--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
EIGHTH SCENE
BIDAM
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
BiDam terbangun dengan tubuh penuh keringat dingin. Di sampingnya, Alcheon tidur dengan gelisah. Ia membangunkan sobatnya.
“Apakah kau mengalaminya juga?” tanya Alcheon begitu bangun. Ia menyeka keringat yang memenuhi keningnya.
“Tidak hanya itu. Aku tahu mimpiku semakin parah dari waktu ke waktu. Tapi kali ini lain. Rasanya semuanya semakin jelas. Dan semakin nyata. Terlalu nyata…” BiDam memejamkan mata, seolah kembali merasakan semua sayatan di tubuhnya. “Sejak datang ke Geongju, kepalaku kadang-kadang terasa sangat sakit. Contohnya, kemarin saat kita memasuki halaman utama tempat dulu para prajurit Shilla berlatih…”
“Kau mau dengar yang lebih gila daripada itu?” tanya Alcheon sambil mengepalkan rangannya. “Aku juga merasakan sakit di kepalaku, saat melewati halaman utama, dan sejumlah gerbang. Rasanya aneh, dan begitu familiar… seperti sebuah deja-vu…”
“Benar, seperti deja-vu,” BiDam mengulang kalimat Alcheon dengan ragu. “Aku merasa semua tempat itu pernah kulalui dulu. Tapi aku tidak tahu kapan dan dimana. Hanya saja, aku merasa kalau aku ditinggalkan di sana, aku bisa menelusuri semua jalan itu tanpa tersesat…”
“Begitulah,” ujar Alcheon. “Dan rasanya aku tahu bagaimana perasaanmu. Sekarang aku mau minta maaf karena dulu menertawakan mimpimu…”
“Itu bukan masalah lagi,” ujar BiDam tergelak. “Sekarang, kurasa semua mimpiku memang ada sangkut pautnya dengan Kerajaan Shilla. Hanya saja aku tidak tahu apa yang menyebabkan kita memimpikan ini semua…”
------------------------------- ====================------------------------------------------
“Selamat pagi, BiDam-shi, Alcheon-shi… Tidur nyenyak semalam?” tanya ChenMyeong. Wajahnya terlihat ceria namun tidak dapat disangkal, matanya terlihat sedikir mengantuk.
“Tidak bisa nyenyak…” ujar Alcheon setengah tertawa. “Tapi rasanya kau juga tidak tidur nyenyak, bukan?”
“Bagaimana kau bisa tahu?” ChenMyeong menatap Alcheon dengan kaget dan memegang pipinya yang memerah. “Semalam aku mimpi aneh, dan rasanya begitu nyata.”
“Aku rasa itu hal yang wajar,” sahut Alcheon sambil mengingat mimpinya semalam. “Tempat ini membuat kita semua mengalami hal-hal yang sulit diduga…”
“Benar, tapi rasanya cukup menyenangkan…” ujar ChenMyeong sambil tersipu malu.
“Menyenangkan bagaimana?”
“Begini, ada seorang pria dalam mimpiku. Dan ia seolah selalu berada di sampingku. Aku tidak tahu siapa dia, tapi…” ChenMyeong tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Wajahnya terasa panas. “Aku tahu ini konyol…”
“Sama sekali tidak konyol,” sergah Alcheon sambil tersenyum. “Tapi apa? Lanjutkanlah…”
“Tapi…” ChenMyeong menarik nafas sebelum melanjutkan. “Rasanya aku bahagia dengan keberadaannya di sampingku…”
“Oh ya?” tanya Alcheon dengan senyuman simpul. “Aku rasa pria yang kau sukai sangat beruntung…” tambahnya.
ChenMyeong terpana memandang senyuman manis di hadapannya. Ia tidak bisa menahan debaran jantungnya yang tiba-tiba semakin cepat.
Melihat ChenMyeong diam saja dan tidak menanggapinya, Alcheon bertanya dengan bingung. “Ada yang aneh dengan wajahku?” tanyanya kikuk.
“Bukan begitu kok…” tawa ChenMyeong pecah. “Aku senang sekali bisa bicara banyak dengan Alcheon-shi… Ternyata berbeda sekali dengan yang kulihat di infotaintment, kau sangat baik…”
“Jangan terlalu memujiku…” tukas Alcheon. “Nanti aku bisa terlanjur menyukaimu…”
“Eh?” ChenMyeong menatap pria di depannya dengan terkejut, berharap salah dengar. Tapi tatapan itu begitu serius, dan ia tiba-tiba kehilangan kemampuannya untuk bicara.
“Tapi, yang kusukai…”
“Pagi, semuanya…” sapa BiDam sambil melangkah dengan tegap menghampiri keduanya. “Malam yang panjang, bukan?” ujarnya sambil menatap kedua orang di depannya bergantian. Ia lantas menatap arlojinya. “Sudah jam 9, mana Deokman-shi dan Wolya-shi?”
“Wolya sedang berunding dengan Yeomjong di sana,” jawab Alcheon sambil menggerakkan kepalanya sedikit. “Dan Deokman-shi? Aku tidak tahu. Kau tahu dimana dia, ChenMyeong-shi?”
“Kemungkinan dia sudah berada dalam mini bus, mengkonfirmasikan jadwal hari ini dengan supir…”
“Aku mau melihat rute kita ke mana hari ini,” ujar BiDam sambil buru-buru berlari ke arah pintu keuar. “Kalian santai saja…” ia setengah berteriak sambil menoleh sedikit ke belakang.
“Tapi, BiDam-shi…” ChenMyeong ingin memanggilnya tapi urung melakukannya. Ia hanya memandang punggung BiDam yang menjauh.
Alcheon menatap ChenMyeong sekilas dan hal itu membuatnya lebih dari sekedar tahu. Ia merasakannya. Tatapan ChenMyeong sudah mengatakan semuanya. Namun lebih dari itu, ada perasaan aneh yang menyeruak di dadanya.
-------------------------=================================---------------------------
“Ternyata kau memang di sini, Deokman-shi…” BiDam berjalan menghampiri Deokman yang masih asyik bicara dengan supir minibus mereka. “Aku mau mengusulkan sesuatu…”
“Apa itu?” tanya Deokman sambil menunjuk daerah2 yang akan mereka lalui hari ini. “Kalau tempatnya tidak jauh, kemungkinan besar kita bisa ke sana…”
“Aku ingin mengunjungi makam-makam para pembesar istana. Terutama makam Ratu Shilla. Kalau bisa sih, semua makam orang2 penting di Shilla…” deretan gigi putihnya terlihat sempurna dan membuat Deokman tidak bisa mengalihkan pandangannya.
Deokman memandang BiDam sesaat sebelum bertanya. “Ada alasan khusus kenapa kau mau kesana?”
“Tidak juga,” jawab BiDam. “Tapi…Aku merasa aku harus kesana…” ia mulai memasang wajah memelas. “Boleh kan nona pemandu?”
“Baiklah,” ujar Deokman sambil tertawa. Ia mengambil notesnya dan mulai menulis rencana tambahan itu, serta mengatakan pada supir untuk melalui daerah yang dimaksud.
“Entah kenapa aku sulit menolak permintaanmu…” gumamnya.
Tapi, BiDam mendengarnya dan tertawa pelan. “Sebagai gantinya…” ia mulai berkeliling di sekitar mobil itu. “Tunggu sebentar, oke?” ujarnya lalu pergi. Selang beberapa menit kemudian, ia datang membawa sebuket bunga. “Ini untukmu. Anggap saja aku merayumu untuk pergi ke sana…”
Deokman tidak menyangka ia akan diberikan bunga, matanya membelalak kaget namun bibirnya menyunggingkan senyuman bahagia. “Terimakasih, aku suka sekali dengan bunganya… Kau membelinya?”
“Tadinya bermaksud memetik bunga liar, tapi lihat!” ia menunjuk papan pengumuman di dekat mereka. “Dilarang memetik bunga! Hahaha… Lebih baik aku menjadi warga kota yang taat bukan?”
“Benar,” balas Deokman. “Terimakasih untuk bunganya, tuan turis yang baik…”
----------------------======================-------------------------------------------------
Alcheon tampak sedikit enggan memasuki wilayah tempat Ratu Shilla dimakamkan. Dan BiDam dengan bingung berusaha menghibur sahabatnya, tetapi tampaknya sia-sia. Mana bisa Alcheon bahagia kalau gadis yang ia sukai menyukai orang lain?
“Di sini makam Ratu Shilla…” ujar Deokman sambil membimbing mereka menuju gerbang di depan kuburan besar itu. BiDam merasa wajah Deokman sedikit pucat, namun karena ia mengira itu hanya perasaannya saja, ia memilih diam dan tidak mengatakan apapun.
“Tiga hari sebelum Ratu Shilla meninggal, ia berhasil menyelesaikan urusan pemberontakan terbesar dalam pemerintahannya…” ujar Deokman dengan suara terputus-putus.
“Apakah kita boleh mendekat?” tanya BiDam hati-hati.
“Ya,” angguk Deokman. “Ayo kita mendekat…”
BiDam mengambil inisiatif untuk melangkah duluan, namun begitu jaraknya dengan makam itu hanya beberapa meter, air matanya menetes keluar. Ia menghapusnya dengan bingung, namun dadanya terasa begitu sakit. Begitu sesak. Perasaannya begitu meluap sehingga airmatanya tidak bisa berhenti menetes.
“Sepuluh langkah.,” gumamnya parau seperti kesurupan. Dan begitu ia mulai menghitung langkahnya sampai kesepuluh, terdengar suara benda berat jatuh, diselingi jeritan histeris.
“Deokman!!!” seru ChenMyeong kalut. “Deokman!!” ia memeluk Deokman yang pingsan dengan wajah pucat.
“Kenapa bisa begini? Apa ia belum sarapan?” tanya Alcheon dengan bingung. “BiDam?” ia menatap BiDam dengan bingung, dan BiDam juga menatap Alcheon dengan bingung.
“BiDam-shi, Alcheon-shi, tolong bantu aku memapah Deokman!”seru ChenMyeong, dan ia mengangkat wajahnya, memandang wajah kedua pria di depannya dengan terkejut.
“Kalian kenapa menangis?” tanya mereka bertiga hampir bersamaan.
-------------------------------==============================----------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar