Rabu, 24 Februari 2010

FanFic Bideok After Love 26

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TWENTY SIXTH SCENE
SWORD OF HAPPINESS
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bidam merasakan kegelapan memenuhi sekeliling tubuhnya. Dan ia tidak merasakan apapun kecuali rasa panas membakar di tengah dadanya. Samar-samar, nafasnya terasa semakin berat dan ia terus melangkah dengan bingung, bahkan ia tidak bisa melihat tempat dimana ia berpijak.

Dari jauh, sebuah cahaya seolah memanggilnya. Ketika ia bergerak perlahan menuju cahaya itu, sebuah tangan menariknya mundur. Dengan terkejut, Bidam menatap mata pria yang menarik tubuhnya mundur sampai terjengkang. Mata pria itu begitu hangat.

Dan ia nyaris bisa melihat begitu banyak kemiripan pria itu dengan dirinya. Bidam hendak membuka mulut, menanyakan identitas pria itu, namun hanya satu kata yang keluar dari bibir pria itu. ”Pulanglah,” ujarnya sambil mendorong Bidam mundur.

”Bukan ke sana,” ujarnya sambil lagi-lagi menahan langkah Bidam. ”Ke sana...” jemarinya menunjuk arah yang berkebalikan. Dan Bidam tidak bisa menolak. Ia menurut, dan berjalan. Anehnya, semakin berjalan, rasa nyerinya semakin menjadi-jadi. Begitu ia menoleh ke belakang lagi, pria itu telah menghilang.

Ketika Bidam memandang ke kiri dan kanan, mencari sosok pria itu, di sampingnya, ia melihat sosok yang dirindukannya duduk sendirian, merenung dalam kegelapan. ”Munno Appa!!” panggilnya, namun tidak ada suara yang keluar dari tenggorokkannya.
------------------------------------==============================-------------------------------
”Bagaimana keadaannya?” tanya Mishil dengan air mata yang membekas di pipinya. Sekalipun cemas, ia terlihat tenang dan mampu mengontrol emosinya.

”Dokter sedang memeriksanya...” jawab Wolya sambil melirik ke arah ruang UGD. Di sampingnya, Deokman duduk sambil menekuk lutut. Gadis itu tampak kusut, namun matanya tertutup, mendoakan keselamatan pria yang dikasihinya.

”Kau datang ke sini sejak tadi?” tanya Mishil bingung.

Wolya menggeleng. ”Aku tiba dengan penerbangan pertama. Deokman-shi meneleponku dan Alcheon. Kemungkinan besar mereka tiba sebentar lagi...” jawab Wolya sambil melirik arlojinya.

”Apakah ia...” Mishil menghentikan pertanyaannya. ”Dia akan hidup, bukan?”

”Semua tergantung keajaiban...” jawab Wolya.

”Dia akan hidup,” tegas Deokman. ”Ia tidak akan meninggalkanku lagi seperti dulu...” jawabnya tenang. Dan dengan heran, ia mencari kalung di dadanya. Aneh, kemana kalung itu pergi?

”Siapa yang begitu kejam seperti ini!!” geramnya. Namun ia mengatupkan bibirnya marah. ”Yeomjong?” tanyanya sambil mengangkat alis.

Deokman mengangguk pelan. ”Dia harus... mendekam di penjara...” gumamnya sambil menahan limpahan emosi di dadanya. Dengan kesal ia menggigit bibirnya. ”Kenapa harus Bidam?”

”Karena dengan membunuh Bidam, ia akan mencapai tujuannya, tujuan utamanya, menghancurkan hidup kita semua!” jawab Mishil. ”Deokman, aku... akan menceritakan semua padamu, kemarilah...” ajak Mishil sambil menarik tangan Deokman ke tempat yang lebih sepi.

”Semua bermula puluhan tahun lalu, ketika aku, Sadaham, Munno, dan Yeomjong, serta seorang gadis bernama Sohwa masih merupakan teman akrab....” kenang mishil. ”Aku dan Sohwa adalah sahabat yang sangat dekat, melebihi apapun. Munno dan Sohwa saling mencintai, dan begitu pula antara aku dan Sadaham.”

Deokman memandang air muka Mishil yang mengkeruh. ”Namun Sohwa sejak awal sakit-sakitan. Ia meninggal sebelum mencapai usia kedua puluh, dan kemudian, Munno menarik diri dari kami. Yeomjong ternyata mengincarku. Dan ia beberapa kali meminta Sadaham memilih antara persahabatan atau cinta. Sayangnya Sadaham memilihku, dan kemudian... hubungan persahabatan kami terpecah belah...”

”Apakah Anda... menikah dengan Sadaham?” tanya Deokman bingung.

”Kami menikah di catatan sipil,” jawab Mishil. “Saat itu, karirku sedang melesat sebagai aktris, dan Yeomjong memanfaatkan kesempatan itu untuk emngancamku agar merahasiakan hubunganku dengan Sadaham. Terutama karena jabatannya saat itu adalah juga sebagai promotion chief...”

“Bagaimana dengan Munno-shi? Kalian sama sekali tidak ada kontak?” tanya Deokman.

”Munno dan Sadaham tetap berteman, tentu saja. namun, di suatu malam, Sadaham pergi dari rumah. Katanya mau menemui seseorang, dan kemudian, keesokan paginya...” Mishil menahan airmatanya dan berusaha tersenyum. ”Kemudian Munno mengangkat Bidam menjadi anak, merawatnya, semuanya untuk mencegah timbulnya skandal atas namaku saat itu...”

Deokman emngangguk. ”Pasti... semuanya sangat berat bagi Anda...” ujar Deokman pelan. ”Apakah... Bidam sama sekali tidak mengenal Ayah kandungnya?”

”Dia hanya mengetahui namanya... Namun wajahnya?” Mishil hanya mampu menggeleng. Hatinya terasa begitu perih. ”Tapi, aku sangat bangga padanya. Dan sekarang, setelah semuanya mulai membaik, kenapa jadi begini?” keluhnya.

Deokman hendak bersuara ketika Wolya setengah berteriak menghampiri mereka berdua. ”Operasinya sukses! Ini mujizat!” ujarnya senang.

Deokman tersenyum dengan ekspresi tidak percaya. ”Benarkah? Benarkah?” tanyanya berulang-ulang. Ia berulang kali mengucap syukur sambil berlari ke ruangan tempat Bidam berada. Dari jauh dilihatnya pria itu masih setengah terbius, tempat tidurnya didorong oleh beberapa paramedis ke ruang rawat inap.

”Bidam!” serunya sambil menghampiri tempat Bidam terbaring. ”Apakah ia baik-baik saja Suster?” tanyanya gugup. Perawat di sampingnya tersenyum lega sambil mengangguk. ”Syukurlah! Syukurlah!” ujar Deokman sambil memandang wajah Bidam dengan air mata terurai.

”Apakah ini benda miliknya?” tanya perawat itu sambil mengulurkan sebuah benda. Deokman menerimanya dengan bingung, lalu tersentak kaget. Ia menatap rantai yang semual berhiaskan batu giok itu dengan cermat. Deokman yakin kalau ia tidka salah mengingat rantai itu. Tapi mengapa benda yang kini berada di kalung itu bukan lagi liontin melainkan sebuah pedang kecil?

”Benar,” jawab Deokman bingung. Namun dengan segera senyuman membekas di bibirnya. Soyopdo. Benda ini lagi-lagi menyelamatkannya. Deokman dengan segera mengingatkan dirinya untuk segera mengembalikan benda itu ke tempat dimana ia seharusnya berada.

”Benda itu mengakibatkan lukanya tidak terlalu dalam. Lihat lecet di pedang itu...” perawat itu menunjuk bagian pedang yang terlihat sedikit lecet. ”Seharusnya peluru bisa menembus tubuhnya, namun pedang itu menggagalkannya. Akibatnya peluru tidak sampai masuk terlalu dalam...”

”Ya... Aku tahu itu...” jawab Deokman sambil tersenyum dan meraih tangan Bidam. Ia meletakkan pisau kecil itu di genggaman pria itu. ”Benda ini telah banyak melindungiku. Dan kali ini, ia melindungimu juga,” batinnya sambil menatap Bidam dengan air mata bahagia.
---------------------------==========to be continued===========-----------------------------------

FanFic Bideok After Love 25

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TWENTY FIFTH SCENE
OUR BLINDFOLD
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bidam memandang Deokman dengan kerongkongan tercekat. Ia menghapus airmata gadis itu dengan punggung tangannya perlahan. ”Deokman...” panggilnya pelan, dan kini, dengan perasaan tidak yakin, ia juga merasakan sensasi berbeda saat ia menyebut nama itu.

”Aku rasa... Aku juga sering mendengar namamu.... Entah dimana... entah kapan....” ia menatap kedalaman di dalam mata gadis itu. ”Apakah aku boleh menghapus janjiku?” tanyanya getir.

Deokman memandangnya bingung, ”Janji apa?” tanyanya.

”Janji untuk... menciummu...?” tanyanya malu. Dan ia tertawa sambil memalingkan wajahnya. ”Masih banyak waktu,” ujarnya gugup. ”Yah, aku harus menyimpannya, sampai saatnya nanti...”

”Ooh...” jawab Deokman dengan perasaan tidak jelas. Ia mengangguk malu, dengan pipi memerah ia melirik Bidam, lalu memanggilnya. Saat pria itu menoleh, dengan satu gerakan cepat ia mencium pipinya. ”Apa aku pernah bilang kalau aku sangat menyayangimu?” tanyanya sambil menyenderkan kepalanya.

”Tidak pernah langsung sih,” jawab Bidam seadanya. Wajahnya ikut memerah sesaat. ”Tapi, aku rasa aku tahu itu...” jawabnya sambil ikut bersender ke kepala gadis itu.

”Hm...hm...” angguk Deokman sambil menutup matanya. Ia tidak mampu menahan senyuman di bibirnya. Saat ini, kebahagiaan mereka terasa begitu nyata. Dan anehnya, ia merasa kebahagiaannya begitu aneh, seolah ada orang lain yang juga bahagia atas kebahagiaannya, akan tetapi Deokman tidak tahu siapa orang itu. Ia hanya tahu, saat ini, bersama Bidam di sampingnya, itu lebih dari cukup.
------------------------------==========================--------------------------------------------
Beberapa saat setelah bis mereka tiba di tujuan, mereka berjalan berkeliling dareah pertokoan di sana sebelum menuju tempat kamp terakhir kali Ratu mengatasi pemberontakan sebelum meninggalnya.

”Kalau mau membeli suvenir, kurasa sebaiknya kita membelinya di dekat daerah istana... Disana lebih banyak suvenir yang lucu...” ujar Deokman sambil menarik-narik lengan baju Bidam.

”Tidak apa-apa kan kalau kita membeli beberapa dulu. Lihat, bukankah kalung giok ini lucu untuk dikenakan berpasangan?” tanyanya sambil mengangkat sebuah kalung. Entah kenapa Bidam merasakan dorongan begitu besar untuk membeli barang tersebut.

Penjual di depan mereka tersenyum ramah. ”Kalung apa yang hendak anda beli?” tanyanya sambil menatap mereka berdua. ”Semua kalung di sini merupakan kalung yang dibuat berdasarkan legenda dimana kisah cinta Ratu Shilla tidak terbalas, jadi dengan doa Ratu Shilla, kisah cinta kalian akan abadi selamanya...”

”Ooh,” Deokman menggumam mengiyakan. Lalu matanya tertumbuk ke kalung yang diangkat Bidam. ”Yang di tangannya itu harganya berapa?” ia melihat kalau kalung itu memiliki corak yang berbeda sendiri dari kalung lain di sana.

Si penjual tersenyum saat melihat kalung yang diulurkan Bidam. Namun senyumannya memudar digantikan sebuah kerutan di dahi. ”Aku tidak merasa menjual kalung corak ini...” gumamnya bingung. Deokman dan Bidam berpandangan dengan heran. ”Karena kalian menemukannya, aku akan memberikannya gratis kepada kalian. Semoga doa Ratu shilla merestui jalan kalian...” ujarnya sambil tersenyum heran. Kejadian seaneh ini baru pertama kali ia lalui.

”Kau akan langsung memakainya?” tanya Deokman saat diliriknya kalung itu sudah bertengger manis di leher Bidam.

”Ya, tentu saja!” jawab pria itu polos. “Ayo, kita segera ke makam Ratu! Dan kali ini, kalau mau pingsan, kau harus memegangku kuat-kuat,” ujarnya sambil tersenyum manis, segera setelah Deokman mengangguk, mereka mengambil rute menuju kawasan tersebut.
Sayangnya, pasangan itu tidak menyadari sedari tadi ada dua sosok pria yang mengintai mereka. Sebuah sirine bahaya berkumandang perlahan...
---------------------------============================-------------------------------------------
Bidam memandang Deokman dengan cemas. Wajah gadis itu kembali pucat seperti waktu kunjungan mereka yang pertama kalinya. Tapi Deokman tetap bungkam, dan meneruskan perjalanan seperti biasa. Tampak beberapa orang lalu lalang di sekitar mereka. Rupanya kali ini yang mengunjungi makam itu bukan hanya mereka berdua.

”Sebentar lagi kita sampai,” Bidam menunjuk gapura besar yang menandakan pintu masuk menuju pemakaman Ratu. Deokman mengangguk, berusaha tersenyum. Sedari tadi dadanya terasa begitu sakit. Entah kenapa debaran jantungnya begitu keras sehingga ia merasa jantungnya bisa lepas kapan saja.

mereka melangkah memasuki makam dan bersamaan dengan itu, Deokman merasakan hantaman kuat di dadanya. Ia nyaris jatuh kalau Bidam tidak memegang pundaknya. ”Kau ingin istirahat?” tanya Bidam gugup. ”Mau kupapah?”

”Tidak, orang-orang melihat kita,” jawab Deokman tenang. Ia tersenyum dan Bidam menatapnya dengan perasaan galau. Saat itu Deokman tampak asing sekaligus familiar di matanya. Ada karisma aneh dari diri gadis itu, entah apa.

”Baiklah,” ujar Bidam, lalu setelah matanya menangkap makam itu, ia kembali merasakan sakit di dadanya. Perasaan nyeri sekaligus pedih yang begitu menghimpit. ”Deokman... ” gumamnya. Gadis di sampingnya menoleh, namun menyadari kalau yang dipanggilnya bukan dia. Bidam memandang lurus ke atah makam yang megah itu.

”Bidam?” tanya Deokman heran. ”Kau tidak apa-apa?” tanyanya saat melihat pria itu berjalan dengan linglung ke arah makam. Ia memandang makam itu dan lagi-lagi merasakan jantungnya berderak menyakitkan. Nafasnya semakin berat saat ia menghampiri makam itu. Pria itu bahkan tidak memedulikan orang-orang yang berkerumun di dekat mereka.

”Di sini...” Deokman menyentuh permukaan makam yang terasa dingin. Dan tanpa sadar tangannya bergerak menyentuh dadanya yang sakit. ”Di sini aku terbaring tanpa mengatakan apapun padamu...” suaranya terdengar begitu lirih dan syahdu. Air matanya turun saat ia mengelus makam di depannya dengan perasaan hancur. ”Dan makammu... tidak ada di sampingku...” tangisnya pecah seketika.

Bidam menatap ke samping sambil setengah mengangguk, lalu meraih tangan gadis itu. Wajahnya dipenuhi kepedihan. Dan sesaat, ia merasakan semua luka di tubuhnya, merasakan luka di hatinya. Airmatanya turun perlahan di wajahnya yang tampan. ”Seandainya aku menjadi dirimu... aku akan melakukan hal yang sama...”

”Maafkan aku...” ujar Deokman sambil menangis sesunggukan. Semakin ingin menghentikan air matanya, tangisnya semakin menjadi-jadi. Bahunya berguncang-guncang pelan saat ia bicara. ”Terimakasih karena kau menyebut namaku...”

ucapannya terputus kala sebuah teriakan keras memecah perhatian mereka. ”BIDAAAMM!! KALI INI KAU TIDAK AKAN PERNAH MENANG LAGI DARIKU!!!!” Yeomjong tertawa licik sambil menarik pistol pelatuknya. Dan bersamaan dengan itu, sebuah peluru melesat di udara.

Deokman berteriak histeris meliha pria di sampingnya rubuh. ”Bidaaaam!!!!” jeritnya. Berbagai ingatan berkecamuk di kepalanya. Dan dengan panik ia berteriak ke sekelilingnya. ”Siapapun! Tolong panggilkan ambulans!!” ia meletakkan pria itu di pangkuannya, dan dengan marah memandang Yeomjong yang secepat kilat melarikan diri.

”Aku mengingat..mu...” ujar Bidam dengan suara terputus-putus. Senyumannya terlihat rapuh dan seakan hampir menghilang. ”Aku... ingat...semuanya...” ujarnya sambil tersenyum dan mengulurkan tangan ke arah makam yang terletak tidak jauh darinya.

”Nona, saya sudha menelepon ambulans!” ujar seorang pria di dekat mereka. Deokman mengangguk dan berterimakasih dengan gugup.

”Lihat, mereka sudah meneleponnya... kau harus kuat. Kau dengar aku kan? Bidam? Bidam?! Bidam!!” ia mulai emnjerit histeris ketika dilihatnya pandangan pria itu mulai kabur.

”Tidak mau...” ujar Deokman hampir putus asa. Tangan Bidam begitu dingin, dan ia tidak siap menghadapi kenyataan di depannya. ”Sama seperti dulu? Kau akan meninggalkanku? Aku tidak mau!!!” ia merasakan tangannya gemetar saat Bidam menutup matanya perlahan. ”Bidaaam!!!!!”

sirine ambulans terdengar dari kejauhan. Deokman merasakan dunianya runtuh saat mata Bidam tertutup. Ia bisa merasakan pemandangan sekitarnya berputar dan menggelap.
---------------------------------==========to be continued============---------------------------

FanFic Bideok After Love 24

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TWENTY FOURTH SCENE
THE INESCAPABLE FUTURE
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Kau akan pergi dengannya?” Tanya Chenmyeong sambil berdiri di depan pintu apartemen Deokman. Gadis itu mengamati sahabatnya yang sibuk memilah-milah baju. “Biar kubantu,” sahutnya cepat setelah melihat anggukan Deokman.

“Tampaknya, kau akan segera menyusulku…” gumam Chenmyeong. Deokman mengangkat wajahnya dengan bingung. Chenmyeong yang memahami arti tatapan mata itu dengan cepat menjawab, ”Aku... akan... segera menikah dengan Alcheon-shi...” ujarnya malu sambil menyerahkan sebuah undangan pernikahan.

Deokman menatap undangan di tangannya dengan mata membelalak. ”Unni!! Secepat ini?!” ia menatap tanggal yang tertera di undangan itu. ”Dua minggu lagi?! Sejak kapan Unni dan Alcheon-shi sudah menyiapkannya?”

“Yah, kami hanya...” Chenmyeong tertawa pelan saat mengingat Alcheon dengan kikuk melamarnya, membooking satu restoran dan menghidangkan kue dengan sebuah cincin di atasnya. Pria itu bahkan sangat terkejut karena cincinnya lupa dimasukkan ke dalam kuenya. ”Sedikit pesta kecil, dan setelah itu.. semuanya akan berjalan seperti biasa kok...”

“Tapi Unni sangat gembira bukan?” tanya Deokman sambil terus melipat bajunya. Samar-samar ia bisa melihat Chenmyeong mengangkat bahunya. ”Kenapa Unni? Ada yang salah?”

”Tidak, semuanya sudah sempurna, hanya saja...” Chenmyeong tersenyum malu. ”Aku cemas, apakah hal ini akan mempengaruhi karirnya atau tidak nantinya... Tapi, Alcheon sama sekali tidak ambil pusing... Bahkan ia terlihat jauh lebih bersemangat dariku kemarin saat mengepas baju pengantin...”

”Ah, tapi bukankah Unni sebenarnya sangat bahagia?” tanya Deokman sambil mengingat lamaran Bidam kemarin. Anggukan dan senyuman Chnemyeong membuatnya semakin bahagia. ”Karena itu, kuharap di atas segalanya, Unni bisa bahagia!!” tegas Deokman sambil memeluk gadis yang sejak lama dianggapnya sebagai kakak kandung itu.
---------------------------------============================-------------------------------------
”Hai, Deokman...” sapa Mishil sambil berlari menyambut dan memeluk Deokman. ”Dan Bidam, kau semakin tampan...” sambungnya sambil menepuk pipi putranya lembut. ”Kalian sudah siap? Sebaiknya kita langsung saja ke sana...” ujar Mishil sambil dengan sigap meraih jaketnya yang tergantung di pintu.

Mishil memerintahkan supirnya untuk menyiapkan mobil, dan dengan segera, mereka semua melaju ke sebuah rumah sakit yang terletak tidak jauh dari sana. Deokman terus-menerus tersenyum dengan gugup, sementara genggaman tangan Bidam yang terasa begitu hangat seolah menguatkannya.

Setibanya di sana, Mishil mengantarkan mereka ke sebuah ruangan besar yang terletak agak ke sudut lorong. Di sana, terbaring seorang pria yang menggunakan alat bantu pernafasan dan sebuah monitor kecil di sampingnya, menunjukkan kalau jantungnya masih berdetak. Ia terlihat seolah hanya tertidur.

”Ini Papaku...” ujar Bidam sambil membimbing Deokman menghampiri tempat tidur Munno. Deokman mengikuti pria itu dan menatap pria yang hingga kini, sekalipun terbaring lemah, terlihat sangat gagah. ”Kau boleh memanggilnya Papa mertua,...” canda Bidam.

”Aku akan membeli makanan...” ujar Mishil sambil berjalan ke arah pintu. Bidam menyusul dan mengatakan akan menemaninya. Deokman mengangguk lalu dengan senyuman canggung, ia berusaha mengajak bicara pria di depannya.

”Munno-shi, apa kabar? Saya Deokman…” bisik Deokman pelan. ”Um... semuanya di sini berharap akan kesembuhan Munno-shi, jadi, kami harap, Anda bisa cepat sembuh. Bidam, uh, maksudku, putra Anda telah melamarku, jadi...” Deokman menahan nafas, dirasakannya pipinya begitu panas.

Ia menarik nafas sesaat sebelum melanjutkan. ”Aku harap, Munno-shi juga bisa menghadiri pernikahan kami, dan... setelah itu, Anda bisa kembali... menjadi sosok Papa bagi Bidam...” ia teringat akan cara Bidam memainkan serulingnya. Begitu pedih dan menusuk. ”Ia... sangat merindukan Anda... dan Yeomjong? Bidam mengatasinya dengan brilian...” ujar Deokman sambil menghapus airmata yang tiba-tiba menetes di pipinya. Sebuah sentuhan hangat di bahunya membuatnya menoleh. Entah sejak kapan Bidam sudah masuk dan berada di sampingnya.

”Ayo kita keluar, biarkan mereka berdua bicara...” ujar Bidam sambil menggandeng Deokman, membiarkan Mishil mengambil alih tempatnya.
------------------------------=================================-------------------------------
”Aku... pernah menceritakan mimpiku padamu, bukan?” tanya Bidam sambil menatap jalanan di depannya. Saat ini mereka tengah menaiki sebuah bis yang akan mengantar mereka ke tempat-tempat bersejarah di Geongju.

”Pernah, dan kemudian...” Deokman berusaha mengingat-ingat, ”kemudian aku pingsan, lalu katamu aku mengucapkan hal yang aneh...”

”Benar, aku mengucapkannya seolah kau berasal entah darimana. Kurasa, itu semua ada kaitannya dengan mimpiku...”

”Begitu pula dengan mimpiku...” sahut Deokman pelan, berusaha menekan suaranya yang bergetar sedatar mungkin.

”Apa maksudmu?” tanya Bidam bingung.

”Aku juga memimpikannya, Bidam...” jawab Deokman. ”Selalu saja, setiap malam, seorang pria, tampan, tinggi, dan matanya... aku tidak bisa melupakan tatapan matanya. Terutama...” Deokman menahan nafas, menahan sakit di dadanya, ”Terutama ketika ia rubuh di hadapanku...”

”Kalau boleh kukatakan sesuatu...” ujar Bidam ragu. Deokman memandangnya dengan mata yang sarat akan pertanyaan. ”Namamu dan nama Ratu Shilla, sama-sama dibaca Deokman...”

Deokman merasakan hantaman yang kuat di jantungnya. Ia meletakkan tangan di dadanya dengan terkejut. ”Sama denganku?” tanyanya dengan wajah pucat. ”Bahkan Chenmyeong juga mengatakan kalau wajahku mirip dengannya...”

”Mungkin tidak seratus persen sama, tapi setidaknya, kalian memang sangat mirip...” Bidam mengangguk setuju. ”Dan nama pria yang kau maksud dalam mimpimu?”

”Bidam.,,” jawab Deokman antara sadar dan tak sadar. ”Bidam...” ulangnya dengan air mata yang mengalir di pipinya.

”Benar, kenapa aku bisa lupa?” Deokman memegang kepalanya dengan tangan gemetar. ”Kau dan pria itu, memiliki mata yang sama...” Deokman menatap Bidam dengan perasaan kalut. ”Dan suatu kali, dalam mimpiku, aku menyebut namanya... ’Bidam’...”
--------------------==========to be continued============---------------------------------------

FanFic Bideok After Love 23

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TWENTY THIRD SCENE
THE LOST UNLOST
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
”Deokman? Deokman...deokman?” Deokman membuka kelopak matanya perlahan-lahan. Ia memandang wajah di hadapannya dan tersenyum. Setetes air mata jatuh mengalir ke samping wajahnya.

”Aku menemukanmu...” bisiknya. ”Dan aku merindukanmu...” dan setelah mengatakan itu, ia mengulurkan tangan untuk menyentuh wajah Bidam sekali. Lalu dunianya kembali menggelap. Bidam memandang Deokman dengan bingung, ia lantas menggendongnya untuk membawanya ke rumah sakit terdekat.

Dokter mengatakan kalau semuanya baik-baik saja, namun Bidam menolak mempercayainya. Ia memandang Deokman yang terlihat kurus dan begitu rapuh, dan kemudian menyalahkan dirinya karena begitu egois telah memaksakan gadis itu mengikuti rencananya.

”Hei..” bisik suara yang sedari tadi ditunggunya. ”Apakah aku sudah lama pingsan?” tanyanya lagi. Bidam mengangguk, tersenyum sekaligus pedih. ”Kenapa wajahmu kusut begitu?” tanya Deokman bingung.

”Tidak apa, hanya saja...” ia menahan kalimat itu di lidahnya. ”Tidak apa, tidak jadi, aku hanya... mengkhawatirkanmu...”

”Kau mencemaskanku dan mulai menyalahkan dirimu lagi, bukan?” tanya Deokman sambil menatap mata Bidam. Pria itu berjalan ke arahnya dan duduk di sisi tempat tidurnya. ”Ternyata benar kata Alcheon-shi, kau suka sekali menyalahkan dirimu sendiri...”

”Tapi aku memang pantas mendapatkannya!” tukas Bidam marah pada dirinya sendiri. ”Kalau kau memarahiku, aku baru bisa merasa lebih baik!”

”Baiklah, aku akan marah padamu!” ujar Deokman sambil menarik nafas. Ia pun membelalakkan matanya. Namun bukannya merasa bersalah, Bidam malah tertawa keras-keras. ”Nah? Lihat? Melihatku marah kau malah tertawa! Baguslah kalau aku bisa membuatmu merasa lebih baik!” ujarnya pura-pura cemberut.
----------------------------============================------------------------------------------
Deokman akhirnya bisa menarik nafas lega. Eksistensinya dalam pemotretan dan pengambilan video klip memudarkan semua pemberitaan miring antara ia dan Bidam. Dan kini, semua pengambilan gambar yang melelahkan itu sudah usai. Rasanya tidak ada yang lebih melegakan daripada ini.

”Sebelum ke Geongju, kupikir ada baiknya kita mampir ke tempat Omma...” ujar Bidam sambil memeluk pinggang Deokman. semenjak fans mengumumkan dukungan mereka atas kebahagiaan Bidam, pasangan ini mulai berani menunjukkan keakrabannya di hadapan umum. ”Dan aku... ingin membawamu menemui Munno...”

Deokman mendongak untuk memandang mata Bidam yang terlihat begitu jernih. ”Aku harap kita bisa mendapat keajaiban...” ujarnya. ”Apakah kita akan mengajak Chenmyeong dan Alcheon?”

”Tidak,” jawab Bidam tegas. ”Hanya akan ada kita berdua, kau dan aku. Dan kuharap kau tidak mengajak Yushin atau Chenmyeong atau siapa saja!”

”Kenapa kau mengira aku akan mengajak Yushin?” Deokman bertanya dengan bingung.

”Karena aku tahu sepertinya dia tertarik padamu, dan sepertinya tidak tertutup kemungkinan kau akan...” Bidam membatalkan kalimatnya melihat Deokman memasang wajah kesal. ”Maaf, tidak jadi,” ujarnya.

”Kau mengira aku akan tertarik padanya juga?” tanya Deokman kesal. ”Kau meragukanku? Setelah semua yang terjadi selama ini?” tanyanya memprotes.

”Karena itu aku membatalkan kalimatku itu,” jawab Bidam pelan. ”Aku hanya tidak bisa, maksudku, kalau aku melihat caranya memandangnmu, aku bisa...” Bidam menggaruk kepalanya yang tidak gatal. ”Yah, kau tahu maksudku...” katanya malu.

”Aku tahu maksudmu,” jawab Deokman sambil tertawa lepas. ”Dan rasanya sudah tidak sabar lagi bertemu dengan Mishil-shi!”

”Bagaimana dengan pekerjaanmu?” tanya Bidam. ”Kau tidak datang lagi ke kantor lamamu?”

Deokman menggerakkan bahu dengan bingung. ”Kurasa konsekuensi untuk pekerjaan baruku adalah, aku harus berhenti menjadi pemandu wisata...”

Bidam menatap Deokman dengan perasaan setengah senang karena gadis itu tidak lagi dekat dengan Yushin, dan setengah lagi sedih karena gadis itu kehilangan pekerjaan yang disukainya. ”Jangan khawaitr, aku akan memberikan pekerjaan yang lebih menarik untukmu...”

”Apa itu?” tanya Deokman penasaran. ”Apa lagu barumu akan keluar lagi dan aku akan ikut di dalamnya?”

”Bukan, tapi memang sebagian benar. Kau akan ikut dalam setiap rencana hidupku. Dan dalam setiap bagiannya, aku akan selalu melibatkanmu...”

”Memangnya ada pekerjaan semacam itu?” tanya Deokman dengan raut wajah gembira.

”Tentu saja ada...” Bidam menarik Deokman ke dalam pelukannya. ”Sebagai istriku, kau akan disampingku selamanya...”
---------------------------------------===========================--------------------------------
Yeomjong menatap langit-langit rendah di atas kepalanya. ”Ternyata sebagai detektif, bayaranmu terlalu kecil untuk bisa hidup mewah...” cibirnya. Ia memandang ke sekeliling apartemen Seokpum. ”Lumayan untuk tinggal sehari dua hari...”

Seokpum menahan kekesalannya dengan senyuman. ”Dan ini, pistol yang anda minta...” ia menyerahkan sebuah kotak berisi sebuah pistol dengan sebutir peluru di dalamnya.

Ia baru saja memerintahkan anak buahnya untuk membantu Yeomjong melarikan diri, dan kini dengan semua resiko yang ada, ia membawa pria itu ke rumahnya.

”Bagus” Yeomjong mengambil pistol itu dan secepat kilat mengarahkannya ke arah Seokpum. Pria itu memucat seketika. ”Cukup sekali tembakan, dan aku bisa membayar semua kebencianku...”

”Maksudmu... kau akan membunuh Mishil-shi?” tanya Seokpum takut. Yeomjong menggeleng pelan dan Seokpum dengan sgera menyadari siapa sosok yang ditargetkan oleh Yeomjong.

Yeomjong tertawa licik dan keji. Ia menatap pistol itu dan menyeringai. ”Ternyata begitu mudah, seharusnya dari dulu aku hanya perlu melakukan ini!” ia memainkan pistol itu dengan gembira. “Setelah aku membunuhnya, mereka semua akan menderita! Dan itu sudah lebih dari cukup untuk membayar semua kekesalanku!!”

”Tapi, saat ini dia tidak berada di Seoul..” lapor Seokpum. “Jadi, kemungkinan rencanamu terpaksa dibatalkan dulu...”

“Kemana mereka pergi!” ia menatap Seokpum dengan tidak sabar. ”Biarpun ke ujung dunia, aku akan membunuhnya! Keluarkan mobil! Kita susul dia!”
-------------------------=========to be continued===========-------------------------------------------

FanFic Bideok After Love 22

----------------------------------------------------------------------------------------------------------
TWENTY SECOND SCENE
UNFULFILLED AMBITION
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Yeomjong menggebrak meja dengan tidak sabar. Seokpum yang terkejut sampai tersentak ke belakang. ”Aku sudah dua hari di sini dan aku tidak tahan lagi!!!” geramnya. ”Kau harus keluarkan aku dari sini! Malam ini juga!”

”Sabar dulu, semuanya kan ada prosesnya. Sekarang aku sedang mencarikan pengacara terbaik untukmu...” namun ucapannya terputus oleh mata Yeomjong yang menatap marah padanya.

”Semua karena kecerobohanmu! Kenapa kau tidak membayar orang saja untuk mengedit foto itu! Dari dulu kau selalu tolol!”

”Tapi semuanya kan perintahmu! Aku hanya mencoba menjalankannya, dan...” Yeomjong lagi-lagi menggebrak mejanya dengan tidak sabar.

”Malam ini juga!” desaknya. ”Aku tidak harus hidup di bawah cahaya! Di dalam kegelapan pun, semua tujuanku akan kucapai! Dan tidak akan ada yang menghalangiku! Munno, Mishil, Wolya, ataupun Bidam! Bahkan kau sekalipun!”
------------------------------==========================--------------------------------
”Aku harus minta maaf padamu...” ujar Bidam sambil tersenyum pada Deokman yang duduk di sampingnya. Pemotretan tahap pertama baru saja berakhir.

”Hm? Untuk apa?” tanya Deokman sambil sesekali tersenyum. ”Boleh dibilang, karena ide dadakanmu, aku jadi bisa merasakan banyak pengalaman baru. Ternyata berdiri di depan kamera memang tidak mudah...” gadis itu tersenyum malu sambil menghembuskan nafas pelan.

”Karena itulah, aku mau minta maaf padamu...” sambung Bidam.

”Juga karena tidak menceritakan apapun tentang rencanamu atau bahkan meneleponku?” tanya Deokman sambil memberikan senyuman masam.

”Ya, karena itu juga...” sahut Bidam. ”Dan sebagai permintaan maaf, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat...”

”Oh ya? Dimana itu?” tanya Deokman dengan mata berbinar. Rasanya benar-benar kalau ada hal yang bisa membuatnya melupakan semua pemotretan di sini. ”Apakah kita akan segera pergi?” tanyanya lagi.

”Segera, tentu saja,” angguk Bidam sambil menggenggam tangan Deokman. ”Tapi setelah semua pemotretan dan pemngambilan gambar video klip musikku selesai...” tambahnya, disambut senyuman terpaksa di bibir Deokman.

”Oh, rasanya aku ingin semuanya segera selesai. Aku tidak yakin dengan penampilanku di depan kamera, rasanya begitu kaku...” Deokman menutup kedua pipinya yang terasa panas.

”Sebagai pemula, kau cukup bagus,” puji Bidam tulus. ”Lagipula, seharusnya tidak terlalu sulit bukan, untuk berakting sebagai wanita yang mencintaiku?” tanyanya dengan senyum menggoda.

Deokman tertawa malu. ”Iya sih,” ujarnya. Namun hatinya berkata lain. ”Justru karena kau, makanya aku nggak bisa konsentrasi! Mana ada wanita yang nggak meleleh kalau kau menatapnya seperti itu!”

”Deokman? halo? Kau nggak mendnegarkan aku ya?” tanya Bidam sambil mendekatkan wajahnya. Deokman tersentak mundur karena kaget. Ia merasakan jantungnya berdebar begitu keras karena wajah Bidam begitu dekat. Begitu dekatnya sampai ia mengira pria itu akan menciumnya.

”Maaf kalau kau jadi kaget, tapi sepertinya kau asyik melamunkan sesuatu tadi...” ujarnya sambil emrangkul Deokman pelan. ”Yah, aku hanya mau bilang kalau aku akan mengajakmu pergi ke Gyeongju lagi...”

”Eh? Geongju?!” mata Deokman berbinar senang sekaligus heran. ”Kenapa? Ada alasan khusus?”

”Semuanya itu berkaitan dengan mimpi-mimpiku. Dan rasanya aneh. Alcheon sempat beberapa kali memimpikannya, namun akhir-akhir ini ia tidak lagi memimpikannya. Namun untukku, semuanya semakin jelas, semakin membentuk gambaran utuh, dan aku semakin tersedot ke dalamnya...”

”Mimpi apa maksudmu?” tanya Deokman dengan dada berdebar-debar.

”Mimpi tentang sebuah kerajaan, seorang pria, seorang wanita, dan sebuah akhir mengenaskan dari pria yang mencintai wanita itu, Ratu Shilla...” Bidam tidak mampu meneruskan kalimatnya karena Deokman tahu-tahu sudah pingsan di hadapannya.

---------------------=============to be contnued===========---------------------------

FanFic Bideok After Love 21

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TWENTY FIRST SCENE
ONE STEP AHEAD
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bidam melirik arlojinya dan melempar tatapan pendek ke arah Wolya. “Seharusnya mereka akan tiba sebentar lagi. Kita tunggu saja kabar dari mereka, begitu ada konfirmasi, kita mulai bergerak.”

Tak lama, handphonennya bergetar, dan begitu Bidam melihat peneleponnya, ia segera memberikan anggukan isyarat. ”Ayo, kita mulai sekarang,” dan mereka melangkah ke ruangan tempat konferensi pers akan diadakan.

Bidam mengamati keadaan dan menyadari bahwa segalanya sesuai rencananya. Semua kursi terisi penuh oleh wartawan dan reporter dari berbagai media.Tapi ada satu kenyataan tidak terhindarkan. Yeomjong datang, dan ia duduk di kursi terdepan. Entah apa yang ada di pikiran mereka masing-masing, tapi yang jelas, untuk beberapa saat lamanya, ia dan Bidam saling melempar pandangan yang dingin.

”Aku akan mengawali konferensi pers ini dengan menjelaskan satu hal. Pertama, aku tidak pernah membawa seorang gadis pun ke hotel, pria di sampingku bisa membuktikan ini untukku...” ujar Bidam dengan tenang. Jilatan kamera blitz berulang kali menyorot wajahnya yang tetap tenang.

Chuncu maju dan membawa dua buah foto yang berbeda. ”Foto di kanan adalah foto yang palsu, dan di kiri adalah yang asli. Jelas, tampak tiga tindakan kecerobohan di sini. Pelaku pemalsu tampaknya lupa menghapus beberapa jejak penting dari foto yang diubahnya. Pertama, pintu dengan model ukiran seperti ini, di seluruh kota Seoul, hanya dimiliki satu toko, yaitu toko perhiasan emas perak di jalan distrik 10. Dan yang kedua, pelaku lupa mengganti background samping dari hotel yang dimasuki dua orang ini. Bukankah backgroundnya persis dengan background toko perhiasan ini?”

Terdengar suara ’oooh’ dan ’aah’ di mana-mana. Sementara Chuncu masih menjelaskan, Bidam tersenyum menanggapi betapa kakunya mimik Yeomjong. Dia menduga, pria itu sudah terlalu terbiasa melakukan hal hina semacam ini, sehingga jelas ia sudah cukup kebal dihadapkan pada situasi semacam ini. ”Tapi jelas, semuanya masih terlalu mudah sekarang,” pikir Bidam.
“Dan gadis itu? Siapa dia?” tanya seorang jurnalis dari senuah majalah remaja.

Bidam mengangguk dan meraih mic. Dia adalah seorang gadis yang akan segera memulai debutnya sebagai model dalam video klip singleku yang akan segera dirilis. Dan aku mencintainya, aku jatuh cinta padanya, bahkan sebelum ia diputuskan akan menjadi model video klipku. Bahkan sebelum bertemu, aku sudah mencintainya. Aku ingin minta maaf kepada semua pihak yang mungkin kecewa, tetapi, aku yakin semua fansku yang sejati akan memahami keadaanku...”

Bidam tersenyum dengan tulus sambil menatap ratusan kamera di hadapannya. ”Dan aku tidak lupa ingin berterimakasih pada semua fansku. Kalianlah yang telah mendukungku sampai tahap ini. Dan aku percaya, kalian semua mampu menilaiku lebih baik dari orang lain... bahkan mungkin lebih baik dari caraku menilai diriku sendiri. Karena itu, aku sangat berterimakasih dan mohon maaf atas pengertian kalian...” Bidam melirik ke arah pintu masuk dan tersenyum.

”Sekarang di sini, gadis yang kucintai telah datang, kurasa kita semua harus menyambutnya...” ujarnya sambil menatap ke arah pintu masuk. Sejenak pintu masuk dipenuhi sorotan lampu. Deokman melangkah masuk ditemani Jukbang dengan pakaian yang dipesan Bidam dengan terburu-buru tadi. Tapi harus diakui, selera Bidam memang sangat bagus. Pakaian itu membentuk siluet tubuhnya dengan indah. Dan ia tampak sangat cantik, walaupun wajahnya hanya dihias dengan make up minimalis dari Chenmyeong.

Bidam meraih tangan Deokman dan mereka memberikan salam bersamaan. Wartawan dan reporter bergantian menyorot mereka, memotret, dan mengucapkan selamat. Tidak sedikit yang merasa kalau ini adalah salah satu taktik penjualan agar single Bidam laris. Namun, justru pemikiran macam itulah yang diharapkan Bidam.

”Bagaimana dengan Mishil-shi? Bukankah ia Ibu kandungmu? Apakah kau tidak meminta restu darinya?” tukas Yeomjong tiba-tiba. Alcheon, Chuncu, dan Wolya menatap Yeomjong dengan terkejut, tidak mengira pria itu memiliki rencana sekeji itu.

Senyuman Deokman memudar, dan dalam sekejap, seluruh perhatian tertuju pada Yeomjong. Bidam menatap Yeomjong yang tersenyum culas dengan dingin. ”Kau tidak meminta restunya? Apakah ia tidak mau mengakui kalau kau anaknya?” desak Yeomjong sambil berjalan maju ke panggung.

Deokman menyentuh lengan Bidam dengan gugup, dan Bidam menggenggam tangannya, memberi kekuatan. ”Apa yang harus kita lakukan?” tanya Deokman panik.

”Bagaimna?” tanya Yeomjong lagi. ”Kau tidak bisa menjawabnya? Biar aku yang menjawabnya!” ujarnya sambil mengambil mic dari tangan Deokman. ”Pria ini!” ia menunjuk Bidam dengan keras. ”Pria ini adalah hasil skandal dari Mishil dengan pria biasa bernama Sadaham 29 tahun silam! Dan sekarang, Ayah angkatnyanya terbaring koma di rumah sakit karena dikeroyok belasan orang dengan benda tumpul. Sekarang ia akan bersama dengan wanita ini?” tanya Yeomjong lagi. Kali ini ia tertawa keras-keras. Namun, Bidam dengan tenang menyanggahnya.

”Kau kalah, Yeomjong...” ujarnya pelan. Sebuah senyuman kemenangan membekas di bibirnya. ”Akhirnya kau menggali kuburanmu sendiri...” lanjutnya.

Semua orang yang berdiri di sana memandang ke tengah panggung dengan bingung. Jelas-jelas posisi Bidam seharusnya terpojok, tapi mengapa ia tampak begitu tenang?

”Semua yang hadir di sini mendengarkan setiap kalimat yang ia ucapkan. Kalau perlu, kita bisa memutar rekaman kejadian hari ini karena kamera CCTV di setiap sudut ruangan ini aktif,” ujar Bidam menjelaskan. ”Pertama, aku mau tanya padamu, darimana kau tahu ayah angkatku koma? Rasanya tidak ada yang mengatakannya. Tapi baiklah, anggap ada yang mengatakannya, mengapa kau bisa begitu yakin kalau ia dikeroyok dengan benda tumpul sementara Dokter sendiri tidak berani menyimpulkan dan hanya berasumsi? Dan kenapa kau bisa tahu jumlah orang yang mengeroyok ayahku? Apakah itu jumlah orang yang kau bayar untuk mengeroyok dirinya?” tanya Bidam tajam.

Senyuman culas di wajah Yeomjong berganti dengan keterkejutan yang dalam. ”Kau bilang apa?! Aku yang melakukannya?! Jangan bercanda! Aku adalah promotion chief! Kenapa aku harus menyiksa penyanyi asuhanku sendiri?”

”Aku belum tahu apa motifmu, tentu saja. tapi, aku juga tidak bodoh. Kau pikir kau pandai dengan meneleponku menggunakan handphone omma ke nomorku yang hanya diketahui segelintir orang? Dan kaukira aku lupa, segelintir orang itu berarti termasuk kau di dalamnya?

”Aku tidak sebodoh itu! Anak macam apa yang tidak mengenali semua film yang dimainkan Ibunya? Dan satu hal penting, Omma tidak akan pernah mengakui kalau ia sakit padaku. Separah apapun itu, ia tidak akan mengatakan padaku kalau ia sakit. Apalagi hanya sakit tenggorokan. Kadang-kadang kau sangat pandai, namun adakalanya kau begitu bodoh, Yeomjong. Ketahuilah, aku sudah memikirkan satu langkah di depanmu.. dan kau sama sekali tidak menduganya, bukan?”

Kali ini Yeomjong tidak mampu berkata apa-apa lagi. Ia hanya mampu menatap Bidam dan semua wartawan di sana dengan kalut.

Bidam melirik arlojinya dan tersenyum. ”Rasanya rencanaku hampir tepat, sebentar lagi mobil polisi akan menjemputmu. Syukurlah, kukira aku akan menghabiskan lebih banyak waktu bersamamu, ternyata tidak juga...” Bidam memandang Yeomjong dengan tatapan angkuh dan dingin. ”Sebaiknya kau mengakui motifmu dan alasanmu, serta dimana kau menyekap Mishil Omma. Karena kalau tidak, kurasa waktumu di balik jeruji besi itu akan semakin lama...”

Dari jauh, raungan sirine mobil polisi pun mulai terdengar...

--------------------------===========to be continued=============-----------------------------

FanFic Bideok After Love 20

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TWENTIETH SCENE
The beginning of our plan
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bidam meletakkan telepon dan Chuncu memandangnya dengan senyuman bingung. ”Ternyata semua sesuai dugaanmu. Kalau begitu, apa yang kau butuhkan dariku di sini?”

Bidam tersenyum sambil meletakkan tangannya di bahu Chuncu. ”Aku memerlukan bantuanmu. Dan hanya kau yang bisa melakukannya…” ia menunjukkan lembaran headline itu dan membisikkan sesuatu di telinga Chuncu. Pria itu mengangguk paham dan segera mengutak-atik laptopnya.

“Apa yang kau rencanakan sekarang?” tanya Alcheon. Ia menuntut bagiannya dalam membantu Bidam. ”Kau sudah menelepon Deokman?”

”Aku akan meneleponnya. Segera. Dan aku memang membutuhkan bantuanmu.” Bidam membisikkan sesuatu yang lain ke telinga Alcheon dan dengan segera senyuman samar terbentuk di bibir Alcheon.

”Aku segera menelepon asisten setiaku, Jukbang sekarang. Kurasa ia bisa sangat membantu...” ujarnya sambil dengan segera melangkah dan menelepon seseorang. Bidam sendiri mengeluarkan kertas penuh coretan di kantongnya. Dan ia mulai menulis sesuatu yang lain.
-------------------------------------========================----------------------------------------
”Kalian mau peluncuran single kalian tetap diadakan? Kalian gila ya?!” Wolya memandang kedua wajah di hadapannya dengan bingung. ”Seumur-umur baru kali ini aku dengar permintaan seaneh ini!”

”Wolya-shi, kuharap kau mau membantuku. Aku punya sedikit ide. Dan kurasa ini akan berhasil... Tapi, entahlah, aku juga tidak tahu... Dan aku mau minta supaya kau menyetujui setiap bagian rencanaku...” Bidam menceritakan rencananya dengan cepat dan detail.

Wolya memandang Bidam dengan pandangan heran sekaligus takjub. ”Darimana kau punya keyakinan sebesar itu? Dan bagaimana mungkin!? Ah, itu terlalu beresiko!” tukas Wolya dengan kalut. ”Rasanya hampir mustahil!”

”Apakah Wolya-shi meragukan kemampuanku!?” tanya Bidam dengan pandangan tajam.

Wolya memandang Bidam lama, ia menatap mata itu dan menemukan kesungguhan di sana. Dan akhirnya ia hanya mampu menghela nafas panjang. ”Aku tidak mengerti bagaimana kau bisa memikirkan hal semacam ini, tapi, baiklah... aku akan membantumu...”

”Terimakasih, Wolya-shi!” Bidam menjabat tangan Wolya erat-erat. ”Sejak awal, aku tahu kau bisa kuandalkan!”
-------------------------------======================--------------------------------------------------
”Konferensi pers akan segera dimulai,” ujar seorang reporter di televisi. ”Dan sekarang, tampaknya Bidam-shi akan menjelaskan semuanya...”

Deokman dan Chenmyeong menatap layar dengan gugup. Yushin yang kebingungan ikut menatap layar dengan ragu. Tak lama, sebuah ketukan terdengar dari pintu kantor mereka.

”Aku akan membukanya,” ujar Deokman terburu-buru.

”Tunggu! Biar aku saja!” seru Chenmyeong sambil menarik tangan Deokman mundur. ”Bisa bahaya kalau ada yang mengenalimu sekarang...” ujarnya hati-hati.

Yushin mengangguk setuju. ”Biar Chenmyeong yang membuka pintunya. Tapi hati-hatilah...”

”Baik, tentu saja...” sahut Chenmyeong. Ia melangkah hati-hati ke pintu dan membukanya perlahan. Begitu pintu terbuka, sebuah seruan meluncur dari bibirnya. ”Kau!?”
-----------------------------=============to be continued============--------------------------

FanFic Bideok After Love 19

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
NINETEENTH SCENE
ONE REASON FOR ALL
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Seharusnya hari itu akan menjadi hari yang menyenangkan. Peluncuran single, pesta peresmian, dan kemudian segalanya akan baik-baik saja. Namun kenyataannya tidak demikian. Dan bahkan lebih dari itu, semuanya terancam batal.

Bidam memandang kerumunan fans yang membentuk antrian panjang di sekeliling gedung mereka. Dan Alcheon dengan muram terus memijit pelipisnya. Wolya membaca tabloid itu dengan tatapan tidak percaya, kemudian meremasnya dengan geram.

”Dasar manusia hina...” desisnya penuh amarah. Ia meninju meja di depannya dengan kesal. ”Kau yakin kau tidak pernah melakukan hal yang tertulis di sini?”

”Oh, sekarang kau tidak percaya padaku?” tanya Bidam dengan angkuh. Ia sudah capek terus menerus ditodong pertanyaannya yang sama entah keberapa kalinya. ”Aku tidak pernah melakukannya. Rasanya ini sudah kukatakan lebih dari seratus kali. Dan kutegaskan lagi supaya kau puas, berita itu sampah dan sama sekali tidak benar...”

”Aku rasa aku tahu siapa pelakunya...” Alcheon berjalan ke arah meja dan memandang tabloid itu dengan tajam. Foto yang dicetak besar-besar sebagai headline hari itu menampilkan sosok Bidam menggandeng lengan seorang wanita yang wajahnya diburamkan menuju sebuah hotel.

”Hotel! Ya ampun!” Bidam hanya mampu menggeleng dengan galau. Menciumnya saja ia belum pernah! Apalagi mengajaknya ke hotel! Memangnya dia pria macam apa? Memangnya Deokman gadis macam apa? Rasanya ia ingin sekali memukul seseorang. Namun ditahannya dalam-dalam perasaan itu.

”Apakah dia masuk hari ini?” tanya Bidam dengan suara dingin dan berat. Walau ia sudah berusaha menekan nada suaranya seringan mungkin, mustahil menghilangkan nada geram dalam suaranya.

Wolya mengangkat alisnya sedikit. Dan senyuman sinis mengembang di bibirnya. ”Jadi kau berpikiran sama denganku? Dia bahkan tidak menampakkan batang hidungnya sedikitpun hari ini!”

”Kita akan emngadakan jumpa pers! Aku harus mengumumkan sesuatu. Dan jelas, aku butuh bantuan kalian semua...” Bidam menarik nafas dalam-dalam. ”Aku punya ide yang kurasa cukup bagus, dan aku butuh bantuan Chuncu juga...”

”Aku akan meneleponnya,” sahut Alcheon segera. Ia merasa harus membantu sebisanya. Dan rasanya, pandangan mata Bidam yang epnuh percaya diri membuatnya merasa sedikit lebih optimis.
---------------------------------====================----------------------------------------------------
”Pagi unni...” sapa Deokman sambil meletakkan barangnya dengan gembira di atas mejanya. Hatinya masih berbunga-bunga kalau mengingat kencannya kemarin. Bidam bahkan mengajaknya ke toko dan membelikannya sebuah cincin emas putih yang kini ia kenakan di jari manis kirinya.

”Kau masuk kerja?” tanya Chenmyeong dengan mata membelalak. ”Kau tidak lihat berita ya?” ia menarik tangan Deokman dengan cepat ke arah televisi di sudut ruangan mereka. Yushin berdehem, mengingatkan mereka sudah waktunya mulai bekerja, tetapi Chenmyeong meletakkan tangannya di bibir, menunjuk ke televisi dan memaksa dua orang itu ikut menonton.

Deokman mengerutkan kening, merasa gedung yang disorot berita itu tidak asing lagi. Seorang reporter wanita muda berdiri dan menunjuk gedung tersebut. ”Sekarang ini kami berada di depan production house yang mensponsori Bidam-shi, dan bagaimana kelanjutan berita tentang sebuah foto yang memperlihatkan ia menggandeng tangan seorang wanita ke hotel? Sampai saat ini masih belum ada konfirmasi...”

Deokman merasa jantungnya melompat jatuh ke tanah. Bidam? Ke hotel? Dengan seorang wanita? Dan nafasnya nyaris putus saat ia melihat foto itu kembali ditampilkan di televisi.

”Bagaimana mungkin!!” serunya. ”Tidak mungkin!!!” ia memegang kepalanya yang terasa pusing. Jelas ia mengenali sosoknya sendiri. Tapi seharusnya bukan pintu hotel yang mereka masuki. Tapi pintu sebuah toko cincin! Dan kenapa begini? Ia nyaris kehilangan keseimbangan kalau Yushin tidak memegang bahunya.

”Itu kau?” tanya Chenmyeong dan Yushin hampir berbarengan. Deokman mengangguk dengan kacau. Chenmyeong memaksakan seulas senyuman di bibirnya. ”Paling tidak, dia tidak selingkuh, bukan?” ujarnya sambil tersenyum menenangkan. Padahal kepalanya mulai pusing. Keadaan akan semakin kacau, ia tahu itu.

”Kenapa bisa ada yang mengenali kami? Oh, padahal aku sudah menggunakan kacamata. Bagaimana ini? Padahal ini hari peluncuran single-nya. Oh, aku sudah membuat kacau...” Deokman mulai berpikir dengan gugup. “Apa yang harus kulakukan? Apakaha aku sebaiknya meneleponnya?”

Chenmyeong menangkap tangan Deokman sebelum gadis itu memencet tombol-tombol di handphonennya. “Berpikir dengan tenang, Deokman. Kau tidak akan menyelesaikan apapun dengan meneleponnya. Ia juga mungkin sedang kacau sekarang. Dan kemungkinan terbesar, telepon kalian bisa saja disadap.”

Deokman mengangguk menuruti saran Chenmyeong. Jantungnya seolah memukul-mukul dadanya dengan kencang. Ia menatap tiket yang semalaman dipandangnya dengan gembira. Setitik air mata meluncur jatuh di pipinya.
---------------------------------------=========================-------------------------------------
”Aku rasa hanya aku yang mengetahui nomor ini, jadi aman untuk meneleponmu ke sini...” ujar Mishil dengan nada mendesak. Nomor yang dihubungi Mishil adalah nomor pribadi yang hanya diketahui segelintir orang. Suaranya terdengar sedikit berbeda, seperti serak.

”Ya, benar. Apakah Omma sakit?” tanya Bidam dengan nada cemas. ”Dan kalau Omma mencemaskanku, aku tidak apa-apa. Justru Omma yang harus hati-hati. Aku rasa ia akan kembali bergerak. Dan aku sudah merencanakan jumpa pers...” Bidam menjelaskan rencananya dalam kalimat yang singkat dan mudah dimengerti.

”Apakah menurutmu kau sudah menanganinya dengan taktik itu?” tanya suara itu dengan tidak yakin. Ia kembali terbatuk beberapa kali. ”Aku memang sedang sedikit sakit tenggorokan...” lanjutnya.

”Ya, kurasa aku sudah berhasil menanganinya dengan taktik ini,” jawab Bidam sambil berpikir sejenak. ”Omma hati-hati ya, jaga kesehatan...” dan seulas senyuman membayang di bibir Bidam.
Di seberang sana, Yeomjong tertawa dengan wajah licik. ”Omma hati-hati ya?” tirunya sambil menahan geli di perutnya. ”Kali ini kau kalah, Bidam. Kau kalah,” ulangnya. Ia mematikan tape rekaman berisi editan dari potongan-potongan dialog drama yang pernah dimainkan Mishil.

Ia memutar tubuhnya dan tersenyum culas memandang Mishil yang terikat di sudut ruangan, yang kini menatapnya dengan dendam di matanya. ”Kau menolakku sejak awal. Dan anakmu juga menolakku. Jadi ia juga akan merasakan akibatnya...”
---------------------------=========to be continued=============--------------------------------

FanFic Bideok After Love 18

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
EIGHTEENTH SCENE
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Kau yakin tidak apa-apa kita bertemu begini?” tanya Deokman sambil mencondongkan tubuhnya ke meja di depannya.

Pria di depannya memandangnya lalu tersenyum. Sekalipun matanya tidak terlihat karena mengenakan kacamata hitam, Deokman tahu pasti matanya akan sedikit menyipit saat tertawa. Dan tetap saja ia harus mengakui pria itu tampaknya pantas mengenakan pakaian apapun.

“Aku tahu kau akan menanyakan itu, dan jawabanku, adalah kacamata ini...” Bidam mengulurkan sebuah kotak berisi kacamata hitam dan Deokman menerimanya ragu-ragu lalu mengenakannya.

“Mungkin lain kali kita bisa meniru metode pacaran Unni...” ujar Deokman sambil memasang kacamatanya. ”Kencan di apartemen sepertinya lebih aman dari serbuan fans...”

“Yang namanya fans sih bisa ketemu dimana saja. hanya saja, kita perlu hati-hati terhadap paparazzi...” ujar Bidam sambil memakan burger di depannya. “Lagipula, aku ingin setidaknya kau bisa merasakan kencan seperti pasangan normal pada umumnya. Kan konyol sekali kalau hanya karena wajahku ini pasaran, kita jadi harus mendekam di rumah...”

”Bidam-shi... kau baik sekali...” batin Deokman sambil tersenyum. ”Masa wajahmu kau sebut pasaran? Rasanya ada ungkapan lain yang lebih tepat...” sahut Deokman geli.

”Oh ya, ini...” Bidam mengeluarkan selembar karcis dan mengulurkannya pada Deokman. Deokman memandang karcis itu dengan terkejut. ”Pastikan kau datang hari sabtu ini ya...”

”Aku pasti datang!” jawab Deokman yakin. ”Tapi... kenapa karcis nya hanya satu. Bagaimana aku bisa mengajak unni?”

”Hmmm...” Bidam mengambil gelas softdrinknya lalu emmutar ujung sedotannya. ”Kurasa saat ini Alcheon-hyung sedang memberikannya pada Chenmyeong-shi...”

Tidak jauh dari sana, Seokpum tampak kebingungan dengan kamera di tangannya. ”Sialan! Bidam-shi itu benar-benar licin seperti belut! Sulit sekali menangkap jejaknya! Baru sebentar ia sudah menyadari ada yang membuntutinya.” gumam Seokpum sambil menengok ke kiri dan ke kanan, mencari sosok Bidam.

”Maaf tuan, permisi...” Seokpum menggeser jalannya karena ia sedari tadi menghalangi orang yang lalu lalang. Namun secara tidak sengaja, matanya menemukan sosok yang sedari tadi dicarinya. Dan senyum di bibirnya semakin mengembang.

”Kena kau sekarang,” desisnya senang. Dan dengan sigap, ia berulang kali membidikkan kamera dan menjepret targetnya.

-----------------------------------====================---------------------------------------------
”Kerja yang bagus,” ujar Yeomjong sambil menatap foto-foto di depannya. ”Perbesar foto ini...” ujarnya sambil menarik salah satu lembar foto dan menyerahkannya ke Seokpum. ”Dan foto ini juga... ”

“Lalu foto-fotonya dengan Mishil-shi... Bagaimana?”

“Itu bisa menyusul belakangan...” ujar Yeomjong setelah berpikir sejenak. “Wolya menolak membagi setengah keuntungan mereka padaku, dan ini akibatnya...” tawa licik itu kembali menggema.

“Seokpum!”
“Ya?”

”Mulai sekarang, selidiki gadis ini dengan cermat. Laporkan terus perkembangan hubungan mereka. Dan deadlinenya paling lambat sabtu ini!”

”Sabtu ini? Aku takut mereka tidak akan kembali bertemu setelah sabtu ini...”

”Seokpum, bisa-bisanya kau begitu bodoh,” Yeomjong menggeleng-gelengkan kepala dengan kesal. ”Kau tahu apa gunanya komputer?”

”Apa itu?” tanya Seokpum dengan bingung. Yeomjong menunggu dengan sabar dan sejenak kemudian ia ikut tersenyum culas. ”Aku tahu, tuan, sedikit polesan komputer, dan semuanya akan berjalan sesuai rencana Tuan...”

”Kau salah, Seokpum... Semuanya memang harus berjalan sesuai rencana. Dan foto aslinya? Itu bisa menyusul... Hahahahaha....”

--------------------------------======================--------------------------------------------
Bidam dan Alcheon sedang mendiskusikan acara peluncuran single mereka berdua ketika sebuah ketukan terdengar di pintu apartemen Bidam. ”Ya, sebentar,” sahut Bidam sambil berjalan menghampiri pintu.

”Hai, hyung...” sapa pria di depan pintu. Senyumnya yang oriental dan khas membuat Bidam langsung tertawa.

“Chuncu! Tidak kusangka kau akan mengunjungiku kembali secepat ini!!” ia merangkul sobatnya yang lebih muda setahun itu.

“Aku harus menanyakan beberapa hal pada hyung...”

”Oke, masuklah...”

Chuncu segera masuk dan menempatkan diri di sofa yang bersebrangan dengan Bidam. ”Kuharap aku tidak mengganggu waktu hyung sekalian.. Tapi aku butuh informasi untuk melengkapi analisisku...”

”Silahkan,” ujar Bidam sambil menggerakkan tangan kanannya.

”Pertama-tama...” Chuncu membuka file yang dibawanya. “Kapan hyung menyadari hubungan antara Hyung, Mishil-shi, dan Sadaham?”

”Kira-kira dua atau tiga tahun lalu, tidak lama setelah aku mengawali karir sebagai model dan kemudian menjalani debut film pertamaku. Kalau tidak salah sekitar bulan Mei...”

”Begitu...” Chuncu mencatat di notesnya dan mengajukan pertanyaan selanjutnya. ”Sejak kapan juga Yeomjong muncul dalam karirmu? Dan sejak kapan Ibumu mengenalnya?”

”Ada satu keanehan di sini...” jawab Bidam. “Kira-kira tiga tahun setelah Mishil-shi, Ibuku, dulu terkenal, ia tiba-tiba sempat menjadi manajernya dan kemudian menjadi promotion chief. ”

”Benar,” Alcheon menimpali. “Kemudian, aku dan Bidam, awalnya Wolya-shi secara penuh yang bertanggung jawab atas karir dan promosi kami, tetapi tiba-tiba ia mengambil alih tugas Wolya-shi dalam mempromosikan kami...”

”Kira-kira kapan itu terjadi?” tanya Chuncu sambil menggoreskan penanya.

”Tidak lama sebelum aku mengetahui kenyataan kalau Sadaham adalah Ayah kandungku. Kira-kira dua atau tiga minggu sebelumnya...”

”Rasanya mulai ada titik temu di sini...” komentar Chuncu sambil menutup filenya. “Baiklah, hyung, hari ini sampai sini dulu. Nanti kuhubungi lagi... Lebih baik jangan lewat telepon, karena aku tidak mau ambil resiko ada yang menyadap teleponmu...”

”Baiklah,,” sahut Bidam sambil menyalami Chuncu. Alcheon melakukan hal yang senada dan mereka bertiga bertatapan untuk waktu yang cukup lama. ”Aku tunggu perkembangannya...”
------------------------------========to be continued============-----------------------------

Minggu, 14 Februari 2010

Fan fic Bideok- After Love (poem from me)

To: Deokman from Bidam
Tujuh puluh, tiga puluh, dan sepuluh…
Berkali-kali kupastikan langkahku menjejak tanah
Dan setiap kali langkahku mendekatimu,
Dadaku hampir koyak oleh kegembiraan semu

Bukan ku tak sadar akan kenyataan itu
Bukan ku tak sadar bahwa maut menyebut namaku
Namun hatiku tak mampu
Aku tetap ingin merengkuhmu

Memelukmu ku tak pantas
Menghapus airmatamu kutak mampu

Hanya beberapa langkah menuju dirimu
Namun anak-anak panah menembus pertahananku
Dan hunusan pedang menghabisi bentengku
Benteng nyawaku, yang kupersembahkan untukmu

Aku ingin mencintaimu
Dengan seluruh jiwa yang kumiliki,
Dengan segenap kekuatanku
Aku ingin melindungimu

Deokman… Deokman…ku…
Aku akan selalu mencintaimu…
Di hadapan sebuah akhir, di hadapan cinta
Bagimu, nyawaku kan kupersembahkan
---------------------------------=================----------------------------------

Fanfic bideok after love 17

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
SEVENTEENTH SCENE
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Yushin-shi…” Deokman tergagap saat menatap pria di hadapannya. Tatapannya begitu dalam dan pekat, membuatnya kesulitan menanggapi. “Aku…” ia kesulitan menemukan kalimatnya. “Aku senang dengan perasaanmu, tapi… aku tidak bisa…”

Yushin menarik nafas dan tersenyum. “Sudah kuduga… Tampaknya kau benar2 terikat padanya…”

“Bukan begitu…” sergah Deokman kaget. “Bukan terikat… tapi lebih dari itu…” jawabnya dengan pandangan menerawang.

“Tapi apa?” tanyanya bingung.

“Apa Yushin-shi percaya dengan jodoh?” tanya Deokman sambil tersenyum. “Kurasa, bahkan lebih dari sekedar jodoh, aku merasakan takdirku bersamanya…”

TOK-TOK-TOK
Sebuah ketukan di pintu membuyarkan lamunan mereka. Chenmyeong melongokkan kepala sedikit dan tersenyum. “Foto-fotonya sudah jadi, Deokman. Yushin-shi, ayo kita makan kue sama-sama, tadi aku beli kue enak di depan stasiun…” Melihat wajah penuh terimakasih Deokman, ia tahu sesuatu sudah terjadi.

“Ehm, maaf, aku sedang tidak lapar…” tolaknya sambil tersenyum. Dengan segera perhatiannya tertumpah ke tumpukan dokumen di depannya. “Pekerjaanku masih banyak, kalian keluarlah…”

“Oke, terimakasih Yushin-shi…” ujar Chenmyeong.

Yushin sedikit mengangguk menerima salam pamit dari mereka. Pintu tertutup perlahan, dan bersamaan dengan itu, Yushin menarik nafas dan menutup matanya, menyenderkan dirinya di kursi yang didudukinya dengan perasaan kacau. “Takdir... ya…” gumamnya pelan.
---------------------------------------===============================---------------------------
Bidam tertawa kecil saat menggoreskan penanya. Alcheon mengintip dari balik bahu sobatnya. “Apa yang kali ini kau buat?”

“Hanya iseng, sebuah puisi…” jawab Bidam sambil menggerakkan bahu sedikit. “Dan satu coretan lagi, ternyata cara membaca nama Deokman dan nama Ratu Shilla yang ditulis dengan kanji juga Deokman loh!!” serunya girang seolah meneukan gossip terbaru.

“Oh ya? Kebetulan yang aneh…” gumam Alcheon., tapi perhatiannya tertuju sepenuhnya pada puisi di tangan Bidam. “Boleh kulihat kan?” tanyanya. Lalu ia membacanya sebentar dan berdecak kagum.

“Sejak kapan kau jadi cicak, hyung?” canda Bidam geli. “Menurutku kau terlalu tampan untuk jadi cicak…”

“Hebat…” desis Alcheon kagum. “Puisi ini keren… mungkin cocok kalau dijadikan selingan di intermezzo lagumu…” sejenak Alcheon tampak begitu mendalami puisi itu. “Hei, boleh aku sms puisi ini ke Chenmyeong?”

“Enak saja! Kreatif sedikit dong, hyung!” Bidam merebut kertasnya dengan cepat. “Masa pacar sendiri minta puisi dari orang lain…” gerutunya. Ia membaca puisinya lagi dan memonyongkan bibirnya sedikit. “Benar juga sih, kalau dibaca lagi, puisi ini lumayan juga… Hm… apa aku ikuti saran hyung saja ya? Eh, hyung? Menurutmu gimana?”

yang ditanya hanya diam saja. Bidam pun menoleh dan dengan bingung memiringkan kepalanya sedikit. “Ngapain hyung coret-coret kertas di meja itu?”

“Ssstt!! Aku lagi dapet inspirasi nih untuk bikin puisi tentang Chenmyeong-shi!!” tukasnya cepat. Bidam pun hanya mampu tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.
----------------------------------------------========================-------------------------------
Di kediamannya, sekitar 2 km dari pusat kota, Yemjong tampak duduk berhadapan dengan seorang pria yang berkacamata hitam dan berjaket, serta mengenakan setelan yang membuatnya tampak professional sebagai seorang detektif.

“Bagaimana? Ada perkembangan darimu?” tanya Yeomjong sambil menjetikkan jarinya. Dan sekejap kemudian, seorang pelayan membawakan sebotol anggur. “Aku harap ada, karena aku sudah menunggu cukup lama…”

“Tentu saja ada…” jawab pria itu dengan senyuman misterius. Ia membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah amplop. Di meja, ia menyusun isi amplop itu yang tak lain adalah kumpulan banyak foto.

Yeomjong mengangkat alis sedikit dan tersenyum meremehkan. “Foto yang kau dapat hanya begini saja?” pria itu mengangguk sekali. “Ini semua tidak bisa dipakai. Kita butuh bukti kuat yang bisa mengungkap hubungan Mishil dan Bidam. Kalau perlu, kita pakai taktik yang sedikit kotor…”

“Jadi, anda mau membuang semua foto ini?” tanya pria itu dengan nada tidak sabar. Tidak dapat dipungkiri, ia merasa kecewa hasil kerjanya dianggap tidak memuaskan.

“Bakar sebelumnya! Jangan tinggalkan jejakmu! Dan buang semua foto ini dari mejaku sekarang!!”

“Baik…” pria itu dengan terburu-buru menumpuk fotonya, dan beranjak pergi ke halaman untuk membakarnya. Namun sesaat selembar foto jatuh ke lantai.

“Hei bodoh, fotomu jatuh!!” Yeomjong menjangkau foto itu dengan setengah berjongkok. Matanya tiba-tuba membelalak, dan sebuah tawa yang menjijikkan bergema di bibirnya.

“Seokpum!!!!” serunya dengan girang. “Jangan bakar dulu foto-foto itu!!” ia dengan terburu-buru lari ke halamannya. Namun terlambat, asap mengepul di udara, Seokpum menyelesaikan tugasnya dengan cepat. Foto-foto yang tadinya dianggap gagal itu telah habis dilahap api.
.
“Ah, sayang sekali,” Yemjong mengentakkan kakinya kesal. “Sudahlah,. Yang penting masih ada satu! Siapa wanita di foto ini?” tanyanya sambil menunjukkan foto yang sedari tadi dipegangnya.

“ITu… Justru itu yang mau saya tanyakan pada tuan. Kelihatannya dia seorang tourist guide, namun hubungan antara ia dan Bidam-shi kelihatannya agak special…”

“Kau benar,” Yeomjong mengangguk-anggukkan kepala. Lagi2 tawa mengerikan bergaung di kediaman itu. “Selain Mishil-shi, kau juga harus menyelidiki wanita ini!!” serunya sambil tertawa misterius. “Aku akan mengungkapkan kebenaran… dan sebuah skandal!!!”
----------------------------------------to be continued------------------------------------------------------------

Fanfic bideok after love 16

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
SIXTEENTH SCENE
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bus berhenti di depan sebuah production house. Bidam dan Alcheon melompat turun dengan lincah. Chenmyeong dan Deokman menyusul turun. Mereka masing2 mengenakan topi dan kacamata hitam.

Deokman menatap Bidam dengan sedih. Lelaki itu tersenyum tidak puas saat berkata, “Tiga hari waktu yang sangat singkat…” ujarnya, lalu memeluk kekasihnya. “aku akan sangat sibuk, tapi kita akan tetap berhubungan…” ia bisa merasakan anggukan kepala Deokman di bahunya. “Kau menyimpan nomor telponku?” tanyanya lagi, dan Deokman mengangguk dengan ragu-ragu.

Di sampingnya, tidak jauh dari situ, Alcheon dan Chenmyeong sibuk bertukaran nomor telepon dan email. “Aku akan berusaha mengontakmu sebanyak mungkin…” bisik Alcheon sambil memeluk Chenmyeong. “Kita akan berjuang bukan?” tanya Alchen lagi.

“Ya,” jawab Chenmyeong dengan pipi berurai air mata. “aku akan merindukan Alcheon-shi…” ujarnya ketika ia maju dan berjinjit untuk memeluk leher Alcheon. Merea bertatapan mesra lalu berciuman.

“Wah, mereka berani sekali…” ujar Bidam sambil menatap ke samping. “Ckckck…” ia berkomentar pendek. “Ah, sial, iri juga rasanya!”

Deokman tersenyum malu dan mencuri-curi pandang ke sampingnya. “Kau… tidak akan melakukannya?” tanyanya gugup.

Bidam menatap Deokman dengan mata yang seolah menahan tawa. “Tidak sekarang, aku ingin menyimpannya untuk saat yang lebih special…” ujarnya sambil memeluk Deokman lagi. Lalu ia melepasnya dan bersiul menggoda pasangan berwajah merah di sampingnya.
-------------------------------------------===========================-----------------------------

Pagi-pagi benar dentingan gitar memenuhi lorong masuk menuju ruang rekaman. Alcheon melangkah masuk dengan tergesa dan tertawa. “Kau datang pagi sekali, padahal kukira aku sudah menang darimu…”
“Ah, berisik hyung… Gimana, sudah oke, sama Chenmyeong-shi?” tanyanya sambil tertawa geli. Ia memetik beberapa senar dan merasakan nadanya tepat, lalu mencoret kertas putih di hadapannya.

“Lumayan,” sahut Alcheon dengan malu. “Lagu apa itu? Lagu single-mu?” tanya Alcheon. “Sudah hampir selesai?”

“Sekitar 80 persen. Sebenarnya sudah hampir selesai, namun aku merasa ada beberapa nada yang harus dipoles, jadi kuputuskan untuk menyempurnakannya. Dan lagipula, ini lagu untuk mendapatkan hadiah special…” ia sedikit tergelak malu saat mengucapkannya.

“Kadang kala kau ini bisa sangat romantis juga, ya…” ujar Alcheon sambil geleng2 kepala. “Tapi kurasa single-mu akan sukse, mengingat kau sudah mati2an seperti ini…” Alcheon mengecilkan suara sedikit saat melanjutkan. “Ada kabar terbaru dari Yeomjong?” tanyanya berbisik.

“Belum ada,” jawab Bidam sambil terus memetik gitarnya. Beberapa saat lalu ia menceritakan semuanya ke Alcheon karena pria itu adalah satu2nya sqahabat yang ia percayai. Dan tidak pernah ada rahasia di antara mereka berdua. “Aku sudah menyewa detektif untuk menyelidikinya, semoga dalam waktu singkat semua kebenaran bisa terungkap…” ujar Bidam dengan suara getir.

“Kau menyewa detektif? Apakah tidak akan mencolok nantinya?” tanya Alcheon dengan bimbang. “Apakah dia bisa dipercaya?”

“Ooh, jangan khawatir hyung…” sahut Bidam sambil tertawa. “Dia itu mantan adik kelas kita, dan sekarang namanya sedang melonjak, dikenal sebagai detektif muda jenius… Chunchu-shi…”

“Chunchu?! Dia rupanya…” sebentuk senyuman menghias sudut kanan bibir Alcheon. “Dia kan adik kelas yang paling angkuh. Tapi entah kenapa, dia hanya takut padamu… Bahkan sampai kau lulus, dia masih terlihat takut padamu…”

Bidam menyelesaikan permainan gitarnya, lalu menggoyang-goyangkan telunjuknya dengan santai. “Sekarang tidak ada lagi yang kau ragukan bukan?” ia tertawa sambil menatap kertas penuh coretan itu dengan puas. “Karena membelanya, aku pernah berkelahi sekali, dan dia juga pernah melihatku berkelahi dengan anak2 sekolah lain. Dan hanya aku yang mengetahui rahasia mengapa ia selalu bolos pelajaran berkuda”

“Oh ya? Kenapa?”

“Mudah saja menjawabnya. Karena ia tidak bisa menaikinya…” tutur Bidam dengan wajah serius. “Yah, kalau rahasia itu tersebar kan, kepopulerannya di kalangan wanita bisa turun… Jadi, ya, begitulah…”

“Karena itu?” tanya Alcheon dengan wajah tidak percaya. Bidam mengangkat bahunya “Sungguh?” kali ini Bidam mengangguk. “Aneh sekali…”
---------------------------===============================--------------------------------------
Chenmyeong menatap Deokman dengan gelisah. “Aduh, kenapa belum ada kabar dari Alcheon-shi ya?” ujarnya gugup.

“Sekarang mereka sedang sibuk…” jawab Deokman sambil melihat text message dari Bidam di hp-nya. Ia sering tertawa geli melihat emoticon dari pria itu. “Iklan handphone Chak…”

“Oh, begitu…” tak lama handphone Chenmyeong ikutan berisik. “Ya, kau benar, mereka sedang pemotretan sekarang…” ujarnya sambil tersenyum menatap layer handphonenya. “Rasanya seperti sudah lama sekali tidak bertemu…” keluhnya sedih.

“Ya… Apa mereka juga merindukan kita, ya?” tanya Deokman sambil menatap handphonenya. “Unni, foto waktu perjalanan sudah diprint belum?”

“Oh, ya, aku lupa…” ujar Chenmyeong sambil buru-buru berdiri. “Kau ikut Deokman?” tanyanya. Tetapi sebelum Deokman menyahut, ia buru-buru menarik nafas panjang. “Deokman, aku pergi sendiri saja. Lihat, manajer memanggilmu…”

Deokman mengangguk lalu berdiri. Ia menatap Yushin sesaat, memberi hormat dengan sopan, lalu mengikuti pria itu ke ruangannya. “Ada sesuatu yang penting Yushin-shi?” tanya Deokman dengan bingung.

“Sebenarnya aku ingin menegurmu dan Chenmyeong karena kalian berdua tampaknya melewati batas. Bisa-bisanya kalian menjalin hubungan dengan klien kalian…” pria itu menggeleng dengan kesal.

“Saya minta maaf…” ujarnya kaku. “Hanya saja, Anda tahu sendiri… Cinta itu tumbuh tanpa pernah memilih tempat dan waktu…”

“Aku tahu itu,” jawab Yushin dengan tenang. Senyuman pedih mengembang di bibirnya. “aku tahu, karena aku juga telah melewati batasku…”

“Apa maksud Anda?” tanya Deokman bingung. “Kapan Anda pernah melewati batas?”

“Aku mengatakan ini bukan karena ingin merusak hubunganmu dengan Bidam-shi, tapi… Aku mengatakannya karena sejak dulu aku memang sudah merasakannya. Dna baru sekarang aku punya keberanian mengatakan ini…” ia memarik nafas dalam-dalam. “Deokman-shi?” panggilnya.

“Ya?” sahut gadis itu dengan ragu.

“Aku mencintaimu… Sejak pertama kali melihatmu, aku mencintaimu…”
------------------------------==========================--------------------------------------------
to be continued-------------------------------------------------------------------------------------------------

Fanfic bideok after love 16

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
SIXTEENTH SCENE
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bus berhenti di depan sebuah production house. Bidam dan Alcheon melompat turun dengan lincah. Chenmyeong dan Deokman menyusul turun. Mereka masing2 mengenakan topi dan kacamata hitam.

Deokman menatap Bidam dengan sedih. Lelaki itu tersenyum tidak puas saat berkata, “Tiga hari waktu yang sangat singkat…” ujarnya, lalu memeluk kekasihnya. “aku akan sangat sibuk, tapi kita akan tetap berhubungan…” ia bisa merasakan anggukan kepala Deokman di bahunya. “Kau menyimpan nomor telponku?” tanyanya lagi, dan Deokman mengangguk dengan ragu-ragu.

Di sampingnya, tidak jauh dari situ, Alcheon dan Chenmyeong sibuk bertukaran nomor telepon dan email. “Aku akan berusaha mengontakmu sebanyak mungkin…” bisik Alcheon sambil memeluk Chenmyeong. “Kita akan berjuang bukan?” tanya Alchen lagi.

“Ya,” jawab Chenmyeong dengan pipi berurai air mata. “aku akan merindukan Alcheon-shi…” ujarnya ketika ia maju dan berjinjit untuk memeluk leher Alcheon. Merea bertatapan mesra lalu berciuman.

“Wah, mereka berani sekali…” ujar Bidam sambil menatap ke samping. “Ckckck…” ia berkomentar pendek. “Ah, sial, iri juga rasanya!”

Deokman tersenyum malu dan mencuri-curi pandang ke sampingnya. “Kau… tidak akan melakukannya?” tanyanya gugup.

Bidam menatap Deokman dengan mata yang seolah menahan tawa. “Tidak sekarang, aku ingin menyimpannya untuk saat yang lebih special…” ujarnya sambil memeluk Deokman lagi. Lalu ia melepasnya dan bersiul menggoda pasangan berwajah merah di sampingnya.
-------------------------------------------===========================-----------------------------

Pagi-pagi benar dentingan gitar memenuhi lorong masuk menuju ruang rekaman. Alcheon melangkah masuk dengan tergesa dan tertawa. “Kau datang pagi sekali, padahal kukira aku sudah menang darimu…”
“Ah, berisik hyung… Gimana, sudah oke, sama Chenmyeong-shi?” tanyanya sambil tertawa geli. Ia memetik beberapa senar dan merasakan nadanya tepat, lalu mencoret kertas putih di hadapannya.

“Lumayan,” sahut Alcheon dengan malu. “Lagu apa itu? Lagu single-mu?” tanya Alcheon. “Sudah hampir selesai?”

“Sekitar 80 persen. Sebenarnya sudah hampir selesai, namun aku merasa ada beberapa nada yang harus dipoles, jadi kuputuskan untuk menyempurnakannya. Dan lagipula, ini lagu untuk mendapatkan hadiah special…” ia sedikit tergelak malu saat mengucapkannya.

“Kadang kala kau ini bisa sangat romantis juga, ya…” ujar Alcheon sambil geleng2 kepala. “Tapi kurasa single-mu akan sukse, mengingat kau sudah mati2an seperti ini…” Alcheon mengecilkan suara sedikit saat melanjutkan. “Ada kabar terbaru dari Yeomjong?” tanyanya berbisik.

“Belum ada,” jawab Bidam sambil terus memetik gitarnya. Beberapa saat lalu ia menceritakan semuanya ke Alcheon karena pria itu adalah satu2nya sqahabat yang ia percayai. Dan tidak pernah ada rahasia di antara mereka berdua. “Aku sudah menyewa detektif untuk menyelidikinya, semoga dalam waktu singkat semua kebenaran bisa terungkap…” ujar Bidam dengan suara getir.

“Kau menyewa detektif? Apakah tidak akan mencolok nantinya?” tanya Alcheon dengan bimbang. “Apakah dia bisa dipercaya?”

“Ooh, jangan khawatir hyung…” sahut Bidam sambil tertawa. “Dia itu mantan adik kelas kita, dan sekarang namanya sedang melonjak, dikenal sebagai detektif muda jenius… Chunchu-shi…”

“Chunchu?! Dia rupanya…” sebentuk senyuman menghias sudut kanan bibir Alcheon. “Dia kan adik kelas yang paling angkuh. Tapi entah kenapa, dia hanya takut padamu… Bahkan sampai kau lulus, dia masih terlihat takut padamu…”

Bidam menyelesaikan permainan gitarnya, lalu menggoyang-goyangkan telunjuknya dengan santai. “Sekarang tidak ada lagi yang kau ragukan bukan?” ia tertawa sambil menatap kertas penuh coretan itu dengan puas. “Karena membelanya, aku pernah berkelahi sekali, dan dia juga pernah melihatku berkelahi dengan anak2 sekolah lain. Dan hanya aku yang mengetahui rahasia mengapa ia selalu bolos pelajaran berkuda”

“Oh ya? Kenapa?”

“Mudah saja menjawabnya. Karena ia tidak bisa menaikinya…” tutur Bidam dengan wajah serius. “Yah, kalau rahasia itu tersebar kan, kepopulerannya di kalangan wanita bisa turun… Jadi, ya, begitulah…”

“Karena itu?” tanya Alcheon dengan wajah tidak percaya. Bidam mengangkat bahunya “Sungguh?” kali ini Bidam mengangguk. “Aneh sekali…”
---------------------------===============================--------------------------------------
Chenmyeong menatap Deokman dengan gelisah. “Aduh, kenapa belum ada kabar dari Alcheon-shi ya?” ujarnya gugup.

“Sekarang mereka sedang sibuk…” jawab Deokman sambil melihat text message dari Bidam di hp-nya. Ia sering tertawa geli melihat emoticon dari pria itu. “Iklan handphone Chak…”

“Oh, begitu…” tak lama handphone Chenmyeong ikutan berisik. “Ya, kau benar, mereka sedang pemotretan sekarang…” ujarnya sambil tersenyum menatap layer handphonenya. “Rasanya seperti sudah lama sekali tidak bertemu…” keluhnya sedih.

“Ya… Apa mereka juga merindukan kita, ya?” tanya Deokman sambil menatap handphonenya. “Unni, foto waktu perjalanan sudah diprint belum?”

“Oh, ya, aku lupa…” ujar Chenmyeong sambil buru-buru berdiri. “Kau ikut Deokman?” tanyanya. Tetapi sebelum Deokman menyahut, ia buru-buru menarik nafas panjang. “Deokman, aku pergi sendiri saja. Lihat, manajer memanggilmu…”

Deokman mengangguk lalu berdiri. Ia menatap Yushin sesaat, memberi hormat dengan sopan, lalu mengikuti pria itu ke ruangannya. “Ada sesuatu yang penting Yushin-shi?” tanya Deokman dengan bingung.

“Sebenarnya aku ingin menegurmu dan Chenmyeong karena kalian berdua tampaknya melewati batas. Bisa-bisanya kalian menjalin hubungan dengan klien kalian…” pria itu menggeleng dengan kesal.

“Saya minta maaf…” ujarnya kaku. “Hanya saja, Anda tahu sendiri… Cinta itu tumbuh tanpa pernah memilih tempat dan waktu…”

“Aku tahu itu,” jawab Yushin dengan tenang. Senyuman pedih mengembang di bibirnya. “aku tahu, karena aku juga telah melewati batasku…”

“Apa maksud Anda?” tanya Deokman bingung. “Kapan Anda pernah melewati batas?”

“Aku mengatakan ini bukan karena ingin merusak hubunganmu dengan Bidam-shi, tapi… Aku mengatakannya karena sejak dulu aku memang sudah merasakannya. Dna baru sekarang aku punya keberanian mengatakan ini…” ia memarik nafas dalam-dalam. “Deokman-shi?” panggilnya.

“Ya?” sahut gadis itu dengan ragu.

“Aku mencintaimu… Sejak pertama kali melihatmu, aku mencintaimu…”
------------------------------==========================--------------------------------------------
to be continued-------------------------------------------------------------------------------------------------

Fanfic bideok after love 15

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
FIFTEENTH SCENE
BIDAM AND DEOKMAN
TWO HEART
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Bidam menatap gadis di depannya dengan perasaan campur aduk. Belum pernah ia begitu takut mendengar kata penolakan. Setelah lama membisu, akhirnya bibir gadis itu bergerak lambat.

“Kau sendiri? Bagaimana perasaanmu pada ChenMyeong-shi?” tanya Deokman dengan gusar. “Aku tidak bisa…” gumamnya.

“Tidak bisakah kau sejenak berhenti memikirkan ChenMyeong-shi? Aku tahu kau sangat menyayanginya. Tapi di satu sisi, tidak sadarkah kau? Kau mungkin berhasil menenangkan hatinya, tapi di sisi lain, kau melukaiku..” tukas Bidam sambil memandang gadis itu dengan pandangan sendu.

Deokman tertegun mendengar kalimatnya. Apapun yang ia lakukan, ia hanya akan menyakiti salah satu dari meerka. “Aku tidak pernah bermaksud melukaimu…” gumam gadis itu. “Maaf…” matanya mulai berkaca-kaca lagi.

“Sulit sekali bicara denganmu!” dengus Bidam dengan kesal. ”Ayo, ikut aku!” ujarnya sambil setengah berlari, menarik gadis itu keluar dari rumah sakit.

“Aduh, Bidam-shi! Kita mau kemana sebenarnya?” Tanya Deokman dengan bingung. “Bidam-shi!” ia semakin panik saat mereka melangkah keluar dari rumah sakit dan mulai memasuki jajaran pertokoan. Cowok itu menariknya masuk ke sebuah kapel yang terletak tidak jauh dari sana.

”Bidam-shi! Untuk apa kita masuk ke kapel? Tidak sopan kan?!” protes Deokman sambil berusaha melepaskan diri. ”Bidam-shi!” cowok itu dengan tenang tetap emnarik tangannya dan menghampiri seorang pendeta yang duduk di salah satu kursi di sana.

”Permisi, boleh pinjam organ-nya??” tanya Bidam sambil tersenyum. Pendeta itu mengangguk dan membalas dengan senyuman yang tulus. Bidam mengucapkan terimakasih, lalu melepaskan tangan Deokman dan mulai meletakkan tangannya di tuts-tuts organ itu. Cowok itu menarik nafas beberapa saat, dan seiring permainan organnya, ia mulai menyanyi.

Even it hurts I can't feel it
Even I wait for you and you woudn't come over
Even I think of you so badly with quiver I can't feel it

Since the day I put your heart in my mind
I can't put my heart else where
Even if it hurts and breaks my heart, I won't close my heart

Only you can let me live in this lonely world
Only you can make me smile

Can't I love you? Can you come to me?
Just once, just once, can you hold me in your arms?
You're the one I'm devoted to
Can't you accept my heart?

The reason why I'm still breathing in this endless loneliness
Is all about you

Deokman tidak mampu melepaskan pandangannya dari Bidam. Dan nyanyian itu seolah membiusnya, membawa rohnya pergi ke dimensi lain. Berbagai kenangan akan kebersamaan mereka berputar di otaknya bagaikan slide film. Airmatanya bergulir dan terus menerus meluncur turun tanpa mampu dihentikan.

Untuk sejenak ia melupakan perasaannya yang kacau. Ia bahkan melupakan dimana ia berada saat ini. Yang ada di otaknya adalah, saat ini hanya ada dia dan Bidam di sini. Dan itu lebih dari cukup.

Can't I love you? Can you come to me?
Just once, just once, can you hold me in your arms?
You're the one I'm devoted to
The 1st time is also the last time

Even you're alive you can't be held in my arms
Even you throw my heart away from your mind

Can't I love you? Even I'm just behind you
Distantly, Distantly, Can't I look at you?


Cowok itu mengakhiri nyanyiannya dan tersenyum. “Apakah kau memahaminya Deokman? Inilah perasaanku yang sesungguhnya…” ujar Bidam dengan senyuman samar di bibirnya. ”Lagu ini kuciptakan khusus untukmu, dan tidak lain, kaulah yang menjadi sumber inspirasiku. Bukan orang lain, bukan teman2ku, bukan ChenMyeong-shi, tapi kau, Deokman.”

Deokman menggeleng pada dirinya sendiri. Berbagai pikiran berkecamuk di otaknya. Ia menggeleng, dan air matanya terus turun. “Aku...” suaranya bagai jeritan putus asa. “Aku mencintaimu, Bidam-shi...” suaranya terputus ketika pria itu sudah maju untuk memeluknya.
-----------------------------------=================================--------------------------
“”Mungkin nantinya keadaan akan jauh lebih sulit...” ujar Alcheon sambil berjongkok di kursi taman rumah sakit. Di sebelahnya, ChenMyeong berayun pelan di ayunan. “Dan akan semakin sulit untuk bertemu...”

“Jadi?” pancing gadis itu dengan tidak sabar. ”Apakah kau akan menjaga jarak denganku?”

”Apakah kau akan berjuang untukku?” tanya Alcheon sambil menatap ChenMyeong dalam-dalam. ”Apakah kau mampu berjuang untukku?” tanyanya lagi.

ChenMyeong mengangguk dan tersenyum. ”Kau tahu, rasanya aneh sekali untukku. Rasanya baru kemarin aku bertemu denganmu dan Bidam-shi, lalu tertarik padanya. Namun entah kenapa, sejak kau mengatakan padaku tentang mimpi itu... dalam cara yang aneh, aku merasa ingin bertemu denganmu...”

”Jujur, kalau aku jadi wnaita, aku juga tidak akan mampu menolak karisma Bidam. Buatku, dia lebih dari sekedar sahabat. Dan tadinya, kalau dia menyukaimu, aku bermaksud menyerah...”

”Dan kenapa tidak?” tanya ChenMyeong.

”Karena perasaanku padamu lebih dari itu...” ujar Alcheon serius. ”Kau tahu, sejak pertama kali melihatmu, aku merasa seperti terikat. Terikat dan terkunci. Dan pertemuan denganmu membuka segala kungkunganku... Lebih dari sekedar mimpi2 aneh, atau ikatan takdir, aku ingin bersamamu, ChenMyeong...” cowok itu bicara dengan serius, lalu memalingkan wajahnya karena malu. ”Yah, itu sih,,, pikiranku...”

”Aku juga,” sahut ChenMyeong. ”Bagaimana mungkin aku tidak merasakannya? Padahal yang membuat jantungku bisa berdetak... adalah Alcheon-shi...”

Mereka bertatapan dan tersenyum kecil. ”Ayo, kita jalan2 lagi...” ujar Alcheon sambil menggandeng tangan ChenMyeong.
---------------------------------==================================--------------------------”Deokman-shi,” Bidam menatap langit sesaat lalu melanjutkan kalimatnya. ”aku rasa, yang disukai Chenmyeong sebenarnya bukan aku...” melihat kerutan di dahi gadis itu, Bidam tertawa. ”Aku mengatakan ini bukan karena aku mau menghindari tanggung jawabku untuk bicara dengannya...” elaknya.

”Terus apa?” tanya Deokman. ’Selama ini dia begitu tergila-gila padamu... Karena itu...” Deokman menutup bibirnya dengan cepat. “Tidak jadi...”

”Apanya yang karena itu?” goda Bidam dengan wajah jahil. ”Karena itu kau jadi cemburu ya?” tanyanya sambil tertawa senang.

”Jangan ge-er ya!” Deokman menundukkan kepalanya dengan malu. Bidam tertawa pelan, lalu mengangkat bahunya. Deokman melirik cowok itu sebentar, lalu bergumam. ”Yah, sebenarnya sih, bukannya nggak begitu juga...” gumam gadis itu dengan pipi memerah.

Bidam tertawa lalu mengeratkan genggaman tangan mereka. ”Seandainya masalah menjadi semakin rumit, apakah kau akan berada di sampingku?”

”Kenapa kau mengatakan hal seperti itu?” Deokman menatap Bidam dengan cemas. ”Apakah kau akan melakukan hal2 berbahaya?”

”Tidak sebahaya pikiranmu, namun aku pasti akan menemukan pelaku yang membuat Appaku, Munno jadi seperti itu. Dan Deokman, apakah kau mau menemui Appaku?” tanya Bidam dengan ekspresi serius. Deokman menatapnya sejenak, lalu tersenyum menyanggupi.
------------------------=========================-------------------------------------------------
to be continued--------------------------------------------------------------------------------------------------

Fanfic bideok after love 14

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
FOURTEENTH SCENE
BIDAM
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Bidam tersenyum kecil melihat gadis yang duduk di sebelahnya bergerak2 dengan gelisah. Terlihat jelas kalau gadis itu menghindari bertatapan mata dengannya. Tetapi anehnya, Bidam merasa semakin ingin menggodanya.

”Ada masalah apa Omma datang ke sini?” tanya Bidam berbasa-basi. ”Kuharap aku tidak membuat Omma khawatir...”

”Tentu saja aku sempat khawatir tadi,” sergah Mishil cepat. ”Tetapi melihat keadaanmu baik2 saja, perasaanku sudah lebih baik...” ia tersenyum penuh arti seraya menambahkan. ”Ada yang menemanimu di sini, perasaanku jadi lebih tenang...”

”Tentu saja tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Oh ya, bagaimana pendapat Omma tentang Deokman-shi?” tanya Bidam sambil tersenyum jahil.

Mishil menaikkan alisnya sedikit. Sepertinya ia bisa menangkap maksud putranya. ”Dia gadis yang cantik, dan kesan pertamaku, dia baik dan sopan...” Mishil menatap Deokman dalam-dalam sebelum melanjutkan kalimatnya. ”Dia pacarmu, bukan?”

”Aku senang kalau Omma menyetujui hubungan kami!” seru Bidam sambil menepukkan kepalan tangannya ke tangan satunya dengan gembira. ”Ternyata memang Omma yang paling mengerti aku...”

”Tunggu!!” Deokman buru-buru memotong percakapan kedua orang itu. Ia memandang sopan kepada Mishil, dan memandang Bidam dengan kesal setengah malu. ”Aku kan bukan pacarmu, Bidam-shi...”

”Jangan bilang bukan, tapi bilang saja belum. Setidaknya tidak lama lagi demikian,” papar Bidam sambil tertawa renyah. Memang seru menggodanya, pikirnya. Melihat wajah Deokman demikian kacau, ia memutuskan untuk berhenti bercanda. ”Baik, baik, kita fokus ke masalah awal saja. Aku mau tanya sesuatu pada Deokman-shi...”
”Asal bukan masalah tadi...” tukas Deokman cepat. Puas rasanya bisa memberikan syarat untuk melindungi diri sendiri.

”Baik, baik, aku janji...” Tidak ditanya sekarang, tapi mungkin nanti... ”Deokman-shi, kau sepertinya tidak terkejut ketika tadi aku memanggil Mishil dengan sebutan Omma. Padahal tidak semua orang tahu hal ini, bahkan fasnku yang paling fanatik sekalipun. Ada alasan mengapa kau mengetahuinya?”

Deokman terperangah sesaat. Ia tidak mengira pikiran cowok ini sedemikian cerdasnya. Hanya dari secuil adegan saja, ia bisa menganalisa sedalam itu? Deokman berpikir sesaat. Sadar bahwa tidak ada gunanya ia menyembunyikannya, ia pun berterus terang. ”Aku tidak sengaja mendengar percakapan Wolya-shi dan Yeomjong...” ungkapnya jujur.

Bidam mengangkat alisnya sedikit, kebiasaan yang diperolehnya dari ibunya. Ia menatap Deokman dan tidak meragukan kata2nya sedikit pun. Mata gadis itu begitu jujur dan ia sangat mempercayainya. ”Aku percaya kau tidak hanya mendengar sedikit... Maukah kau menceritakan padaku hal apa saja yang kau dengar?”

Deokman mengangguk, lalu berusaha mengingat-ngingat percakapan yang tidak sengaja didengarnya tadi. ”Dia berkata akan menyebarkan kenyataan kalau Mishil-shi adalah Ibumu, dan Wolya-shi tidak emmbiarkannya, bahkan...”

”Bahkan apa?” pancing Bidam. Wajah Deokman dipenuhi keraguan. Dan Mishil menarik nafas panjang. Ia sudah tahu cepat lambat kenyataan akan terungkap. Sedikit banyak ia bisa menebak arah percakapan itu.

Deokman bertutut dengan suara pelan, tidak yakin apakah ia sebaiknya mengatakannya atau tidak. “Bahkan, Wolya-shi mengatakan ia curiga kalau ayahmu, ngg… kalau tidak salah, Munno-shi?” tanya Deokman memastikan. Bidam mengangguk, dan Deokman meneruskan ceritanya. “Wolya-shi curiga Yeomjong ada kaitannya dengan apa yang terjadi pada Munno-shi…”

Bidam tersentak kaget. Ia sama sekali tidak emnduga kalau dugaannya selama ini sangat tepat. Diliriknya ibunya yang sedari tadi hanya diam dan mendengarkan. ”Omma... seharusnya, Omma sudha mengetahui semua ini bukan? Mengapa tidak mengatakannya padaku?” protesnya. ”Mengapa?”

”Dendam tidak akan meghasilkan apapun Bidam. Biarkan Tuhan yang membalasnya...” ujar Mishil dengan suara yang terdengar bijak.

Bidam menggeleng, tidak kuat menahan kekecewaan di dadanya. ”Seharusnya, sejak awal seharusnya aku sudah tahu...” ia menggeram pada dirinya sendiri. ’Kenapa aku bisa begitu bodoh? Dan aku bahkan bekerja dan dipromosikan olehnya!”

Deokman memandang Bidam dengan sedih. Ia merasa kecewa karena tidak mampu membantu Bidam justru disaat ia sangat membutuhkannya.

”Nak, rasanya sudah saatnya Omma pulang...” Mishil mengintip melalui jendela dan mengelus bahu putranya dengan lembut. ”Kau harus baik-baik jaga dirimu. Dan jaga orang yang kau sayangi juga...”

”Aku tahu, Omma...” ujar Bidam sambil tersenyum pedih pada Ibunya. ”Aku akan merencanakan sesuatu supaya kita tidak usah bertemu dalam situasi seperti ini. Aku akan berusaha agar orang2 mau mengakui hubungan kita... Omma juga harus menjaga kesehatan baik2...”

”Tentu saja,” sahut Mishil sambil menepuk lembut pipi putranya. ”Putraku yang tampan, Omma sangat menyayangimu. Apapun yang terjadi, kau tidak boleh gegabah. Dan ingat, dendam hanya akan menghancurkan diri kita sendiri..”

Bidam mengangguk pelan dan tersenyum. ”Maaf aku tidak bisa mengantar... Terimakasih, Omma...” bisiknya saat memeluk Ibunya.

”Aku akan mengantar Mishil-shi...” Deokman dengan buru-buru menawarkan bantuan. Tetapi Mishil dengan anggun menolaknya. Jadilah Deokman berdua lagi dengan Bidam dalam ruangan itu.

”Ironis bukan?” ujar Bidam pedih. ”Untuk orang yang kusayangi, semuanya serba uslit bagiku...” keluhnya. ”Dan Deokman, aku tidak pernah bermaksud menyerah tentangmu...”

Deokman memandang pria itu dengan sedih. ”Bidam-shi, kau tahu, ini bukan saatnya bicara soal masalah kita...”

”Kalau tidak kuperjuangkan sekarang, aku tidak berani mengambil resiko kehilanganmu...”

”Tapi...” Deokman berusaha memprotes, tetapi tidak ada kalimat yang meluncur dari bibirnya. ”Kenapa begitu sulit berbantahan denganmu?”

”Karena apa yang kukatakan benar,” sahut Bidam cepat. ”Aku akan bicara dengan ChenMyeong-shi. Tetapi sebelum itu, aku ingin tahu perasaanmu padaku. Apakah kau merasakan hal yang sama denganku?” tanyanya sambil menatap Deokman dengan sepasang matanya yang teduh.

Deokman memandang Bidam dengan gugup. Ia tiak berani mengakui perasaannya, namun di satu sisi, detakan jantungnya tidak dapat berbohong. Lebih dari itu, ia merasa sudah mencintai pria itu bahkan sebelum mereka dilahirkan dan dipertemukan.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------to be continued---------------------------------------------------------------------------------------------

Fanfic bideok after love 13

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
THIRTEENTH SCENE
DEOKMAN
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
samara-samar tercium aroma khas dari obat-obatan. Deokman membuka matanya perlahan, mendapati dinding serba putih di hadapannya. Ia terkejut dengan sentakan rasa sakit yang tiba-tiba di kepala dan dadanya.

Deokman meringis sekejap hingga rasanya sakitnya hilang, ia lantas mengerjap-ngerjapkan matanya sampai penglihatannya normal kembali. Betapa terkejutnya ia saat melihat sosok pria yang terbaring di sebelahnya tidak lain BiDam.

”BiDam-shi?” panggilnya pelan. Tapi pria itu masih tidur di ranjang sebelahnya. Ia berusaha bangkit lalu menghampiri tempat pria itu berbaring. Hanya sedikit ingatan yang tersisa di kepalanya. ”Apa yang terjadi tadi?” batinnya bingung. Pipinya memerah saat mengingat jemari mereka bertemu. Dan tatapannya dengan segera beralih ke tangan cowok itu. Matanya menelusuri otot-otot tangannya, bentuk badannya yang ideal, dan wajahnya. Wajah yang membuat jantungnya berdebar-debar saat mata itu pertama menatapnya.

Samar-samar ia bisa mengingat apa yang mereka ucapkan tadi. Tapi ia tidak mengerti kenapa ia, bagaimana bisa ia mengucapkan kalimat semacam itu? Bahkan memikirkannya saja tidak pernah?

Tapi ia mengenali perasaan itu. Perasaan rindu yang beitu menggugah. Dan kesepian. Kesepian yang kemudian diikuti dengan perasaan kecewa, penyesalan, semua itu datang silih berganti digantikan dengan kejujuran, rasa percaya, dan kebahagiaan, kelegaan karena akhirnya ia bisa mengakui perasaannya sendiri.

Pipi Deokman kembali memerah. Ia tidak bisa membayangkan hal yang terjadi tadi. Bisa-bisanya ia mengatakan cinta. Dan pria itu? Mengapa ia juga mengatakannya? Kenapa ada atmosfer begitu aneh di antara mereka? Sejak pertama kali bertemu... ia sudah merasakan perasaan aneh itu. Begitu penuh, begitu menyesakkan, begitu aneh dan membakar.

”Ternyata memperhatikan wanita yang sedang melamun itu asyik juga, ya?” celetuk seseorang tiba-tiba. Dengan terkejut Deokman menatap BiDam yang sedang tersenyum menggoda di hadapannya. Senyumannya sekaligus terlihat begitu menawan.

”Asyik bagaimana?” protes Deokman dengan gugup. Ia membalik badannya buru-buru, tapi BiDam terlanjur menarik pergelangan tangannya.

”Aku merasakannya. Apakah kau tidak merasakannya juga?” tanya cowok itu sambil menatapnya dalam-dalam. ”Sejak pertama kali bertemu denganmu, rasanya semua mimpiku semakin bertambah jelas. Dan puncaknya adalah yang tadi itu..” cowok itu bangkit dan memegang kepalanya. ”Apa yang terjadi sebenarnya?”

Deokman menatap cowok itu dengan bingung. ”Aku tidak tahu. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku bisa mengucapkan kalimat sedalam itu...” tuturnya jujur. ”Dan aku... juga tidak mengerti kenapa saat itu perasaanku sepertinya benar2 jujur...”

”Selama ini aku tidak mempercayai yang namanya takdir. Menurutku semua ada sisi logisnya. Tapi, aku setuju denganmu. Rasanya aku betul2 tidak mengerti dengan apa yang terjadi tadi...” aku BiDam. ”Tapi, ada yang mau kukatakan padamu. Satu hal saja..”

”Apa itu?” tanya Deokman. Sadar tangannya masih digenggam oleh BiDam, pipinya memerah. Tetapi cowok itu tetap tidak melepaskannya, melainkan berjalan mendekat dan menatapnya langsung di matanya. Begitu dalam.

Deokman menahan nafas saat mata itu menatapnya lekat-lekat. Bulu mata yang panjang, dan garis2 wajah yang begitu lembut diimbangi dengan rahang yang tegas. Ia tidak bisa menghilangkan rasa gugup yang seolah menelannya bulat-bulat. ”Aku rasa, tidak semua perkataanku tadi tidak bisa kumengerti...” ujarnya sambil tersenyum tipis. ”Deokman, kalau ada satu hal yang perlu kauketahui, itu adalah perasaanku padamu...” BiDam mengeluarkan setiap kalimatnya dengan tegas. ”Deokman, kurasa aku2 jatuh cinta padamu...”

Deokman kali ini tidak mampu berkata apa-apa. Jantungnya berdetak dengan aneh. Bibirnya setiap saat bisa mengutarakan cinta, namun ia mengatupkan bibrinya rapat-rapat. ”ChenMyeong-shi... Dia juga menyukaimu, jadi ... aku tidak bisa...” ujar Deokman pelan. Ia berbalik dengan cepat, sebelum air matanya yang menetes dilihat oleh pria yang juga dicintainya.

Sekelebat bayangan kalimat bergaung berulang-ulang di otaknya. “Hanya kamu satu-satunya yang memandang saya sebagai seorang manusia sebagai seorang wanita dan saya menyukainya. Apakah boleh saya menyukai itu?” Ia merasa pernah emngucapkannya. Pernah. Dan air matanya menitik saat bayangan kepedihan yang tadi dialaminya kembali membawanya ke realita.

”Maaf, boleh saya bertanya...?” sapa seorang wanita dengan ramah. Deokman mengangkat wajah, lalu dengan segera matanya membelalak terkejut. ”Apakah kau tahu dimana kamar nomor 1303 tempat anak saya dirawat?” tanyanya.

Deokman mengangguk dengan gugup. Aku baru saja keluar dari kamar itu dan sebenarnya tidak mau kembali kesana. Diliriknya wanita itu dan ia merasa semakin yakin. Tidak salah lagi, wanita di sampingnya adalah Mishil-shi, seorang aktris senior yang hingga detik ini masih terkenal. Dan kecantikan serta keanggunannya memang tidak terelakkan. Ada hubungan apa dia dengan BiDam-shi? Deokman berpikir dengan bingung, karena setahunya yang berada di kamar itu hanya ia dan BiDam.

”Disini tempatnya...” ujar Deokman sambil menunjuk ke pintu yang masih tertutup. ”Kalau begitu, saya permisi dulu...” ujarnya mohon diri. Wanita cantik itu tersenyum mengiyakan.

”Deokman-shi!?” pintu itu tiba-tiba terbuka dengan cepat. BiDam agaknya mengenali suara Deokman dan dengan terburu-buru berlari dan membuka pintu kamarnya. Pandangannya yang terkejut beralih ke wanita di samping Deokman. ”Omma?” ujarnya. Ia buru-buru menutup mulutnya. ”Maksudku, Mishil-shi...” koreksinya cepat.

Deokman dengan segera teringat pembicaraan rahasia yang dilakukan Yeomjong dan Wolya tadi. Ia segera mengangguk, berusaha meluruskan kesalahpahaman yang terjadi. ”Tidak apa, BiDam-shi, aku tidak akan bilang siapapun. Aku permisi dulu...” ujarnya sambil buru-buru mengambil langkah.

Tapi entah kenapa BiDam selalu lebih cepat selangkah. Pria itu berhasil menarik pergelangan tangannya lagi. ”Ayo masuk, kita bicara bareng saja. Sekalian kukenalkan pada Omma-ku...” ujar cowok itu dengan pandangan memohon.

Deokman mencoba menolak, namun yang keluar dari mulutnya hanya suara yang ragu-ragu. ”Tapi.. tapi...” diliriknya Mishil yang sedari tadi tersenyum saat melihat aksi putranya. ”Tidak apa, Deokman-shi, ayo...” ajak wanita itu ramah. Deokman semakin kehilangan kata-kata. Kali ini jelas ia tidak bisa menolak lagi.
---------------------------====================================-----------------------------