiket di tanganku. “Adikmu tidak mengantar?” tanyaku sambil memandang sekeliling.

“Dia tidak tahu sama sekali, aku langsung menerima perintah dari tunangannya Baek Do Bin. Dan mendengar namamu, aku semakin yakin akan posisiku, yoo...”

“Ayo, tugas memanggil...” ujarku sambil berjalan cepat ke petugas yang kemudian mengecap paspor kami. Perjalanan selama 12 jam ke Rusia cukup membosankan. Sung Pil tidur separuh perjalanan, dan waktu kuhabiskan dengan membaca, berpikir, dan menulis.

“Apa yang kau tulis, yoo?” tanyanya bingung.

“Surat,” jawabku pendek.

“Surat wasiat, yoo?” tanyanya, wajahnya memucat, namun seulas senyum mewarnai bibirnya. “Boleh aku minta kertas juga? Aku mau menulisnya...”

Kami lama menggunakan waktu untuk menyusun kalimat dan menuliskannya. Kemudian, kami saling menitipkan surat. Seandainya aku yang meninggal, Sung Pil yang akan membawakan suratku, dan sebaliknya.


─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

Sepanjang malam aku bermimpi buruk. Entah apakah kalimat cowok itu atau pikiranku yang terlalu cemas sampai mimpiku begitu mengerikan. Sebuah kegelapan, dan hanya ada kami berdua di sana. Lalu ia pergi, berlari meninggalkanku. Secepat apapun aku mengejarnya, sekuat apapun aku berteriak memanggilnya, aku tidak bisa menyusulnya. Suaraku tidak menjangkaunya.

”Jangan!!!” teriakku sambil terbangun dengan nafas terengah-engah. Keringat membasahi dahi dan tubuhku. Bahkan kepalaku terasa sakit dan pusing.

”Apanya yang jangan?” tanya Ye Jin, masih setengah mengantuk. ”Mimpi buruk, Yo Won?”

”Ya, maaf membangunkanmu...” jawabku. Oh, masih pukul tiga. Sebaiknya aku tidur lagi. Kutarik selimutku. ”Selamat tidur, Ye Jin...”

Mimpiku berlanjut. Dengan cara yang tidak menyenangkan. Siapa pria itu? Ia berlumuran darah dan mengulurkan tangan padaku. ”Jangan! jangan! jangan!” teriakku. Dan kejadian yang kubenci itu kembali terulang. Mereka menusuknya, dan ia rubuh begitu saja. aku tidak dapat melakukan apapun.

Hatiku sakit. Begitu sakitnya sampai rasanya ada yang mencabiknya keluar dari tubuhku. Rasa hangat itu begitu nyata di pipiku. Dan ternyata, ketika bangun, air mataku memang mengalir di sana.


Perasaanku benar-benar kacau pagi ini, namun kulakukan semua lebih cepat dari biasanya. Ada satu hal yang mengganggu pikiranku. Biar bagaimanapun, aku harus bertemu dengannya, dan memastikan keadaannya baik-baik saja.

”Kenapa kau buru-buru sekali, Yo Won?” tanya Ye Jin, masih memakai sepatunya ketika tanganku sudah menyambar knop pintu. ”Ada urusan penting?”

”Sangat penting!!” sahutku sambil menyambar sepedaku dan mengendarainya lebih cepat dari biasanya.


”Kak Sang Wook!!” aku berlari ke arahnya dengan tampang kacau. Tanganku terasa berkeringat karena berkali-kali gagal mengunci sepeda saking buru-burunya.

”Habis latihan pagi?” tanyaku. Mataku mengintip ke aula latihan. Tidak ada di sana. Tidak ada di tribun, di bench, di lapangan. Di mana dia?

Kak Sang Wook tertawa kecil, jelas menyadari basa-basiku. “Kalau mencari Kim Nam Gil, dia tidak ada. Sudah pernah kukatakan bukan? Dia cuti beberapa hari, dan akan kembali mengajar lagi...”

”Kenapa?” tanyaku. Kak Sang Wook menggeleng. Jadi ia tidak tahu? Siapa yang bisa mengabarkan keberadaannya padaku?

”Kau juga mencarinya?” tanya sebuah suara. Aku menoleh dan wanita itu tersenyum padaku, menanggapi kebingunganku dengan seulas senyum. ”Ng...Kak Han Ga In...” ujarku, berusaha mengembalikan suaraku yang hilang.

Ia menatap penampilanku dan melirik kelasku. Untungnya belum ada guru di sana. “Aku juga mencarinya sejak kemarin... Dan ketika kukirim sms, dia hanya bilang bisnis...” senyumnya. ”Tapi, kurasa, kau juga tidak tahu kemana dia...” gumamnya.

”Kau mengiriminya sms?” tanyaku, jelas-jelas merasa iri. Ia tidak pernah membalas smsku, tetapi membalas sms dari wanita ini. Oh, tidak, tenangkan dirimu, Lee Yo Won, bukan waktunya iri. ”Hanya itu?” tanyaku, berusaha terlihat wajar.

”Akan kukabari kalau ada kabar terbaru darinya,” jawabnya sambil berbalik dna melambai pergi. Dari sikapnya, jelas ia merasa ia yang akan mendapat kabar terbaru dari cowok itu. bukan aku. Rasanya dadaku mau pecah.


“Panggil aku saat kau membutuhkan perlindungan. Aku akan datang padamu, tidak peduli dimana pun aku berada saat itu...”

Apakah... aku boleh mempercayai janji itu? pelan, kutekan nomor telepon cowok itu, berharap bisa mendengar suaranya, memastikan keberadaannya.

”Nomor yang anda tuju...”

PIP. Kumatikan panggilan dan kuulangi.

”Nomor yang Anda tuju...”

PIP

”Pembohong...” makiku dalam hati. ”Pembohong! Pembohong! Pembohong!!” berulang kali kudengar hatiku menyuarakan jeritan yang sama.

Katamu kapanpun aku membutuhkanmu, kau akan datang....
Katamu... kau akan datang, tidak peduli dimana pun kau berada....

”Uh...” kuusap air mataku dengan punggung tanganku. Tapi tidak berhasil. Airmataku semakin deras membanjir.

“Lee Yo Won?” panggil seseorang sambil menyentuh pundakku. Ternyata Kak Tae Wong. “Loh? Kau menangis, ada apa?”

“Tidak apa-apa!” sergahku sambil menggigit bibir kuat-kuat. Kak Tae Wong menarikku ke pelukannya dan menepuk kepalaku lembut, seperti menenangkan anak kecil.

”Punya adik perempuan, rasanya pasti begini...” tawa Kak Tae Wong sambil menepuk-nepuk kepalaku lembut.

Kenapa... bahkan di saat pria lain memelukku, seluruh pikiranku malah mengingatnya? Dadaku terasa sakit sekaligus terluka. Kau kemana Kim Nam Gil? Kau kemana saat aku membutuhkanmu?!



--to be continued--

Fanfic The Future and the Past 30

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
THIRTIETH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Han Ga In : (memakai nama asli di FF)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Lady Man Myeong : Im Ye jin : as Kim Nam Gil and Uhm Tae wong mother
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

Aku tidak datang sendirian tentu saja. Dae Chi dan Ye Jin, beserta anak-anak klub karate menemaniku. Suasana berkabung sangat kentara. Semua yang hadir mengenakan baju berwarna gelap dan tangisan masih terdengar dari sudut ruangan, dari Mama Kak Tae Wong.

“Ngg…Kak…” aku mendengar Dae Chi maju lebih dulu dan menyapa lalu menyalai Kak Tae Wong dan Mamanya. “Aku turut berduka…”

“Terimakasih…” senyum Kak Tae Wong. Setelah melakukan hal yang sama, kukatakan pada Mama Kak Tae Wong kalau Mamaku akan datang nanti sore, dan ia mengangguk berterimakasih.

Ye Jin yang melihatku memandang sekeliling dengan bingung, lantas menyenggol bahuku. “Dia tidak ada?” tanyanya. Aku menggeleng. Apakah ia tidak diperbolehkan datang?

“Entahlah, aku mau mengambil minum dulu…” ujarku sambil bergerak ke ujung, tempat panitia membagikan minuman.

Dan disanalah dia, berdiri sendirian, tidak bergabung dengan anggota keluarga lainnya. Ia menatap ke arah peti mati itu dan sedang bicara dengan sosok yang kukenali dengan jelas. Han Ga In. mahasiswi yang sedang praktik mengajar di sekolahku, sekaligus teman SMA pria itu di Amerika.

Wanita itu terlihat mengucapkan sesuatu dan ditanggapi senyuman oleh Kim Nam Gil. Kemudian ia mengangkat tangannya, sepertinya meminta untuk dibiarkan sendiri. Ia berjalan keluar dengan menunduk.

Tepat saat kuputuskan sebaiknya aku mengikutinya atau tidak, ponselku bergetar.

“Ya?” suaraku terdengar bergetar sekalipun aku berusaha menekannya. Kenapa begini tiba-tiba ia meneleponku?

”Apa... aku bisa bertemu denganmu...? Ah, sial, tidak, lupakan saja...” ujarnya.

”Kau tunggu saja di tempatmu...” ujarku sambil menutup ponselku dan berlari mengejarnya. ”Kim Nam Gil...” bisikku sambil menarik ujung kemeja hitamnya. Ia melihatku dengan wajah tidak percaya, lalu senyum yang kurindukan itu kembali muncul.

”Aku tidak menyangka kau datang kemari juga...” ujarnya sambil mengajakku pergi ke tempat yang lebih sepi. Kami duduk di rerumputan taman belakang rumah duka itu. ia menatap rumput dan mencabiknya perlahan.

”Aku datang... bersama anak klub juga kok...”

”Tidak masalah, tidak perlu dijelaskan. Aku bisa menebaknya...” ia menolak menatapku dan lagi-lagi mencabuti rumput di depannya.

”Aku.. turut berduka cita...” ujarku, berusaha menarik perhatiannya, tapi gagal. Ia mengangguk pelan dan menarik nafas panjang.

Perlahan, ia mulai bercerita. ”Keluargaku... satu-satunya keluargaku di rumah itu... hanya Papaku...” kulihat sudut bibirnya berkedut, dadaku terasa sesak melihat kepedihan di matanya. Apakah ia menahan air matanya?

”Begitu banyak yang menolakku di rumah itu... Tetapi, Papaku... ia yang membiayai kuliahku... ia yang merayakan ulangtahunku...”

”Sudahlah...” ujarku, berusaha mengatur nafas. Bisa kulihat emosi pria ini mulai naik turun. “Kau jangan memaksakan diri...”

“Aneh bukan?” matanya berkaca-kaca saat menatapku. “Di saat seperti ini, tiba-tiba aku ingin bertemu denganmu...” senyumnya terlihat begitu sedihnya sampai dadaku terasa perih.

Tahu-tahu wajahnya terlihat terkejut melihatku. “Hei! Kau aneh sekali! Kenapa malahan kau yang menangis!!” ia tertawa lalu menghapus air mataku dengan punggung tangannya.

Aku bisa merasakan tangannya begitu hangat dan gemetar di kulitku. Perasaanku naik turun, seperti sedang naik jet coaster. ”Terimakasih, kau menangis untukku...” senyumnya, lantas ia menghempaskan diri dan berbaring di atas rerumputan. ”Aah... nyaman sekali...” candanya.

”Kau... tegar sekali, Kim Nam Gil...” ucapku sambil menatapnya. ”Atau... kau berusaha menutupi perasaanmu?”

Ia membalas tatapanku dengan bingung. ”Hei! Kau aneh sekali daritadi! Kenapa sih matamu menatapku dengan rasa simpati seperti itu! Aku tidak butuh dikasihani!!”

”Entahlah,”jawabku sambil menatapnya. Bagaimana perasaannya? Begitu cepat kehilangan sosok yang sangat dikasihinya. Tiba-tiba saja aku kembali sesunggukan di depannya. ”Maaf, aduh..” buru-buru kuhapus air mataku. aku aneh sekali... Kulanjutkan kalimatku. ”T-tapi, rasanya, begitu menyakitkan bukan? Kalau... ditinggal oleh orang..yang..kau sayangi...”

”Berhenti menangis atau aku akan memukulmu!” ancamnya. Ia mengangkat tinjunya, dan aku sudah siap memejamkan mataku, ketika tahu-tahu ia memelukku. Bisa kurasakan bahunya berguncang-guncang.

”Sialan memalukan sekali...” suaranya terdengar parau, membuat airmataku semakin deras. ”Maaf, kupinjam dulu bahum....” aku tidak bisa mendengar kalimat akhirnya karena kurasakan betapa panasnya bahuku saat ia bersender di sana.

Tubuhnya yang gagah berguncang-guncang perlahan, menumpahkan betapa besar kepedihan dalam hatinya. Aku memeluknya, dan menyenderkan kepalaku di pundaknya.

Ia tidak perlu menangis sendirian. Aku akan menemaninya. Tidak bisa kuhindari, perasaan aneh itu kembali muncul. Dan kilasan itu.. kilasan yang aneh... Dalam ruangan penuh lilin... aku berpelukan dengan seorang pria...



─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

“Di depanmu, ada-ada saja keanehanku... Mana ada pria jantan menangis di depan seorang gadis!” omelku sambil memandang Lee Yo Won. Gadis itu tertawa, membuat tampangnya terlihat lucu.

“Jangan tertawa dengan mata bengkak, wajahmu membuatku geli tahu!” protesku.

“Wajahmu juga sama konyolnya!!” tawanya. Aku menyambut tawanya dan memanggil seorang penjaja es krim yang kebetulan lewat. ”Aku beli chocolate juga untukmu. Tidak masalah?”

”Tentu saja tidak! Aku memang suka rasa chocolate!” ia menerima es krim dariku dengan gembira dan menjilatinya dengan nikmat. Tiba-tiba ia tertawa sendirian.

”Sedang kumat, nona?” tanyaku. Oh, kenapa aku bisa lupa? Aku kan sudah berjanji untuk menjauh darinya. Sekarang kami bahkan terlihat seperti pasangan paling aneh di dunia. Dua orang dengan mata bengkak sedang asyik menikmati es krim.

”Tidak, hanya geli saja. Kalau ada yang lewat, pasti mereka berpikir kita ini pasangan tolol yang matanya bengkak dan asyik makan eskrim.”

Tanpa sadar kugigit eskrim terlalu banyak dari perkiraan. Glek. Mengerikan. Bisa-bisanya pikiran kami sama seperti ini. Beberapa kali aku terbatuk. Kepalaku jadi sakit karena es krim itu!! Sialan, berapa kalipun menahan batuk, batuk ini masih saja tidak berhenti.

”Kenapa?” wajahnya terlihat cemas. Beberapa kali tangannya membantuku menepuk punggungku. ”Kau tersedak?”

”Tidak apa-apa, thanks...” ujarku sambil menghela nafas panjang.

Tinggal beberapa hari lagi... dan aku akan pergi dari tempat ini. Entah sementara, atau mungkin selamanya? Perdagangan senjata... rasanya resiko itu terlalu berat untukku.

Aku sudah memutuskan untuk menolaknya semalam, kalau saja tidak tersentuh melihat kesungguhan hati Baek Do Bin yang mengatakan kalau ia akan berhenti dari dunia kotor ini begitu perdagangan senjata ini selesai. Kontrak terakhir yang seluruh keuntungannya akan ia berikan pada anak buahnya sebagai akhir dari kelompok mereka. Sebuah pembubaran.

”Melamunkan apa?” tanya Yo Won sambil memandangku. Aku suka sekali melihat matanya yang begitu bening, sekalipun saat ini matanya sedang bengkak, sih...

”Hmm... hanya menduga saja...” ujarku asal. ”Kematian itu... benar-benar mengejutkan... Saat meninggal, kau akan tahu nilai seseorang berdasarkan berapa banyak yang peduli dan datang untuknya...”

”Benar, aku setuju... Lalu?”

”Aku hanya berpikir... berapa banyak yang akan datang kalau aku.... meninggal?” Begitu kuselesaikan kalimatku, buru-buru aku meralat. ”Sudahlah! Anggap saja aku bicara ngawur!”

”Memang ngawur!” seru gadis itu kesal. ”Mana boleh kau berpikir seperti itu! kau kan masih muda! Jalanmu masih jauh ke depan!!” ia mulai mengomeliku.

”Baik, baiklah.. kau seperti ibu-ibu saja...” gurauku. Tetapi, raut wajahnya masih tetap terlihat keruh.

”Oke, aku minta maaf, anggap aku tidak mengatakan demikian...” ujarku sambil mengangkat tanganku dan berdiri. ”Ayo, kita masuk ke dalam. Nanti kalau saudara kembarmu mencarimu bagaimana...”

”Kim Nam Gil...” ia menatapku dalam-dalam saat berdiri di depanku. Matanya begitu dalam menusukku sampai aku tidak bisa memalingkan wajah. ”Kau... tidak menyembunyikan apapun dariku, bukan?” tanyanya lagi.

Aku menatapnya tanpa mampu berkata apapun. Haruskah aku mengelak? Atau mengatakan yang sebenarnya?

-to be continued-

Fanfic The Future and the Past, side story 2

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
SIDE STORY 2
-CINDERELLA IMPRISON-
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
tita: Park Ri chan
Bo Jong Baek Do Bin : (memakai nama asli di FF)
Yeomjong (tetap memakai nama ini)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Park Ri Chan, Seoul, 2008─

“Berdansa denganku, Nona?” Tanya pria itu ramah.

“Tidak, terimakasih…” Aku tersenyum dan menolak, Entah sudah yang keberapa kalinya tawaran dari pria ini kutolak. Bahkan menoleh melihatnya sudah malas. Sebenarnya, mau berapa kali ya ia menggangguku?

“Tapi kulihat kau tidak punya pasangan…” senyumnya sambil memandangku dan memicingkan matanya.

Aku tidak menyukai senyumnya. Tiap kali senyumnya kulihat, bisa kubayangkan senyuman para politikus kotor yang biasa hidup mewah di hotel milik papaku.

“Aku sedang menunggu seseorang…” sahutku sambil menahan kesabaranku. Kenapa ia tidak berhenti menggangguku? Pria lain bahkan dengan sopan menarik diri ketika aku menolak ajakannya.

”Satu lagu tidak akan menyakitimu...” jawabnya. Lalu senyuman ramahnya sirna dan ia menarik paksa tanganku, menuju ke tengah aula, menuju lantai dansa.

”Tolong lepaskan,” ujarku sambil berusaha menarik tanganku. Astaga, walau proporsi tubuhnya pendek untuk ukuran laki-laki, cengkeramannya sangat kuat.

”Jangan ganggu pasanganku..” ujar seorang lelaki.

Suaranya tenang dan berwibawa, si pemilik suara kurasa berada tepat di belakangku. Pria pendek yang menarikku itu menghentikan langkahnya dan sebuah seruan kecil keluar dari bibirnya.

”Astaga! Baek Do Bin!!” serunya kaget. Ia lantas melepaskan cengkraman tangannya dan memandangku dan─entah siapa─pria di belakangku itu bergantian. Dengan senyuman masam ia berujar, ”Aku hanya membantunya menghilangkan rasa bosannya...”

”Tidak perlu sebenarnya...” ia tahu-tahu sudah menarik pundakku, menuntunku menjauhi pria pendek itu. ”Karena justru bantuanmu itu malah mengacaukan suasana hatinya...”

Dari suaranya, kuduga ia tersenyum. Pria pendek itu mengangkat bahunya dan berjalan pergi sambil menggerutu. Bisa kulihat raut ketidak puasan di wajahnya. Dengan segera, aku berbalik badan untuk mengucapkan terimakasih, tetapi kakiku tersandung oleh kaki orang lain yang sedang lalu lalang.

”Seperti cinderella...” gumamnya sambil memandang sepatuku yang terlepas. Belum sempat kulihat wajahnya, ia sudah berjalan mendahuluiku mengambil sepatuku, dan membantu memakaikannya. Bisa kurasakan rasa panas di seluruh wajahku saat ini.

”Cinderella yang kebetulan bertemu... dengan penjahat,” ujarnya sambil mengangkat wajah dan tersenyum. Matanya yang besar dan bibirnya yang tipis sinis membuatku terpaku. Rahangnya tegas dan sorot matanya begitu kelam, sekaligus penuh rahasia. Ia tampan, dalam penampilannya yang begitu khas.

”Ng... apa.. maksudmu dengan... penjahat?” gumamku setelah berterimakasih. Ia bangkit berdiri dan memandang mataku.

”Aku bukan pangeran. Lain kali, jatuhkan sepatumu ke orang yang tepat.. Sampai jumpa, Park Ri Chan...” ia berlalu pergi begitu saja. dan membuatku semakin bingung dan heran. Darimana ia tahu namaku?


─Baek Do Bin, Seoul, 2008─

“Kau lagi,” gumamku sambil tersenyum. Wanita itu tampak canggung di depanku. Matanya yang bulat besar terlihat kaget dan penuh rasa takut. Mungkin kata ’penjahat’ yang kemarin kuucapkan masih membekas di benaknya.

”Ku-kurasa aku salah meja..” ujarnya gugup dan melangkah pergi. Ia menatap memo yang dibawanya dan menatap nomor mejaku lalu mengernyit bingung. Lantas, ia menghampiri pelayan dan menanyakan sesuatu. Namun, melihat sikap bingungnya saat pelayan menunjuk mejaku, tawaku langsung pecah.

Padahal tidak ada yang lucu. Tidak ada yang konyol. Mungkin akulah yang konyol. Aku merasa senang menggodanya, karena ia sangat polos, dan di sanalah sisi menariknya.

”Jadi... kau, siapa sebenranya?” ia bertanya hati-hati saat melihatku memesankan makanan untuk kami berdua.

Mati-matian kutahan senyumku. Oke, Baek Do Bin, gunakan poker face mu sekarang. Sebagai mafia, tentunya tidak sulit melakukannya. Aku terbiasa mengontrol ekspresiku, perasaanku, dan emosiku sudah kubuang jauh-jauh. Namun, rasanya ada yang janggal hari ini. Dimana poker faceku itu? Rasanya perutku terus terasa geli saat melihatnya.

””Oh, bukan siapa-siapa...” jawabku, berterimakasih atas hidangan yang diberikan pelayan. ”Makanlah saja, kutraktir...”

”Aku... tidak diijinkan makan dengan pria tidak kukenal...” jawabnya sambil memandangku curiga. Lagi-lagi kukulum senyumku. Gadis pingitan macam apa ini?

”Baiklah, namaku Baek Do Bin.. Dan kau Park Ri Chan…” kuteguk segelas anggur sambil menjawabnya. Pertanyaan mengapa aku mengetahui namanya jelas terlihat di matanya. ”Dan orangtuamu dan aku, berteman baik sejak kecil, punya mabisi menikahkan kita...”

”Begitu?” ia menatapku pelan dan tersenyum. ”Dan kau menolak bukan?” tanyanya. Kali ini ia meraih gelasnya. Artinya aku bukan lagi pria tidak dikenal. Hahaha... tawaku dalam hati, tentu saja.

”Kau pintar. Bagaimana kau menebaknya?” tanyaku, berusaha menekan rasa ingin tahuku tapi gagal.

”Psikologi... dan terbiasa mengamati orang. Kau tidak tertarik padaku, dan mengatakan penjahat membuat kesan kau ingin aku menghindarimu... bukan begitu? Aku tahu kau tidak berniat. Aku juga tidak, tapi tolong kembalikan gelang kakiku...”

”Apa?” Apa telingaku tidak salah dengar? Darimana dia...

”Kau mengambilnya saat memakaikan sepatuku bukan? Aku tidk menyadarinya sampai pulang, karena gaun panjangku... Tapi, hanya kau yang...” pipinya memerah sebelum melanjutkan. ”Hanya kau yang menyentuh kakiku...” gumamnya tidak jelas.

Detik itu juga dinding emosiku menghilang. Tawaku pecah berderai, disambut rona merah wajahnya. ”Aku akan mengembalikannya,” janjiku. ”Kita bertemu lagi di sini, dan saat itu kau akan membantuku menandatanganinya. Pembatalan pertunangan kita.. semacam surat pemberontakan yang kubuat...” tapi, aku memang tidak berniat mengembalikannya.

”Kau memanfaatkan gelang kakiku untuk itu?” wajahnya terlihat terkejut dan kecewa. ”Kau pria yang aneh... rasanya kau benar tidak tertarik dengan gadis sepertiku. Kau menggunakan segalanya untuk menjauhiku...”

Kali itu, aku hanya tersenyum menanggapinya. Dia terlalu polos untuk duniaku. Rasanya itu salah satu alasan mengapa Papa mengirimnya untuk menjadi tunanganku, membantuku hidup jujur, meninggalkan kelompok mafia yang kubangun susah payah.

Sayangnya tebakan gadis psikologi ini salah. Sebenarnya, aku sangat tertarik dan terhibur dengan keberadaannya. Tapi ia tidak boleh mengetahui hal itu.

─Park Ri Chan, Seoul, 2008─

”Bagaimana? Dia tampan bukan? Apa dia langsung melamarmu?” tanya Mama penuh harap. Aku menggeleng dan menghela nafas panjang. ”Apa maksudnya? Kenapa wajahmu kacau?”

”Karena dia memang tidak tertarik denganku?” tanyaku pada diri sendiri. Mama menggeleng tidak percaya. ”Padahal dulu Papanya memperlihatkan fotomu waktu kecil, dan kelihatannya responnya positif..”

”Ya ampun Ma, itu kan dulu. Sekarang sih pasti beda... Mungkin dia melihatku sebagai gadis yang membosankan?” keluhku pada diri sendiri, memandang pantulan wajahku di cermin. Padahal sebenarnya aku cukup tertarik dengannya. Dan ia juga menolongku, sekalipun ia penjahat...

”Ma,” panggilku. Mama menoleh dan tersenyum. “Kenapa ia mengatakan kalau dirinya penjahat?” tanyaku polos.

Mama mengelus rambutku lembut. ”Kau sebaiknya tahu, sayang.. Ia anak dari pemilik hotel, teman baik Papamu. Namun, tidak hanya itu, ia juga menjadi pimpinman kelompok mafia yang besar di daerah ini... Kurasa, Papanya ingin pertemuannya denganmu mengubah jalan pikirannya...”

Aku menatap Mama sambil menggeleng bingung. ”Rasanya aku tidak bisa Ma. Keberadaanku tidak diharapkan di sana. Dan wajahnya sarat emosi, aku tidak bisa menduganya...Dan ia sudah menolakku...”


”Dia belum datang?” tanyaku pada pelayan. Pelayan itu menggeleng namun menunjukkan meja yang sudah direservasinya untukku. Aku menatap meja itu dan duduk sambil meminum segelas air yang disiapkan pelayan.

”Hai cantik,” ujar seseorang di belakangku. Aku tertegun memandang pria itu. Ia memandang sekeliling dan tersenyum puas. “Priamu itu belum datang rupanya. Berarti ini giliranku bersenang-senang...”

“Lepaskan! Lepaskan!!” seruku saat tangannya menarikku. Ia tetap menarikku paksa keluar dari restoran itu dan membawaku masuk ke sebuah lorong, memaksa untuk menciumku, mati-matian aku meronta dan menjerit. Ya Tuhan, nafasnya bahkan terasa menjijikkan dan dipenuhi bau alkohol. Jangan sampai ia berhasil menciumku!!

”Brengsek kau, Yeom Jong!!” maki seorang pria, lalu sesuatu menghantam pria pendek itu sampai ia jatuh terjungkal. Tidak bisa kuhentikan jeritan spontanku, dan secepat itu pula, tangan itu menarikku dalam pelukannya. ”Sial, maaf, aku terlambat...”

Aku menangis dan menangis. Menakutkan. Menakutkan. Aku tidak menyukai dunia ini. Aku tidak suka ini. Aku tidak mau hidup seperti ini...

”Mengerikan, bukan?” tanyanya sambil menatapku. Aku mengangguk sambil menangis seunggikan. ”Karena itu, kukatakan untuk tidak berdekatan padaku... Kau hanya menambah masalahku... Dan masalahmu sendiri juga...”

Bisa kulihat sorot kepedihan dan kesepian dari matanya. Sangat ekspreif. Dengan gemetar, tanganku terulur ke wajahnya, menyentuh pipinya. Kenapa bisa ada luka di sana?

”Alasan keterlambatanku...” senyumnya simpul. ”Sedikit penghianatan anak buah. Rasanya ada sangkut pautnya dengan dia...” ia meludah pada pria pendek itu, dan menyampirkan jasnya ke tubuhku. ”Ayo, kuantar pulang...”



─Baek Do Bin, Seoul, 2008─

Karena itulah, aku tidak mau ia terlibat dalam diniaku. Hanya gadis bermental baja yang bisa tahan dalam gejolak kehidupan kotorku. Aku memang pernah berpikir untuk mengakhiri kehidupan kotorku, tetapi sepertinya bukan sekarang. Tidak dengan kekacauan seperti ini.

Gadis itu tertidur di sebelahku, kepalanya bersender di bahuku. Masih ada sisa air mata di wajahnya, dan kuusap pelan bekas itu. Perlahan ia menggumam, berulang-ulang... “Bukan kau yang salah... Bukan...kau...”

”Dasar bodoh,” keluhku, tidak jelas, menyalahkan diriku atau dirinya. Aku tidak bisa melupakan sorot mata besarnya yang dipenuhi ketakutan. Dan gemetar di bahunya, membuatku ingin memeluknya, dan menjaganya, terus. Cukup. Lebih dari ini, aku tidak bisa menjamin perasaanku sendiri.


”Kau penghianat!!” makiku sambil menyumpah serapah. Yeom Jong hanya terdiam dan membisu, lalu sejenak kemudian ia berlutut dan meminta maaf.

“Aku… hanya gelap mata... Karena tidak bisa memlikinya... aku jadi gelap mata....” ulangnya penuh penyesalan.

Aku memandangnya sebelah mata. Ia pria paling tidak bisa kupercaya di dunia ini. Coba ada Ri Chan di sini. Gadis itu bisa membantuku menilainya, membantuku melihat mana yang loyal padaku dan mana yang tidak. Sialan! Hentikan memikirkannya, Baek Do Bin!!

“Sudahlah! Kau pergi saja! aku tidak mau melihatmu sekarang!!” erangku kasar. Otakku terasa panas dan kacau. Bagaimana mungkin aku kehilamgan kendali emosiku? Kenapa? Kenapa dengan diriku?

Bahkan tanganku terasa bergetar penuh amarah saat meraih rokokku dan menyesapnya. Aku tidak bisa melihatnya sekarang. Tiap melihat Yeom Jong, aku dendam karena ia menyentuh gadis itu. Marah pada diriku karena tidak bisa melindunginya. Dan marah karena takut, suatu hari aku akan berakhir sepertinya.

”Kalsium kurasa bagus untukmu... Tidak baik merokok terlalu sering...” ujar suara itu lembut. Ia menatapku yang setengah sadar saat menatapnya dan mencabut rokok dari mulutku untuk kemudian menginjak dan mematikannya.

”Hanya saat otakku kacau, dan kendali emosiku hilang...” sergahku sambil berusaha tidak menatapnya. ”Pergilah. Aku tidak tahu darimana kau masuk, tapi ini bukan tempat yang cocok untukmu...” ujarku sambil mengibaskan tangan.

”Aku tidak akan pergi,” senyumnya tegas. Ia meraih tasnya dan mengeluarkan sebuah termos. ”Sudah kubuatkan susu hangat untukmu. Kuharap kau mau meminumnya. Kurang kalsium bisa membuat manusia cepat naik darah,” jelasnya sambil memberikan termos itu.

Aku tidak bisa menahan tawaku, lagi-lagi begitu. Mana ada seorang mafia meminum susu? Memangnya aku anak kecil? “Letakkan saja. Aku akan meminumnya nanti...”

“Wajahmu babak belur lagi?” tanyanya sambil memandangku, tidak mengindahkan kalimatku yang memang bertujuan untuk mengusirnya secara halus. “Kau berkelahi?”

“Tidak,” jawabku. “Mereka yang memulai, aku hanya melayani tantangan mereka...” jawabku enteng. ”Oh, kumohon pulanglah. Di sini bukan tempat nona muda sepertimu...”

”Kalau aku meminta, apakah kau akan berhenti menjalani kehidupan mafia ini?” tanyanya langsung, menatap mataku, dan senyumannya terlihat penuh kecemasan akan penolakan.\

”Tidak sekarang,” jawabku. Aku benci bertatapan dengannya sekarang. Rasanya ia bisa melihatku seutuhnya. ”Kenapa kau tidak pergi juga sih!?” erangku, akhirnya.

”Aku akan menemanimu...” tukasnya mantap. Beberapa saat lamanya, aku hanya terdiam dan memandangnya. ”Aku akan menemanimu membereskan urusanmu, lalu kemudian... kita bisa mengakhiri ini bersama-sama... saat itu, kurasa aku siap menandatangani surat pembatalan tunangan itu...” tukasnya lagi.

”Kenapa...” suaraku hampir hilang saat mengucapkannya. ”Kenapa kau berkorban sejauh ini? Hanya untuk pria penjahat sepertiku?”

”Aku melihatmu,” ujarnya sambil menahan nafas. ”Dan kulihat kejujuran di sana. Aku tidak membenciku, aku tidak bisa menilainya dari emosimu karena kau sangat tidak eskpresif... Tapi, aku bisa merasakannya dari caramu menjagaku hari itu.., Dan siapapun kau menurut dirimu, buatku kau adalah pangeran... Dan untuk satu putri, hanya ada satu pangeran, bukan?”

Dengan jelas kulihat wajahnya bersemu merah mengatakannya. Gwwat, ini emmang gawat. Kenapa kakiku bergerak ke arahnya? Kenapa tanganku terulur menyentuh pipinya? Kenapa aku malah memeluknya? Gadis itu tidak kalah kagetnya denganku, tetapi ia tersenyum..

”Aku tahu, kau sangat tidak eskpresif...” tawanya terdengar menyenangkan. Aku memejamkan mata dan memeluknya, kurasa, ya... kehangatan ini yang kuinginkan sejak dulu.

”Tapi, aku sangat tidak ekspresif, perokok, pencemburu, dan sering berkelahi...” ujarku. Aku sendiri tidak memahami diriku. Untuk apa aku mengatakan semua itu? Bagaimana kalau ia menolakku padahal aku masih ingin memeluknya?

”Aku yang akan mencegahmu melakukannya...” senyumnya terlihat tulus di wajahnya. Dan bisa kurasakan kehangatan mengisi dadaku, ruang kosong dalam dadaku.

─Park Ri Chan, Seoul, 2008─

Syukurlah, rasanya beribu beban terlepas dari pundakku setelah kukatakan apa yang kupikirkan beberapa saat ini. Pertemuan kami memang singkat, tapi bagiku itu lebih dari cukup untuk mengenal cinta.

Aku tahu, saat ia membungkuk memakaikan sepatuku. Saat ia membuat pipiku terasa panas dan jantungku berdebar cepat hari itu, aku tahu dia pangeranku. Tapi sayangnya, sang pangeran menutupi jati dirinya sendiri.

”Aku... sudah jatuh cinta padamu sejak pertama melihatmu, Ri Chan...” ujar Do Bin akhirnya. Untuk pertama kalinya, kulihat senyumnya begitu polos, dan tulus.

”Aku tidak akan mengijinkanmu menandatangani surat pembatalan itu...” suaranya terdengar berat dan tegas. ”Dan kau, akan menjadi penjara yang membelenggu semua kejahatanku. Tahan aku, saat aku akan melakukan kesalahan...”

”Baiklah,” senyumku terasa berat di dadaku. Rasanya air mataku terus menetes saat matanya menatapku dan tangannya merengkuhku. ”Tapi, penjara..? Terdengar ironis, bukan?” tanyaku sambil tertawa geli.

Ia menarik nafas dan tertawa. ”Aku akan menjadi penjaramu juga,” ia mengerling. ”Saat pria lain akan menggodamu, aku akan menahanmu di sisiku... memastikan tempatmu aman di sampingku...”

”Bagaimana penjara bisa saling memenjarakan?” tanyaku sambil tertawa sambil memandangnya bingung.

”Tidak masalah bukan, aku punya cara sendiri untuk mengatasinya...” senyumnya lepas sambil menarikku lagi ke pelukannya. ”Ayo, temani aku minum susu sekarang!!” ajaknya sambil menggandengku ke arah meja. Aku tertawa dan mengangguk. Rasanya, hidupku sebagai cinderella baru dimulai sekarang...


-selesai--

Fanfic The Future and the Past 29

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TWENTY NINTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
San Tak: Kang Sung Pil (memakai nama asli di FF)
Young Mishil: UEE: Kim Yoo Jin (Mishil legal daughter)
Han Ga In : (memakai nama asli di FF)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Lady Man Myeong : Im Ye jin : as Kim Nam Gil and Uhm Tae wong mother
Kim Seo Hyun : Jung Sung Mo: Kim Sung Mo (as Kim Nam Gil and Uhm Tae Wong father)
Juk bang: menggunakan nama ini di FF
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

Aku menatap rumah yang kubenci ini. Tidak kuduga aku harus kembali melangkahkan kaki di sini, di tempat yang kubenci. Walau demikian, aku tidak pernah membayangkan kedatanganku harus dalam situasi semacam ini.

“Silahkan kemari, Tuan muda…” ujar Juk Bang.

Aku tersenyum dan menggeleng, ”Kau mungkin lupa, tapi, aku sudah bukan lagi tuan muda di sini... panggil saja namaku, Kim Nam Gil...”

”Anda selamanya Tuan muda untukku... dan selamanya... untuk satu orang lagi...” gumam Juk Bang sedih. Matanya terlihat menerawang dan membentur lantai. Cepat-cepat disusutnya air mata yang menitik di pipinya. ”Ayo, Tuan muda... Tuan besar sudah menunggu...” ujarnya sambil melangkah tergopoh-gopoh.

”Ya, tunjukkan saja letak kamarnya...” ujarku. Bukannya aku tidak tahu dimana letak kamarnya yang dulu. Hanya saja... bagaimana kalau tanpa keberadaanku, sudah terjadi begitu banyak perubahan di sini? Tetapi ternyata dugaanku salah. Kamarnya tetap di sana, di tempatnya semula.

“Masuklah, Tuan muda...” ujar Juk Bang sambil membuka pintu. Aku mengamati desain interior yang kurindukan sekaligus kubenci. Kenapa aku baru menyadarinya? Desain kamar Papaku ini sangat mirip dengan desain kamarku di rumah Go Hyun Jung.

”Hai,” sapaku pada Kak Tae Wong yang berdiri dekat pintu. Ia memandangku dan menghela nafas, lalu memaksakan senyum. Biasa, aku tidak memanggil wanita itu, hanya bertatapan dengannya. Tapi, aku tahu itu tidak sopan, jadi pada akhirnya, aku menyapanya. ”Selamat sore...”

”Ayo kita keluar, Ma...” ujar Kak Tae Wong setelah melihat wajah Papa mengangguk pelan. Mereka meninggalkan kami berduaan dalam ruangan ini. Aku berjalan mendekati pria yang belasan tahun kuanggap Papa kandungku, pria yang paling kuhormati di rumah ini.

”Hai, Nam Gil..” ia tertawa di sela-sela batuknya yang terdengar menyakitkan. ”Aku senang kau.. datang...” ujarnya sambil tersenyum simpul. Aku mendekat dan memegang tangannya. Ia terlihat sangat rapuh, dan bahkan mengambil nafas pun ia sudah kesulitan.

”Tidak usah memaksakan diri, Pa...” ujarku sambil menggenggam tangannya erat. ”Kata Juk Bang, Papa beberapa hari tidak istirahat memikirkanku... Tidurlah, aku akan emnjaga Papa di sini...”

air mata berurai di sudut matanya, ia mulai menangis tertahan. “Aku.. minta maaf, karena tidak bisa menghentikannya... ” bisiknya lirih. Aku menganggu, merasakan sudut mataku ikut memanas melihat air matanya.

”Kau... putraku, Nam Gil...” ujarnya terisak sambil menggenggam tanganku dengan gemetar.

Aku mengangguk, dan mengangguk. ”Aku tahu, aku tahu itu... Pa... Terimakasih...” air mataku ikut turun di pipiku.


Aku ingat, belasan tahun silam, ulang tahunku yang ke empat...

Papa mengenakan topi bisbolnya dan kemeja kaos kesukaannya. ”Ayo, Nam Gil...” ajaknya sambil tersenyum. Aku menggeliat dan memberontak dari gendongannya. ”Kenapa, Nam Gil!?”

”Papa mau mengajakku ke asrama? Aku tidak mau!!” jeritku putus asa.

Wajahnya berkerut pedih dan kemudian ia tersenyum. ”Bukan, ayo kita jalan-jalan. Asal kau tahu, Papa mana mungkin kehilangan anak Papa yang suka menemani Papa nonton bisbol?” tawanya sambil memakaikan topi bisbolnya di kepalaku.

Hari itu kami banyak makan dan tertawa. Selama menonton bisbol, Papa banyak membelikan popcorn dan minuman kaleng. Makanan yang tidak pernah diberikan Mama padaku. Sesudah itu, kami berkeliling mall sampai puas. Dan bagiku, itu hadiah ulang tahun terindah. Satu-satunya kenangan indah dalam hidupku di rumah itu hanya dengan Papa.


”Kau... ingat... dulu, kita menonton bisbol bersama...” kenang Papa sambil menarik nafas dengan berat. ”Dan aku... membelikanmu sesuatu...” mata tuanya menatapku dengan pandangan kasih.

Aku tersenyum dan mengangguk, lalu merogoh bajuku dan mengeluarkan benda itu. ”Kalung berinisial huruf K. Melambangkan Korean Baseball Organization. Papa membelikannya juga karena nama keluarga kita Kim...”

Ia tertawa kecil di sela-sela batuknya, lagi. Dan kemudian, tangannya yang keriput menyentuh kulitku. “Aku bahkan tidak membelikan benda itu untuk Tae Wong.. ini rahasia kita...” sinar matanya sejenak terlihat jenaka.

“Pa, sudahlah, jangan bicara lagi... kelihatannya Papa sesak nafas. Istirahatlah dulu, akan kupanggilkan dokter...”

”Tidak perlu, Nam Gi...” larang Papa sambil tersenyum. Aku memandangnya dengan ragu., ”Sudahlah, tidak usah cemaskan itu...”

”Tapi, Pa...”

”Aku sudah mengetahui pasti umurku... Dan satu-satunya yang membuatku tidak rela pergi, hanya kau...” suaranya nyaris berupa bisikan, sudut bibirnya bergetar dan air mata kembali menetes di sudut matanya. ”Aku... bersalah pada Papamu... Sadaham... karena tidak bisa menjagamu di rumah ini...”

”Papa kenal dengan Papaku?” tanyaku bingung. ”Oke, akan kudengar nanti, biar kupanggil dokter sekarang...” buru-buru aku bangkit dan secepat itu pula tangannya menahanku.

”Jangan pergi, Nam Gil...” ia mulai terbatuk-batuk dengan suara menyakitkan. Seolah seluruh energinya habis oleh batuknya. ”Waktunya tidak banyak...” ujarnya kehabisan nafas.

Kuambilkan air dan ia meminumnya perlahan. ”Aku... tidak minta kau tidak membenci rumah ini dan isinya... tapi, jangan mendendam... karena itu akan mengahncurkanmu...” matanya menatapku dan terlihat penuh air mata.

”Sudah berapa lama, kita tidak bersama dan mengobrol seperti ini?” tanyanya sambil menggumam. ”Sudah lama...sekali...” tangannya yang dingin menyentuh bahuku dan menepuknya perlahan, air mataku menets begitu saja.

Matanya memandang ke arah jendela terbuka dan tersenyum sambil menarik nafas panjang. ”Cuacanya... indah sekali... Kalau hari ini bisa menonton bisbol bersamamu... pasti sangat menyenangkan....” dan kemudian, tangannya terlepas dari pundakku. ”Kau... putra kebanggaanku... Nam Gil...” bisiknya sebelum matanya tertutup untuk selamanya. Detik itu, nafasnya berhenti begitu saja.

”Pa?” panggilku, menahan sesak di dadaku. Pintu terbuka di belakangku. Aku bisa mendengar jeritan wanita itu, dan tangisan tertahan kak Tae Wong. ”Pa?! Bangunlah, Pa!?” teriakku.

”Tuan muda, hentikan!” Juk Bang meraih dan menahan pundakku dari belakang. Aku menepis tangannya, kembali mengguncang tubuh pria itu. ”Pa! Bangun! Pa! Bukankah kita akan nonton bisbol hari ini!? Pa!! Papa!!”

”Hentikan!! Hentikan Tuan muda!! Hentikan!!” Juk Bang menahan bahuku dengan gemetar dan tangisan. Aku memandang pria tua di depanku dengan pandangan kosong. ”Papa....” tangisku meledak seketika.

”Nam Gil, rahasiakan popcornnya dari Mama, oke..?”

”Papa... aku sangat,..menyanyangimu...” bisikku pedih, tak kuasa menahan derasnya air mataku. ”Kenapa... Papap meninggalkanku...?”


─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“Putar ke kiri…” ujarku pada supir taksi itu. Ia menurunkanku di kawasan pertokoan mall.

“Ye Jin!!” panggilku. Ia menoleh dan tertawa, di sebelahnya, Dae Chi menubrukku dan tertawa melihat wajah terkejutku.

“Hai, Yo Won!!” aspanya girang. “Sabtu nanti sebelum pulang ke bandara, ayo kita janjian bertiga… aku mau ketemu dengan Kak Tae Wong juga…” serunya bersemangat.

“Oke, tidak masalah…” jawabku sambil tersenyum singkat. “Ye Jin, nanti di rumah Bantu aku membuat tugas ini ya…”

“Oke, tidak masalah… tinggal di translate saja? Kalau begitu, pakai google translate diperbaiki paling hanya sejam dua jam…”

“Ye Jin! Kau memang nomor satu!!” teriakku sambil memeluknya gembira. “Oh, ya, kalian mau kemana?” tanyaku sambil memandang mereka berdua.

”Dae Chi masih mencari oleh-oleh untuk dibawa ke Amerika... apa sih barang khas yang menarik?” tanya Ye Jin bingung.

”Paling enak sih makanan...” senyumku sambil berpikir. ”Bagaimana dengan boneka hanbok? Lucu bukan?”

”Idih, Yo Won...” mereka berdua memandangku dengan tatapan kaget. ”Tidak kusangka Yo Won punya ide feminin begitu!!”

Sedetik kemudian ponsel Ye Jin bergetar. Ia mengangkatnya dan wajahnya memucat seketika. ”Apa? Coba ulangi Kak Seung Hyo, apa aku tidak salah dengar?”

”Kak Seung Hyo?” tanyaku sambil menatap Ye Jin. Ia mengangguk dan menjawab teleponnya lagi, lalu menutup ponselnya dan memandangku.


”Kau tahu, katanya Kak Tae Wong minta ijin tidak masuk untuk melatih karate besok.. Papanya akan dimakamkan... Bukankah ia satu keluarga dengan Kim Nam gil? Ada kabar dari cowok itu?”

Kurasakan perutku mulas saat mendnegar nama pria itu disebut. ”Rasanya aku sama sekali tidak tahu apapun soal itu...” jawabku sekenanya.

”Kita mungkin sebaiknya menjenguk. Kasihan mereka berdua...” gumam Dae Chi sambil berpikir dalam-dalam.

”Ya, aku setuju...” sahut Ye Jin mengangguk. ”Kak Seung Hyo bilang, anak-anak klub karate akan datang menjenguk. Kau ikut saja Yo Won. Ajak Dae Chi juga...”

”Aku tahu itu..” sahutku datar. Bagaimana perasaan cowok itu sekarang? Saat ini, hanya ada masalah itu di otakku.

”Mungkin kita perlu mengatakannya juga ke orangtua kita... Mama kan kenal baik dengan Mamanya Kak Tae Wong...”

Aku memandang Ye Jin dengan gusar. Apakah tidak akan terjadi apa-apa kalau nantinya kabar itu menyebar bagai angin? Waktu itu saja saat pesta reuni, kedatangan keluarga Go Hyun Jung ke tempat itu mengacaukan segalanya. Ketegangan akan semakin parah kalau mereka datang juga ke sana.

Tapi, bukan itu masalah utama di otakku saat ini. Bagaimana keadaan cowok itu? Itu lebih penting. Kenapa aku masih saja mencemaskannya sekalipun hatiku sudah hancur olehnya?


-to be continued-

Fanfic The Future and the Past 28

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TWENTY EIGHTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
San Tak: Kang Sung Pil (memakai nama asli di FF)
Young Mishil: UEE: Kim Yoo Jin (Mishil legal daughter)
Han Ga In : (memakai nama asli di FF)
fatimah: Kang Sung Fat
shendi: Han Shin Woo
Juk bang: menggunakan nama ini di FF
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“Pagi,” sapa Kim Nam Gil sambil mengulurkan helmnya kearahku. Kuterima helm itu, namun kakiku tidak bergerak sedikitpun. Apa yang terjadi? Kenapa sikapnya begini dingin? Kenapa harus dia yang…

“Ayo. Sudah hampir terlambat…” ia menarik tanganku.

”Ah, ya! Maaf...” seruku kaget, dan otomatis menepis tangannya. Aku tidak ingin tangannya menyentuhku. Sentuhannya hanya akan semakin melukai hatiku.

”Sampai nanti siang...” ujarnya, terang-terangan mencoba bersifat ramah padaku. Aku mengangguk dengan grogi. Rasanya kacau. Hatiku, kepalaku, semuanya, karena menyukai seseorang, otakku jadi rusak begini.

”Hei! Kau Kim Nam gil, bukan?” seru seorang wanita. Ia tampak cantik dan modis. Roknya selutut dan penampilannya cantik seperti model.

”Han Ga In?” tanya Kim Nam Gil sambil memandang wanita itu dengan wajah kaget sekaligus tidak percaya. Ia tertawa dan menatapnya, lagi. Jelas-jelas melupakan keberadaanku.

”Kaget?” tanyanya sambil tertawa. Wanita itu tersenyum padaku juga, ”Adikmu?” tanyanya pada Kim Nam Gil. ”Oh, aku lupa kau tidak punya adik. Pacarmu, barangkali?”

”Bukan,” jawab cowok itu tegas. Jantungku seperti diiris mendengarnya. ”Dia... seperti seorang junior, begitulah...” sambungnya lagi.

”Oh ya, tapi dia manis sekali, bukan?” senyum wanita itu lagi. ”Ngomong-ngomong, apa pendapatmu tentangku?” tanyanya sambil berputar pelan dan tertawa malu.

”Cantik, seperti biasa...” puji cowok itu dengan tulusnya. ”Dan apa kepentinganmu di sini?”

Bohong kalau aku tidak mengakui rasa cemburuku. Saat ini yang ada di otakku hanya dua pertanyaan. Apa tipe wanita seperti ini yang ia sukai? Apa mereka pacaran?

”Kau sendiri?”

”Aku... menjadi pelatih basket di sini. Untuk sementara...”

Sampai detik ini, aku masih penasaran dengan alasan kesementaraan itu. Mengapa? Apa ada hubungannya dengan sikap dinginnya padaku?

“Luar biasa!” wanita itu menepukkan tangannya dengan gembira sekaligus terkejut. “Seperti takdir, bukan? Aku juga sedang mengambil penjurusan sebagai tenaga pengajar... Dan sekolah ini akan menjadi tempatku berlatih. Yah, semacam magang sementara...”

”Ya,” cowok itu tertawa dan membenarkan. “Seperti takdir…” lanjutnya.

Cukup! Cukup! Baru saja kukira pertemuanku dengannya bagaikan takdir. Sebuah pertemuan aneh dan berulang kali kilasan itu... Tapi kini, ia mengatakan takdir. Dengan perempuan itu? Rasanya dadaku mau pecah mendengarnya!

”Aku... permisi dulu...” ujarku sambil berusaha tersenyum sopan pada mereka.

”Hati-hati...” teriak wanita itu sambil melambai padaku. Setengah berlari, kutinggalkan mereka berdua. Selama ada wanita itu, Kim Nam Gil bahkan tidak pernah menatapku. Apakah ia merasa lelah dengan kewajibannya untuk menjagaku?


─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

Benar.
Memang begini seharusnya.

Sejak awal, kau tidak boleh berdekatan denganku, terlibat urusanku, dan lainnya. Sekalipun kau membenciku dan menganggapku brengsek, aku akan tetap menjauhimu. Bencilah aku, kalau dengan begitu, kau akan mampu menjaga jarak dariku...

”Kalau kau memang peduli padanya.. kenapa kau sedari tadi mendiamkannya?” tanya Han Ga In sambil tersenyum misterius ke arahku.

Aku tersenyum kikuk saat memandangnya. ”Kau selalu saja berusaha menebak perasaan orang lai. Kau salah, kali ini...” elakku, mengalihkan pandanganku dari lorong sekolah ke arahnya.

”Dari tadi sosoknya sudah menghilang. Dan kau masih memandangnya pergi? Kukira kalian pacaran...”

”Sudahlah, Ga In...” potongku tidak sabar. ”Kau tahu bagaimana sifatku kan? Aku tidak tertarik dengan hubungan merepotkan semacam itu...”

”Tapi kau sangat bertanggung jawab pada siapapun yang punya hubungan baik denganmu... Dan sejak dulu,. Sifat itu yang paling kusukai darimu...” senyumnya.

”Bagaimana hubunganmu dengan kekasihmu itu?” tanyaku, berusaha mengingat nama kekasihnya, tapi gagal.

”Kami sudah putus. Ia menduakanku…” Ga In menghela nafas panjang dan merentangkan tangannya lebar-lebar. ”Kurasa, karena itu Tuhan membawaku ke sini, mempertemukanku denganmu...”

”Jangan mencoba menggodaku...” tawaku sambil berjalan di sampingnya, memasukkan tangan ke sakuku. ”Kalau boleh, aku ingin minta tolong padamu...”

”Silahkan,” jawabnya. ”Kalau memang aku bisa membantu... kenapa tidak?”

”Baiklah, begini...”


─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“Seharian ini, kenapa kau tidak mengomel sama sekali?” tanya Shin Woo sambil memandangku dalam-dalam. “Beberapa waktu lalu, kalau Yoo Jin datang meminjam pe-ermu, kau selalu menolak dan mengomel. Kali ini tidak. Bukan, maksudku, seharian ini ekspresimu seperti patung…”

“Tidak juga,” ujarku sambil memasukkan buku-bukuku sembarangan ke arah tas. Pulang sekolah artinya Kim nam Gil akan mengantarku pulang. Aku tidak boleh membuatnya menunggu dan kesal.

“Yo Won? Kau sama sekali tidak mendnegarku?” tanya Shin Woo dengan kening berkerut.

”Tidak, maaf. Ada apa tadi?” tanyaku sambil memandangnya.

”Kau jangan lupa membawa makalah biologi besok, ya....” pesannya. ”Yuk, aku duluan. Mau mengembalikan buku ke perpustakaan...” ujarnya sambil menenteng dua buah buku dan berjalan cepat menyusuri koridor.

Astaga...makalah? Makalah? Apa itu? Dengan gugup kubuka tasku dan kuambil notes kecil tempatku menulis semua jadwal pentingku. Biologi... biologi... kutelusuri catatan itu dengan jariku. Astaga! Tugas membuat makalah bilogi! Dan temanya! Mati aku! Aku lupa! Sama sekali lupa! Semua ini karena...

”Ooh, Yo Won, kau bodoh sekali...” keluhku sambil mengacak-acak rambutku. ”Kau terlalu kacau akhir-akhir ini...”

”Apanya yang kacau?” tanya sebuah suara. Aku menoleh dan hanya mampu tersenyum grogi. ”Hanya... masalah pribadi...”

”Yoo Jin kemarin bergadang semalaman untuk menyelesaikan makalahnya. Apa milikmu sudah selesai?” tanyanya tertawa, memamerkan gigi putihnya.

”Belum...” gumamku.

”Apa?” ia menatapku tidak percaya. ”Kau tidak bercanda kan?” tanyanya kaget.

Sudut mataku terasa panas. ”Sudahlah! Tidak usah khawatirkan aku! Paling juga nilai biologi semester ini merah! Itu bukan urusanmu!!” lebih baik kau urus saja wanita cantik itu! tapi tentu saja, kalimat terakhir tertahan di tenggorokanku.

”Jangan konyol,” ujarnya sambil menatapku pelan. Ia terdiam lama sebelum kahirnya menarik nafas dan berkata, ”Ayo, ikut aku...”



Aku tidak tahu kenapa ia malah membawaku ke rumahnya. ”Kita... mau kemana?” tanyaku, berusaha berhati-hati dengan ucapanku.

Ia tetap diam, dan dari caranya berjalan, aku tahu ia mau aku mengikutinya. Jadi, kuikuti semua langkahnya. Memasuki rumah, menaiki selasar tangga, dan masuk ke kamarnya.

Rasanya bermimpi melihat kamarnya saja tidak pernah. Ruangan itu membuatku terpaku. Bukan karena suasananya yang rapi dan bersih, tetapi karena dari kamar itu, aku bisa membayangkannya. Bagaimana keseharian Kim Nam Gil di sini. Bangun tidur, apakah ia menatap keluar jendela dulu?

“Gunakan saja ini...” ia meletakkan sebuah map ke tanganku. Mataku meneliti judul map itu dan membuka halaman demi halaman. Ini sebuah makalah! Tentang sistem pencernaan manusia. Luar biasa, bahannya sangat lengkap sekalipun berasal dari bahasa inggris.

”Ini flash discnya...” ia menyerahkan sebuah flash disc hitam ke tanganku. ”Kau copy paste dari sana, memang masih bahasa inggris, tapi kau bisa menggunakan google translate menerjemahkan dan memperbaikinya sedikit demi sedikit...”

”Ya, ya, ya!!” seruku senang. ”Terimakasih!!” aku maju dan memeluknya saking bahagianya. Sejenak cowok itu kehilangan kata-kata. Dan kemudian, tangannya mengelus kepalaku, sangat lembut.

”Punya adik perempuan, rasanya pasti begini...”

Hatiku luar biasa terluka mendengar kalimatnya. Adik perempuan? Jadi itu anggapannya padaku?


─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

Tidak sulit menebak perasaan Lee Yo Won. Kata-kataku barusan begitu mengena, dan jelas, ekspresinya begitu terluka. Rasanya aku bisa memahami apa arti kata ’brengsek’. Dan rasanya makian itu pantas untukku.

”Ayo, sudah saatnya kau pulang meneruskan pekerjaan makalahmu...”

”Ya, kau benar...” gumamnya sambil menuduk dan memandang map di tangannya, lalu mendekapnya erat. ”Terimakasih...”

”Kak? Apa kau sudah pulang?” teriak seseorang dari bawah. ”Kang Sung Pil dan adiknya datang menemuimu...”

”Kalau begitu, aku pulang sendiri...” cetus Yo Won lalu berlari menerobos pintu dan keluar dengan segera dari gerbang rumahku.

Dari jauh, bisa kudengar teriakan bingung Yoo Jin saat melihatnya pulang begitu saja. ”Loh Yo Won? Kau bisa di sini? Hei, kenapa? Yo Won!!”

”Akan kukejar dia, kau tunggu aku dulu, Sung Pil...” ujarku sambil memandang Sung Pil dan Sung Fat yang mengawasi kami dengan bingung.

”Oke yoo... akan kutunggu...” ujarnya kikuk. ”Boleh duduk dulu yoo?” tanyanya pada Yoo Jin.

Yoo Jin tertawa kecil sebelum mengiyakan. Tawanya semakin meledak saat melihat Sung Fat yang mengatakan. ”Aduh, kakak ini...” sambil mencubit lengan Sung Pil gemas.

”Hei!” aku berusaha memanggil gadis itu. namun langkahnya semakin cepat setelah mendegar suaraku. Ia berlari dan otomatis kupercepat lariku untuk bisa menyusulnya.

”Sudah kukatakan bukan? Aku akan mengantarmu...”

”Aku bukan anak kecil,” ujar Lee Yo Won tajam. ”Dan aku bukan adikmu, bukan siapa-siapamu. Memar di wajahku sudah mulai sembuh. Jadi, Kim Nam Gil, silahkan tinggalkan aku sekarang...”

”Senang kalau kau tidak membutuhkanku lagi...” ujarku, berusaha bersikap setenang mungkin. Apakah ia membenciku? Ya, ia membenciku. Tidak pernah kuduga rasanya akan sesakit ini.

”Benar, bagus kalau kau senang. Sekarang, pulanglah. Aku bisa pulang sendiri...”

”Kau ingin berjalan pulang?” tanyaku, memandangnya lagi. Kustop taksi, dan kubayar biaya taksi itu di muka. ”Antarkan nona ini sampai ke tempat tujuannya...”

”Besok, kau tidak usah mengantar-jemputku lagi...” sahutnya sambil menutup pintu. ”Uangmu akan kukembalikan lewat Yoo Jin...”

”Bukan masalah. Dan, Yo Won…” aku bingung kenapa tanganku otomatis menarik tangannya. ”Kapanpun darurat, kau boleh meneleponku…”

Ekspresi wajahnya menegang, ia terdiam sebelum akhirnya sebuah senyuman pahit membekas di wajahnya. “Tidak perlu,” dan ia menutup pintu tepat di depan wajahku. Selintas kulihat air mata menetes di pipinya.

Aku ingin menarik pundaknya, memastikan kalau ia tidak menangis. Tapi, aku tahu pasti satu hal. Aku tidak ingin melihat ia menangis. Aku tahu, air matanya akan menggoyahkan tekadku untuk menjauh darinya.

Benci aku, bencilah aku, Lee Yo Won. Pastikan kau tidak berada dalam bahaya denganku.

Handphone di sakuku bergetar. Peneleponnya adalah nomor yang kubenci. Namun, tetap saja aku mengangkatnya. “Ya?”

“Kabar buruk, Tuan muda...” ujar Jukbang dengan nada mendesak. ”Anda harus ke rumah sekarang juga!!”

”Ada apa, Jukbang?” tanyaku, merasa lega setelah mengetahui bukan salah satu dari mereka yang kubenci yang meneleponku.

”Tuan....dia...”

Nyaris handphoneku jatuh dari genggamanku detik itu juga. Suaraku terdengar parau saat membalas, ”Ya, kuusahakan datang sesegera mungkin...”



--to be continued--

Fanfic The Future and the Past, side story 1

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
SIDE STORY 1
-LET IT FLOWS-
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Alcheon: Lee Seung Hyo (memakai nama asli di FF)
Young Bakui: Joo Sang Won as Wolya brother (real name: Seo Sang Won)
Kim Chun Chu: Yoo Seung Ho (memakai nama asli di FF)
Shendi: Han Shin Woo
Rin: Na Rin Young
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Joo Sang Won, Seoul, 2009─

“Seperti biasa, penampilannya intelek sekali…” bisik teman sekelasku. Lainnya mulai menyahut. “Ya, dan dia tetap seperti sosok yang sulit didekati...”

Aku menusukkan sedotan ke susu kotak yang baru kubeli di kantin. Para gadis akhir-akhir ini sepertinya suka berbicang. Bukan hal baru untukku. Kulanjutkan makan siangku dengan menyobek bungkusan rotiku, dan kutatap halaman dari jendela yang terletak tepat di sampingku.

“Siapa yang kau perhatikan?” tanya Seung Ho sambil duduk di depanku.

Mejanya memang berada tepat di depanku. Aku tidak membenci anak ini. Ia jenius, dan ia tidak pelit membagi contekan jawaban ulangan padaku, asalkan aku tidak menyalin semuanya persis.

“Tidak ada,” elakku. Tapi mataku masih tertuju ke sosok di halaman sekolah. Sosok yang sedari tadi digosipkan teman sekelasku.

“Na Rin Young. Tinggi rata-rata, proporsi badan pas, dengan wajah lumayan manis dan otak di atas rata-rata. Keluarganya adalah teman pemilik sekolah ini. Dan akhir semester kemarin, ujiannya menduduki peringkat pertama, mengalahkan Kak Seung Hyo. Ia cukup hebat walaupun merupakan murid pindahan di sini...” papar Yoo Seung Ho panjang lebar.

Aku mendengus dan menertawakannya. ”Aku tidak butuh informasi selengkap itu! Yang benar saja!”

”Kau jangan coba mengelak, matamu terus menatapnya dari tadi. Ada hubungan khusus dengannya?” tanyanya penuh selidik.

”Tidak ada,” elakku. ”Saat ini cuma karate dan pelajaran olahraga yang ada di otakku...” tuturku. Orang sering mengataiku lugu atau polos, tapi begitulah aku. ”Hei, lihat. Bukankah yang memanggilmu itu pacarmu?” tanyaku sambil menunjuk ke arah pintu.

”Oh, ya, kau benar...” ia tertawa kecil sebelum meninggalkan mejanya dan mengobrol dengan pacarnya di lorong.

Pacaran apa enaknya sih? Aku memandang sejoli itu dengan tatapan bingung sambil mengunyah rotiku. Lebih seru juga tanding karate!


─Na Rin Young, Seoul, 2009─

“Sang Won! Sang Won! Sang Won!!” teriakan anak-anak kelas satu emmbahana di seluruh ruang aula. Aku menutup telinga dan mengernyit kesal. Kenapa sih Pak guru Biologi tidak menyampaikan pesannya pada guru olahraga langsung? Kenapa ia harus menunjukku sebagai medium? Memangnya aku tidak sibuk?

“Awas!” teriak seseorang.

Aku menoleh dan terlambat. Bola itu melaju tepat ke arahku. “Kyaaa!!” pekikku takut. Saat kubuka mata, tidak ada satupun benjolan bengkak di kepalaku. Tetapi, di depanku, seorang anak lelaki jatuh terduduk dengan wajah kesakitan.

“Tidak apa-apa?” Tanya kami bersamaan.

”Hahaha...” ia tertawa di sela-sela kesakitannya. “Maaf, temanku salah melempar bola tadi...” dan bola matanya terlihat begitu jujur. Baru kali ini kulihat bola mata seindah itu.

”Apanya yang kena?” tanyaku sambil mengamati wajahnya. ”Terimakasih ya... Aku tidak menyangka...”

”Tidak menyangka aku akan menolong?” tanyanya polos. ”Teman menolong teman, manusia membantu sesama. Bukankah itu hal yang wajar?” tanyanya sambil tersenyum. Dan penglihatanku tidak salah. Matanya memang sangat indah.

”Kau baik sekali,” pujiku. ”Padahal aku bukan temanmu...” kuamati tangan yang dicengkramnya sedari tadi. ”Tanganmu sampai ungu begitu...”

”Habisnya, hanya tangan ini yang paling cepat sampai di depan bola itu...” ia tertawa sambil menggerutu soal tinggi badannya. ”Namamu Na Rin Yong bukan? Kau harus melindungi kepalamu. Isi otakmu lebih berharga daripada millikku..” jelasnya sambil nyengir lebar.

Aku tidak bisa menahan tawaku. ”Terimakasih... dan kuduga, namamu pasti Sang Won...”

”Hebat! Kau memang hebat! Tahu darimana?” tanyanya dengan mata berbinar riang seperti anak kecil.

”Gadis-gadis itu...” kutunjuk jari ke arah mereka. ”Ayo, kubantu memapahmu... mereka akan mengobatimu segera...” ujarku sambil mengulurkan tangan ke arahnya.

”Pria jantan tidak akan dipapah, melainkan memapah perempuan...” candanya. ”Konyol memang, tapi itu prinsipku...” dengan menahan sakit, ia berdiri dan berjalan dengan gagahnya ke bench pemain cadangan. Di sana, para gadis berebutan mengobatinya.

Joo Sang Won. Anak kelas satu yang memiliki mata yang indah dan polos. Tipe yang tidak bisa dibenci. Aku rasa ia menyenangkan.


─Joo Sang Won, Seoul, 2009─

“Sini! Biar kubantu!” teriak Rin Young sambil mengambil tumpukan buku dari tanganku. “Tanganmu belum sebmbuh, bukan?” tanyanya dengan wajah cemas.

“Sudah hampir sembuh. Memangnya aku selemah itu?” tawaku geli melihat wajah cemasnya.

Sudah beberapa hari ini hubungan kami mulai dekat. Bahkan beberapa temanku mengatakan kalau aku cukup berani karena dengan terang-terangan menunjukkan kemesraan dengan siswi teladan kelas tiga. Hahaha, bukankah teman-temanku sangat konyol?

”Apa yang kau tertawakan?” tanyanya sambil menatapku melalui sudut matanya. ”Aku harap bukan aku yang kau tertawakan...” tambahnya lagi.

”Tentu saja bukan kau, hanya beberapa teman sekelasku... Mereka menggelikan..” tawaku mulai kembali. ”Tapi, yah, terimakasih. Kau terlalu banyak membantu akhir-akhir ini...”

”Manusia membantu sesama. Dan teman membantu teman. Wajar bukan?” tanyanya sambil bergaya diplomatis, mengulangi kata-kataku.

”Ya, aku tidak keberatan...” sambil mengamatinya, aku mulai menilainya. Sebenarnya, teman-temanku semuanya salah paham padanya. Ia gadis yang baik. Dan kalau sudah mengenalnya, mereka akan menyadari keramahannya, dan sifatnya yang peka. Tipe gadis yang menyenangkan.

”Apa lagi yang kau pikirkan?” tanyanya sambil menatapku.

Uh,oh, rupanya kami sudah tiba di ruang guru. Ia sudah membantuku membawa setumpuk buku sampai di tujuanku. ”Terimakasih, akhir-akhir ini otakku rada ngaco, entah kenapa sering melamun di dekatmu...”

”Jangan konyol Sang Won...” ia tertawa dan aku terus menatap tawanya. Aku suka melihat caranya tertawa, caranya tersenyum, dan tatapan matanya. Menimbulkan perasaan yang... menyenangkan.

”Ng...” aku mulai bergumam tidak jelas saat ia membantuku mengambil pulpenku yang terjatuh.

Sejenak jemari kami bersentuhna. Rasanya ada sebuah sengatan perasaan aneh, seolah lebah menyengat dadaku. Aku tersentak memandangnya. Ia juga memandangku dengan kaget. Dan matanya yang bening terlihat begitu dipenuhi keterkejutan.

”Apa.. kau merasakan ada yang aneh di sini?” tanyaku sambil menyentuh dadaku. ”Aku merasakannya...”

”Merasakan apa?” tanyanya bingung.

”Kayaknya ada lebah yang menyengat dadaku.”

Ia tertawa terpingkal-pingkal lama sekali. Dan aku sangat menikmati tawanya. ”Kau konyol, Sang Won. Tapi sisi itu yang menarik darimu, kurasa...ya, begitulah... ada yang menyengat...” ujarnya menyetujui.

─Na Rin Young, Seoul, 2009─

“Aneh tidak kalau aku tertarik pada berondong?” tanyaku pada Seung Hyo.

Ia duduk di sebelahku. Dan ia anak pertama yang menyapaku sejak kepindahkanku kemari. Ia baik, dan berwibawa, dan bijaksana. Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk bersahabat dekat.

Seung Hyo nyaris menumpahkan minumannya kala mendengar pertanyaanku. ”Aneh sekali pertanyaanmu…” ia mulai bersungut-sungut. “Siapa yang kau sukai?” tanyanya tiba-tiba. “Sang Won!?”

“Kecilkan suaramu!” perintahku. Kulirik kanan kiri dan kuembuskan nafas lega. Kayaknya memang tidak ada yang mendengar. Semua fokus pada kegiatan masing-masing.

”Tidak ada masalah. Kulihat ia juga menyukaimu. Ia sering membicarakanmu di klub...”

”Sungguh?” tanyaku, penasaran.

”Ya, dia mengatakan. Rin membantuku begini, begitu, begini, begitu...” ia tertawa sebelum melanjutkan. ”Kukira tidak ada habisnya... Tapi, kurasa satu hal yang perlu kau ketahui. Mungkin ia juga menyukaimu, tapi otaknya terlalu polos untuk itu. Saat ini ia hanya memikirkan karate dan olahraga...”

”Bisa kutebak,” sahutku. ”Selama ini kulihat banyak gadis senior mendekatinya, namun ia menganggap mereka angin lalu...”

”Berbeda denganmu,” ujar Seung Hyo. Pipiku memerah mendengarnya. ”Jadi, apa kau akan menembaknya?” tanyanya.

Aku menggeleng. ”Aku ingin membiarkan semuanya mengalir,” ujarku. ”Biarkan saja sampai ia sendiri yang menyadarinya. Aku akan menunggu. Lagipula, hidup masih panjang bukan?”

”Ya, hidup masih panjang...” ujarnya setuju.

”Dan kau juga, kudoakan kau sukses mengejar gebetanmu itu, anak kelas dua, teman Lee Yo Won bukan? Aku sedikit lupa namanya. Han Shin Woo?” tanyaku.

Ia tertawa. ”Urus saja urusanmu...” elaknya.

Sang Won seperti sudah kewajibannya, menjemputku pulang setiap harinya. Dan kali ini, kami berdua nyaris ketinggalan bis.

”Ayo, Rin Young!!” serunya sambil menarik tanganku. Aku membiarkan tanganku digandengnya, dan tersipu malu kala melihat wajahnya yang juga memerah.

Sepertinya, ini akan menjadi awal baru hubungan kami. Memang mungkin tidak jelas kemana dan bagaimana. Tapi kurasa, memang lebih bijaksana untuk menjalaninya perlahan. Kurasa, hari ini sebuah era baru untukku dan Sang Won telah tiba. Mungkin tidak langsung, tetapi pelan-pelan... dan semua akan terjadi secara alami...

-selesai-

Fanfic The Future and the Past 27

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TWENTY SEVENTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Wolya: Joo Sang Wook (memakai nama asli di FF)
Bo Jong Baek Do Bin : (memakai nama asli di FF)
Tita : Park Ri chan
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

Kupandang pria itu dengan tatapan tajam. ”Seharusnya kau tidak perlu melakukannya. Aku bisa bertanggung jawab atas semua perbuatanku sendiri…” ujarku, mencoba bersikap tetap terkendali.

Kukatakan demikian, karena pria ini menghabiskan begitu banyak uang untuk memperbaiki sekolah West High dalam waktu semalam. Dan sesuai dugaanku, esoknya seolah tidak ada apapun yang terjadi di sekolah itu. Tidak sulit mengetahui siapa pria dermawan dan baik hati itu, seseorang yang pastinya memiliki banyak anak buah, kekuasaan, dan modal yang besar.

“Aku tidak bisa membiarkan temanku berada dalam bahaya, bukan?” tanyanya sambil menatap kekasihnya dan tersenyum ke arahku. “Kali ini, tepati janjimu… Minumlah denganku.. dan Ri Chan, tentu saja..” ujarnya sambil menarik tangan kekasihnya, menuntun wanita itu duduk di sebelahnya.

“Kurasa ada arti lain dari kata teman yang kau ucapkan itu…” tuturku sambil menerima gelas kaca yang diberikan pelayan.

“Kata-katamu tajam, seperti biasa…” ia tertawa terbahak-bahak sebelum kahirnya menjentikkan jarinya, dan para pelayan setianya menuangkan anggur merah ke dalam gelasku. “Tapi, itu yang kusuka darimu…”

“Terimakasih pujiannya…” senyumku terasa pahit di bibirku snediri. Kuamati para pelayan yang menuang anggur itu ke gelasku. Wajah mereka kaku dan tanpa eskpresi, seperti robot saja.

“Kau punya potensi, Kim Nam Gil…” ia menyebut suku kata namaku dengan tegas dan jelas, seolah setiap kata memiliki arti begitu dalam. “Dan aku menginginkan potensi itu….” Ia mengangkat gelasnya dan tertawa. “Kami akan minum bersama denganmu, jadi jangan takut diracuni…” ujarnya.

”Aku tahu kau bukan tipe pecundang seperti itu...” senyumku sambil menghirup anggur itu dan meminumnya perlahan. ”Jadi, kau ingin aku menjadi anggotamu?” tanyaku tanpa basa-basi.

”Senang mendengar pujianmu...” tawanya terdengar renyah. ”Dan ya, aku ingin kau bergabung denganku. Bukan sebagai anggota, tentu saja. kau layak mendapat posisi lebih tinggi. Kau akan menjadi saudaraku, tangan kananku, dan orang kepercayaanku...”

”Maaf?” tanyaku, memintanya mengulang penjelasannya. ”Apa maksudmu dengan saudaramu? Kau yakin menempatkan orang yang tidak bisa kau percaya ke posisi yang sejajar denganmu?”

”Oh, C’mon!!” ujarnya sambil berdiri dan menatapku. ”Kau satu-satunya orang yang cocok untuk posisi ini. Dan misimu adalah menjadi aku...”

Aku menyadari ekspresiku begitu terkejut saat mendnegar aku akan menjadi dirinya. ”Apa... yang kau inginkan dariku...?”

”Perdagangan senjata...” jawab wanita di sampingnya. ”Kau akan mewakili Do Bin dalam penyerahan senjata itu di Rusia....”

”Maksudmu?” tanyaku lagi. Jadi, karena itulah kekayaannya begitu melimpah? Pendanaan melalui jual beli senjata. Sungguh sangat riskan dan berbahaya.

”Kau bisa melakukannya, Kim Nam Gil...” baru kali ini wanita itu tersenyum simpatik ke arahku. ”Karena kau punya tatapan mata yang berbeda dari siapapun yang pernah kulihat. Kau memiliki kesetiaan, sekaligus kekuatan menghancurkan siapapun yang menghianati kesetiaanmu...”

”Aku tidak akan menyanggahnya,” sahutku sambil mengangkat bahu dan tersneyum. ”Kau punya kekasih hebat di sini...” pujikupada Baek Do Bin.

”Ri Chan lulusan psikologi... dan dia punya penilaian yang hebat terhadap seseorang. Anak seorang pemilik hotel yang sudah biasa mengamati orang, ia bisa menilaimu. Dan penilaiannya atasmu membuatku kagum. Tetapi, tidak hanya itu. Sejak awal melihatmu, kau memang pribadi menarik.”

”Baiklah, akan kulakukan. Asalkan kau bisa menjamin nyawaku... Aku tidak bisa berhutang budi pada seseorang...” ujarku sambil mencoba tersenyum.

”Kau akan dikawal penuh oleh anak buahku... dan,” ia melemparkan sebuah pistol ke arahku. ”Belajarlah caranya menembak. Untuk berjaga-jaga, kalau ada hal buruk yang mungkin terjadi...”

”Tidak akan ada hal buruk...” sergahku pelan. ”Jelaskan situasinya padaku...dan apa rencanamu. Dan kapan akan kulakukan...”

Baek Do Bin menjelaskan rincian denah Rusia yang harus kukuasai secepatnya. Dan ia memintaku datang lagi setiap hari untuk berlatih menembak. Kemudian, ia juga menjelaskan beberapa rinci jumlah kuantitas barang yang akan kuterima dan bagaimana bentuknya.

Semua itu membuat kepalaku terasa lelah dan berat. Tetapi, genggaman pistol di tanganku tetap menyadarkanku. Mungkin ini jawaban Tuhan. Mungkin ini satu-satunya cara agar aku bisa menjauh dari Lee Yo Won. Mencegahku untuk tidak terus menerus memikirkannya. Gadis itu, memang lebih baik tidak berdekatan denganku.


─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“Sampai kapan kau mau menatap handphonemu?” Tanya Ye Jin sambil mematut-matutkan dirinya di depan cermin.

“Tidak, aku tidak menatapnya...” elakku.

”Lebih baik kau ikut denganku, Yo Won...” ujarnya sambil duduk di sampingku. ”Daripada kau berbohong padahal daritadi kau menunggu telepon dari cowok itu...”

”Mana mungkin aku mengganggu kencamu?” tanyaku sambil tertawa kecil. ”Kau kelihatan begitu cantik untuk kecewa, Ye Jin...” pujiku sambil diam-diam membenarkan ucapannya.

Sejak kemarin, aku menunggunya menjawab sms-ku. Memang sih, aku hanya mengabarinya soal sekolahku yang dalam sehari rusak dan dalam semalam kembali seperti semula, bahkan tampak seperti baru. Tetapi ia hanya diam. Dan tidak menjawab apapun. Mungkin ia benar hanya akan muncul di depanku kalau keadaanku darurat.

”Ini bukan kencan, tahu!!” serunya sengit. ”Dengar. Yang ikut adalah aku, Kim Rae Na, Dae Chi, Nam Ji Hyun, Yong Soo, Seung Hyo, Hee Wong,Tae Wong dan Yoon Hoo. Masa ini dibilang kencan?”

”Baiklah, mungkin bukan. Tapi aku tetap tidak punya mood untuk iktu. Mungkin nanti siang aku akan menyusul. Kalau moodku sudah kembali...” jawabku sekenanya. Semua orang di sana punya pasangan, kecuali aku. Mana mungkin aku ikut dan merusak suasana yang ada?

”Kalau kau memutuskan untuk menyusul, telepon aku...” ujar Ye Jin lembut, lalu melambai padaku dan pergi.

”Hhh...” kurebahkan tubuhku dan kutatap langit-langit kamar. Rasanya kamar ini jadi terlalu besar untukku sendirian. Aku kenapa ya? Hanya tidak bertemu beberapa hari dengannya, rasanya bosan sekali?

”Lebih baik jalan-jalan saja!” seruku mencoba mengembalikan semangatku. Kupakai jaketku dan kulangkahkan kakiku dengan semangatku yang terasa palsu. Tidak tahu mengapa, kakiku menuntunku bergerak ke sekolahku sendiri. Dan disanalah ia berada.

”Kim Nam Gil...” desisku sambil memandang sosok punggungnya yang membelakangiku. Sudah berapa lama ya, tidak melihatnya? Kenapa, rasanya begitu hangat saat melihatnya lagi. Ada begitu banyak hal yang mau kutanyakan padanya. Namun, bergerak menghampirinya, aku tidak sanggup.

Aku terus memandanginya bicara dengan Joo Sang Wook dan beberapa kali mereka tertawa dan bersalaman. Lalu, ia pergi. Setelah sosoknya menghilang di ujing lorong, kakiku yang lumpuh bisa kembali kugerakkan.

”Kak Sang Wook!!” teriakku sambil berlari ke arahnya. Ia memandangku degan terkejut dan tertawa.

”Pacarmu baru saja pergi! Tuh, ke sana!”

Kutenangkan nafasku dan mencoba bicara. ”Apa yang ia katakan tadi?” tanyaku dengan nafas masih memburu.

”Pelan-pelan saja bicaranya, Yo Won...” ujarnya. ”Katanya, permohonan lamaran kerjanya ke sini diterima. Ia akan mengajar basket selama beberapa minggu, lalu cuti, dan kembali tidak lama kemudian...” wajah Kak Sang Wook terlihat begitu senang dengan kenyataan Kim Nam Gil menjadi pelatihnya.

”Kenapa? Apa maksudnya ia cuti?” tanyaku penasaran.

“Entahlah, katanya ada urusan bisnis...” jawabnya sambil mengangkat bahu. “Eh? Hei, tunggu! Yo Won! Aku kan belum selesai bicara!!”

Tidak kuhiraukan kalimat Kak Sang Wook yang memanggilku. Aku terus berlari mengejarnya. Terlalu aneh. Terlalu mencurigakan. Bisnis? Bisnis apa? Jangan-jangan ada hubungannya dengan Yeom Jong?

”Kim Nam Gil!!” teriakku putus asa. Cowok itu sudah pergi, entah kemana. Dan aku kehilangan jejaknya. Dadaku terasa sakit dan menusuk. Terlalu banyak berlari, pikirku putus asa.

”Kau memanggilku?” tanya suara yang kurindukan itu. Aku berbalik dan bertatapan mata dengannya. Mata itu kali ini terasa begitu dingin dan menyakitkan. Kenapa ia memandangku seperti itu?

”Kau... belum pergi?” tanyaku dengan nafas terputus-putus. Ia berjongkok di sampingku dan tersenyum singkat.

”Kenapa kau mengira aku pergi?” tanyanya. Aku menggeleng. ”Kenapa sih, lari-lari begitu hanya untuk mengejarku?”

”Karena...” dadaku berdebar begitu keras saat mengucapkannya. ”Aku takut tidak bisa melihatmu lagi...”

Ia terpana sejenak dan memandangku lama dengan tatapan kosong. Sekejap kemudian cahaya matanya kembali. ”Aku ada di sini bukan? Dan kupastikan menjemputmu pulang pergi kalau menjadi pelatih basket di sini.. Tapi, tidak lebih dari itu..”

Kata terakhirnya seolah menusukku. ”Kenapa? Karena itu, kau tidak membalas sms-ku?” suaraku terdengar begitu bergetar. Aduh, kemana perginya si berani Yo Won? Kenapa aku jadi cengeng begini di depannya?

”Kurang lebih begitu,” jawabnya cuek. ”Ayo, kuantar pulang...” ia mengulurkan tangan untukku.

Aku menepisnya. Amarahku terasa naik ke kepala, bersamaan dengan rasa sakit di dadaku. ”Aku tidak perlu bantuanmu! Aku bisa pulang sendiri! Buktinya, aku datang ke sini tidak bersama denganmu!!”

”Ayo!!” ia tidak banyak berkata-kata dan lansgung menarikku ke dalam pelukannya. Lututku mati rasa saat ia menaikkanku di motornya.

Kenapa? Kenapa? Kenapa?

Tapi, aku tidak bisa menanyakannya.

Ia menurunkanku dan haya berkata sepatah kata. ”Jam setengah tujuh kujemput di depan rumahmu besok pagi...” tidak jelas saat itu aku mengangguk atau tidak. Tetapi, ketika motornya melaju pergi, pandanganku sudah memburam. Air mataku tumpah begitu saja.

”Yo Won? Kenapa? Masuklah, hari sudah malam...” Mama membuka pintu dan menarik bahuku. Detik itu juga aku menghambur ke pelukannya dan menangis sejadi-jadinya.

Aku bodoh kalau tidak merasakannya. Aku bodoh kalau tidak mengakuinya. Aku, Lee Yo Won, sudah jatuh cinta pada Kim Nam Gil. Tepat pada saat ia menghempaskanku dari awan ke bumi.

--to be continued---

Fanfic The Future and the Past 26

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TWENTY SIXTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Alcheon: Lee Seung Hyo (memakai nama asli di FF)
Kim Yong Soo : Park Jung Chul(nama asli): Jung Yong Soo (nama di FF)
Bakui: Jang Hee Woong (memakai nama asli di FF)
Ho Jae: Go Yoon Hoo (memakai nama asli di FF)
Young Bakui: Joo Sang Won as Wolya brother (real name: Seo Sang Won)
Desi : Uhm Dae Chi
Karinna: Kim Rae Na
Shendi: Han Shin Woo
Rin: Na Rin Young
Yeomjong (tetap memakai nama ini)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“Permisi,” ujar Kim Nam Gil sambil mengetuk pintu ruang UKS. Tidak ada jawaban. Mungkin memang tidak ada seorang pun di sini. Hari Sabtu, Seharusnya guru jaga memang libur.

“Dikunci,” keluh Kim Nam Gil. “Kau tahu siapa yang memegang kuncinya?” tanyanya padaku.

“Coba kubuka,” ujar Yoon Hoo. Ia maju dan membuka pintu. Kami sama-sama terkejut ketika tahu-tahu sebatang sapu mengarah tepat ke arah kami.

”Kyaa!!” seru Dae Chi.

”Awas!!” jerit Rae Na.

Otomatis kututut mataku sambil berusaha menghindar. Dengan gerakan sigap,, Kim Nam Gil menggunakan bahunya untuk melindungiku sementara Yong Soo yang gerakan refleksnya cukup terlatih, menangkap gagang sapu itu dengan kedua telapak tangannya.

”Bahaya sekali, Ye Jin...” komentar Yong Soo sambil tersenyum. ”Sudah kukatakan bukan, kami akan menunggumu di UKS?”

”Aku kan tidak tahu kalau kalian yang datang...” Ye Jin muncul dari balik pintu dengan wajah malu. Ia menunduk dan tersenyum grogi ke arah semuanya yang berada di depan pintu. ”Maafkan aku...”

”Sudahlah, tidak apa-apa...” tawa Yoon Hoo. Padahal tadi wajahnya terlihat paling kaget. Dan belum apa-apa, ia sudah paling cepat menghindar dan menarik Rae Na dan Dae Chi mundur. Cowok itu kelihatan sangat menjaga penampilannya. Mungkin ia benci yang kotor-kotor seperti sapu.

”Ternyata kau cukup berani juga. Hebat!” puji Hee Wong kagum, membuat wajah Ye Jin semakin memerah.

“Yo Won!!” Ye Jin yang feminin langsung menjerit histeris saat melihat wajahku. “Siapa yang tega memukulmu?!” tanyanya lantas menghampiriku. Ia mengambil kotak obat dan membukanya.

“Salahku,” gumam Kim Nam Gil sambil membantu Ye Jin memilah-milah obat itu.

Ye Jin memandangnya dengan tajam. “Kenapa setiap kali ada masalah denganmu, Yo Won selalu saja terlibat?” tudingnya sambil berdecak marah. “Bisa nggak kau jangan mencari masalah dan menyulitkan Yo Won terus?”

“Aku juga tidak pernah berkeinginan untuk menyulitkannya,” sahut Kim Nam Gil sambil memandang ke arahku. Spontan kupalingkan wajahku.

Tidak, tolong jangan tatap aku dengan pandangan seperti itu.

”Sudahlah, itu bukan sepenuhnya kesalahanmu...” ujar Ye Jin sambil menarik nafas lagi. Aku menyaksikannya dari sini. Kulihat kau menolongnya, terimakasih...” senyumnya sepintas kemudian. Ia menunjuk ke arah halaman. Oh ya, memang lokasi kami tadi tidak jauh dari sini.

”Tidak, kau boleh menyalahkanku,” sergah Kim Nam Gil. ”Aku tidak boleh melibatkan wanita dalam masalahku...” gumamnya dengan penuh penyesalan. ”Dan untuk itu, aku akan melindunginya, aku janji....”

”Tidak perlu, tidak usah...” seruku sambil bangkit dari kursiku. Pelototan mata Ye Jin membuatku terpaksa duduk manis lagi di tempatku. ”Kau, tidak bersalah. Seperti katamu, aku yang nekad...”

”Ya, kau memang nekat...” Ye Jin mencubit pipiku yang tidak memerah. ”Dan aku sangat takut melihatmu tadi... Kali ini, belajarlah dari pengalaman. Jangan bertindak tanpa pikir panjang...”

”Aku tahu itu...” keluhku sambil menarik nafas dalam-dalam. Beberapa kali aku mengaduh saat Ye Jin mengoleskan obat di pipiku dan menutupnya dengan kain kasa.

”Yo Won,” panggil Kim Nam Gil. Aku menoleh menatapnya, dan ia menatapku lagi dengan pandangan bersalah yang menusuk tajam dadaku. ”Kau tahu nomor teleponku?” tanyanya. Aku mengangguk.

Ia tersenyum menambahkan. ”Panggil aku saat kau membutuhkan perlindungan. Aku akan datang padamu, tidak peduli dimana pun aku berada saat itu...” janjinya.

Seolah kehilangan seluruh kemampuanku untuk bicara, aku hanya mampu mengangguk mengiyakan janjinya, sumpahnya untuk melindungiku. Dan detik itu, setetes air mata meluncur jatuh di pipiku.


─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

“Panggil aku saat kau membutuhkan perlindungan. Aku akan datang padamu, tidak peduli dimana pun aku berada saat itu...” janjiku..

Aku tidak tahu mengapa bibir dan lidahku bisa membentuk kalimat itu, namun dalam kalimat itu, kurasakan kesungguhan dari dalam dadaku. Entah mengapa, baru kali ini kurasakan dorongan sebesar ini untuk melindungi seorang gadis.

Seorang gadis yang bertemu denganku dengan cara aneh, dan kemudian entah bagaimana, selalu dan selalu muncul dalam keseharianku.

Kami adalah dua pribadi yang sangat berbeda, namun cara Tuhan mempertemukan kami selalu saja dalam situasi yang penuh komplikasi dan unik.

Aku melihatnya mengangguk dan tersenyum, lalu setitik air mata yang jatuh di pipinya, entah kenapa membuatku berpikir kalau detik itu juga ia terlihat sangat rapuh. Rasanya aku ingin sekali mau dan memelu… Hah! Apa sih yang kupikirkan?!

“Permisi! Kami butuh obat merah!!” seru seseorang sambil mendobrak masuk ke dalam ruang UKS.

Aku sudah bergerak refleks untuk memberikan perlawanan kalau saja yang masuk adalah anak buah Yeom Jong. Tetapi ternyata bukan. Yang masuk adalah Sang Won, salah seorang karateka yang menarik perhatianku.

Wajahnya mencerah melihat keberadaanku di sini. “Kim nam Gil!” serunya dengan mata berbinar. “Kau datang?!” ia menggendong seorang gadis di punggungnya. ”Boleh minta obat merah, Kak Ye Jin?” tanyanya sambil menurunkan seorang gadis dari gendongannya. Gadis itu tipikal gadis manis dengan mata bulat besar dan wajah yang khas.

”Silahkan,” ujar Ye Jin sambil menyerahkan sebotol obat merah. ”Mau kubantu memasangnya, Rin Young?” tanyanya sambil mengamati lutut gadis itu. Ternyata berdarah.

Sang Won memang cukup jantan. Mungkin daritadi ia berlari menggendong gadis itu, tetapi kulihat nafasnya masih agak teratur.

”Tolong ya, Kak...” pintanya sambil tersenyum manis.

Sang Won begerak ke arah jendela perlahan. ”Di luar kacau sekali,” ia mengusap keringat dan mengatur nafasnya. ”Kau sebaiknya jangan langsung muncul di depan mereka. Kacau sekali preman itu, masa sekolah dijadikan tempat berkelahi?” ia mengomel sambil mengintip melalui celah gorden ruang UKS.

”Mereka memang brengsek...” makiku. Selain merusak sekolah ini, mereka juga melukai yang tidak bersalah dan menyebabkan banyak yang kena imbasnya, termasuk Yo Won. Dan mereka juga merusak nama baikku. ”Aku akan muncul kalau memang itu yang mereka inginkan...”

”Aku sudah menelepon Kang Sung Pil juga tadi...” ujar Yoon Hoo sambil tersenyum paksa. ”Ia mungkin akan datang, tapi ia tidak janji...”

”Tidak usah mengganggunya. Kami baru saja berurusan dengan anak buah Yeom Jong, dan ia sudah cukup babak belur. Aku tidak mau menambah masalahnya. Kalian juga, sebaiknya kalian pulang...”

”Tidak bisa!” tukas sahabatku dan semua orang yang ada di sana berbarengan. ”Semuanya bersama-sama maju, dan posisi kita akan lebih kuat!” Hee Wong yang sedari tadi membisu akhirnya bicara mewakili yang lainnya.

”Ingat? Kau tidak sendirian Nam Gil. Di samping itu, posisimu juga tidak seimbang. Lihat wajahmu di cermin. Kurasa kau cukup direpotkan oleh anak buah Yeom Jong tadi. Mana mungkin kami tega membiarkanmu membuang nyawa?”

”Aku sudah menelepon polisi...” ujar seseorang dengan tegas. Kami menoleh ke arah suara itu dan tersentak kaget. ”Ini wewenangku. Murid sekolah ini masih di bawah wewenangku, setidaknya sampai bulan september nanti...” ujarnya sambil berjalan masuk dan duduk di salah satu ranjang UKS. Tubuhnya penuh keringat, kendati demikian, cara bicaranya masih penuh wibawa.

”Lee Seung Hyo...” bisikku. Ia tersenyum dan memukul pundakku dengan penuh persahabatan.

”Senang kau masih mengingatku,” guraunya. ”Kurasa kami membutuhkanmu di sini. Bukan hanya untuk membantu menjelaskan masalah apa yang terjadi di sini.... tetapi juga untuk menjadi pelatih basket kami...” ia tertawa kecil.

”Dengan keadaan seperti ini, kurasa pihak sekolah tidak mungkin menerimaku sebagai pelatih...”

”Aku tidak tahu itu, tetapi, CV yang kuterima darimu sudah kukirimkan jauh-jauh hari, dan tanpa banyak pertimbangan, mereka menyetujui lamaran kerjamu di sini. Sayangnya, kau tidak pernah muncul lagi sejak hari itu...”

”Banyak yang terjadi,” ujarku sambil menatapnya. ”Kurasa, lamaran kerjaku sudah masuk tong sampah sekarang...” ujarku. Dari jauh, kudengar sirine mobil polisi datang mendekat. ”Kau tahu, mengirim mereka ke polisi tidak akan menyebabkan banyak perubahan...”

”Aku tahu itu, setidaknya kalian aman sekarang. Dan sementara waktu, aksi mereka bisa diredam... Dan jumlah anak buah mereka juga akan berkurang...” ia tersenyum dan memandang sekeliling, lalu menatapku.

”Seluruh sekolah mungkin mencapmu buruk, tapi aku tahu kalau seluruh klub basket masih mengharapkan keberadaanmu. Entah dengan para pejabat yayasan sekolah, tapi kurasa, kalau ada surat persetujuan masuk ke OSIS, aku akan menjadi orang pertama yang mengecap dan menandatanganinya.”

”Kim Nam Gil!!!” teriakan amarah Yeom Jong terdengar memekakkan telinga. Teriakan kekalahan dari seorang pecundang. ”Brengsek! Sialan! Lepaskan aku! Lihat saja! akan kubunuh kalian semua!!”

”Ia tidak akan lama mendekam di penjara. Sebentar saja, ia akan bebas...” gumamku. Dan saat itu, aku tahu pasti, seseorang pasti akan menelponku... sambil berpikir demikian, mataku menatap Yo Won. Gadis itu tersenyum sambil menatapku dalam-dalam. Kali ini, tatapan terimakasih yang ia tujukan padaku.

”Aku berhutang padamu, Lee Seung Hyo...” ujarku sambil merangkulnya. ”Kurasa akhir-akhir ini hutangku sudah banyak bertumpuk...”

Padahal tadi aku sudah menelepon polisi dan memintanya datang, namun mereka malah mengira aku hanya membual. Pria ini memang hebat, aku tidak tahu bagaimana caranya meyakinkan para polisi itu untuk datang kemari.

”Jangan bilang begitu, aku lebih senang kalau kau menganggapnya sebagai bantuan seorang sahabat. Oh ya, kalian tidak apa-apa?” tanyanya sambil menatap sekeliling. ”Han Shin Woo, kau tidak apa-apa tadi?”

Shin Woo tersenyum kecil lalu berterimakasih. “Tidak apa-apa, terimakasih Kak! Kalau tidak ada Kak Seung Hyo, entah apa yang…” ia menggeleng cepat, lalu kembali berterimakasih dan bertatapan cukup lama dengan Seung Hyo.

“Sudahlah, ayo kita pulang. Akan kuminta supirku datang. Sang Won, Rin Young, Shin Woo, kalian pulang dengan mobilku saja…”

“Aku bawa motor dan aku akan mengantar Rin Young pulang. Kak Seung Hyo antarkan Shin Woo saja…” tukasnya sambil memapah gadis itu, membantunya berdiri.

“Baiklah,” ia tersenyum sambil menatap Shin Woo. “Kau ikut saja, jangan menunggu saja di sini… Begitu supirku datang, kita langsung pulang...”

“Baiklah…” jawab Shin Woo tanpa pikir panjang. Kelihatannya ia tipe gadis pendiam.

“Aku akan mengantarmu,” tegasku sambil memandang Yo Won. Ia menatapku kaget, lalu tersenyum dan menolak. “Ingat, aku sudah berjanji untuk menjagamu...”

“Aku tidak mau merepotkan..” elaknya.

”Tidak akan merepotkan. Dan kalaupun ya, aku mau kau repotkan. Begitu saja, ayo ikut aku.” kedengarannya kata-kataku memaksa sekali. Tapi aku benar-benar tidak peduli. Gadis ini tanggung jawabku.

”Tapi, bagaimana dengan Ye Jin?” ia memandang saudara kembarnya dengan cemas. Kulirik Yong Soo, dan pria itu membalas dengan mengangguk.

”Yoon Hoo akan mengantar Kim Rae Na, dan Hee Wong akan mengantar Dae Chi. Jadi, kurasa tidak ada pilihan lain selain menumpang motorku, bagaimana?” tanyanya sambil tersenyum ramah ke arah Ye Jin.

”Ruamhku dekat,” tolak gadis itu.

Aku berpandangan dengan Yong Soo dan menarik nafas hampir bersamaan. Ternyata dua gadis ini memang kembar. Watak mereka cukup mirip satu sama lain. Sama-sama berprinsip dan ada kalanya keras kepala dan terlampau mandiri.

”Percayalah, aku akan mengantarmu sampai ke rumahmu. Kita tidak akan mampir-mampir, kecuali kau yang memintaku...” ujar Yong Soo lagi.

Ye Jin terdiam dan tertawa kecil. “Kau tahu, bukan karena itu aku menolak. Aku percaya padamu, tentu saja. tapi, aku tetap tidak mau merepotkan...”

”Ayolah nona... aku tidak mungkin mengambil resiko tidak mengantarmu. Bagaimana kalau salah satu dari sekian banyak anak buah Yeom Jong masih berkeliaran di sini? Nam Gil akan mengantar saudari kembarmu, dan ia mempercayakanku untuk mengantarmu. Jadi tolong, jangan menolak lagi...” pinta Yong Soo. Yang lain sudah mulai meninggalkan ruangan dan pulang.

”Baiklah,” jawab gadis itu akhirnya. Sinar matanya terlihat meredup, lalu kembali bercahaya saat tersenyum. ”Terimakasih,” jawabnya, akhirnya.

Dalam perjalanan pulang kali itu, aku tidak banyak bicara. Yo Won juga diam saat memeluk pinggangku. Baru kali itu motorku kukendarai dengan hati-hati, tidak secepat biasanya. Ini hari yang panjang untuk semuanya, dan untuk Yo Won juga, karena itu, aku tidak mau membuatnya ketakutan di atas motorku.

Tidak ada kata apapun yang keluar dari bibirku. Aku hanya mampu mengangguk saat mendengar ucapan terimakasih darinya. Rasanya melihat punggungnya bergerak memasuki rumahnya, membuat setumpuk beban di dadaku menguap bagai diserap cahaya matahari. Mungkin aku harus menjaga jarak dengannya. Lebih jauh lebih baik. Tanpa aku, hidupnya tidak akan sekacau ini, tidak akan sebahaya ini.

Yong Soo berdiri diam di atas motornya, juga mengamati Ye Jin yang melambai pelan sebelum masuk ke rumahnya. Ia menatapku, dan kurasa, ia juga memikirkan hal yang sama denganku. Dua gadis itu terlalu banyak terlibat dalam masalahku, dan tidak seharusnya demikian.


--to be continued—

Fanfic The Future and the Past 25

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TWENTY FIFTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Alcheon: Lee Seung Hyo (memakai nama asli di FF)
Kim Yong Soo : Park Jung Chul(nama asli): Jung Yong Soo (nama di FF)
Bakui: Jang Hee Woong (memakai nama asli di FF)
Ho Jae: Go Yoon Hoo (memakai nama asli di FF)
Desi : Uhm Dae Chi
Karinna: Kim Rae Na
Shendi: Han Shin Woo
Yeomjong (tetap memakai nama ini)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

Baru saja beberapa detik yang lalu aku merasa cowok itu begitu banyak memiliki kelebihan. Baru saja aku merasa ia boleh juga, dan kini semuanya buyar. Bisa-bisanya seseorang terlibat hal semacam itu!

”Siapa yang meneleponmu?” tanya Dae Chi sambil menatapku dengan alis berkerut. ”Dan bagaimana caramu menghubungi Kim Nam Gil itu?”

”Oke, aku punya nomor teleponnya, dan sekarang bukan waktunya untuk itu. kau mau dengar kelemahan cowok itu? Dia punya banyak musuh. Jadi pacarnya sama saja dengan membuang hidupmu ke selokan...”

”Bicaramu keterlaluan sekali...” Dae Chi pura-pura tidak mendengarkanku dan mulai menghabiskan es krimnya. ”Apa sih yang terjadi?”

”Sekolahku diserang preman, tahu!! Atau mungkin, mafia? Dan mereka minta Kim Nam Gil segera datang. Kalau tidak, semua properti sekolah akan dihancurkan! Bahkan beberapa siswi sudah mulai ditakut-takuti!” ujarku sambil dengan panik mencari nomor hp cowok itu di ponselku.

Astaga, aku menyimpan nomornya dengan nama apa? Bukan Kim Nam Gil, bukan cowok aneh. Aduh, sudahlah, entah kenapa, kok aku malah menghafal nomornya? Oke, 099... yap, tersambung.

”Kim Nam Gil?!” rentetan kalimat meluncur dari bibirku. ”Ini aku, ya, kau tahu siapa aku. Sekolahku diserang preman. Kata Ye Jin, utusan Yeom Kong, Jung, atau apalah itu... dan ia tidak akan berhenti merusak sekolahku sampai... halo? Halo?”

”Kenapa?” tanya Dae Chi lagi. Kali ini tangannya sudah menggapai gelasku, membantuku menghabiskannya. Terimakasih, karena nafsu makanku memang sudah hilang.

“Cowok itu mematikan handphonenya! Uuh! Awas dia! Sudahlah, aku pergi saja ke sana!”

“Yo Won! Jangan mencari masalah, dong!” Dae Chi mengeluh sambil buru-buru mengelap bibirnya dengan tissu. ”Kau bilang cowok itu emosian, tidak sadar dengan dirimu sendiri? Ayolah, kutemani!”

”Tunggu! Dae Chi, pintu keluarnya di sa...” sebelum sempat berkomentar lebih jauh, ia sudah jatuh bertabrakan dengan seorang gadis yang berambut sebahu dengan pakaian modis.

“Aduh...” keluh keduanya. Aku memandang gadis itu dengan pandangan tidak percaya. Ia ganti memandangku dan Dae Chi.

”Aaaahh!!” jerit kami bertiga berbarengan, tetapi tetap saja Dae Chi paling heboh sendiri. ”Tidak mungkin! Tidak mungkin!!” ujar Dae Chi sambil geleng-geleng kepala dengan pandangan takjub.

”Dae Chi! Dan kau, Yo Won kan? Astaga, kalian tidak jauh berubah ya...” gadis itu mendecak kagum dan memandang kami bergantian. ”Astaga! Masih ingat denganku, kan?”

Kim Rae Na, sempat menjadi teman sebangkuku., dan ia duduk tepat di antara aku dan Dae Chi. Kami sempat bersama beberapa saat setelah Dae Chi pindah ke Amerika. Namun sejak pisah SMP, aku sudah tidak pernah lagi mendengar kabarnya.

”Tentu saja ingat, Kim Rae Na...” aku membalas pelukannya, kami saling memeluk untuk beberapa saat lamanya. ”Tapi, sekarang bukan saatnya untuk nostalgia begini... Ada masalah di sekolahku, aku harus ke sana sekarang juga...”

ia memutar bola matanya, ”Baru ketemu sudah harus pisah? Hh... oke, aku ikut denganmu. Sekalian main ke sekolahmu... ayo!! Kebetulan, memang waktuku lagi kosong, teman baikku baru saja pulang ke apartemennya...”

Dalam hati aku terus mengulang satu kalimat. ”Tunggu saja sampai kaulihat keadaan sekolahku, kurasa kau akan berhenti mengira aku datang ke sana untuk bermain...”


─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

“Tidak boleh!” larang Yoo Jin dengan matanya yang bulat besar. Ia dengan cepat merebut handphoneku dan mematikannya. ”Yeom Jong lagi? Mama sudah menyelidikinya. Dan ia memerintahkanku untuk melarangmu pergi kalau mendengar namanya…”

“Yoo Jin, kali ini masalahnya sangat gawat!”

”Pokoknya tidak boleh! Justru karena itu, keadaanmu bakal lebih parah!” ulangnya dengan nada lebih tegas. “Lagipula, aku belum mengobatimu. Mukamu masih babak belur, dan aku tidak bisa melihatmu lebih bonyok lagi daripada ini…”

“Begini Yoo Jin. Itu kan sekolahmu juga, kau lebih suka melihat sekolahmu hancur daripada lukaku? Luka ini belum seberapa, Yoo Jin… tinggal tambah beberapa goresan dan aku akan pulang…”

“Kak, jelas aku lebih suka lapanganku bolong-bolong daripada melihat badanmu yang bolong-bolong. Tidak ada komentar…” ia mulai menggosokkan beberapa obat ke wajahku, memintaku duduk tenang dan diam.

“Yoo Jin…” di pikiranku, wajah gadis itu terus terbayang. Bagaimana perasaannya saat melihat sekolahnya hancur karena seorang tidak dikenal sepertiku? ”Sudah, hentikan. Kau setuju atau tidak, aku pergi!!” ujarku sambil mencengkeram pergelangan tangannya.

“Kak, jangan! Nanti keadaanmu tambah parah!!” serunya. Ia berlari mengejarku bahkan terus melarangku pergi saat motor sedang kuhidupkan. Entah motor siapa yang ada di rumah ini, aku akan mengembalikannya nanti.

”Kalau kau cemas, doakan saja keselamatanku!” ujarku sambil memasang helm. Sekejap kemudian, motorku melaju bagai terbang. West High school seharusnya tidak jauh. Kuharap tidak terjadi apa-apa di sana sebelum aku tiba!



─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“Ya ampun! Ini sih parah sekali!!” keluh Dae Chi dan Rae Na. Mereka bersembunyi di semak-semak dekat gerbang sekolah, tepat di sampingku. Aku ikut mengintip, dan bahkan keadaannya jauh lebih kacau daripada perkiraanku.

“Lepaskan!!” teriak seorang gadis. Suaranya tidak asing. Gawat! Itu kan teman sekelasku, Han Shin Woo... aduh! Bisa-bisanya dia piket bersihin ruangan guru di hari sesial ini. Ya ampun! Aku hanya bisa menutup mata dengan takut.

“Lepaskan dia!” gertak Kak Seung Hyo. Ia muncul masih memakai seragam karatenya, lalu dengan beberapa pukulan, ia berhasil merebut perhatian pria preman itu dan menyuruh Han Shin Woo lari. Sialnya, gadis itu malah lari ke arah kami.

“Hei! Ada juga beberapa di sana! Ayo kita tangkap saja mereka! Sudah lama aku tidak main-main sama wanita!” ujar mereka bergantian. Spontan, sekaligus empat pria mengejar kami.

”Jangan kurang ajar, ya!!” Dae Chi dan aku maju lalu menendang alat vital mereka. Tendanganku masuk, namun Dae Chi gagal. Dan kemudian, yang lainnya dengan cepat sudah membekuk kami dari belakang.

”Gadis yang tengah itu!” umpat seorang preman yang kena tendanganku tadi. ”Dia.. harus dibereskan duluan...!!” keluhnya sambil mengernyit kesakitan.

Aku mulai berkeringat dingin saat mata-mata mesum itu memandangku. Jantungku berdegup kencang saat salah satu tangan mereka menyentuh pipiku. ”Dia cantik, tapi seperti kuda liar...” oceh yang lain, lalu mereka tertawa menjijikkan.

”Yo Won...” Dae Chi dan Rae Na sudah pucat setengah mati melihat keadaanku.

Aku ingin sekali pergi dari situasi seperti ini dan menolong mereka, tapi tidak bisa. Tanganku dicengkeram di belakang seperti kedua temanku. Dan pria di depanku menatapku seperti akan menelanku bulat-bulat.

“Mungkin dia masih belum pernah disentuh laki-laki!!” ujar lainnya, lalu maju mendekatkan muka padaku.

Aku menghindar dan meludahi wajahnya. ”Cuih!”

”Brengsek!!” umpatnya lalu menamparku. Sangat kencang. Dan panas. Saking pedihnya, kurasa sudut bibirku berdarah. Mataku sakit, dan terasa panas. Rae Na dan Dae Chi sudah mulai tersedu di sampingku, begitu pula Shin Woo yang tadi gagal melarikan diri.

Kau tidak akan menangis. Aku tidak akan menangis... biskku dalam hati. Tidak akan! Untuk makhluk serendah mereka! Kedutan di sudut bibirku terasa semakin panas dan menyakitkan. Menyakitkan. Dan gelegak rasa marah dan malu membuat mataku terasa panas...

”Kau mau menangis, hah? Rasanya tamparan saja masih kurang untukmu!!” ujar pria yang tadi kutendang.

Kondisinya sudah lebih baik sekarang, ia sudah mulai bisa berdiri. Ditatapnya aku dengan pandangan menusuk, dan tangannya maju untuk memukulku. Secepat ayunan tangannya, secepat itu pula kututup mataku, menantikan rasa sakit yang akan datang ke pipiku lagi. Tetapi, rasa sakit itu tak kunjung muncul.

”Cuma pria brengsek yang tega memukul wanita!” ujar seorang pria. Tangannya memelintir lengan pria yang bermaksud memukulku sampai pria itu mengaduh kesakitan dan memohon ampun. Tiga temannya, Hee Wong, Yoon Hoo, dan Yong Soo membantunya berkelahi melawan pria lainnya, membebaskan teman-temanku.

Aku mengangkat wajah dan melihat sosok yang tanpa sadar begitu kunantikan kedatangannya. ”Kim Nam Gil,” desisku sambil menahan nafas.

”Kau tidak apa...” ucapannya terpotong saat melihat ke arahku. ”Astaga,” serunya sambil memandangku. ”Maaf...”

”Tidak apa, terimakasih ya...” ucapku sambil melihat pergelangan tanganku yang memerah karena dicengkeram begitu kuat. Rupanya aku memberontak cukup kuat tadi.

”Aku terlambat, maaf...” ia memandang tanganku dan pipiku. Perhatiannya membuat dadaku terasa sesak dan sekaligus hangat. Rasanya ada sesuatu yang mau meledak dari jantungku melihatnya memandangku dengan tatapan penyesalan.

”Apa sih yang kau katakan? Seharusnya, aku berterimakasih, kau menolongku...” senyumku sambil menutup pipiku dengan tanganku.

”Yo Won nekat, sih...” tukas Rae Na sambil sesunggukan. ”Aku... coba aku juga berani seperti Yo Won...” keluhnya, lalu teman Kim Nam Gil, Yoon Hoo, mengulurkan sapu tangan padanya.

”Coba kulihat sebentar...” ia mengangkat tangan yang menutupi pipiku dan menatapnya dengan saksama. Bola matanya begitu dalam dan teduh, membuat debaran jantungku begitu kuatnya seperti memukul-mukul dadaku.

”Aku tidak apa-apa kok!” kupalingkan wajahku dengan cepat. Rasanya pipiku panas sekali kalau ia menatapku seperti itu.

”Bisa nggak, kau tidak usah pura-pura kuat? Lihat temanmu, mereka saja sudah jantungan melihatmu! Lee Yo Won, aku tahu, kau tangguh, berbeda dari gadis lain, dan sangat berani. Tapi, lain kali aku tidak mau melihatmu nekad begini!” perintahnya sambil memegang kedua pipiku, memaksaku menatap matanya langsung.

Aku mengangguk, berusaha menarik nafas sewajar mungkin. Rasanya sangat sulit mengumpamakan perasaan saat ini dengan kata-kata. Entahlah, rasanya menarik nafas pun jengah sekali. Entah bagaimana perasaannya juga saat ini.


─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─


”Kau perempuan,” bisikku. Rasanya dadaku sakit seperti dihantam saat melihat memar merah di wajahnya. Apakah rasanya sakit ketika aku menyentuhnya?

“Dan kau, butuh pelindung. Tidak selamanya kuat sendirian. Saat itu, laki-laki yang akan melindungimu, bukan dirimu sendiri. Paham? Sekarang, ayo, kita ke UKS untuk mengobati pipimu...”

Kutatap memarnya lagi, dan kurasakan amarah membara begitu kuatnya di dadaku. Anak buah Yeom Jong. Mereka benar-benar bajingan! Bisa-bisanya menyakiti seorang gadis seperti ini!

”Terimakasih,” senyumnya, dan saat itu dadaku terasa sakit nyaris seperti ditikam. Entah perasaan apa yang menggerakkanku sampai saat itu juga kakiku dan tanganku bergerak maju memeluknya, dan sejurus kemudian, ia sudah menangis dalam pelukanku.

Lee Yo Won bukan seorang wanita biasa, pikiranku mengatakan demikian. Bahwa ia berani dan tangguh, dan saat ia lemah, aku akan maju untuk melindunginya.

Entah bagaimana, instingku menyatakan demikian. Naluriku, pikiranku, otakku, semuanya meyakinkanku untuk melindunginya, memastikannya aman. Seperti sekarang. Seperti ketika ia berada dalam pelukanku.


--to be continued--