------------------------------------------------------------------------------------------
SIXTH SCENE
BI DAM
-----------------------------------------------------------------------------------------
Alcheon menutup mulutnya dengan punggung tangannya, berusaha mengusir rasa kantuk yang melandanya. Semalaman ia tidak bisa tidur. Barangkali ia mulai terpengaruh oleh omongan Bi Dam. Buktinya semalam ia juga memimpikan sebuah kerajaan. Dan di sana, kalau ingatannya masih jelas, ia berperan sebagai pengawal setia seorang putri.
Seiring dengan langkah kakinya menyusuri lorong, sayup-sayup ia mendengar alunan suara seruling yang sendu. Ia tersenyum kecil dan mempercepat langkahnya, memasuki ruangan di sudut lorong yang sejak semula memang ia tuju.
"Sudah kuduga, memang kau yang memainkannya..." ujarnya sambil menjatuhkan dirinya di sofa terdekat yang bisa ia temukan. "Apa perasaan hatimu sedang tidak nyaman?"
BiDam menyelesaikan lagunya, lalu menghela nafas dan menatap Alcheon sejenak. "Bagaimana kau bisa tahu tentang perasaanku?"
"Kau hanya memainkannya saat perasaanmu tidak nyaman bukan? Karena seruling identik dengan Ayah angkatmu, Munno-shi..."
Bi Dam mengangguk pelan, menyimpan serulingnya dan bertanya tanpa menoleh. "Kau sudah mengaturkannya untukku?"
"Sudah," jawab Alcheon sambil lalu. "Aku sudah meminta Wolya-shi mengaturkannya untuk kita," jawabnya pelan. "Dan Yeomjong akan ikut, tentu saja."
Bi Dam diam sebentar sambil berpikir. "Untuk apa Yeomjong ikut?" pertanyaannya lebih ke arah protes.
"Sebagai promotion chief, dia akan sekaligus meliput dan mengambil foto-foto kita di sana, lagipula, dia punya banyak relasi yang bisa mempermudah urusan2 kita.."
"Terserah kalau begitu," ujar Bi Dam. "Lagipula,sebelum ke Gyeongju, aku berniat untuk mampir ke rumah omma..."
"Ke tempat mishil-shi?" Alcheon mengangguk setuju. "Aku sarankan kita ke sana malam hari. Kau tahu ada banyak paparazzi di luar sana..."
"Aku tahu itu," Bi Dam menarik nafas dan tersenyum getir. "Entah kenapa urusan dalam hidupku seringkali tidak mudah..."
----------------- --------------------
Mobil mereka bergerak dalam gelapnya malam. Bi DAm sesekali memandang keluar dan kembali memainkan sulingnya. Kali ini lagunya lebih teratur dan berirama sendu. Alcheon menunggu sampai Bi Dam selesai, barulah ia bersuara.
"Lagu yang indah sekali... Kau menciptakannya?"
"Begitulah," jawab Bi Dam cepat. "Bagaimana menurutmu?"
"Lumayan, aku cukup tertarik..." sahut Alcheon sambil membaca majalahnya. "Kau bermaksud menggunakannya untuk single-mu?"
"Begitulah, tapi aku masih berusaha memodifikasinya... Entah kenapa perasaanku belum terwakili ke lagu ini..."
"Perasaanmu kadang terlalu rumit," gerutu Alcheon. "Tapi itu yang membuatmu menjadi pribadi yang kompleks," sambungnya sambil berpikir. Lama ada jeda sebelum akhirnya ia menambahkan. "Kupikir, aku harus mengatakan ini padamu..."
"Apa itu?" tanya Bi Dam dengan wajah penasaran. "Sesuatu yang penting? Ada kaitannya dengan omma-ku?"
"Bukan, bukan dengan mishil-shi, tetapi denganmu." Alcheon berusaha menekan suaranya. "Dengan mimpimu..."
"Mimpiku?" Bi Dam tertawa kecil memandang Alcheon. "Aku tidak mau dengar kalau kau mengatakan padaku itu mimpi anak-anak..." ia hampir tertawa, namun melihat keseriusan raut wajah Alcheon, ia menghentikan senyumnya.
"Aku juga mulai memimpikannya..." ujar Alcheon dengan suara gemetar. "Aku tidak yakin apa penyebabnya, namun aku juga mulai memimpikannya.." Alcheon tampak ragu-ragu sebelum menambahkan. "Awalnya buram, namun lama-kelamaan, gambarnya semakin jelas dan nyata. Dan bagaikan potongan puzzle, semuanya mulai tersambung..."
Kali ini giliran Bi Dam yang tidak mampu mengatakan apapun. Ia hanya mampu menatap Alcheon dengan bingung. Bahkan ketika mobil mereka tiba di kediaman Mishil-shi, Bi Dam masih terperangkap dalam pemikirannya.
---------------- -----------------
"Bi Dam!!" Mishil membuka lengannya dan merangkul putranya erat-erat. "Aku senang kamu datang ke sini..." ujarnya sambil melepaskan pelukan dan menatap putranya yang tampan. "Dan ada Alcheon juga," serunya sambil tersenyum menatap Alcheon dari balik pundak putranya.
"Maaf aku lama tidak datang, apakah kesehatan omma baik2 saja?" tanya Bi Dam khawatir.
"Tentu saja," jawab Mishil dengan tenang. "Kesehatan Munno juga semakin membaik." Walaupun tidak ditanyakan, ia tahu pasti putranya akan menanyakannya cepat atau lambat.
"Syukurlah, jawab Bi Dam sembari tersenyum. Sejak kecil, ia sudah harus hidup terpisah dari Mishi, Karena Mishil sebagai aktris terkenal tidak boleh ketahuan telah memiliki anak diluar nikah dengan pria biasa-biasa saja bernama Sadaham.
Semua semakin kacau saat Sadaham meninggal karena kecelakaan mobil pada saat Mishil berada di puncak ketenarannya. Mishil terpaksa meninggalkan Bi DAm atas perintah manajemennya, dan oleh Karena itulah, Bi Dam diangkat anak oleh Munno dan tumbuh bersamanya.
Setelah dewasa, ia ditemukan oleh sebuah grup pencari bakat dan secara kebetulan ia berada dalam satu production house dengan ibunya. Bi Dam bahkan menjadi lebih terkenal dari Ibunya. Hal ini menimbulkan kecemasan tersendiri bagi Munno.
Awalnya Bi Dam tidak mengetahui kalau Mishil adalah Ibunya, tentu saja, namun suatu hari, ia mendengar pembicaraan rahasia antara Mishil dan Munno. Dan sejak itu, ia menyelidiki asal usulnya.
Hatinya hancur karena Munno yang merupakan sosok sangat disayangi dan didambakannya ternyata bukan Ayah kandungnya. Namun lebih dari itu, ia mencoba bersyukur karena selain seorang ibu, ia juga memiliki 2 ayah yang menyayanginya.
Karena keberadaan Bi Dam, akhirnya hubungan Mishil dan Munno pun mulai dekat. Namun, tidak sampai beberapa minggu kemudian, Munno ditemukan terkapar di pinggir jalan. Diduga ia dikeroyok dan tubuh serta kepalanya dihantam dengan benda-benda tumpul. Tidak diketahui pelakunya sampai sekarang. Namun jelas, Bi Dam mencurigai satu orang sebagai otak pelakunya. Pelaku yang membuat Munno sampai detik ini terbaring koma di rumah sakit Seoul.
“Apa yang kau pikirkan, Bi Dam?” tanya Alcheon sambil menyenggol sikunya. “Kau melamun?”
“Ah, ya sedikit…” gurau Bi Dam. Matanya bertatapan dengan Ibunya dan mereka menemukan kesedihan di sana. Sekaligus kesamaan. Mereka sama-sama mengetahui kenyataan, namun yang satunya tidak bermaksud mengungkapkannya sedikit pun; sedangkan yang satunya lagi tidak yakin akan fakta yang ia simpulkan sendiri, karena itu ia tidak berani sembarangan berspekulasi.
----------------------- ---------------------------
Ruangan serba putih itu tampak sepi. Hanya gema langkah kaki yang terdengar, mengisi keheningan salah satu ruangan di RS Seoul. Alcheon dan Bi Dam menatap pria yang terbaring dalam keadaan koma di hadapannya.
“Dia masih belum sadar, namun beberapa hari lalu jari tangannya bergerak sedikit. Kata dokter, artinya masih ada kemungkinan…”
“Syukurlah, Munno-shi…” Alcheon berbisik kecil, namun sia-sia, pria itu seolah tertidur nyenyak dalam mimpi tanpa akhir.
“Appa…” bisik Bi Dam sambil berjalan mendekati ranjang dan menyentuh tangan pria itu. Tangannya masih terasa hangat. Namun ekpresinya tetap kaku dan dingin. Sama sekali tidak ada reaksi. “Aku janji, aku pasti akan menemukan orang yang emmbuat Appa seperti ini…” geramnya.
“Bi Dam, tidak perlu mengubur dirimu dalam kebencian. Mungkin ini semua sudah kehendak langit.” Alcheon menepuk pundak Bi Dam, berusaha menenangkannya.
“Tidak ada yang dinamakan dengan kehendak langit,” ujar Mishil dengan suara bergetar. “Tidak ada.”
“Aku tahu kau mengetahui sesuatu, Omma…” ujar Bi Dam perlahan. “Namun, aku tidak akan memaksa…” Bi Dam melepaskan genggaman tangannya dari tangan Munno dan melangkah ke pintu keluar.
“Kau sudah akan pergi sekarang?” tanya Mishil dengan perasaan tidak rela. “Apakah kau akan kembali lagi menemuiku?”
“Tentu saja, Omma…” jawab Bi Dam sambil tersenyum tulus, “Jaga dirimu dan Appa baik-baik… Dan jangan lupa untuk membeli CD original single-ku…” canda Bi Dam.
Mishil menatap Bi Dam dan tertawa. “Apakah kalau aku meminta tandatangan, aku akan mendapatkannya gratis?”
“Tidak ada yang gratis di dunia ini,” ujar Bi Dam sambil mengedipkan sebelah matanya dengan jahil. “Jangan lupa siapkan ayam rebus kalau aku berkunjung lagi nanti…” tambahnya sambil tertawa renyah. “Ayo Alcheon, kita ke Gyeongju…”
-------------------- ------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar