Senin, 03 Mei 2010

Fanfic The Future and the Past 17

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
SEVENTEENTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Bakui: Jang Hee Woong (memakai nama asli di FF)
Kim Yong Soo : Park Jung Chul(nama asli): Jung Yong Soo (nama di FF)
Ho Jae: Go Yoon Hoo (memakai nama asli di FF)
San Tak: Kang Sung Pil (memakai nama asli di FF)
Lady Man Myeong : Im Ye jin : as Kim Nam Gil and Uhm Tae wong mother
Kim Seo Hyun : Jung Sung Mo: Kim Sung Mo (as Kim Nam Gil and Uhm Tae Wong father)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“Dia tidak apa-apa?” Tanya Yoon Hoo pada Sung Pil. Pria gemetaran itu tidak bisa menjawab apapun. Tangisnya semakin keras. Ia sangat takut melihat darah Nam Gil memenuhi seluruh bajunya.

“Mana bisa dia baik-baik saja!!” gerutuku. ”Seharusnya kalian lebih menjaganya!!”

”Kenapa bisa kebetulan sekali?” ujar Yoon Hoo setengah menggumam dan menatapku yang hanya mengenakan piyama. ”Maaf ya merepotkanmu...” sambungnya.

”Kau harus melihat keadaannya...” ujarku sambil melihat ke arah petugas ambulans yang sibuk menaikkan cowok itu ke atas mobil. ”Aku tidak bisa mengantar...”

”Baiklah, tentu saja... Istirahatlah. Salam untuk keluargamu, dan sekali lagi, terimakasih... Selamat malam” ia mengangguk sopan ke arah Mamaku yang masih berdiri di ambang pintu lalu mengenakan helmnya dan naik ke motornya.

”Ya, tentu saja... akan kusampaikan... Selamat malam...” jawabku, lalu memasuki pagar dan menguncinya. Aku masih bisa melihat Sung Pil melambaikan tangan ke arah rumah kami, menyusul ambulans itu ke rumah sakit. Sampai mobil ambulans itu pergi, aku masih terus menatapnya.

”Yo Won? Kau yakin mereka temanmu? Kenapa seperti berandalan sih?” tanya Mama sambil berkacak pinggang.

”Mereka bukan berandalan. Hanya saja, ada orang yang mau mencari gara-gara dengan mereka...” jawabku, berusaha menjelaskan tanpa terdengar berbohong. Tapi, rasanya tidak ada yang salah dengan kalimatku. Kurasa, Kim Nam Gil bukan tipe pencari masalah, aku tahu itu.

”Oh ya? Sejujurnya, wajah mereka lumayan juga... Dan yang naik motor itu juga, pokoknya secara keseluruhan, asalkan penampilan mereka tidak begitu...” Mama terdiam sebentar lalu menatapku. ”Sampai kapan mau berdiri di jendela? Ayo, masuk, tidur!”

”Ya,” sahutku sambil beranjak pergi. Mama menatapku dengan wajah heran. ”Kenapa Ma?” tanyaku.

”Kau menangis?”

”Eh? Ti-tidak,” bantahku. Tapi, ketika tanganku kuulurkan ke wajah, ternyata ada setetes air mata di sana. Loh? Tapi...kapan?

”Anak muda pingsan itu pacarmu?” tanya Mama dengan pandangan penuh selidik.

”Kim Nam Gil pacarku? Ya Tuhan, gak salah, Ma?”

Bahkan dalam mimpi aku tidak pernah membayangkan jadi pacarnya. Eh, tapi tidak juga. Bagaimana dengan kilasan-kilasan aneh itu. Apa itu masuk hitungan?

”Loh? Wajahmu memerah? Siapa namanya tadi? Kim Nam Gil?”

”Aah.. sudah deh, Ma! Cukup! Aku mau tidur...” dengan cepat kunaiki tangga dan berlari ke kamarku.

Rasanya kejadian barusan benar-benar tidak nyata. Bagaikan penggalan kejadian aneh. Namun, semalaman aku tidak bisa tidur. Otakku penuh dengan kekhawatiran akan keadaannya. Apakah ia baik-baik saja?


─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

Udara di depanku terasa dipenuhi aroma obat-obatan dan bau yang kubenci. Aku berusaha bangkit dan duduk, dan secepat itu pula mataku terasa sakit oleh silaunya cahaya dan sekujur tubuhku terasa lemah sekaligus nyeri.

“Nam Gil?! Jangan bangun dulu, yoo!!” seru seseorang.

”Jangan bangun dulu, Nam Gil...” sahut yang lainnya. Aku menoleh ke arah suara itu. Suara yang tidak kusukai.

”Ya, tidurlah dulu...” kali ini terdengar suara Papa yang parau.

”Kak Tae Wong?” tanyaku, bingung. ”Pa?” Di sebelahnya berdiri Papa dan Mama. Tidak jauh dari mereka, Hee Wong, Yoon Hoo dan Yong Soo duduk berdempetan.

”Kenapa kalian di sini?” ujarku dengan suara dingin. Ketika kulihat penyebab rasa sakit di tangan kananku, kusadari tanganku penuh perban dan ditusuk oleh jarum-jarum infus.

”Kau kekurangan banyak darah, Nak...” ujar Papa sambil tersenyum getir.

Mama bahkan tidak bicara apapun. Ia juga tidak menatapku. Jantungku berdentam-dentam dengan keras, seolah memukul dan menyakiti dadaku. Bahkan walau keadaanku seperti ini, kenapa mereka tetap begini dingin?

”Kalau tidak ada yang berniat menyumbangkan darah untukku, cabut saja infus sialan ini!!” makiku sambil berusaha menjangkau infus itu dengan tanganku yang masih bebas.

”Nam Gil!!” seru Yoon Hoo tertahan. “Jangan! Itu bukan dari mereka! Itu darah Hee Wong!!” serunya.

Tanganku membeku di udara.

Apa? Darah Hee Wong? Kutatap wajah ketiga temanku dan Sung Pil. Memang, wajah Hee Wong terlihat lebih lelah.

Dan kenapa? Kenapa! KENAPA!?

”Sebegitu bencinya kalian padaku? Bahkan darah untukku berasal dari temanku?” tanyaku dengan suara parau.

”Nam Gil, bukan begitu....” Papa dan Kak Tae Wong maju dan mencengkeram bahuku. Tetapi kukibaskan tanganku, aku tidak sudi melihat wajah mereka.

”Kalau sejak awal memang membenciku, untuk apa melahirkan aku di dunia ini!? Untuk apa, hah?!!”?” tanyaku dengan nafas sesak. Ketiga temanku memandangku dengan pandangan kasihan.

”Kau! Untuk apa kau menyebut dirimu Mama kalau kau sejak awal tidak menginginkanku!?” KATAKAN!! KATAKAAANN!!!”

Kurasakan suaraku bergema di seluruh ruangan kamarku. Nafasku terasa naik turun, tenggorokanku sakit dan perih. Dan sudut mataku memanas. Tidak! Tidak di depan mereka!

”Karena... kau bukan anakku...” sahut wanita itu, akhirnya. Ia memandangku dengan sorot mata penuh kebencian dan dendam.

”Kau bukan anakku! Kau pembunuh! Kau pembunuh!!!!” jeritnya histeris. Kak Tae Wong memeluknya, namun ditolaknya. PaPa juga berusaha menenangkannya namun gagal.

”Kau dengar itu? Kau pembunuh!!” ia menudingku dengan tajam. ”Mana bisa aku berbaik hati pada seorang pembunuh yang numpang tinggal di rumahku! Kau bukan anakku! Kau bukan siapa-siapaku! PEMBUNUH! Kembalikan kakakku!!!” jeritnya, lalu menangis sejadi-jadinya.

”Mama!!” Kak Tae Wong memeluk wanita yang beberapa menit lalu itu masih kuanggap Mamaku. Jelas sekali kalau ia kesulitan menenangkan wanita itu. Lantas Papa datang dan memeluknya, membawanya pergi keluar dari ruanganku.

Aku terpana memandangi kepergian mereka. Rasanya semua yang dikatakannya membuat otakku hampir pecah. Aku… pembunuh?!

”Pem..bu..nuh...?” tanyaku dengan suara gemetar. Kuamati tanganku yang penuh perban. ”Aku... pembunuh...?” Tidak! Tolong katakan itu tidak benar! Aku bukan anaknya? Ini bercanda, kan?

”Bukan! Kau bukan pembunuh!!” seru Sung Pil menghampiriku.

”Betul, jangan dengarkan kata-kata mereka!!” sahut Hee Wong.

”Nam Gil, sebaiknya tunggu emosi mereka reda dulu, baru bicara baik-baik dengan mereka… Dengarkan apa masalah sebenarnya…” Yoon Hoo dan Yong Soo bergantian menasihatiku, tapi aku tidak mau mendengar lebih dari ini.

Kumpulan suara berkumpul di otakku, membentuk suatu kilasan lain yang tidak pernah kulihat sebelumnya.

Seorang wanita. Sorot matanya lembut sekaligus tenang. Dan ia memandangku dengan ekspresi yang sulit kujelaskan. Gaun ungunya berkibar-kibar dimainkan angin.

Ia menaikkan alisnya, dan berkata, ”Mengapa kau menyembunyikannya. Jika kau memperlihatkannya maka mereka punya bukti untuk membunuhku.”

Bibirku bergerak membentuk kalimat jawaban yang tidak kumengerti bagaimana caraku menjawabnya. Tapi kurasakan perasaan aneh bergemuruh di dadaku. Membunuhnya? Aku tidak ingin wanita ini─siapapun dia─mati.

” Hal ini terlalu kejam, bukan, ibu.” ujarku. Dan ia memandangku dengan tatapan kaget. Kurasakan jantungku berderak begitu ia berjalan mendekatiku, menyentuh pundakku, lalu di matanya, aku menemukan...

”Nam Gil!? Nam Gil?!” suara teman-temanku memompa kembali kesadaranku yang hilang. Kutekan pelipisku dengan jemariku, merasakan denyut menyakitkan di sana.

”Aku...tidak apa-apa...” jawabku, namun suaraku terdengar lemah. ”Hee Wong, makasih untuk darahnya, entah bagaimana aku bisa membalas kebaikanmu...”

”Bukan apa-apa, jangan cemas... Lagipula, aku dapat mie instan gratis tadi...” candanya. Aku tertawa kecil bersamanya, namun air mata menetes jatuh dari sudut mataku.

”Nam Gil...” ujar mereka berbarengan.

”Maaf,” aku tersenyum. ”Aku... butuh waktu untuk sendirian...” ujarku kaku.

”Telepon kami kalau kau butuh sesuatu...” ujar mereka lagi. Aku mengangguk dan bisa kulihat mereka berjalan pergi, keluar dari kamarku dan meninggalkanku.

”Kau tidak pergi?” tanyaku pada Sung Pil yang masih duduk manis di sofa kamarku.

”Aku akan menjagamu, sementara ini, hanya itu yang bisa kulakukan, yoo...” jawabnya.

”Terserah, sekarang aku mau tidur dulu...” ujarku sambil menarik selimut.

”Engg.. Nam Gil...?” tanyanya lagi.

”Ya?” sahutku tanpa bangkit dari tempat tidurku. Rasanya terlalu lelah bahkan untuk menatapnya. Terlalu banyak yang ada di otakku saat ini. Aku pembunuh. Siapa? Siapa yang kubunuh?

”Aku tidak tahu mereka benar keluargamu atau tidak, yoo...” ujarnya hati-hati, takut salah bicara. ”Tapi kurasa, kau bukan pembunuh yoo... aku tahu itu, yoo.....” sambungnya.

”Yaaah,” kurasakan seulas senyum mengembang di bibirku. ”Terimakasih...” sahutku lagi.

Kurasa, memang sudah saatnya aku tidak tinggal lagi di rumah sialan itu. ternyata mereka memang bukan keluargaku. Apa lagi yang bisa kuharapkan...?

Laki-laki tidak boleh menangis. Tapi, entah kenapa, air mataku mengalir begitu saja hari ini. Dimanakah Tuhan saat aku membutuhkannya? Dimanakah keluargaku sesungguhnya?


--to be continued--

Tidak ada komentar: