Senin, 03 Mei 2010

Fanfic The Future and the Past 15

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
FIFTEENTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
King Jinpyeong (Duk Man and Chun Myung's father) : Jo Min Ki: Lee Min Ki
lady Ma Ya (King Jinyeong's wife) : Yoon Yoo Sun (memakai nama asli di FF)
San Tak: Kang Sung Pil (memakai nama asli di FF)
Yeomjong (tetap memakai nama ini)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“Baru pulang, Yo Won?” Tanya Ye Jin ketika aku sedang melepaskan sepatuku dan meletakkannya di rak. “Cepat masuk, Papa dan Mama entah kenapa sedang bertengkar…” ujarnya.

Buru-buru kututup rak sepatu dan berjalan masuk ke kamar, mengganti baju dan turun ke ruang makan. Ye Jin menungguku di depan pintu. Ia menatapku ragu-ragu dan meletakkan jarinya di depan bibir, melarangku bicara.

Aku mengikuti arah pandangannya dan berusaha menguping pembicaraan di dalam.

“Berapa lama kau sudah bersama wanita itu?!” seru Mama dengan suara isakan tertahan.

”Demi Tuhan mengertilah Yoo Sun!! Harus kukatakan berapa kali?! Aku tidak ada hubungan apapun dengan Go Hyun Jung!!”

”Aku tidak percaya! Staffmu mengatakan kalau hubungan kalian berdua sangat dekat!!”

”Yoo Sun!! Kau boleh datang ke kantorku untuk bertanya langsung padanya. Aku tidak melakukan apapun dengannya. Cukup!! Dan aku tidak mau dengar pembicaraan semacam ini lagi!!”

Aku dan Ye Jin secepat kilat bersembunyi ketika langkah kaki Papa semakin mendekat. Tidak lama Papa keluar dan membanting pintu, diiringi Mama yang juga membanting pintunya. Rasanya kali ini mereka akan tidur di kamar terpisah lagi.

”Aaah.. wanita bernama Go Hyun Jung itu mengesalkan sekali, sihh...” keluh Ye Jin sambil menghempaskan tubuhnya di ranjang.

“Resiko pekerjaan,” jawabku.

Papa bekerja sebagai produser film dan tidak sedikit aktris yang menghubunginya, baik terang-terangan maupun diam-diam. Dan Go Hyun Jung termasuk dalam salah satu daftar artisnya. Wanita itu cantik, dan menarik meski usianya tidak lagi muda. Dan Papa? Ia memiliki karisma, dan uang, dan posisi. Tiga hal yang diincar wanita.

Sejujurnya, walaupun Papa bilang mereka tidak ada hubungan apapun, aku selalu saja curiga padanya. Bukan Papa yang kucurigai, tetapi wanita itu. walaupun Papa tidak mengincarnya, bagaimana kalau ia yang mengincar Papa? Aku tidak mau hal itu terjadi.

”Dan Mama selalu uring-uringan...” keluh Ye Jin lagi.

Aku mengangguk menyetujui. ”Sifatmu seperti Mama, kalau kau mau tahu...” sambungku. Ia tampak tidak senang dengan kalimatku, tetapi terpaksa memendamnya.

Aku lebih dekat ke Papa, dan sifatku didominasi sifat Papa. Sementara, Ye Jin selalu berada di dekat Mama, tidak heran kalau mereka sangat mirip. Apalagi, wajah Ye Jin memang lebih mirip Mama. Dan banyak yang bilang kalau wajahku lebih mirip Papa.

”Apa masalahnya akan semakin gawat, ya?” Ye Jin duduk di sudut ranjangnya dan bersender ke tembok. ”Aah... wanita itu mengesalkan! Pantas saja putrinya juga begitu!!”

”Tapi, keluarga mereka memang hebat, bukan?” tanyaku. Walaupun kalau harus kuakui, aku tidak menyukainya juga.

”Hei, ngomong-ngomong, siapa yang mengantarmu pulang?” tanya Ye Jin tiba-tiba.

”Ah? Aku? Diantar sama...” sejenak lidahku terasa kelu. ”Kim Nam Gil...”

”Oh ya? Waduh, dia mengantarmu!?” Ye Jin menatapku dengan pandangan tidak percaya. ”Dia kalau dilihat dari dekat ternyata tinggi dan tampan, ya?!”

“Benar,” akuku. “Dan permainan basketnya juga sangat hebat...”

”Ceritakan padaku soal itu!” pinta Ye Jin dengan mata berbinar-binar.

”Akan kuceritakan, asalkan kau juga cerita apa saja yang kau lakukan dengan Kak Yong Soo tadi...” ujarku sambil tersenyum curiga.

Sejenak wajah Ye Jin memerah sampai ke telinga. ”Tidak ngapa-ngapain... aku hanya mengajaknya dan teman-temannya berkeliling sekolah kita... dan kemudian, kami tukaran nomor handphone... Lalu ia menawarkan untuk mengantarku pulang, tapi, karena Hee Wong bilang ia masih mau menunggu Kim Nam Gil, akhirnya Kak Tae Wong yang mengantarku pulang...”

”Oooh ya? Wah, berarti dia memang tertarik padamu...?” tanyaku serius.

”Entahlah,” jawab Ye Jin sambil menoleh ke arah lain, jelas-jelas malas membahas hal ini lagi.

”Terus, kenapa kau pertama kali bertemu dengannya langsung terdiam berdua begitu sih? Apa kau mengenalnya sebelum berkenalan tadi?”

”Bukan begitu!!!” Ye Jin memotong kalimatku dengan wajah semerah tomat. Baru kali ini ia terlihat sekacau ini. Aku hampir saja tertawa melihat mimiknya.

”Terus? Kenapa begitu kau memukul punggunnya dan ia menatapmu, kalian malah berpandangan lama begitu? Sampai-sampai kalian melupakan keberadaan orang di sekitar kalian...”

”Kau juga pernah begitu kok!!” sergahnya. ”Aku cuma merasa aneh saja kemarin!!! Tiba-tiba ada perasaan aneh saat menatap matanya... entahlah!!!”

”Enak saja aku sering begitu!!” tanpa sadar aku jadi sewot sendiri. ”Kapan!?” tantangku.

”Waktu kau jatuh di aula olahraga dan ditolong sama Kim Nam Gil itu! kau sempat terdiam lama dan menatapnya kan? Bagaimana perasaanmu!?”

Aku mencoba mengingat kejadian saat itu. Kim Nam Gil berhadapan dengan sejumlah besar orang, dan kemudian, karena tiba-tiba membayangkan hal lain, semacam kilasan, aku terjatuh. Dan ia datang, membantuku berdiri, lalu... kilasan itu lagi. Dan perasaan aneh yang... begitu nyata...

”Entahlah,” jawabku. ”Aku juga tidak paham perasaan macam apa itu...Rasanya... di sini hangat sekali...” ujarku sambil menyentuh dadaku.

”Tuh kan! Bukan hanya aku kalau begitu!!” ujar Ye Jin sengit. ”Tapi, Yo Won, perasaan apa sih itu?” tanyanya lagi, masih penasaran.

”Mana kutahu!?” jawabku, kesal.



─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

”Ada apa kau memanggilku ke sini?” tanyaku sambil menatap ke arah gang gelap di depanku. Suasana di tempat ini sungguh suram dan tidak nyaman. Gelap. Dan jauh dari keramaian. Tempat yang cocok untuk mencari keributan.

”Kau mengancamku?” tanyanya. Ia muncul dari balik bayang-bayang, dan di tangannya, ia menarik rambut sesorang dengan paksa. Di bawah cahaya lampu, aku bisa melihat wajah Kang Sung Pil lebam dan biru, seperti habis dipukuli.

”Sung Pil!” teriakku. Wajahnya berkedut sedikit, dan matanya terbuka, menatapku. ”Yoo... Nam Gl...” sahutnya dengan suara lemah.

”Jangan menjawab, dasar bodoh...” Namun aku tidak sampai hati mengucapkannya. Ia tampak kepayahan menatapku. Sudut matanya bengkak, dan bibirnya berdarah. Pipinya lebam dan biru. Aku bisa menebak siapa si pemukul.

”Kau memukulnya?” tanyaku, geram.

Yeom Jong tertawa sinis dan mendecakkan bibirnya. ”Untuk apa aku turun tangan kalau aku punya banyak anak buah?” ia menjentikkan jarinya dan dalam sekejap ada beberapa orang sudah mengepungku. Sebenarnya aku sudah menduganya, sedari tadi kurasakan gerak-gerikku seolah diawasi. Ternyata benar, beberapa pasang mata mengawasiku, mencari kesempatan untuk menyerangku.

”Kenapa kau memukul temanmu sendiri?!” tanyaku lagi.

Lagi-lagi, ia hanya tertawa keras. Dan dengan ekspresi dibuat-buat, ia menyeringai senang. ”Kau tahu? Aku sudah lama mengajakmu menjadi teman. Bisa-bisanya ia menghianatiku dan tahu-tahu sudah menjadi temanmu!! Mana bisa aku mengampuninya!! Dia tidak lebih baik dariku! Jadi, terimalah tawaranku, Nam Gil. Jadilah temanku. Dan kemudian, aku akan melepaskannya....”

”Kau bukan pria. Kau sama sekali tidak jantan...” ujarku kesal.

”Oh? Aku bukan pria?” wajahnya mengeras dan teriakan kesal keluar dari bibirnya. ”Kenapa aku bukan pria!? Katakan!!”

”Kau mengancamku dan memukuli temanku hanya untuk memaksaku menjadi temanmu? Ayolah, kukira kau tidak sebodoh itu, Yem Jong. Kau sudah tahu kalau jawabanku pasti tidak, bukan?”

”Walaupun ia kupukuli sampai mati?” tanyanya lagi. Ia menghempaskan Kang Sung Pil dan menendangnya di tanah. ”Kau benar-benar kejam...”

”Aku tidak akan mengorbankan diriku sendiri...” jawabku tenang. ”Tapi, aku juga tidak akan mengorbankan temanku...”

Sekalipun baru menjadi temannya selama beberapa hari, aku tahu kalau Sung Pil adalah seorang teman, dan sekalipun ia sangat lugu, ia memahami arti kesetiaan. Dan aku tidak pernah bohong padanya. Ia memang temanku. Entah mengapa ada hasrat kuat untuk menjadikannya temanku, sejak pertama melihatnya.

”Kau jangan bercanda! Apa kau bermaksud melawan mereka semua!?” tanyanya sambil tergelak keras, ”Kurasa kau tidak akan sanggup, Nam Gil. Mereka orang kepercayaan Saudara angkatku, Seo Bum Shik...”

Rasanya aku pernah mendengar nama itu. oh, ya, ternyata benar. Mereka ada hubungan. Pantas saja kelakuan mereka sama menyebalkannya. Dan otak mereka sama sempitnya.

”Kenapa tidak?” tantangku, sambil melemaskan otot-ototku. Aah, baru saja teringat, luka bahuku sudah sembuh belum ya? Kacau. Padahal tadi baru saja minta bantuan gadis itu untuk membantu membalutnya.

“Ku berani juga, Nam Gil...” ujar Yeom Jong sambil tertawa pelan. ”Habisi dia!!” serunya sambil beranjak pergi dari sana. “Aku tidak menjamin nyawamu, Nam Gil, ingat itu!!!”


--to be continued--

Tidak ada komentar: