-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
SEVENTEENTH SCENE
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Yushin-shi…” Deokman tergagap saat menatap pria di hadapannya. Tatapannya begitu dalam dan pekat, membuatnya kesulitan menanggapi. “Aku…” ia kesulitan menemukan kalimatnya. “Aku senang dengan perasaanmu, tapi… aku tidak bisa…”
Yushin menarik nafas dan tersenyum. “Sudah kuduga… Tampaknya kau benar2 terikat padanya…”
“Bukan begitu…” sergah Deokman kaget. “Bukan terikat… tapi lebih dari itu…” jawabnya dengan pandangan menerawang.
“Tapi apa?” tanyanya bingung.
“Apa Yushin-shi percaya dengan jodoh?” tanya Deokman sambil tersenyum. “Kurasa, bahkan lebih dari sekedar jodoh, aku merasakan takdirku bersamanya…”
TOK-TOK-TOK
Sebuah ketukan di pintu membuyarkan lamunan mereka. Chenmyeong melongokkan kepala sedikit dan tersenyum. “Foto-fotonya sudah jadi, Deokman. Yushin-shi, ayo kita makan kue sama-sama, tadi aku beli kue enak di depan stasiun…” Melihat wajah penuh terimakasih Deokman, ia tahu sesuatu sudah terjadi.
“Ehm, maaf, aku sedang tidak lapar…” tolaknya sambil tersenyum. Dengan segera perhatiannya tertumpah ke tumpukan dokumen di depannya. “Pekerjaanku masih banyak, kalian keluarlah…”
“Oke, terimakasih Yushin-shi…” ujar Chenmyeong.
Yushin sedikit mengangguk menerima salam pamit dari mereka. Pintu tertutup perlahan, dan bersamaan dengan itu, Yushin menarik nafas dan menutup matanya, menyenderkan dirinya di kursi yang didudukinya dengan perasaan kacau. “Takdir... ya…” gumamnya pelan.
---------------------------------------===============================---------------------------
Bidam tertawa kecil saat menggoreskan penanya. Alcheon mengintip dari balik bahu sobatnya. “Apa yang kali ini kau buat?”
“Hanya iseng, sebuah puisi…” jawab Bidam sambil menggerakkan bahu sedikit. “Dan satu coretan lagi, ternyata cara membaca nama Deokman dan nama Ratu Shilla yang ditulis dengan kanji juga Deokman loh!!” serunya girang seolah meneukan gossip terbaru.
“Oh ya? Kebetulan yang aneh…” gumam Alcheon., tapi perhatiannya tertuju sepenuhnya pada puisi di tangan Bidam. “Boleh kulihat kan?” tanyanya. Lalu ia membacanya sebentar dan berdecak kagum.
“Sejak kapan kau jadi cicak, hyung?” canda Bidam geli. “Menurutku kau terlalu tampan untuk jadi cicak…”
“Hebat…” desis Alcheon kagum. “Puisi ini keren… mungkin cocok kalau dijadikan selingan di intermezzo lagumu…” sejenak Alcheon tampak begitu mendalami puisi itu. “Hei, boleh aku sms puisi ini ke Chenmyeong?”
“Enak saja! Kreatif sedikit dong, hyung!” Bidam merebut kertasnya dengan cepat. “Masa pacar sendiri minta puisi dari orang lain…” gerutunya. Ia membaca puisinya lagi dan memonyongkan bibirnya sedikit. “Benar juga sih, kalau dibaca lagi, puisi ini lumayan juga… Hm… apa aku ikuti saran hyung saja ya? Eh, hyung? Menurutmu gimana?”
yang ditanya hanya diam saja. Bidam pun menoleh dan dengan bingung memiringkan kepalanya sedikit. “Ngapain hyung coret-coret kertas di meja itu?”
“Ssstt!! Aku lagi dapet inspirasi nih untuk bikin puisi tentang Chenmyeong-shi!!” tukasnya cepat. Bidam pun hanya mampu tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.
----------------------------------------------========================-------------------------------
Di kediamannya, sekitar 2 km dari pusat kota, Yemjong tampak duduk berhadapan dengan seorang pria yang berkacamata hitam dan berjaket, serta mengenakan setelan yang membuatnya tampak professional sebagai seorang detektif.
“Bagaimana? Ada perkembangan darimu?” tanya Yeomjong sambil menjetikkan jarinya. Dan sekejap kemudian, seorang pelayan membawakan sebotol anggur. “Aku harap ada, karena aku sudah menunggu cukup lama…”
“Tentu saja ada…” jawab pria itu dengan senyuman misterius. Ia membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah amplop. Di meja, ia menyusun isi amplop itu yang tak lain adalah kumpulan banyak foto.
Yeomjong mengangkat alis sedikit dan tersenyum meremehkan. “Foto yang kau dapat hanya begini saja?” pria itu mengangguk sekali. “Ini semua tidak bisa dipakai. Kita butuh bukti kuat yang bisa mengungkap hubungan Mishil dan Bidam. Kalau perlu, kita pakai taktik yang sedikit kotor…”
“Jadi, anda mau membuang semua foto ini?” tanya pria itu dengan nada tidak sabar. Tidak dapat dipungkiri, ia merasa kecewa hasil kerjanya dianggap tidak memuaskan.
“Bakar sebelumnya! Jangan tinggalkan jejakmu! Dan buang semua foto ini dari mejaku sekarang!!”
“Baik…” pria itu dengan terburu-buru menumpuk fotonya, dan beranjak pergi ke halaman untuk membakarnya. Namun sesaat selembar foto jatuh ke lantai.
“Hei bodoh, fotomu jatuh!!” Yeomjong menjangkau foto itu dengan setengah berjongkok. Matanya tiba-tuba membelalak, dan sebuah tawa yang menjijikkan bergema di bibirnya.
“Seokpum!!!!” serunya dengan girang. “Jangan bakar dulu foto-foto itu!!” ia dengan terburu-buru lari ke halamannya. Namun terlambat, asap mengepul di udara, Seokpum menyelesaikan tugasnya dengan cepat. Foto-foto yang tadinya dianggap gagal itu telah habis dilahap api.
.
“Ah, sayang sekali,” Yemjong mengentakkan kakinya kesal. “Sudahlah,. Yang penting masih ada satu! Siapa wanita di foto ini?” tanyanya sambil menunjukkan foto yang sedari tadi dipegangnya.
“ITu… Justru itu yang mau saya tanyakan pada tuan. Kelihatannya dia seorang tourist guide, namun hubungan antara ia dan Bidam-shi kelihatannya agak special…”
“Kau benar,” Yeomjong mengangguk-anggukkan kepala. Lagi2 tawa mengerikan bergaung di kediaman itu. “Selain Mishil-shi, kau juga harus menyelidiki wanita ini!!” serunya sambil tertawa misterius. “Aku akan mengungkapkan kebenaran… dan sebuah skandal!!!”
----------------------------------------to be continued------------------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar