-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
TWENTY FOURTH SCENE
THE INESCAPABLE FUTURE
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Kau akan pergi dengannya?” Tanya Chenmyeong sambil berdiri di depan pintu apartemen Deokman. Gadis itu mengamati sahabatnya yang sibuk memilah-milah baju. “Biar kubantu,” sahutnya cepat setelah melihat anggukan Deokman.
“Tampaknya, kau akan segera menyusulku…” gumam Chenmyeong. Deokman mengangkat wajahnya dengan bingung. Chenmyeong yang memahami arti tatapan mata itu dengan cepat menjawab, ”Aku... akan... segera menikah dengan Alcheon-shi...” ujarnya malu sambil menyerahkan sebuah undangan pernikahan.
Deokman menatap undangan di tangannya dengan mata membelalak. ”Unni!! Secepat ini?!” ia menatap tanggal yang tertera di undangan itu. ”Dua minggu lagi?! Sejak kapan Unni dan Alcheon-shi sudah menyiapkannya?”
“Yah, kami hanya...” Chenmyeong tertawa pelan saat mengingat Alcheon dengan kikuk melamarnya, membooking satu restoran dan menghidangkan kue dengan sebuah cincin di atasnya. Pria itu bahkan sangat terkejut karena cincinnya lupa dimasukkan ke dalam kuenya. ”Sedikit pesta kecil, dan setelah itu.. semuanya akan berjalan seperti biasa kok...”
“Tapi Unni sangat gembira bukan?” tanya Deokman sambil terus melipat bajunya. Samar-samar ia bisa melihat Chenmyeong mengangkat bahunya. ”Kenapa Unni? Ada yang salah?”
”Tidak, semuanya sudah sempurna, hanya saja...” Chenmyeong tersenyum malu. ”Aku cemas, apakah hal ini akan mempengaruhi karirnya atau tidak nantinya... Tapi, Alcheon sama sekali tidak ambil pusing... Bahkan ia terlihat jauh lebih bersemangat dariku kemarin saat mengepas baju pengantin...”
”Ah, tapi bukankah Unni sebenarnya sangat bahagia?” tanya Deokman sambil mengingat lamaran Bidam kemarin. Anggukan dan senyuman Chnemyeong membuatnya semakin bahagia. ”Karena itu, kuharap di atas segalanya, Unni bisa bahagia!!” tegas Deokman sambil memeluk gadis yang sejak lama dianggapnya sebagai kakak kandung itu.
---------------------------------============================-------------------------------------
”Hai, Deokman...” sapa Mishil sambil berlari menyambut dan memeluk Deokman. ”Dan Bidam, kau semakin tampan...” sambungnya sambil menepuk pipi putranya lembut. ”Kalian sudah siap? Sebaiknya kita langsung saja ke sana...” ujar Mishil sambil dengan sigap meraih jaketnya yang tergantung di pintu.
Mishil memerintahkan supirnya untuk menyiapkan mobil, dan dengan segera, mereka semua melaju ke sebuah rumah sakit yang terletak tidak jauh dari sana. Deokman terus-menerus tersenyum dengan gugup, sementara genggaman tangan Bidam yang terasa begitu hangat seolah menguatkannya.
Setibanya di sana, Mishil mengantarkan mereka ke sebuah ruangan besar yang terletak agak ke sudut lorong. Di sana, terbaring seorang pria yang menggunakan alat bantu pernafasan dan sebuah monitor kecil di sampingnya, menunjukkan kalau jantungnya masih berdetak. Ia terlihat seolah hanya tertidur.
”Ini Papaku...” ujar Bidam sambil membimbing Deokman menghampiri tempat tidur Munno. Deokman mengikuti pria itu dan menatap pria yang hingga kini, sekalipun terbaring lemah, terlihat sangat gagah. ”Kau boleh memanggilnya Papa mertua,...” canda Bidam.
”Aku akan membeli makanan...” ujar Mishil sambil berjalan ke arah pintu. Bidam menyusul dan mengatakan akan menemaninya. Deokman mengangguk lalu dengan senyuman canggung, ia berusaha mengajak bicara pria di depannya.
”Munno-shi, apa kabar? Saya Deokman…” bisik Deokman pelan. ”Um... semuanya di sini berharap akan kesembuhan Munno-shi, jadi, kami harap, Anda bisa cepat sembuh. Bidam, uh, maksudku, putra Anda telah melamarku, jadi...” Deokman menahan nafas, dirasakannya pipinya begitu panas.
Ia menarik nafas sesaat sebelum melanjutkan. ”Aku harap, Munno-shi juga bisa menghadiri pernikahan kami, dan... setelah itu, Anda bisa kembali... menjadi sosok Papa bagi Bidam...” ia teringat akan cara Bidam memainkan serulingnya. Begitu pedih dan menusuk. ”Ia... sangat merindukan Anda... dan Yeomjong? Bidam mengatasinya dengan brilian...” ujar Deokman sambil menghapus airmata yang tiba-tiba menetes di pipinya. Sebuah sentuhan hangat di bahunya membuatnya menoleh. Entah sejak kapan Bidam sudah masuk dan berada di sampingnya.
”Ayo kita keluar, biarkan mereka berdua bicara...” ujar Bidam sambil menggandeng Deokman, membiarkan Mishil mengambil alih tempatnya.
------------------------------=================================-------------------------------
”Aku... pernah menceritakan mimpiku padamu, bukan?” tanya Bidam sambil menatap jalanan di depannya. Saat ini mereka tengah menaiki sebuah bis yang akan mengantar mereka ke tempat-tempat bersejarah di Geongju.
”Pernah, dan kemudian...” Deokman berusaha mengingat-ingat, ”kemudian aku pingsan, lalu katamu aku mengucapkan hal yang aneh...”
”Benar, aku mengucapkannya seolah kau berasal entah darimana. Kurasa, itu semua ada kaitannya dengan mimpiku...”
”Begitu pula dengan mimpiku...” sahut Deokman pelan, berusaha menekan suaranya yang bergetar sedatar mungkin.
”Apa maksudmu?” tanya Bidam bingung.
”Aku juga memimpikannya, Bidam...” jawab Deokman. ”Selalu saja, setiap malam, seorang pria, tampan, tinggi, dan matanya... aku tidak bisa melupakan tatapan matanya. Terutama...” Deokman menahan nafas, menahan sakit di dadanya, ”Terutama ketika ia rubuh di hadapanku...”
”Kalau boleh kukatakan sesuatu...” ujar Bidam ragu. Deokman memandangnya dengan mata yang sarat akan pertanyaan. ”Namamu dan nama Ratu Shilla, sama-sama dibaca Deokman...”
Deokman merasakan hantaman yang kuat di jantungnya. Ia meletakkan tangan di dadanya dengan terkejut. ”Sama denganku?” tanyanya dengan wajah pucat. ”Bahkan Chenmyeong juga mengatakan kalau wajahku mirip dengannya...”
”Mungkin tidak seratus persen sama, tapi setidaknya, kalian memang sangat mirip...” Bidam mengangguk setuju. ”Dan nama pria yang kau maksud dalam mimpimu?”
”Bidam.,,” jawab Deokman antara sadar dan tak sadar. ”Bidam...” ulangnya dengan air mata yang mengalir di pipinya.
”Benar, kenapa aku bisa lupa?” Deokman memegang kepalanya dengan tangan gemetar. ”Kau dan pria itu, memiliki mata yang sama...” Deokman menatap Bidam dengan perasaan kalut. ”Dan suatu kali, dalam mimpiku, aku menyebut namanya... ’Bidam’...”
--------------------==========to be continued============---------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar