-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
NINETEENTH SCENE
ONE REASON FOR ALL
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Seharusnya hari itu akan menjadi hari yang menyenangkan. Peluncuran single, pesta peresmian, dan kemudian segalanya akan baik-baik saja. Namun kenyataannya tidak demikian. Dan bahkan lebih dari itu, semuanya terancam batal.
Bidam memandang kerumunan fans yang membentuk antrian panjang di sekeliling gedung mereka. Dan Alcheon dengan muram terus memijit pelipisnya. Wolya membaca tabloid itu dengan tatapan tidak percaya, kemudian meremasnya dengan geram.
”Dasar manusia hina...” desisnya penuh amarah. Ia meninju meja di depannya dengan kesal. ”Kau yakin kau tidak pernah melakukan hal yang tertulis di sini?”
”Oh, sekarang kau tidak percaya padaku?” tanya Bidam dengan angkuh. Ia sudah capek terus menerus ditodong pertanyaannya yang sama entah keberapa kalinya. ”Aku tidak pernah melakukannya. Rasanya ini sudah kukatakan lebih dari seratus kali. Dan kutegaskan lagi supaya kau puas, berita itu sampah dan sama sekali tidak benar...”
”Aku rasa aku tahu siapa pelakunya...” Alcheon berjalan ke arah meja dan memandang tabloid itu dengan tajam. Foto yang dicetak besar-besar sebagai headline hari itu menampilkan sosok Bidam menggandeng lengan seorang wanita yang wajahnya diburamkan menuju sebuah hotel.
”Hotel! Ya ampun!” Bidam hanya mampu menggeleng dengan galau. Menciumnya saja ia belum pernah! Apalagi mengajaknya ke hotel! Memangnya dia pria macam apa? Memangnya Deokman gadis macam apa? Rasanya ia ingin sekali memukul seseorang. Namun ditahannya dalam-dalam perasaan itu.
”Apakah dia masuk hari ini?” tanya Bidam dengan suara dingin dan berat. Walau ia sudah berusaha menekan nada suaranya seringan mungkin, mustahil menghilangkan nada geram dalam suaranya.
Wolya mengangkat alisnya sedikit. Dan senyuman sinis mengembang di bibirnya. ”Jadi kau berpikiran sama denganku? Dia bahkan tidak menampakkan batang hidungnya sedikitpun hari ini!”
”Kita akan emngadakan jumpa pers! Aku harus mengumumkan sesuatu. Dan jelas, aku butuh bantuan kalian semua...” Bidam menarik nafas dalam-dalam. ”Aku punya ide yang kurasa cukup bagus, dan aku butuh bantuan Chuncu juga...”
”Aku akan meneleponnya,” sahut Alcheon segera. Ia merasa harus membantu sebisanya. Dan rasanya, pandangan mata Bidam yang epnuh percaya diri membuatnya merasa sedikit lebih optimis.
---------------------------------====================----------------------------------------------------
”Pagi unni...” sapa Deokman sambil meletakkan barangnya dengan gembira di atas mejanya. Hatinya masih berbunga-bunga kalau mengingat kencannya kemarin. Bidam bahkan mengajaknya ke toko dan membelikannya sebuah cincin emas putih yang kini ia kenakan di jari manis kirinya.
”Kau masuk kerja?” tanya Chenmyeong dengan mata membelalak. ”Kau tidak lihat berita ya?” ia menarik tangan Deokman dengan cepat ke arah televisi di sudut ruangan mereka. Yushin berdehem, mengingatkan mereka sudah waktunya mulai bekerja, tetapi Chenmyeong meletakkan tangannya di bibir, menunjuk ke televisi dan memaksa dua orang itu ikut menonton.
Deokman mengerutkan kening, merasa gedung yang disorot berita itu tidak asing lagi. Seorang reporter wanita muda berdiri dan menunjuk gedung tersebut. ”Sekarang ini kami berada di depan production house yang mensponsori Bidam-shi, dan bagaimana kelanjutan berita tentang sebuah foto yang memperlihatkan ia menggandeng tangan seorang wanita ke hotel? Sampai saat ini masih belum ada konfirmasi...”
Deokman merasa jantungnya melompat jatuh ke tanah. Bidam? Ke hotel? Dengan seorang wanita? Dan nafasnya nyaris putus saat ia melihat foto itu kembali ditampilkan di televisi.
”Bagaimana mungkin!!” serunya. ”Tidak mungkin!!!” ia memegang kepalanya yang terasa pusing. Jelas ia mengenali sosoknya sendiri. Tapi seharusnya bukan pintu hotel yang mereka masuki. Tapi pintu sebuah toko cincin! Dan kenapa begini? Ia nyaris kehilangan keseimbangan kalau Yushin tidak memegang bahunya.
”Itu kau?” tanya Chenmyeong dan Yushin hampir berbarengan. Deokman mengangguk dengan kacau. Chenmyeong memaksakan seulas senyuman di bibirnya. ”Paling tidak, dia tidak selingkuh, bukan?” ujarnya sambil tersenyum menenangkan. Padahal kepalanya mulai pusing. Keadaan akan semakin kacau, ia tahu itu.
”Kenapa bisa ada yang mengenali kami? Oh, padahal aku sudah menggunakan kacamata. Bagaimana ini? Padahal ini hari peluncuran single-nya. Oh, aku sudah membuat kacau...” Deokman mulai berpikir dengan gugup. “Apa yang harus kulakukan? Apakaha aku sebaiknya meneleponnya?”
Chenmyeong menangkap tangan Deokman sebelum gadis itu memencet tombol-tombol di handphonennya. “Berpikir dengan tenang, Deokman. Kau tidak akan menyelesaikan apapun dengan meneleponnya. Ia juga mungkin sedang kacau sekarang. Dan kemungkinan terbesar, telepon kalian bisa saja disadap.”
Deokman mengangguk menuruti saran Chenmyeong. Jantungnya seolah memukul-mukul dadanya dengan kencang. Ia menatap tiket yang semalaman dipandangnya dengan gembira. Setitik air mata meluncur jatuh di pipinya.
---------------------------------------=========================-------------------------------------
”Aku rasa hanya aku yang mengetahui nomor ini, jadi aman untuk meneleponmu ke sini...” ujar Mishil dengan nada mendesak. Nomor yang dihubungi Mishil adalah nomor pribadi yang hanya diketahui segelintir orang. Suaranya terdengar sedikit berbeda, seperti serak.
”Ya, benar. Apakah Omma sakit?” tanya Bidam dengan nada cemas. ”Dan kalau Omma mencemaskanku, aku tidak apa-apa. Justru Omma yang harus hati-hati. Aku rasa ia akan kembali bergerak. Dan aku sudah merencanakan jumpa pers...” Bidam menjelaskan rencananya dalam kalimat yang singkat dan mudah dimengerti.
”Apakah menurutmu kau sudah menanganinya dengan taktik itu?” tanya suara itu dengan tidak yakin. Ia kembali terbatuk beberapa kali. ”Aku memang sedang sedikit sakit tenggorokan...” lanjutnya.
”Ya, kurasa aku sudah berhasil menanganinya dengan taktik ini,” jawab Bidam sambil berpikir sejenak. ”Omma hati-hati ya, jaga kesehatan...” dan seulas senyuman membayang di bibir Bidam.
Di seberang sana, Yeomjong tertawa dengan wajah licik. ”Omma hati-hati ya?” tirunya sambil menahan geli di perutnya. ”Kali ini kau kalah, Bidam. Kau kalah,” ulangnya. Ia mematikan tape rekaman berisi editan dari potongan-potongan dialog drama yang pernah dimainkan Mishil.
Ia memutar tubuhnya dan tersenyum culas memandang Mishil yang terikat di sudut ruangan, yang kini menatapnya dengan dendam di matanya. ”Kau menolakku sejak awal. Dan anakmu juga menolakku. Jadi ia juga akan merasakan akibatnya...”
---------------------------=========to be continued=============--------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar