-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TWENTY THIRD SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Young Mishil: UEE: Kim Yoo Jin (Mishil legal daughter)
Mishil: Mishil: Go Hyun Jung (memakai nama asli di FF)
Desi : Uhm Dae Chi
Tita: Park Ri Chan
Bo Jong : Baek Do Bin : (memakai nama asli di FF)
Yeomjong (tetap memakai nama ini)
Seok Pum: Hong Kyung In (memakai nama asli di FF)
lady Ma Ya (King Jinyeong's wife) : Yoon Yoo Sun (memakai nama asli di FF)- Yo Won and Ye Jin mother.
Lady Man Myeong : Im Ye jin : as Kim Nam Gil and Uhm Tae wong mother
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
─Lee Yo Won, Seoul, 2008─
“Yo Won,” Kak Tae Wong menyentuh pundakku pelan. Aku menoleh, melihat matanya yang dipenuhi sorot cemas.
“Ya?” tanyaku, masih dalam keadaan terpukau. Cowok aneh yang biasa muncul dengan pakaian kasual itu benar-benar terlihat berbeda malam ini. Dan mataku tampaknya belum puas menilainya.
“Kita ke tempat Mamaku, sekarang… “ bisik Kak Tae Wong. Lalu tanpa aba-aba apapun, ia pergi menerobos kerumunan yang masih terpaku pada tiga sosok rupawan itu.
”Loh? Dia kemana?” tanya Dae Chi bingung. Setengah linglung, kuseret Dae Chi berjalan bersamaku, menerobos kerumunan. Kukira, perasaan cemas Kak Tae Wong agak terlalu berlebihan.
”Entahlah,” jawabku sambil terus mencari sosok mamaku. ”Kuharap apa yang dia kira akan terjadi tidak terjadi...” kurasakan betapa kacaunya kalimatku, terlebih dahi Dae Chi berkerut bingung, namun mengangguk mengikuti jalanku yang kupercepat.
Tepat saat aku tiba di tempat Mamaku, wajah Kak Tae Wong sekaku patung saat bertatapan mata dengan Kim Nam Gil.
”Hai,” sapa Kim Nam Gil saat melihat kedatanganku. Aku tersenyum membalas.
Berapa lama tidak melihatnya ya? Terakhir kali melihatnya, ia masih sama tinggi dengan Kak Tae Wong. Dan sekarang? Ia sudah bertumbuh, dan lebih tinggi dari kakaknya. Atau mungkin, mantan kakaknya.
”Kau diundang kemari juga?” ia bertanya sambil menatap penampilanku. Aku mengangguk pelan dan tersenyum. Kurasa tidak baik kalau kami terlalu terlihat akrab. Apalagi suasana di depan kami jauh dari kata ramah.
”Hai, lama tidak bertemu bukan, Yoo Sun, Ye Jin?” tanya wanita cantik itu ramah. Aku melihat wajah Mamaku tersenyum masam namun jelas, ia masih menampakkan sifat menghargai kedatangan artis terkenal ini, Go Hyun Jung,
”Kau tidak senang dengan kedatanganku, Ye jin?” tanya Go Hyun Jung sambil menatap Mamanya Kak Tae Wong.
Sudut bibir wanita itu berkedut-kedut, tampaknya siap melontarkan amarah kapan saja. Kak Tae Wong maju dan membisikkan sesuatu pada Mamanya, dan selintas wanita itu kembali terlihat lebih tenang.
”Sejak kapan kita tidak bertemu?” tanya Mamaku sambil memeluk Go Hyun Jung. ”Sejak kau terkenal, kita jadi jarang kumpul untuk makan bersama. Bukankah demikian, Yoo Sun?” jelas sekali Mamaku berusaha mencairkan suasana, namun dampaknya malah terbalik.
”Kau mau mengadakan acara? Silahkan saja, aku tidak akan datang kalau kau mengundangnya...” kalimat tajam dengan jelas keluar dari bibir Mamanya Kak Tae Wong.
Aku terpaku memandang sekeliling. Bisik-bisik tidak sedap mulai berseliweran. Habis sudah. Situasi semacam ini jelas sangat tidak menyenangkan. Dalam hati, aku sudah mulai menghitung mundur, apakah peristiwa adu jambak akan dimulai, atau tidak.
─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─
Mengapa wanita gemar sekali mencari masalah? Hal itu terus berputar di otakku. Seharusnya ya, di tempat yang lebih baik, semua pembicaraan akan berlangsung lebih baik. Tapi, bukan di tempat seperti ini.
Yo Won terlihat bergerak dengan gelisah di sampingku. Temannya yang tidak kukenal, mengamati ke kiri dan ke kanan, jelas tidak suka dengan situasi semacam ini. Dan ketegangan nyaris mencapai titik puncak. Asal ada satu yang salah bicara, semua akan meledak.
”Biar bagaimana pun, aku tidak datang untuk bertengkar,” Go Hyun Jung─atau mungkin seharusnya aku membiasakan diri memanggilnya Mama─maju dan mengulurkan tangannya ramah. ”Aku datang untuk mengucapkan terimakasih, karena sekian tahun ini kau sudah menjaga putraku dengan baik...”
Dalam kalimatnya yang lembut tersirat suatu sindiran. Jelas, Go Hyun Jung tidak mengucapkan terimakasih karena telah mendidikku, karena tidak pernah terjadi demikian. Dan menjaga? Jelas ya, karena seluruh lebam di tubuhku membuktikannya. Ia menjaga dengan baik setiap kelakuan dan perkataanku.
”Kau tidak perlu menyalamiku!” mantan Mamaku, atau mungkin kusebut, Yoo Sun, memukul tangan Mamaku dan mengumpat sambil menunjuk. ”Kau tidak perlu memperlihatkan batang hidungmu lagi! Karena sekalipun kau bersujud, menyembahku, atau apapun itu, Soo Jin tidak akan pernah kembali padaku!!”
Dalam otak, aku langsung mencatat nama itu Soo Jin. Soo Jin tidak akan pernah kembali padaku. Mungkin nama itu ada kaitannya dengan penyebab diriku disebut sebagai pembunuh olehnya.
Mama Tae Wong menunjuk dengan marah ke hadapan keluargaku. ”Dan kau!” ia menunjuk ke arahku. Dengan angkuh, kubalas tatapan marahnya yang terlihat sangat tidak terpelajar. ”Kau jangan pernah pulang ke rumahku lagi...”
Suaraku terdengar begitu parau saat menjawab, ”Sejak kecil, aku tidak pernah menganggap tempat itu rumah...”
”Kau!!” Kak Tae Wong maju dan mencengkeram kerahku. Aku menatap matanya dengan tajam. Kini setelah tubuhku lebih tinggi darinya, perasaan rendah diriku sudah menghilang. Dan tidak ada perasaan apapun saat menatap keluarga itu.
”Hai, Kak,” sapaku sambil menepis tangannya. ”Kurasa pendapat kita tidak jauh berbeda, bukankah berkelahi di sini sangat memalukan? Kau tentukan tanggalnya, aku siap melayanimu. Tapi, tidak di sini...”
”Kau anak tidak tahu terimakasih! Katamu apa, kau sudah kami rawat belasan tahun!!” umpatnya sambil mendorongku.
Yo Won menutup matanya melihat tubuhku bergerak ke arah makanan, dengan cepat, kuputar langkahku, dan ganti menubruk Tae Wong. Kali ini ia jatuh menabrak beberapa piring.
”Kau harus mengkoreksinya,” ujarku dingin. ”Kalian merawatku sampai usiaku empat tahun dan memindahkanku ke asrama. Sesudahnya, aku ke Amerika, membiayai hidupku sampai usiaku 18, dan di keluarga itu, kalaupun ada orang yang kuhormati, orang itu cuma Papa. Bukan kau, bukan wanita itu.”
Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan. ”Aku berterimakasih, Ma, karena kau tidak membunuhku saat aku masih kecil. Dan aku berterimakasih karena sekalipun benci padaku, kau masih meminta babysitter menyuapkan makanan ke mulutku...” kurasakan keteganganku perlahan mencair seiring kalimat terakhir yang kuucapkan. ”Dan untuk semua jasamu yang mungkin kulupakan, terimakasih...”
Aku menahan diri untuk tidak maju menghampirinya, karena aku tahu ia akan mendorongku dengan penuh rasa dendam. Dan kurasa, untuk saat ini, ini lebih dari cukup. Kupalingkan wajahku ke arah Yo Won dan tersenyum. Lalu ke arah keluargaku. ”Ayo kita pulang, tidak baik terlalu lama berada di sini...”
─Lee Yo Won, Seoul, 2008─
Aku masih setengah melamun di toilet sambil membasuh mukaku. Rasanya kejadian barusan, semua seperti cuplikan adegan film. Walau dari awal sampai akhir keluarga Kim Nam Gil berada pada posisi tidak menguntungkan, jelas kalau merekalah pemenangnya. Mereka datang dan pergi dengan elegan.
Dan keluarga Kak Tae Wong? Rasanya aku jadi iba saat mengingat kejadian tadi. Pasti Kak Tae Wong merasa sangat malu, jatuh dan menubruk piring-piring itu.
”Kasian sekali ya, cowok keren tadi...” desah Dae Chi. Ia tersenyum mengulurkan tissu padaku. ”Dan Kak Tae Wong juga,” keluhnya. ”Tapi mungkin memang tidak seharusnya ia maju dan menarik kerah baju si tampan. Eh, siapa namanya?”
”Kim Nam Gil,” jawabku sambil mengusap wajahku dengan tissu. ”Kau merasa dia tampan?” tanyaku, pura-pura bodoh.
”Cuma wanita tolol yang merasa dia tidak menarik. Hmm. Malam ini bakal mimpi indah, bertemu dua cowok tampan sekaligus...” ia bersorak senang sambil mengutak-atik hp-nya. ”Dan aku juga sudah dapat nomor handphone Kak Tae Wong,” gumamnya sambil tertawa cekikikan.
”Oh ya? Gila, cepat sekali gerakanmu!!” seruku kaget, melihat nama Kak Tae wong tercantum di handphonenya.
”Taktik lama, dan seperti biasa, berhasil...” guraunya. “Aku tanya boleh pinjam handphone tidak, karena handphoneku tertinggal di kamar dan aku tidak tahu bagaimana harus menghubungi orangtuaku, dan ia meminjamkan dengan polosnya. Yah, ku-miss call saja ke handphone ini. Hahaha... yipee.. dan si tampan tadi, aa… aku juga ingin nomornya…” ia mulai mendesah lagi.
“Dasar, kau tidak lihat keluarganya tadi? Aah, aku saja tidak tahu apa tanggapan Mamaku nanti...” dalam dadaku, timbul perasaan superior karena aku memiliki nomor handphone Kim Nam Gil juga.
”Yang jelas, si Kim Nam Gil itu, kurasa ia yang nasibnya paling menyedihkan...” Dae Chi mulai bergaya menguruiku. Aku mengangguk mengikuti petuahnya. ”Tapi Tuhan kasihan padanya, sehingga ia diberikan sejumlah kelebihan fisik seperti itu...”
”Kurasa begitu juga dengan kelebihan nonfisiknya...” gumamku, lalu buru-buru menambahkan, ”Yuk, kita makan bareng! Sudah lama tidak bertemu!”
Sialnya, Dae Chi keburu mendengarkan gumamanku. ”Apa? Apa maksudmu dengan kelebihan nonfisiknya?! Ayo, cerita!!”
”Tidak mau!” erangku, berlari keluar dari toilet, namun Dae Chi keburu menangkapku. ”Aduh, sudahlah, aku malas cerita nih!!”
”Bagaimana kalau kutraktir parfait ice cream kesukaanmu!!”
”Ukuran besar?” tanyaku.
”Ya, ukuran besar!!”
”Oke, tapi sebagian saja ya...”
”Semuanya!!!”
”Aaaahh!!! Baiklah! Lagipula, aku memang sedang membutuhkan teman curhat!”
─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─
”Aku turun di sini saja,” ujarku ketika mobil kami melewati kawasan pertokoan. ”Ada janji bertemu teman di sini...”
”Baiklah, tolong berhenti, pak...” perintah Go Hyun Jung pada supir kami. Lalu, ia berbalik menatapku. ”Kapan kau akan pindah ke rumahmu?”
”Yang jelas, bukan dalam waktu dekat,” jawabku sambil melepaskan dasi dan jasku. ”Terimakasih, aku pergi dulu!”
”Nam Gil!” panggil Go Hyun Jung. Aku terpaku sejenak, merasakan sensasi aneh di dadaku karena ia memanggil namaku dengan begitu lembutnya. “Jangan terlalu lama merepotkan orang lain, rumahmu ada di sini, pulanglah secepatnya…”
“Aku juga menunggumu, Kak…” ujar Yoo Jin sambil tersenyum sendu.
Aku mengangguk sambil menatap wajah-wajah mereka, wajah keluargaku, wajah dari sosok yang ingin kulindungi, mulai sekarang dan seterusnya.
“Yoo, di sini yoo!!” panggil Sung Pil dari jauh. Aku berlari menyeberang jalan dan menghampirinya di lorong samping sebuah pertokoan, maksudku, kawasan diskotik.
“Ada apa memanggilku kemari?” tanyaku. Jelas, aku sangat menghindari tempat semacam ini. Aku tidak menyukai perjudian, rokok, dan minuman keras.
”Katamu kau penasaran, bagaimana rupa Baek Do Bin bukan? Akan kutunjukkan, yoo... Tapi pelan-pelan,yoo... Soalnya ada Yeom Jong juga, yoo...” bisiknya hati-hati. Aku mengangguk dan mengikuti langkahnya memasuki tempat itu melalui jalan belakang.
Suasana diskotik itu sangat ramai dan berisik. Dan lampu disko menyapu seluruh ruangan itu. Namun, jelas kalau ini bukan diskotik sembarangan. Penataan arsitekturnya sangat tidak biasa, dan terlihat cukup elit.
”Ini pasti tempat para bos mafia berkumpul,” bisikku.
”Ya, hebat kalau kau tahu, yoo...” Sung Pil menunduk dan berjalan melewati para wanita yang tersenyum pada kami sambil terus menari dan meliukkan tubuh.
Kami berhenti tidak jauh dari tempat bartender berada, lalu berjalan ke pojok ruangan yang sama sekali tidak terkena cahaya.
”Kau lihat, ada Yeom Jong di sana...” ia menunjuk ke depan, dan mengikuti arah jemarinya, aku melihat pria itu memandang dengan tatapan aneh ke seorang wanita. ”Dan di sebelahnya, yang duduk mengangkat kaki ke meja, itu Baek Do Bin. Dan itu tunangannya, seorang wanita anak pengusaha kaya, gadis baik-baik, dan Do Bin selalu menjaganya dari siapapun...”
”Pria berbadan tegap dan berbaju merah maroon itu?” tanyaku sambil menunjuk dengan gerakan wajahku. Terlihat sekali kalau ia sangat berkuasa, dan wanita di sebelahnya, tampak pucat dan takut, dengan terpaksa duduk di sampingnya, tidak berani lebih jauh. Do Bin memandangnya dengan pandangan penuh perhatian.
”Nama wanita itu siapa?” tanyaku. ”Kenapa kelihatannya Yeom Jong mengincarnya?”
”Namanya Park Ri Chan, yoo... Kau sangat jeli, Nam Gil. Do Bin jelas sangat protektif, namun dari awal, Yeom Jong mengincar wanita itu, yoo.... Dia memang mudah menyukai wanita cantik, yoo...”
”Dasar hidung belang,” umpatku sambil menghembuskan rahang kuat-kuat. ”Oke, thanks infonya, Sung Pil. Sekarang, sebaiknya kita pergi dari sini. Sebelum anak buahnya memergoki kita!”
”Kurasa, tidak secepat itu, penghianat...” ujar seseorang. Begitu melihatnya, wajah Sung Pil langsung pucat pasi. Pria itu adalah Hong Kyung In. Anak buah Yeom Jong yang satu lai. Tipe pecundang yang kubenci.
”Semuanya!!! Coba lihat, ada siapa di sini!!!” ia muali berteriak. Aku menatap sekeliling dengan kesal. Rasanya sejak datang ke Korea, nyaris tiap hari aku berkelahi. Sialan! Apa lagi omelan Guru Jung nanti!! Hah! Sudahlah! Apa boleh buat!
”Serang mereka!!” perintah Yeom Jong. Tawa liciknya meledak melihat posisiku dan Sung Pil terjepit.
”Ingatkan aku untuk melatihmu taekwondo nanti,” ujarku pada Sung Pil.
”Kalau aku masih hidup, yoo!!” serunya galak. Ia lalu mengepalkan tinjunya yang semula gemetar.
”Kau akan hidup, selama kau tidak berada jauh dariku. Kita mulai pada hitungan ke tiga...” bisikku. Kami sama-sama menarik nafas, dan pada hitungan ketiga, kami menyerbu maju.
--to be continued--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar