Selasa, 29 Juni 2010

Fanfic The Future and the Past 40

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
FORTIETH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Kim Yong Soo : Park Jung Chul(nama asli): Jung Yong Soo (nama di FF)
Seol Won : Jun Noh Min (Guru olahraga)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“Deok Man….”

Pelan kutatap Kim Nam Gil yang berdiri tepat di sebelahku. “Kau memanggiku?” tanyaku. Ia menggeleng. Yang lainnya menatapku heran. “Ada yang memanggilku, tidak?” tanyaku. Yang lain menggeleng hamper bersamaan.

Lalu kilasan itu mendadak muncul. Seorang pria. Seorang pria yang menimbulkan gejolak aneh di dadaku. Si pria yang berlumuran darah. Bibirnya bergerak sambil mendekat ke arahku.. Kemudian pemandangan menggelap dan berputar seperti gasing.

Kali ini aku tidak sendirian. Dalam sebuah ruangan yang sepertinya kamar tidur. Mungkin kamarku. Ada seorang pria di depanku. Ia menggeleng. Dan bisa kurasakan perasaan lain bergejolak di dadaku.

”Ini perintah,” tegasku. ”Katakan apa yang diucapkannya!!” ujarku. Kurasakan gelombang kepedihan melandaku ketika bibir pria itu bergerak dalam gerakan cepat yang beruntun.

”Dia berkata Deok Man... Deok Man ku...” detik itu juga kurasakan sudut mataku panas. Panas. Dan menyakitkan. Dadaku terbakar oleh kehangatan lain yang tidak asing. Perasaan yang sama saat Nam Gil menggandeng tanganku lembut. Cinta. Ini adalah cinta.


”Kau tidak apa-apa, Yo Won?” tanya Nam Gil sambil menopang bahuku. Aku terkesiap kaget dalam pelukannya.

”Tidak apa-apa...”

”Kau melamun dan tiba-tiba limbung, hampir saja kau jatuh kalau dia tidak menahanmu. Ada apa?” tanya Ye Jin cemas. Lagi-lagi aku menggeleng.

REINKARNASI

Satu kata itu begitu membara dalam pikiranku. Hanya itulah satu-satunya yang mampu menjelaskan semua keanehan ini. Tanganku mencengkeram tangan Nam Gil. Ia membantuku berdiri dan membiarkanku sementara bersender dalam pelukannya.

”Yakin sudah tidak apa-apa?” tanyanya cemas. Aku menggeleng, berusaha keras mengingat nama yang diulang-ulang dalam ingatanku.

”Deok Man...” ujarku.

Kurasakan pelukan Nam Gil menegang. Pelan kuangkat wajahku dan memandangnya. Mata kami bertemu. Dan tidak ada sorot mata lain yang lenih menyakitkan daripada ini. ”Kau mengatakan apa?” tanyanya.

”Deok Man...” ujarku, kalut. ”Apakah... itu nama... ku?” tanyaku.

Nam Gil menahan nafas saat menyentuh pipiku dengan punggung tangannya. Kak Tae Wong dan Ye Jin juga tiba-tiba terdiam. Mereka menatapku begitu lama. Tampaknya mereka menyetujuinya. Deok Man. Itu namaku.


“Hei! Apa kau sudah lebih baik,. Tae Wong?” Pak Jun Noh Min memasuki ruangan dengan terburu-buru. Kak Tae Wong mengangguk dan bisa kulihat wajahnya berubah lega. ”Ayo! Kita masuk ke bis! Tujuan berikutnya, istana Silla!”

Mendengar kalimat terakhir bisa kurasakan suasana berubah tegang. Bisa kurasakan dentaman jantungku semakin keras dan menusuk.

Istana Silla.

Apakah di sana ada jawaban yang kami cari selama ini?


─Kim Nam Gil, Gyeongju, 2008─

Ini benar-benar gila!

Di saat semua orang terkagum-kagum memandang kemegahan gerbang istana Silla. Atau bahkan betapa luasnya lapangan muka istana itu, otakku berkecamuk membayangkan lintasan memori lain yang jelas mengganggu.

Aku merasa mengetahui celah di mana para prajurit yang disebut –hwarang- oleh guide tadi, biasa bersembunyi dan menghindari tugasnya.

Alun-alun istana tempat yang menyenangkan untuk menghabiskan waktu. Dan kemudian, di singgasana, ada seseorang yang selalu saja menyenangkan untuk ditemui. Entah darimana pikiran itu menggangguku.

Kemudian... perpustakaan. Tidak lucu menghabiskan waktu berjam-jam di sini hanya untuk mengawal seorang bocah. Eh? Kenapa juga pikiranku bisa ke sana? Bocah apa? Bocah siapa? Memangnya aku pernah ke sana?

Tapi.. perpustakaan memang tempat yang menyenangkan dan nyaman. Ia suka menghabiskan waktu di sana. Dan kurasa tidak masalah menghabiskan seluruh waktuku untuk memandangnya.

“Kau kenapa, Nam Gil?” tanya Yo Won di sebelahku.

Aku memandangnya dan berusaha tersenyum sewajar mungkin. Semua pikiran itu terasa konyol di otakku. Bagaimana bisa ada pikiran semacam itu di otakku? Memangnya aku pernah tinggal di sini?

Tapi... kenapa semuanya seolah begitu jelas? Dan begitu nyata? Bukankah lapangan itu adalah tempat kami biasa mengayunkan pedang? Dan alun-alun utama itu... aku pernah berhadapan dengan seseorang di sana....

”Yo Won! Nam Gil!!” sapa seseorang dari belakang. Rupanya Han Ga In. Ia memandangi wajahku dan Yo Won bergantian.

”Kalian berdua kenapa? Kok wajah kalian aneh sekali? Kau juga Nam Gil, pucat sekali! Seperti habis melihat hantu saja!”

”Hahaha.. bukan.. ini karena udara panas saja kok...” jawabku sambil tertawa kering. Kepalaku sakit. Dan jantungku semakin kencang berdebar. Seperti memukul-mukul rongga dadaku. Dan semakin lama semakin menyakitkan.

”Kau sakit, ya?” tanya Ga In lagi. Aku menggeleng dan ia menyodorkan sekaleng juice ke arahku dan Yo Won. ”Kalian jangan sampai rubuh sebelum acara selesai...” gerutunya. Ia lantas berbalik pergi. ”Acara bebas! Kemana nih, asyiknya?” tanyanya padaku.

”Entahlah. Menurutmu?” aku terkesiap kaget melihat Yo Won tidak lagi di sampingku. Kemana!? Kemana ia pergi?! ”Kau lihat kemana Yo Won pergi?!”

”Entahlah. Aku tidak yakin, tapi mungkin ke sana...” Ga In menunjuk jalan setapak kecil. ”Ia seperti kesetanan saja...” candanya.

Sama sekali tidak lucu.

”Aku juga sedang kesetanan...” gumamku. Tapi tampaknya ia tidak mendengarnya. Ia asyik berfoto dengan anak-anak lain di depan pilar-pilar bangunan istana.

”Yo Won!!” sekuat tenaga aku berteriak memanggil namanya. Memusingkan. Dan menyulitkan. Semakin berjalan, kepalaku sakit seperti dihentak-hentakkan. Sakit seperti dipukul. Terpaksa tangan kiriku mencengkeram kepalaku, memijit pelipisku. Apapun untuk membuatnya terasa lebih baik.

Semakin jauh, rasanya semakin aneh. Seolah ada dimensi lain dan aku semakin tersedot masuk ke dalamnya. Puluhan gambar melintas berganti-ganti di kepalaku.

Siapa namamu?" tanya gadis itu. ”Tukarkan ayam itu dengan ini!” ujar suara lainnya. ”Aku akan menjadi hwarang!!” suaraku, penuh tekad. ”Aku menyayangimu... selamanya kau adalah muridku yang kusayang...” suara terakhir menyayatku, merobek hatiku.

"Karena ini terlalu kejam, Ibu,,,,
" kurasakan ulangan kalimatku dengan sudut mata yang terasa panas. ”kau mungkin siap, tetapi aku tidak siap...” wanita itu lagi. ”Kau yang merusak semuanya. Padahal Ratu tetap mempercayaimu...” jangan! jangan katakan itu!!!

Semuanya bergantian muncul dan menyakitiku. Semua kilasan itu menghentakku begitu dalam, begitu kuat. Jurang. Apakah ini jurang ingatan? Semua melebur menjadi satu. Siapa aku? Siapa kau? Siapa aku? Apakah aku Kim Nam Gil... apakah aku.. Bi Dam!?

”Aarargh....” nafasku terasa sakit di dadaku. Paru-paruku sakit seperti nyaris terbakar. Keringat dan peluh membasahi kepala, tengkuk dan tubuhku. Masih ingatan yang sama, semua bertubi-tubi menghampiriku.

Mati-matian aku berdiri dan mencengkeram semua yang bisa kujadikan pegangan. ”Yo Won..” panggilku. Airmata merembes keluar begitu saja dari mataku. ”Deok Man.,..” ujarku. Kurasakan bahuku berguncang menyakitkan. ”Deok Man...” panggilku, nyaris putus asa.

Kemudian aku melihatnya. di tempat yang sama dengan tempatnya menyerahkan hatinya padaku. Ia berlutut membelakangiku, memandangi jembatan itu. Tempatnya menyerahkan cincin padaku, lambang kepercayaannya. Yang dulu pernah kukhianati.

Luka di dadaku menganga lebar. Dan bekas sabetan itu masih terasa begitu dalam menembus nyawaku. Namun ia ada di sana. Dan itu lebih dari cukup.

“Yo Won...” panggilku. Tidak berhasil. Ia tidak bergeming. “Deok… Man…” bahunya bergetar pelan. Dan ia menoleh. Memandangku dengan tatapan terluka. Air mata penuh di pipinya. Peris sama dengan kematianku. Tetapi bedanya, kali ini aku hidup. Aku masih hidup!

Sepuluh langkah… menuju Deok Man…

Lima langkah… menuju Deok Man…

Tiga langkah… menuju Deok Man…

Ketika kakiku hampir tiba di depannya, ia lari dan menyongsong pelukanku. Kami bertangisan dalam air mata. Pelukan yang gagal. Pelukan yang terlambat dilakukan. Dan air mata yang sedari awal sudah tertumpah.

”Aku... minta maaf...” ujarku dalam pelukannya. ”Karena... aku mencintaimu... dan karena aku buta oleh cinta...”

Ia mengangguk lemah dalam pelukanku. ”Seharusnya aku tidak membiarkan mereka menusukmu...” sahutnya dengan suara lirih.

Air mata menetes turun di pipiku. ”Jangan menangis...” ujarku. Ia meletakkan kepalanya di bahuku. ”Karena mulai sekarang... kita akan selamanya bersama...”

”Ucapkan lagi...” pintanya. Matanya menatap sendu ke arahku. ”Ucapkan lagi... namaku...”

“Deok Man... Deok Manku...” jawabku.

Ia menutup matanya. Perlahan, kurasakan cinta datang mendekat. Kami mengeratkan pelukan dan cinta yang telah dicuri oleh intrik dan kekuasan dari kami. Puluhan. Bahkan ratusan tahun. Selalu dan selamanya kami saling mencari dan menanti. Hanya untuk menggapai saat yang indah seperti ini.

Aku memiringkan wajahku, menyentuh bibir Yo Won yang terasa basah sekaligus lembut. Pelan kurasakan kepolosan dalam bibirnya. Nafas saling beradu, dan bibirku pelan menekan bibirnya. Lalu ciuman kami berubah menjadi lebih posesif, lebih menuntut. Yo Won membalasku dengan cara yang unik. Dan gairah dalam diri kami tidak akan pudar selamanya oleh cinta.

-to be continued-

Jumat, 25 Juni 2010

Fanfic The Future and the Past, side story 7

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
SIDE STORY 7
-LET IT FLOWS 2-
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Alcheon: Lee Seung Hyo (memakai nama asli di FF)
Young Bakui: Joo Sang Won as Wolya brother (real name: Seo Sang Won)
Kim Chun Chu: Yoo Seung Ho (memakai nama asli di FF)
Wolya: Joo Sang Wook (memakai nama asli di FF)
Shendi: Han Shin Woo
Rin: Na Rin Young
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Joo Sang Won, Seoul, 2009─

“Sudah kukatakan kan, langsung tembak saja!!”ujar Kakakku yang akhir-akhir ini semakin menyebalkan.

”Aku tidak mau dengar!” balasku sambil melempar bantal sofa ke kepalanya. Ia marah-marah dan melempar kembali bantal itu padaku. Katanya aku mengganggunya menonton pertandingan bola favoritnya. Masa bodoh.

Pertemuan dengan Rin banyak mengubahku. Awalnya aku tidak mempedulikan wanita. Aku tidak memikirkan apa pendapat mereka tentang penampilanku. Namun, akhir-akhir ini aku semakin peduli. Apa tanggapannya kalau aku melucu, apa tanggapannya kalau pertandingan karateku buruk.

”Kau tidak kembali ke basket?” tanya Kak Sang Wook sambil menolehkan kepalanya sedikit. ”Tinggimu sekarang sudah lebih dari cukup...”

”Nanti saja kupikirkan...” jawabku asal-asalan.

Tinggiku sudah cukup. Beberapa bulan lalu, pertemuan pertama kami, tinggiku sama dengan Rin. Aku merasa belum pantas untuk menjadi pacarnya. Ketika aku sudah lebih tinggi, ketika aku sudah lebih mampu berperan sebagai pelindungnya, aku akan mengejarnya.

Dan sekarang, ia berada di penghujung kelulusan siswa kelas tiga. Dan tinggiku sudah lebih dari cukup untuk berdiri di sampingnya. Waktunya sudah tepat. Hanya caranya, aku tidak tahu. Apa yang harus kukatakan padanya?

”Jadilah dirimu sendiri...” berkali-kali, Kakak mengemukakan kalimat yang sama saat aku menanyakan bagaimana sebaiknya caraku menembaknya. Terimakasih, kau sangat tidak membantu.

─Na Rin Young, Seoul, 2009─

“Sebentar lagi tahu-tahu kita sudah lulus ya?” ujar Seung Hyo sambil menatap pucuk-pucuk daun dari balik jendela. Pandangan kami bertemu dan kemudian kami sama-sama menatap lapangan sekolah yang luas.

”Kalau kita lulus kan?” candaku. Kami tertawa kecil dan kemudian sama-sama menghela nafas panjang. ”Apa rencanamu setelah lulus?” tanyaku.

”Kuliah, tentu saja... dan kemudian menunggu...”

Aku tersenyum memandang Seung hyo. Menunggu yang ia maksud jelas adalah menunggu pacarnya lulus dan kuliah satu kampus bersamanya. Sedangkan aku? Aku tidak tahu harus menunggu siapa nantinya. Hubunganku dan Sang Won tetap saja tidak jelas.

Tetap saja kami beberapa kali bergandengan tangan. Jalan keluar pada hari libur, namun setiap pertemuan kami, aku merasa Sang Won memperlakukanku sebagai teman baiknya, tidak lebih. Ooh, capek juga rasanya menunggu tanpa kejelasan semacam ini.

”Apa sebaiknya aku yang menembaknya ya?” gumamku sambil memandang lapangan tempat Sang Won dan temannya biasa berolahraga.

”Kau tunggu saja sebentar lagi...” ujar Seung Hyo sabar.

”Kalian laki-laki selalu saja membuat wanita menunggu...” keluhku, merasa jengkel pada keadaanku. ”Aku harus bagaimana dong...”

”Aku ini termasuk yang bergerak cepat loh,” pujinya pada diri sendiri. Mau tidak mau aku tertawa bersamanya. ”Mungkin, waktunya saja yang belum tepat untuk Sang Won...”

”Dia kan polos sekali. Mungkin dia malah tidak menyadarinya... inilah susahnya anak yang lebih muda...Coba kalau kau sukanya padaku...”

”Dasar! Kau kan tahu aku sukanya sama siapa! Jangan menggodaku dong!!”

Kami tertawa berdua. Samar-samar aku mendengar derap langkah kaki di koridor. Cepat aku melangkah ke pintu. Bukan. Tidak ada seorang pun di sana. Bukan Sang Won. Ah, aneh-aneh saja khayalanku. Tapi, kenapa dia belum menjemputku ya? Biasanya jam segini dia sudah on time di depan kelasku.

”Seung Hyo, aku jalan ke kelasnya Sang Won ya...”

”Oke, hati-hati ya...”

Pelan kuselusuri koridor panjang sekolah. Entah berapa lama aku tidak bisa melihatnya lagi nanti. Aku pasti akan merindukan sekolah ini dan segala kenangan di dalamnya. Di sekolah ini aku bertemu dengannya.

”Eh, Rin? Sang Won baru saja pulang. Dia tidak menjemputmu?” tanya Seung Hoo kaget. Aku hampir saja mengganggu acara pacarannya dengan kekasihnya Eun Bin.

”Begitu ya? Mungkin ada perlu...” sahutku, bingung. Sang Won tidak menungguku dan tidak mengabariku apapun. Kenapa? Baru kali ini ia bertingkah seaneh ini....

─Joo Sang Won, Seoul, 2009─

“Inilah susahnya anak yang lebih muda...Coba kalau kau sukanya padaku...”

Kepalaku terasa berdenyut sakit sesakit dadaku saat mendengar kalimat itu meluncur dari bibir Rin. Apa maksudnya? Apa itu artinya kedekatanku selama ini dengannya selalu saja merepotkan? Apa ia tidak menyukaiku? Dan… yang ia sukai adalah Kak Seung Hyo?

Wajar. Tentu saja itu wajar bukan? Kak Seung Hyo tinggi. Dan keren. Ketua OSIS. Dan ia jagoan di klub karate. Aku bukan tandingannya. Dan Rin... cintanya bertepuk sebelah tangan. Kak Seung Hyo memilih gadis lain.

Rin memahami perasaanku yang juga bertepuk sebelah tangan, karena itu ia tidak mengatakan apapun, tidak mengatakan kalau ia keberatan dengan keberadaanku. Aku selalu jadi pengganggu untuknya.

”Sang Won!!”

Dadaku berderak keras ketika suara itu memanggilku. Sialan, sialan, kenapa kau sebodoh ini Sang Won! Jangan menyukainya! Jangan membuatnya tambah membenci keberadaanmu!!

”Ada apa?” tanyaku, berusaha bersikap biasa.

Duh, susah sekali sih. Bibirku kaku sekali tersenyum di depannya. Aah, coba kalau gerakku lebih cepat. Coba kalau aku tidak usah menunggu badanku tambah tinggi. Mungkin aku sudah bisa menggandengnya kemana pun saat ini. Tapi, tidak boleh, pikiran semacam itu egois bukan?

”Kau tidak sakit kan?” tanya Rin. Nafasnya terengah-engah mengejarku. Uuh, rasanya aku harus menahan diri supaya tidak memeluknya sekarang.

”Tidak apa-apa...” sialan, suaraku kasar sekali barusan.

”Baguslah kalau tidak sakit...” ujar Rin sambil menatap mataku dalam-dalam. ”Aku belikan ini tadi...” ia menyodorkan sekaleng jus jeruk ke tanganku. ”Sang Won suka jus kan? Ini banyak vitaminnya. Berguna untuk mencegah sakit...”

”Terimakasih...”

Aneh bukan? Aku seorang lelaki. Tapi, menerima kebaikannya ini. Rasanya hatiku berderak sakit. Aku menyukainya. Dan ia tidak menyukaiku. Tapi, melihat kebaikannya padaku...aku merasakan harapan baru berpendar di dadaku. Aku ingin menangis karena kehangatannya begitu dalam di dadaku.

”Sang Won... kau membenciku?” Tanya Rin sambil menatapku lagi. Aku memalingkan wajah. Tidak bisa! Jangan lihat aku seperti itu!

”Siapa bilang!” jawabku. Sialan, sialan. Kenapa sih jadi ketus begini. Biasa saja Sang Won! Yang wajar, oke kan?

”Ternyata iya kau membenciku...” wajah Rin terlihat muram dan sedih. ”Ya sudah, aku pulang ya... sampai jumpa...”

Aku memandangnya pergi dengan hati hancur. Yang ada di ujung jalan itu... yang menjadi arah cintamu itu... bukan aku, ya Rin? Bukan aku...

”Rin!!!” tenggorokanku terasa panas saat meneriakkan namanya. ”Aku menyukaimu...” gumamku dengan suara parau. Sakit sekali... kenapa orang bilang cinta itu manis dan indah? Pahit... rasanya pahit... seperti menelan obat...

Angin musim semi yang hangat menerpa punggungku. Mataku panas dan tenggorokanku sakit. Aku tidak boleh menangis. Aku adalah pria.

─Na Rin Young, Seoul, 2009─

“Kau enak sekali, Seung hyo…” godaku pada Seung Hyo yang dengan gembira memakan bekal pemberian pacarnya, Shin Woo.

“Haha.. hari ini kau nggak makan siang bareng sama Sang Won?”

“Sudah berakhir tuh…” jawabku asal. Aku harus berusaha tenang. Supaya pertahananku tidak jebol seperti kemarin. Akhirnya kemarin aku berlari sampai ke rumah. Berlari dengan mata basah. Sang Won membenciku.

“Kenapo? Kok bisa sih?” Tanya Seung Hyo sambil menghentikan makan siangnya. “Kalian kan lengket sekali…”

“Aku tidak tahu. Tiba-tiba sikapnya berubah. Mungkin dia sadar aku menyukainya dan ia tidak mau itu terjadi. Makanya dia menjaga jarak…” ujarku dalam rentetan kalimat yang bergulir begitu cepat.

“Loh? Bukannya kebalikannya?” ujar Seung Hyo. Aku baru saja mau menanyakan apa maksudnya menanyakan itu ketika tiba-tiba salah satu anggota OSIS datang dan memberikan laporan kegiatan ke Seung Hyo. ”Eh, tadi sampai mana ya?” tanyanya.

”Habiskan saja deh, istirahat sudah mau selesai tuh...” jawabku malas. Ia melanjutkan makannya sambil memintaku bercerita selengkapnya pulang sekolah.



”Begitu? Tiba-tiba dia pulang? Tanpa bilang apapun?”

”Ya, bahkan aku belum mengobrol apapun dengannya hari itu. aneh kan? Dan waktu kususul, suaranya, tatapannya... dingin sekali. Seperti bukan Sang Won yang kukenal...”

”Hei, jangan menangis.. nanti aku malah dituduh melakukan macam-macam padamu...” ujar Seung Hyo lembut.

”Kata-katamu malah membuatku sesak nafas, tahu...” ujarku. ”Uhh...” dengan cepat kututup mulutku. Air mataku sudah meluncur jatuh di pipiku.

”Sudahlah... sudah... nanti biar aku bicara padanya....” Seung Hyo meminjamkan bahunya untuk tempatku menangis. “Ya, makanya berhenti dong nangisnya... tuh rumahmu sudah sampai...”

“Thanks ya... dan mendingan nggak perlu ngomong aneh-aneh sama Sang Won. Aku nggak mau dia tambah membenciku...”

”Oke, aku tahu itu... Ingat, jangan nangis terlalu banyak...” pintu kututup sebelum Seung Hyo menyelesaikan ceramahnya.

Aku tidak mungkin bisa menurutinya. Hatiku hancur dan patah. Siapa yang bisa memperbaikinya? Luka yang disebabkan Sang Won, hanya Sang Won yang bisa menyembuhkannya.

─Joo Sang Won, Seoul, 2009─

Menguntit merupakan akar dari kejahatan. Aku tahu itu. Aku tahu tidak seharusnya aku menguntit Rin sampai ke rumah. Apalagi ada Kak Seung Hyo mengantarnya pulang. Kenapa bisa? Apa mereka sudah jadian? Tapi, kenapa dia membuatnya menangis di bahunya? Apakah Rin menyatakannya dan ditolak? Sialan! Tidak bisa dibiarkan!

”Kak Seung Hyo!!” aku mengejarnya dengan setengah berlari. Ia memandangku dan tampak terkejut.

”Kau ke sini? Kukira kau tidak mau mengantar Rin pulang!” ia mulai mengomeliku dengan wajah kesal. Sialan, mustinya aku yang marah, kan?

”Kan ada Kakak yang mengantarnya! Lagipula, aku hanya sekedar cemas kok...” dalihku, berusaha membela diri.

”Kalau cemas, antar dia dong!” omel Kak Seung Hyo sambil berdecak marah. ”Kalian membuatku pusing saja!”

”Biar gimanapun, Kakak jangan membuatnya menangis dong! Kakak menolaknya dengan lembut dong!!”

”Menolak? Apa sih maksudmu?” Kak Seung Hyo memandangku dengan alis bertaut, terlihat bingung.

”Rin kan menyukai Kakak, makanya dia baru berani mengutarakan perasaannya. Eh, Kakak malah menolaknya! Tega banget sih!!”

”Hah!? Lelucon macam apa itu! Dengar ya, tidak lucu loh, aku tidak akan tertawa....” ujar Kak Seung Hyo sambil memandangku dari atas sampai bawah. Sekejap kemudian ia terdiam dan tampak berpikir. ”Oooh, begitu rupanya! Pantas saja! Dasar kalian berdua bodoh sekali!!”

”Akhirnya Kakak mau ngaku?” tuntutku, kesal. Kak Seung Hyo malah tertawa terbahak-bahak dan menarikku. Sekejap kemudian ia berbisik di telingaku, menceritakan semuanya. Menjelaskan kebodohanku. Kedangkalan pikiranku. Mukaku memerah sampai telinga. Dalam hitungan detik, aku lari tunggang langgang sampai ke rumah.

─Na Rin Young, Seoul, 2009─
“Memangnya ada yang lucu?” tanyaku sambil menggerutu. Dari pagi Seung Hyo terus-menerus cengar cengir saat melihatku. “Kau membuatku tambah sebal tahu!!” protesku.

“Eh, Rin, mau taruhan nggak?”

”Taruhan?” kukerutkan dahiku. Tidak biasanya Seung Hyo mengatakan hal sekonyol itu. ”Apa aku nggak salah dengar?”

”Kalau hari ini Sang Won datang dan membuatmu gembira, bantu aku cari tahu barang yang diinginkan Shin Woo ya...”

”Tidak lucu tahu!” jawabku dengan jengkel. ”Tidak mungkin deh, kau pasti kalah. Kalau kalah, kau harus....”

Kalimatku belum usai ketika tahu-tahu sebuah suara memanggilku. ”Rin!!!” ia berdiri di depan pintu kelasku. Entah bagaimana wajahku saat memandangnya. Sebentar kutatap Seung Hyo yang memberikan tanda victory dengan jarinya. Uuh...


”Jadi... kau tidak membenciku, nih?” tanyaku sambil mengamati daun jatuh di halaman belakang sekolah.

Sang Won berdiri di sampingku, juga bersender ke dinding. “Aku...nggak pernah membencimu kok...” jawabnya datar. “Justru kebalikannya. Aku takut kau membenciku.”

“Kapan aku bilang begitu?”

”Aku salah paham karena membuat kesimpulan seenaknya. Hari itu, saat mau menjemputmu, aku mendengar sedikit kalimatmu ke Kak Seung Hyo. Dan tahu-tahu, kakiku langsung lari begitu saja setelah mendengarnya...”

”Aku bilang apa ya?” tanyaku, bingung.

”Kau bilang... “Inilah susahnya anak yang lebih muda...Coba kalau kau sukanya padaku...””

”Ya ampun!!” tanganku tanpa sadar terangkat menutup mulutku. ”dan apa yang kau simpulkan?”

”Aku kira kau membenciku karena selalu mendekatimu padahal yang kau sukai Kak Seung Hyo. Lalu, karena Kak Seung Hyo sudah punya pacar, kau jadi memahami perasaanku yang bertepuk sebelah tangan dan membiarkanku terus mengganggumu...”

”Hahaha...”

”Tidak lucu Rin, aku benar-benar takut kau membenciku...”

”Aku malah mengira... kau sudah membenciku...” tawaku lagi-lagi berderai. Tawa yang kering. Sementara, pipiku sudah basah oleh air mata.

”Maaf Rin... Aku salah paham ya... Tapi, Kak Seung Hyo mengutarakan keseluruhan kalimatnya padaku... Aku sadar kok. Sangat sadar akan perasaanku. Namun, aku terus mencari waktu yang tepat...”

”Eh...” Wajahku memerah semerah tomat. Sialan si Seung Hyo! Bisa nggak ceritanya seperlunya saja? Huh! Dasar...

”Aku...menyukaimu, Rin... Jadilah pacarku. Oh, ya, mungkin agak memalukan kalau nanti saat kuliah kau pacaran dengan anak SMA... tapi, aku akan berusaha keras untuk tidak membuatmu malu!!”

Air mata dan senyuman membaur jadi satu di wajahku. Sang Won, yang kini lebih tinggi dariku maju dan memelukku. Aku sudah lama, begitu lama menantinya. Dan kini, saat ia memelukku, aku tahu, penantianku tidak pernah sia-sia...






”Eh, Sang Won, kau kenal dengan Han Shin Woo?”

“Hm? Kenapa dia? Kenal kok…”

“Bisa Bantu aku cari tahu apa benda yang diinginkannya nggak untuk ulang tahun?”

“Hah? Sekarang kau jadi lesbi ya? Huhu...”

”Uh! Bukan! Bukan! Aku kalah taruhan dengan Seung hyo tadi. Pokoknya kau bantu saja aku cari tahu barang yang diinginkannya!! Dan kau juga tidak boleh jatuh cinta padanya ya! Kau kan pacarku!!”

”Ya! Aku tahu itu! Aku tahu!!” senyuman Sang Won melebar saat mendengar aku menyebutnya pacarku. Ia menggandengku. Bersama-sama udara musim semi yang hangat, kami menyusuri koridor panjang sekolah. Kenangan yang takkan kulupa selamanya.

-Selesai-

Rabu, 23 Juni 2010

Fanfic The Future and the Past 39

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
THIRY NINTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Kim Yong Soo : Park Jung Chul(nama asli): Jung Yong Soo (nama di FF)
Seol Won : Jun Noh Min (Guru olahraga)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Kau bohong padaku!” tuntut wanita itu dengan segala emosi dari wajahnya. Aku ingin mengelak dan pergi tetapi ia terus berujar. “Mengapa kau berbohong?”

”Bi Dam, jawab aku sekarang...”pinta suara itu lagi. Aku memandangnya dengan perasaan kalut. Aku tidak bermaksud berbohong. Wanita itu, dia tidak mau mengakuiku. Jadi, untuk apa kalau aku sendiri yang mengakuinya?

─Kim Nam Gil, Gyeongju, 2008─

”Kau mimpi buruk?” tanya Kak Tae Wong sambil menepuk pundakku.

”Begitulah,” jawabku sambil beringsut bangun. Kepalaku terasa sangat berat. ”Kau seharian kemana kemarin? Aku tidak melihatmu di bus dan di ruang makan?”

”Aku ikut bus dua, makanya aku juga tidak melihatmu kemarin. Dan semalaman Pak Jun Noh Min minum-minum. Beberapa guru juga ikut. Kau saja yang tidak ikut ke pesta itu...”

”Aku tidak suka kegiatan semacam itu... Aku benci bar...” jawabku sambil menepuk kepalaku. ”Sayang sekali Dae Chi tidak ikut, bukan?” godaku. Sekejap kemudian wajah Kak Tae Wong berubah semerah tomat.

Aku sengaja memindahkan topiknya. Aku benci bar. Mengingatkanku akan Sung Pil. Mengingatkanku kalau ia kini sudah tidak ada lagi. Rasanya masih terasa tidak nyata.

”Hari ini kita akan ke kuil kemudian ke istana Silla...”

”Ya, aku tahu itu...” jawabku, menarik beberapa lembar pakaian ganti dan meletakkannya di pundakku, bersiap untuk mandi.

”Nam Gil, aneh tidak kalau aku merasa tidak asing dengan istana ini?” Kak Tae Wong mengernyitkan dahi memandang gambar istana Silla di brosur majalah wisata yang dibagikan gratis kemarin.

Langkahku terhenti sejenak. Begitukah? Jadi, Kak Tae Wong juga merasa tidak asing? Berarti bukan hanya aku saja? berarti... aku normal? Ya, aku tidak gila. Kalau nggak, nggak mungkin kan Yo Won, aku dan kak Tae Wong merasakan keanehan itu.

”Tidak, kau dan aku normal. Aku juga merasakannya....” jawabku sambil menutup pintu kamar mandiku. Aku bisa melihat Kak Tae Wong mengangguk paham sebelum pintuku tertutup sepenuhnya.

”Bi Dam....”

Gil, aku mungkin benar-benar gila kalau kukatakan nama itu tidak terasa asing saat kuucapkan di bibirku. Dan wanita itu menatapku saat mengucapkannya.


Apakah... itu namaku?


”Kau kurang tidur, ya?” tanya Yo Won sambil menatapku cemas.

Kami menikmati sarapan bersama begitu banyak murid lainnya. Kulihat Yong Soo dan Ye Jin duduk di sudut ruangan, terlihat asyik mengobrol.

”Mereka sudah jadian ya?” tanyaku pada Yo Won. Ia menatap ke sudut ruangan dan mengangguk. Kuteruskan memakan nasi gorengku.

”Banyak juga yang jadian sejak datang ke sini...”

”Memang menyedihkan kalau jalan-jalan tanpa pasangan kan?” jawabku sambil tersenyum jahil ke arah Yo Won. Pipinya memerah karena malu. Menggemaskan. Sebenarnya aku ingin mencubitnya, tapi apa kata orang yang melihatnya?

”Yo Won, aku ada permintaan...” ujarku. Ia menatapku bingung. ”Coba kau panggil aku Bi Dam...” pintaku.

Yo Won tertegun mendengar kalimatku. Mungkin aku memang gila karena memintanya memanggilku demikian, tapi... sudahlah, memang aku sudah gila. ”Tidak mau juga tidak apa kok...” tukasku buru-buru.

”Bi Dam....” ucap Yo Won dengan bibir bergetar.

Detik itu juga ada rasa sakit luar biasa di jantungku, di perutku, di organ dalamku. PRANGG!!!!! Piringku terjatuh dari pangkuanku sementara aku sendiri bergulingan di lantai sambil menekan dadaku dengan tangan.

“Kim Nam Gil?” panggil Yo Won dan anak-anak lain. Kak Tae Wong dan Yong Soo menyibak kerumunan dan berjalan maju lalu membantuku berdiri. “Kau tidak apa-apa?” tanyanya, kaget.

“Sedikit kacau di sini...” ujarku sambil menunjuk otakku. “Dan rasanya sakit sekali di sini. Tapi itu tadi, sekarang sudah tidak apa-apa....”

”Kau yakin ikut ke tempat itu?” Yo Won memandangku cemas. ”Maaf, seharusnya aku tidak mengejutkanmu...”

”Aku yakin kok aku memang harus ikut. Dan stop minta maaf, aku yang memintamu, jadi bukan kau yang salah. Oke?” Yo Won tersenyum kecil sambil memandangku cemas.

─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

Begitu memasuki halaman kuil Bulguksa, pemandu mulai bercerita panjang lebar. Aku mengeluarkan notes dan mulai mencatat untuk memuatnya sebagai laporan perjalanan. Tugas akhir semester, dan kontribusinya besar untuk nilai pelajaran sejarah, sosiologi, kewarganegaraan, dan bahasa indonesia.

”Kota Gyeongju merupakan ibu kota dari Dinasti Shilla, dinasti yang pernah berjaya di Korea dan menjadi catatan sejarah bagi bangsa ini bahwa mereka pernah menjadi bangsa yang besar dan disegani. Dari catatan sejarah, dinasti ini berdiri pada tahun 57 sebelum Masehi. Peninggalan-peninggalan sejarahnya masih tetap dipertahankan sampai saat ini, walau beberapa sudah direstorasi. Dari lokasi dan peninggalan yang ada, menggambarkan betapa dinasti ini sudah besar dengan peradaban yang sudah maju.”

Aku mencuri pandang beberapa kali dan mengamati kondisi Kim Nam Gil. Ia tampak sehat, syukurlah.

“BULGUKSA yang berarti "Kuil Negara sang Budha". Kuil ini selesai dibangun saat pemerintahan kerajaan Shilla bersatu dan sempat terbakar saat Jepang masuk ke Korea. Di depan adalah gerbang 4 Raja Langit...” ujar pemandu itu lagi.

Kami berjalan melewati empat patung raksasa. Kemudian, tidak jauh dari sana, ada sebuah bangunan megah dengan tangga besar di tengah. Kami memanfaatkan momen yang ada untuk berfoto dengan teman-teman.

”Aduh. Tidak perlu deh, Yo Won...” ujarnya malas. Mati-matian kuseret Kim Nam Gil dan kuminta Ye Jin memotret kami.

”Setelah ini kemana?” tanyaku sambil bergelayut di lengan Kim Nam Gil. Ia terlihat agak waswas dan kemudian melihat sekeliling. ”Tidak ada orang kok kecuali Ye Jin dan Yong Soo...”

”Iya, aku tahu,” sahut cowok itu sambil tersenyum. Rasanya agak iri melihat Ye Jin bisa bergandengan dengan terbuka bersama Yong Soo. Menyenangkan melihat tawa Ye Jin sudah tidak lagi dipaksakan sekarang. ”Setelah ini Bunhwangsa...”

Bunhwangsa tidak jauh berbeda. Merupakan sebuah candi tua berbentuk seperti pagoda raksasa yang aslinya 9 tingkat tapi kini tinggal 3 tingkat yang tersisa. Pemandu menjelaskan kalau itu diakibatkan oleh invasi Jepang.

Kepalaku terasa pusing. Apakah kurang tidur? ”Tidak apa-apa?” tanya Kim nam Gil.

Aku menggeleng dan menggunakan bahunya sebagai penopang. Aneh. Rasanya perpindahan rute semakin membuatku merasa aneh. Berdebar, pusing, dan melayang-layang. Apakah aku masih berdiri di kakiku sendiri? Entahlah, rasanya tidak meyakinkan.

”Sekarang kita akan menuju Kuburan seorang Jenderal besar dalam sejarah kerajaan Silla. Kim Yu Shin...”

Langkahku terhenti mendengar kalimat pemandu itu. Yu Shin? Kenapa rasanya...?

”Kak Tae Wong!!” terdengar jeritan seorang siswi. Aku menatap ke arah Kak Tae Wong. Cowok itu disana, jatuh dengan posisi berlutut dan satu tangan memegang kepalanya. Apakah ia kelelahan?

”Maaf, hanya anemia ringan...”

Kim Nam Gil bergerak meninggalkanku dan bersama Yong Soo berjalan dengan Kak Tae Wong. Wajah mereka pucat. Aku juga bisa melihat wajah Ye Jin yang pucat. Dan apakah wajahku juga demikian? Mungkinkah semuanya menrasakan perasaan aneh itu?

”Nah, kita sudah tiba di makam Kim Yu Shin... Banyak sekali bukan bukit yang ada di sini? Sebenarnya ini semua bukan sembarang bukit. Tapi kuburan para Raja, Ratu, Bangsawan, Jenderal, dan petinggi-petinggi kerajaan Shilla dahulu. Dari Ratusan kuburan seperit itu hanya 8 buah yang dapat diperkirakan siapa yang dikubur di situ, tapi belum ada yang dapat dipastikan kebenarannya. Bentuk, besar, posisi dari bukit2 tersebut menentukan status, kelamin, hubungan antar kuburan tersebut...”

Terdengar suara ’ooh’ dan ’aaah’ juga ’waah begitu ya....’ dari para murid. Banyak hal yang perlu dipelajari dari tempat yang istimewa ini, dan barangkali, salah satunya bisa menjelaskan arti dari rasa sakit luar biasa ini.

”Yo Won?” Ye Jin menghampiriku dan memeluk pundakku. “Kau sakit juga?” tanyanya cemas sambil menuntunku duduk. Beberapa mengambil gambar dan berfoto di dekat makan pria bernama Kim Yu Shin itu.

“Sejak datang ke tempat ini... kepalaku sering sakit kok, jadi bisa dibilang aku sudah biasa…” tukasku berusaha menenangkan Ye Jin. Keringat dingin kurasakan di peluhku. Ada yang aneh. Perasaan aneh di dadaku. Dan entah mengapa, aku merasa ingin menangis. ”Loh, Ye Jin?”

”Ahaha... aneh ya?” ia tertawa dan mengusap pipi dengan punggung tangannya. ”kenapa... kita jadi menangis begini ya?” tanyanya sambil tersenyum kikuk.

Aku mengelap pipiku dan terkejut menyadari ada air mata di sana. Di sisi lain, wajah Kak Tae Wong begitu keruh memandang kuburan itu. Dan Kim Nam Gil serta Yong Soo ada di sana. Ekspresinya, aneh, seperti ekspresi saat kita memandang atasan kita. Ya, seperti eskpresi penghormatan.

Aku menekan dadaku dengan tangan. Debaran jantungku akhir-akhir ini semakin aneh. Seperti sekarang. Seperti seolah seuatu yang buruk akan terjadi....

”Kakak!!” seru Kim Nam Gil kaget. Kak Tae Wong pingsan di depan makam Kim Yu Shin! Aku dan Ye Jin berpandangan dengan bingung. Kami lantas berlari dan membantu mereka. Perasaan tidak nyamanku, firasat yang buruk ternyata benar terjadi.



”Acara bebas sepert ini malah menjagaku, maaf ya,” ujar Kak Tae Wong sambil memandang aku dan Ye Jin.

Kami tersenyum dan berkata bukan masalah. Walaupun sebenarnya aku sangat ingin menghabiskan waktu bersama Nam Gil, tapi kurasa menolong orang lebih penting lagi.

”Kak Tae Wong kenapa bisa sampai pingsan? Apa betul anemia-nya separah itu?”

”Aku sebenarnya sama sekali tidak punya riwayat anemia kok,” jawabnya sambil tersenyum kecil. ”Oh, dan jangan kabar Dae Chi soal kelemahanku ini. Nanti dia cemas dan tahu-tahu menyusul ke sini...”

”Iya, tadinya ingin bilang, tapi tidak jadi. Aku memang mau tanya Kak Tae Wong dulu sebaiknya bilang atau tidak...”

”Thanks ya...”

”Lalu, kalau bukan anemia. Kakak sakit apa?” tanya Ye Jin. Rupanya ia sama penasarannya denganku.

”Entahlah. Akhi-akhir ini aku semakin merasa kacau. Semenjak datang ke sini, ada begitu banyak siluet manusia bermunculan di otakku. Dan semuanya dengan pakaian resmi yang sifatnya tradisional...”

”Ah...” aku memandang Ye Jin dan kami bertatapan sejenak. ”Kau... memimpikannya juga?” tanyaku pada Ye Jin. Ia mengangguk dengan pandangan bingung.

”Kalian juga?” tanya Kak Tae Wong, kaget.

”Ya, kami juga...” sahut dua suara lain. Aku dan Ye Jin serta Kak Tae Wong memandang ke arah suara itu dengan bingung. Kim Nam Gil dan Yong Soo. Mereka juga mengalaminya?

”Jadi, apa ini normal?”

“Tidak begitu normal kurasa,” jawab Nam Gil sambil meletakkan bungkusan makanan di meja. ”Semua murid yang mengobrol denganku tidak pernah membayangkan atau merasakan keanehan itu...”

“Lalu, kenapa kita?” tanya Yong Soo. “Dan semuanya tentang kerajaan. Jangan-jangan semuanya memimpikan satu kerajaan yang sama. Kerajaan yang menghubungkan kita semua. Dan tadi, dengan pingsannya Tae Wong, kurasa semua sudah jelas....”

”Apa...maksudnya?”

Debaran dadaku semakin kencang. Dan semakin terasa menyentak menyakitkan. Bagaikan gemuruh yang tidak henti-hentinya menghantam dadaku.

”Kim Yu Shin berasal dari Silla. Kerajaan Silla, itulah point kuncinya...” ujar tiga pria itu bersamaan. Kami berpandangan dengan wajah kalut.

”Mungkin, kalian akan menertawaiku, tapi...” Kak Tae Wong meremas selimutnya ragu. “Sebelum pingsan, sebelum ada rasa sakit menghantam kepalaku, aku mendengarnya. Ada seseorang… suara…di kepalaku, bergaung, memanggilku. Entah siapa yang ia panggil, tapi kurasa ia memanggilku. Yu Shin….”

Kali ini tidak ada yang tertawa. Semuanya berpandangan dengan wajah tegang. Yu Shin... dan satu lagi. Bi Dam.... nama yang disebut Kim Nam Gil tadi pagi.

Kami semakin menghadapi kenyataan. Dan mungkin, seandainya benar Silla adalah penghubung kami, mata rantai yang menyatukan eksistensi kami semua, maka hanya ada satu kata yang bisa membenarkan semua teori kami. Reinkarnasi.

--to be continued-

Jumat, 18 Juni 2010

Losing you





lost my little cat

Jeriel, my little kitten that I brought from my campus to my house with full of struggle (stuffed into a bag, took him along the road with the car) but in the end my family know about it as well


-> So many of my business until my mom finally allowed me to maintain Jeriel
every morning I play with him, prepare his food, jog with him,
and it's all gone now

that day, as usual I went to campus to take exams (what a coincidence my exam that day there was two, and the difference is far away, so I left early and come home the night)
in the evening, after coming home from college, I immediately look to feed him. however,Jeriel didn't come to me
thumping feeling and bad feeling, I asked my mama helped me look into some block not far away from my house
no results, Jeriel's lost!

Mom told me to wait until morning, and as soon as morning came, I went back looking for him again ... but no result .. even now I still did not find himit seems so sad. all our memories as if spinning like a slide show in my head and I finally had to let go
my brother, unexpectedly told me something wise.
he says, "maybe someone will take care for her much better than me, and maybe the cat was more happy with him.
what does it mean if I'm just a happy, while the cat is not?"

I pondered that sentence and try to accept the fact that it often feels bitter.
sad .. sad .. sad ..
but I hope it was best for her .. Jeriel hopefully wherever located, he could be happy

SouthWest of Kunming in Yunnan





I got this from forwarded email hehe

SouthWest of Kunming in Yunnan

A place in south west of Kunming, Capital city of Yunnan Province. Because of remoteness and lack of infra structure and lodging etc. This place is not listed in the tourist map of China.

The red land of the eastern river is a place where one almost can not find it in China's tourist maps. Even if there is, it has only a few words to introduce it.


It is located in the southwestern part of KUNMING, 2600 ft. above sea level, a remote area.
Because of its lack of infrastructure, transportation problem, inadequate lodging facilities.
ordinary travel agency would not think of going there.
Even the people living there are not so aware or familiar with its existing beauty.

But for those who have seen the pictures of the Red land , no one can resist being attracted to its beautiful scenery! Just like a painting of a great magnificent landscape.





www.FunAndFunOnly.org


Because the soil contains such components as oxidized Iron, etc kind of metallic minerals. after a long period of oxidation , gradually added and mixed in the soil that produced this extra-ordinary reddish brown soil.

Here in this place, Mountains and hills , every inch of land are cultivated and planted to the maximum by the inhabitants, Consequently causing unwanted damage to the place... erosion.

Just like Taiwan, How long could this magnificent phenomenon exist? We do not know. That's why there is an advocacy of returning to forestry.


www.FunAndFunOnly.org



Dongchuan Red Land represents Yunnan mountain valley most attractive colors.


www.FunAndFunOnly.org


Excursion is the soul's relaxation and banquet.



www.FunAndFunOnly.org


Multicolor Waves----five, six kinds of color mountains look like multicolor waves, so magnificent.


www.FunAndFunOnly.org


Crops on the Red Land such as ; potatoes, oats, corn, oil flower vegetables, Different color crops so arranged ,when looking from afar it seems like God painted them on a cloth so full of gorgeous color.


www.FunAndFunOnly.org





Each family was distributed with different size and shape of land, Each has its own preference kinds of crops. That caused and produced this beautiful pieces of colors. During harvest time, the soil is shoveled up and makes this unusually red color.

www.FunAndFunOnly.org



I like the countryside farms' scenery.


www.FunAndFunOnly.org


In September , white color oil flowers are in bloom on the whole mountain, It is a pity they covered up the beautiful red color. The best time for sightseeing tour is middle of November .

www.FunAndFunOnly.org



The whole mountain is like covering with a beautiful colored cloth. How I wish to lie down enjoying the breeze and looking at the ever-changing clouds in the sky.

www.FunAndFunOnly.org

Early in the morning, donkey-ridden cart full of harvest transporting to the town, while a few of the children walking toward the different direction to school.


www.FunAndFunOnly.org
A melody kind of view.



www.FunAndFunOnly.org

Different seasons, different time, different sunlight, produce different kind of colors.



www.FunAndFunOnly.org

Just like a mixing colors plate so bright and splendid.


www.FunAndFunOnly.org

"Sunset is so beautiful but it is almost dark" The most dazzling color is before the sun sets.


www.FunAndFunOnly.org

Rare opportunity to see the burning clouds, I set up my camera and got it.


www.FunAndFunOnly.org

Bad temper donkey did not want to work with the bull , such uncoordinated working force., This is the first time I saw such kind of farming method and wondered why.

www.FunAndFunOnly.org

The poorer farmer used horse to take the place of donkey. later I knew that since different kinds of animals had different temperaments , they were used together to control each other. If one of them refused to move, the other one would force it .
.
That is to increase production . I think such ancient method could only be seen here only.


www.FunAndFunOnly.org

Good kid helping to harvest vegetables to bring home before sunset.


www.FunAndFunOnly.org

Clear sky with a rainbow after the rain.



www.FunAndFunOnly.org

This hollowed place is the most distinct part of the land. Later , in order to promote tourism it was named
Lexiaguo ( meaning--- the place where beautiful colors set)



www.FunAndFunOnly.org

A town in Lexiaguo.


www.FunAndFunOnly.org

Lexiaguo is full of crops that its curves and lines were made so beautiful by the sunlight.



www.FunAndFunOnly.org

The curve-like crops' lines enhanced more clearly by the red soil.



www.FunAndFunOnly.org

In life, sometimes we do not need to ask ourselves so many Whys', just do what you think you want to do

Thanks for your patience... hope you enjoyed these pictures.

Selasa, 08 Juni 2010

Fanfic The Future and the Past, side story 6

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
SIDE STORY 6
-BEING POPULAR AND MOSQUITOS-
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Kim Yong Soo : Park Jung Chul(nama asli): Jung Yong Soo (nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Seol Won : Jun Noh Min (Guru olahraga)
shendi: han shin woo
Kim Min Sun (memakai nama asli di FF)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
─Lee Ye Jjn, on the bus, 2009─

“Memang menyebalkan,” pikirku sambil menutup majalah di pangkuanku dan mematikan ponselku. Bus wisata sedang dingin-dinginnya. Yo Won sedang tertidur di depan, beralaskan bahu Kim Nam Gil. Hanya orang bodoh yang tidak mamahami situasi mereka.

“Pinjam majalahmu, ya,” pinta Shin Woo yang duduk di sebelahku. Ia menukar tempat duduknya dengan Kim Nam Gil. Aku memang tidak keberatan, lagipula, seharusnya bukan ini juga tempat dudukku. Entah berapa banyak yang sudah melakukan pertukaran tempat duduknya.

Shin Woo mengambil majalahnya dan berdecak kagum saat memandang cover boy di halaman pertama. ”Ya ampun, rasanya aku pernah melihatnya... cowok ini kan yang datang ke festival kita dulu.. dan waktu ada keributan, aku juga melihatnya... wah, iya, benar, namanya Jung Yong Soo...”

”Ya, benar,” sahutku malas. Pelan kusenderkan kepala ke jendela, mencoba tidur. Adakalanya perasaanku begitu sensitif seperti hari ini. Bayangkan, mendengar namanya saja, jantungku berdebar-debar. Sangat aneh... dan... mengganggu...

Namaku Ye Jin. Ada begitu banyak orang akan menyapaku kalau aku melintasi lorong sekolah. Entah siswi senior, junior, maupun yang laki-laki. Tidak ketinggalan para staff dan Guru. Populer adalah kata yang identik padaku, menurut Yo Won.

Kuakui, aku sudah cukup terbiasa menerima pernyataan cinta, dan tidak ada yang kurasa mampu menyentuh hatiku. Aku merasa cukup aman dalam duniaku.

Namun, sejak bertemu Jung Yong Soo, aku kehilangan pijakanku. Aku ingin bertemu dan bicara lama padanya. Tapi, kurasa itu terlalu memalukan. Sebagai perempuan, kurasa aku tidak bisa bertindak agresif atau semacam itu.

”Dia pacarmu, kan?” tanya Shin Woo sambil tersenyum kecil.

”Bukan,” jawabku, berusaha tersenyum. Dadaku berdebar kencang. Ah, lagi-lagi... ”Hanya... teman...” kenapa harus ada perasaan mengganjal seperti ini?

”Ooh...” Shin Woo menghentikan kalimatnya, tidak berani bertanya lebih jauh. Dari tadi kuperhatikan, ia terus sms-an dengan Kak Seung Hyo. Rasanya menyebalkan. Ya, memang menyebalkan. Masing-masing punya pasangan. Dan aku, yang disebut sebagai si populer malah sendirian. Sendirian dan menjadi pengganggu seperti nyamuk.

”Kau sudah makan?” begitu bunyi sms darinya. Perutku jadi mulas membacanya. Ia tidak pernah bertanya lebih. Hanya mengingatkanku akan jam makanku. Tapi, perhatiannya itu membuat perasaanku naik turun.

Yong Soo mungkin menganggapku anak kecil. Kami biasa janjian bertemu, hanya untuk makan bersama. Tetapi, semakin mengharapkan lebih, yang terjadi malah sebaliknya. Ia tidak pernah menggandeng tanganku. Ia tidak pernah menunjukkan perhatian lebih.

Makan. Tiap bertemu denganku, ia mengajakku makan. Masa hanya itu yang ada di pikirannya? Memangnya aku sekurus itu?


─Jung Yong Soo, Seoul, 2009─

“Baiklah, aku tidak mengerti dengan gadis ini. Aku menyerah,” tukasku sambil melempar ponselku. Ia terus saja mematikannya. Dan tidak membalas pesanku. Padahal badannya sudah sekurus itu. Dan tiap kali kutelpon, bisa-bisanya dia belum makan padahal jam makan sudah lewat.

”Kau sedang menggerutu apa, Yong Soo?” tanya wanita di sampingku. ”Daritadi kau bukannya menatapku, malah asyik dengan ponselmu...” ia terkekeh geli, kelihatan menikmati tawanya. Namanya Kim Min Sun. Gadis yang mengenalkanku pada dunia modelling, dan ia memang cukup sering terlihat modis dan kalau boleh kukatakan, seksi?

”Tidak apa,” elakku, memaksakan senyuman di bibirku. ”Kau tidak makan?” kutunjuk piringnya yang masih penuh dengan garpuku.

”Sudah kenyang,” senyumnya, berusaha menggodaku. ”Kau terlihat buru-buru sekali,” ujarnya sambil memandangku makan dengan cepat. ”Kau akan pergi?” tanyanya.

”Ya, ada urusan penting,” sahutku asal. ”Pelayan, bill-nya?” sambil menunggu pelayan datang, aku mulai menekan nomor telepon Yoon Hoo.

─Lee Ye Jjn, Gyeongju, 2009─

“Baik anak-anak, ayo turun, kita sudah sampai…” ujar Pak Jun sambil menepuk tangannya keras-keras. Aku menguap beberapa kali, berusaha mengusir kantukku.

Kuseret koperku memasuki hotel Park Tourist Hotel Gyeongju. Dindingnya dicat pink dan terlihat sangat manis, kurasa pada kesan pertama aku langsung menyukainya. Jarak hotel ini menuju city center hanya berkisar 0.9km. Lokasinya cukup strategis.

“Kau darimana saja?” tanyaku pada Yo Won. Satu kamar diisi oleh dua orang, dan penempatan kamar untuk kami sangat tepat.

”Tidak darimana pun kok...” tukasnya, sibuk mengeluarkan barangnya dan memasukkannya ke lemari. Aku menatap matanya yang terlihat sembab.

”Kau habis menangis?” tanyaku, penuh selidik. ”Kita ada waktu bebas sampai jam 6, kan? Aku mau tidur saja...”

”Aku akan jalan-jalan di sekitar sini, Yoo Jin mengajakku, jadi...”

”Oke, tidak masalah,” sahutku, mulai memasukkan barangku ke lemari, dengan gerakan jauh lebih cepat dari Yo Won. ”Bangunkan aku kalau ada sesuatu yang penting...”

”Nyalakan ponselmu,” perintah Yo Won. Dengan senyuman terpaksa kuturuti kehendaknya. Apa boleh buat, kan? Uh, benar saja, begitu ponselku dinyalakan, bertubi-tubi masuk sms yang sama seperti tadi.

“Waduh, ponselmu lagi rame ya?” canda Yo Won, berusaha tertawa. Aku tersenyum sekilas menanggapinya. Kuhempaskan tubuhku di kasur. Hmm… nyaman sekali…




“Kau sudah mandi, Ye Jin?” tanya Yo Won. Aku menatapnya dari meja kaca di depanku. Ia masuk dan melepaskan sepatunya, menggantinya dengan sendal kamar. “Wah, aku harus mandi secepat mungkin...” gerutunya sambil tergesa-gesa menyambar handuk.

”Kau habis bertemu dengan Kim Nam Gil, tadi?” tanyaku, masih sibuk mengatur rambutku.

Yo Won menggumamkan sesuatu seperti ’ya...’ dari kamar mandi. Sejurus kemudian terdengar suara air menyiram dan membilas. Tak lama ia keluar dan terlihat lebih segar. ”Kau tidur terus dari tadi?” tanyanya sambil tersenyum.

”Ya, begitulah...” sahutku asal. ”Tadi wajahmu kusut sekali, dan sekarang wajahmu luar biasa cerah. Ada apa sih?” tanyaku.

”Tidak kok,” ia mulai mengelap rambutnya dengan cepat. ”Hanya...saja... mm.. Ye Jin, aneh tidak, kalau dua orang yang berbeda memimpikan hal yang saling berhubungan?”

”Aneh sih, seperti di film bukan? Biasanya kalau dalam film, orang speerti itu berjodoh...”

“Benarkah?” mata Yo Won membesar dan terlihat kaget. ”Masa sih...” kali ini ia tersipu malu. Akhir-akhir ini tindak tanduk Yo Won begitu jelas. Ia jatuh cinta. Dan aku tidak perlu menyebutkan siapa pasangannya.

“Yuk, waktunya makan malam...” ajaknya ceria. ”Hm... aku juga mau minta maaf padamu...” pelan Yo Won menatapku ragu. ”Kalau kau menganggap kedekatanku dengan Nam Gil terlihat menyebalkan...”

”Kau bicara apa sih?” potongku, tidak sabar. ”Kau mau ribut karena aku tidak punya pasangan? Tidak perlu merasa tidak nyaman, Yo Won. Aku baik-baik saja. Ini duniaku. Dunia Ye Jin...”

Aku bohong...

”Aku tahu itu, kau yang terbaik!” serunya sambil tersenyum memelukku. Kami turun dengan gembira ke ruang makan yang sudah di booking untuk grup dari sekolah kami. Suasana sangat ramai di sana.

Sejenak mataku terpaku pada sosok Kim Nam Gil yang berdiri di sudut ruangan, tengah berbicara dengan seorang lelaki. Tubuhku langsung kaku dan mematung. Kenapa ada dia di sini? Tampaknya ia menyadari kehadiranku. Secepat itu ia memutar tubuhnya dan berjalan ke arahku.

Aku bohong... aku tidak baik-baik saja... kalau ada dia, kebohonganku akan semakin parah....

─Jung Yong Soo, Gyeongju, 2009─

“Kenapa kau ada disini?” tanyanya dengan mata melotot kaget. Aku tidak pernah melihat ekspresinya selucu itu.

”Aku datang untuk memastikan makananmu...” jawabku. Kalimat itu terus menari di dasar otakku. ”Kau belum makan, ya?”

”Aku bisa makan tanpa bantuanmu,” jawabnya sambil berlalu pergi. ”Terimakasih, tapi tidak perlu datang untuk mengurusku...Aku kan bukan anak kecil,”ia masih terus mengomel sambil berjalan pergi.

”Ye Jin, tunggu!” aku menarik tangannya. Entah berapa kali aku terkejut saat berada di sampingnya. Saat pertama melihatnya, aku terkejut karena ada sesansi aneh mendesak keluar dari dadaku. Kedua kali, saat menarik tangannya, aku kaget karena ia begitu kurus. Dan sekarang, ada sengatan aneh lagi di dadaku.

”Lepaskan,” wajahnya terlihat memerah, seperti hendak menangis. ”Aku mau ke tempat Yo Won...”

”Tapi aku mau bicara denganmu...”

”Di sini saja, sekarang...” sahutnya. Ia terus celingukan ke kanan dan ke kiri.

”Kau tidak suka terlihat bersamaku?”

”Kau yang tidak suka!” tuduhnya. ”Apa kata orang kalau kau terlihat sedang jalan sama anak SMA?” matanya terlihat marah menatapku. ”Padahal mereka tidak tahu kau hanya menganggapku anak kurus kurang makan!!”

Tawaku meledak keluar dari bibirku. Begitu saja. Aku suka melihatnya mengomeliku seperti ini. Atau cara matanya yang kesal menatapku. Tetapi, di luar itu semua, aku paling suka melihatnya tersenyum. Sesuatu yang tidak pernah lagi kulihat sampai sekarang.

”Bagaimana kalau kukatakan aku datang karena aku ingin menemuimu?”

”Menemuiku untuk memastikan aku makan dengan baik?”

”Itu salah satunya. Tapi, aku... memang ingin menemuimu. Kau tidak membalas pesanku...”

”Aku tidak punya kewajiban untuk membalas,” balasnya pedas. Ia berlalu pergi dengan wajah kesal. Dari jauh kuperhatikan ia masih speerti biasanya, memakan makanan dalam porsi kecil.

”Biasanya dia tidak segalak itu,” tukas Yo Won yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingku. Yo Won memberikan pandangan pengertian padaku. ”Tapi, dia memang sudah terbiasa makan sedikit,” ujarnya lagi.

”Aku tahu, hanya saja, aku tidak bisa membiarkannya...”

”Berusahalah,” ujar Yo Won sambil menepuk pundakku pelan, memberikan semangat. Sekejap kemudian ia sudah berlalu pergi dan menghampiri Ye Jin yang juga menghilang di antara kerumunan itu.

”Motifmu kacau sekali,” ledek Nam Gil yang berdiri di belakangku, asyik menyantap ayam goreng di piringnya. ”Biasanya kau punya sejuta alasan untuk merayu perempuan. Kali ini kau bilang mengawasi makannya? Hahaha...” ia tertawa sambil meneruskan makannya.

”Aku hanya sudah terlanjur berada dalam posisi itu...” ujarku, berusaha membela diri,

Nam Gil menatapku dan tersenyum pelan. ”Kulihat di grup ini banyak yang mengincarnya. Ia kan populer. Dan kau tahu, kemungkinan untuk jadian saat studi wisata persentasenya tinggi...”

”Sebanyak apa?” tanyaku, berusaha tidak terlihat terlalu peduli.

”Pria di sana. Lalu anak itu, anak itu, anak itu dan dia...” Nam Gil menunjuk siswa di depan kami dengan ayamnya. ”Mereka terlihat berusaha mendekati Ye Jin akhir-akhir ini...” Nam Gil lantas nyengir lebar melihat wajahku yang bingung. ”Yo Won cerita banyak padaku...”


─Lee Ye Jjn, Gyeongju, 2009─

“Ye Jin? Kau kenapa? Sakit?” Tanya Yo Won sambil menghampiriku di kamar.

Aku menoleh memandangnya dari balik kasurku. ”Tidak, maaf ya, aku tiba-tiba pergi… hanya pusing saja,,,” tukasku, berusaha menyembunyikan lilitan perasaan di perutku. Melihat cowok itu datang begitu jauh untukku, dadaku serasa dihantam palu dan perutku sakit. Sakit yang terasa aneh.



Mataku terbuka dalam kegelapan. Pelan kuseka keringat yang membasahi keningku. Rasanya sudah lama sekali tidak memimpikan sesuatu semacam itu.

Sebuah kerajaan. Begitu banyak hanbok, begitu banyak prajurit, begitu banyak detail bangunan. Rasanya begitu nyata, membuatku bergidik. Seolah aku memang pernah berjalan di sana. Melewati setiap ruangan di sana. Dan seornag pria. Memelukku. Mendekapku, suamiku.

”Kau tidak bisa tidur?” tanya seseorang. Nyaris saja aku melompat kaget saat memandangnya. Ia menatap piyamaku, membuatku merasa jengah.

”Aku mau ambil minum,” ujarku, berusaha menekan nada suaraku yang dipenuhi getaran aneh. ”Haus”

”Kutemani...” ia menyejajarkan langkah kakinya denganku. ”Biaya menginap di hotel ini cukup murah ya,” pelan ia membuka percakapan. ”Dan penampilan hotelnya cocok denganmu...”

”Kuharap itu bukan sindiran...” kami memasuki dapur dan di sana ia duduk menungguku di salah satu kursi. ”Yuk, kalau sudah...” ujarnya sambil menyampirkan jaketnya ke bahuku.

”Tidak perlu,” ujarku, berusaha mengembalikannya. Namun, tangannya menekan tanganku dan memelukku dari belakang.

”Kenapa?” tanyaku. ”Hei... kenapa memelukku?” suaraku nyaris berupa bisikan.

Jantungku berdebar naik turun. Aku bisa merasakan nafasnya di telingaku. Ia memelukku. Perasaan aneh bermunculan di dadaku. Aku pernah... merasakan perasaan semacam ini sebelumnya. Dimana? Dimana?

Tangannya bergerak turun, kali ini ia masih memelukku, tapi tangannya berada di pinggangku. Bisa kurasakan debaran jantungku bertambah kencang, kencang, semakin kencang.

”Salah ya, kalau aku memperhatikan makanmu...?” tanyanya dengan suara berat.

”Tidak kok,” aduh,.... suaraku kok bergetar beginii? Beberapa kali aku berusaha melegakan tenggorokanku, tapi akhirnya suaraku malah tambah aneh. ”Hanya saja... kau menganggapku anak kecil...”

”Kau terlalu kurus...”

”Tidak kok...” tukasku. Kali ini nafasnya terasa di leherku. ”Hei, lepaskan!” seruku sambil mendorongnya. Ia kaget melihat wajahku yang merah.

”Sorry, aku...” Yong Soo mulai kelihatan salah tingkah saat mataku menatapnya, meminta penjelasan. ”Loh? Kenapa? Aduh, jangan menangis...”

”Maaf... jangan memelukku lagi..” pintaku. Air mataku keluar begitu saja. Yong Soo adalah pria. Aku tahu itu. Tapi, ia tidak pernah menyadari kalau Lee Ye Jin bukan anak kecil. ”kau memelukku karena aku anak-anak dan bisa dipermainkan?” tanyaku dengan suara bergetar.

”Bukan begitu, hanya saja...”

”Kau akan memintaku melupakan kejadian ini? Dan bersikap seolah semua ini tidak terjadi?”

”Kau bisa melakukannya?” tanyanya.

Mata kami bertatapan begitu lama. Aku merasakan perasaan itu lagi. Mengendur dan menguat. ”Aku tidak bisa... aku tidak bisa...” gelengan kepalaku semakin kuat, dan sebentar saja, tangisku pecah.

Ia menarikku dalam pelukannya. ”Aku juga tidak bisa, Ye Jin...”



”Sudah lebih lega sekarang?” tanyanya sambil tersenyum. Kami duduk berdua di halaman depan hotel. Minum secangkir teh panas dengan gelas kertas yang bisa dibeli dari mesin otomat yang ada di dekat resepsionis.

“Terimakasih...” pelan kuminum tehku dan berusaha meresapinya. Apa yang baru saja terjadi? Dia bilang, dia juga tidak bisa. Apanya? Apakah dia tidak bisa melupakannya? Apa itu berarti...

”Aku... memposisikan diriku dengan konyol di hadapanmu...” ujarnya sambil merenggangkan kakinya. ”Aku... tidak melihat cara lain mendekatimu selain itu...”

Dadaku berdebar pelan, dan semakin lama semakin kencang. Tangannya menyentuh bahuku dan ia tersenyum kecil. ”Tapi, kau memang kurus...”

”Terserahlah,” sahutku sambil kembali menatap gelas kertasku.

”Baik, baik, kulanjutkan ceritaku...” ujarnyas sambil tertawa kecil. ”Pertama mengenalmu, aku kaget karena entah mengapa ada perasaan aneh di sini...” ia meraih tanganku, meletakkannya di dadanya yang bidang.

”Dan kedua kalinya, aku merasa kau sangat kurus...” ia tertawa pelan sebelum melanjutkan. ”Tapi, aku memang selalu mencemaskanmu...”

”Maksudmu, apa aku makan teratur atau tidak, begitu?”

”Bukan itu saja kok...” ia tertawa lalu matanya memandangku semakin lekat. ”Apakah makan dengan baik, apakah belajar dengan baik. Apakah sehat, apakah....”

”Kau seperti orangtuaku saja...” keluhku. Ia tertawa sabar. ”Baiklah, tolong lanjutkan...”

”Apakah kau... memikirkanku.. seperti aku memikirkanmu... Apakah ada pria lain, apakah aku...tidak...bertepuk sebelah tangan?”

Kali ini matanya menatapku dengan tatapan begitu dalam. Aku tidak bisa bernafas saat memandangnya. Kelam, sekelam langit malam. ”Kenapa menangis?” tanyanya. Ia mengusap pipiku dengan ibu jarinya.

”Kukira... aku bertepuk sebelah tangan...” gumamku pelan.

Bisa kurasakan tatapan matanya masih membiusku. Pelan, tangannya bergerak menyusuri wajahku, ia mendekatkan wajahnya dan refleks, mataku kututup. Ternyata Yong Soo mencium pipiku.

”Tadinya aku akan menunggu sampai Ye jin cukup dewasa...” ujarnya sambil menghembuskan nafas kuat-kuat ke rahangnya. ”Tapi tidak bisa. Kalau aku terus di tempat, para serigala itu akan mengambilmu...”

Aku tertawa dalam pelukannya. Serigala? Siapa yang dimaksudnya? ”Teman-temanku? Masa mereka serigala?”

”Kalau di depan pria lain, kuharap kau jangan tertawa seperti itu...” ujarnya sambil tersenyum senewen.

”Eh? Kenapa?”

”Aku ingin menjadi satu-satunya orang yang membuatmu tertawa...” pikirnya sambil mengangguk-angguk pelan. ”Benar, selama itu pula, aku akan berada di sampingmu dan melihatmu semakin dewasa...”

”Memangnya aku tidak dewasa?”

”Tunggu sampai kau lebih gemuk...”

”Menyebalkan!!” seruku kesal. Dalam satu gerakan cepat, aku bangkit dan berdiri meninggalkannya. Menyebalkan! Sebentar mengatakan cinta, sebentar ledekan, sebentar pujian, kali lain malah mencemooh.

”Ye Jin! Sampai jumpa besok pagi!!” teriaknya sambil melambaikan tangannya gembira.

Aku membalas lambaiannya dengan cibiran pendek. Senang rasanya menjadi diri sendiri. Tidak perlu takut mengakui kalau aku menyukainya. Tidak perlu takut menunjukkan sisi kenakanku di depannya. Dan tidak perlu lagi jadi nyamuk pengganggu!!

-selesai-

Fanfic The Future and the Past, side story 5

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
SIDE STORY 5
-COMEDIAN’S MAN -
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Desi : Uhm Dae Chi
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Uhm Dae Chi, Seoul, 2009─

“Ya, Ma, aku tahu...” jawabku sambil menarik nafas pelan. Kutatap layar ponselku yang kemudian berkedip dan mati. Mama melakukan panggilan internasional hanya untuk memberi tahu kalau batas waktu keberadaanku di Korea sudah habis.

Berarti sudah saatnya pulang. Pulang, dan kemudian berada sementara waktu di Amerika sampai akhirnya kuliah di Korea. Berapa lama? Sampai kapan? Dan selama itu pula... aku tidak bisa bertemu Kak Tae Wong

Tidak ada yang mengetahui hari rahasia kami waktu itu. Tidak Mama, tidak Yo Won, bahkan siapapun. Hari itu, hari kematian Papanya Kak Tae Wong, aku rasa aku benar sudah jatuh cinta padanya.


Seoul, beberapa minggu lalu...

”Hai Kak...” tidak sulit menemukan sosoknya yang tinggi tegap. Berada di samping jenazah Papanya. Berpakaian serba hitam dari atas sampai bawah. Dan sedari tadi, entah berapa kali ia membungkuk dan tersenyum sopan pada orang-orang yang datang dan pergi mengunjungi pelayatan ini.

”Hai,” sepasang matanya sama ramahnya dengan biasanya. Dadaku terasa hangat melihat ia merespon kedatanganku dengan baik.

”Senang dengan kedatanganku?” tanyaku, sengaja menggodanya. Di luar dugaan, senyumannya malah membuat desir jantungku semakin hebat. ”Kakak tidak pegal, membungkuk seharian?” tanyaku spontan. Ups, memang mulutku tidak bisa direm. ”Maaf, Kak...”

”Ya, aku senang sekali melihatmu...” sahutnya sambil menatapku dengan pandangan tulus. Ia membungkuk sedikit saat menambahkan,”Dan kau benar, memang pegal sekali rasanya....” kami tertawa bersama. Dan kemudian, ia menoleh pada wanita di sampingnya. ”Maaf, Ma, aku ke sana dulu...” ujar Kak Tae Wong pada wanita di sebelahnya. Aku mengangguk sopan dan wanita itu tersenyum sekilas ke arahku.

”Tidak apa meninggalkan Mamamu sendirian?” tanyaku hati-hati. Kami menyusuri jalan setapak ke halaman belakang. Dari jauh, kulihat Yo Won dan Kim Nam Gil bergerak ke arah kiri halaman. Dengan cepat kuputar tubuh Kak Tae Wong, sialnya, hidungku malah bertabrakan dengan bahunya.

”Wuaaa!!” teriakku saat jatuh terjerembab. ”Aduh duh...” dengan sedikit meringis kuelus pantatku. Kak Tae Wong berjongkok di sampingku, memandangiku dengan bingung. Reaksiku mungkin terlalu cepat. Mulutku bergerak begitu saja. ”Tenang.. tenang... aku tidak apa...” ujarku.

”Aduh, kau mimisan! Bagaimana ini!” tanyanya panik. Aku malah tertawa saat ia dengan panik menyuruhku menengadah sambil meletakkan sapu tangannya di hidungku. “Kau aneh, masa malah tertawa...” senyumnya semakin lebar saat melihatku nyengir.

“Habis, Kakak aneh sekali, kesannya kaya aku mau mati saja...” tawaku meledak. Sebenarnya, tawaku juga bertujuan untuk menutupi debaran yang begitu mengganggu di dadaku. Rasanya luar biasa senang melihat perhatiannya begitu besar padaku.

Pelan, ia membantuku duduk di salah satu kursi terdekat. Ia acap kali tertawa saat melihatku menceritakan pengalamanku di Amerika. “Kau anak yang menarik,” ujarnya, akhirnya. Lalu matanya lama menatapku.

“Ya, memang aku menarik!” ulangku, berusaha menghindari pandangannya. Rasanya aneh. Aneh. Aneh! Aaargh!! Aku tidak tahan dilihat dengan mata seperti itu! Will you stop, please?

“Kalau tidak ada Dae Chi di sini… mungkin aku tidak bisa tertawa seperti ini...” kalimatnya terasa menghentak begitu kuat, sekaligus begitu lembut. Dadaku terasa sesak mendengarkannya. Apakah… ia merasa senang dengan kehadiranku?

”Aku tidak mengganggu, bukan?” tanyaku. Getaran dalam suaraku terasa tidak terelakkan. Detik itu juga air mataku terasa terkumpul di sudut mataku.

Dae Chi. Namaku Uhm Dae Chi. Semua temanku senang berkumpul di sampingku, apalagi saat jam istirahat. Mereka menilaku menyegarkan dan ceria. Dan sekarang... kenapa aku malah begini konyol? Tiba-tiba jadi ultrasensitif seperti sekarang ini...

”Suasana hatiku sebenarnya kacau tadi, tapi melihat senyummu....” kalimatnya berhenti begitu matanya menatapku. ”Astaga! Apa aku salah bicara? Kenapa kau malah... menangis?” ia buru-buru merogoh saku celananya.

Di tengah air mataku yang semakin deras, aku masih sempat menertawakan kelinglungannya. Agaknya ia lega melihatku masih punya kemampuan untuk tertawa. ”Sapu tangan Kakak kan ada padaku...” ujarku sambil mengulurkan sapu tangannya yang dipenuhi darahku.

Ia lantas menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kemudian, menarikku ke bahunya. ”Yah, aku sangat senang karena ada Dae Chi di sini. Mana mungkin kau menggangguku? Aku sangat membutuhkan energimu...” gumamnya pelan.

Dadaku terasa semakin hangat... air mataku terus saja tumpah... aku tahu... aku tahu... aku seharusnya sudah menyadarinya sejak lama... aku benar menyukai pria ini... aku ingin bersamanya...


─Kim Tae Wong, Seoul, 2009─

“Kau belum juga kencan dengan anak itu?” tanya Nam Gil sambil meminum kopinya.

Kami duduk di sudut kantin, dan mengobrol. Obrolan laki-laki, obrolak adik kakak, atau apalah itu. Hal yang semakin menjadi rutinitas kami. Dan jujur, aku sangat menikmati kebersamaanku dengan Nam Gil. Ia menyenangkan, pandai dan sangat bijaksana untuk ukuran usianya.

“Dengan siapa?” tanyaku, menurunkan gelas kopiku. Nam Gil memandangku dengan pandangan jenaka. Tampaknya ia menyadari timing tepat untuk mengajakku bicara, agar aku tidak perlu menyemburkan kopiku ke arahnya.

”Siapa lagi? Tidak perlu kusebutkan namanya, bukan? Dia anak yang ada di pesta hari itu...” kalimatnya terhenti begitu tanganku naik menutupi wajahku, dan kemudian bergerak menyisiri rambutku, menggaruk bagian yang sebenarnya tidak gatal. ”Kapan?” desaknya lagi.

”Entahlah...” pelan, kuhirup kopiku sebelum meminumnya. ”Bagaimana kalau ia menolakku?” tanyaku, merasa tidak pede.

”Dasar kau,” ia mencibir lalu meneguk kopinya. ”Kurasa tanggapannya positif.. Dan Yo Won bilang, ia akan segera pulang ke Amerika... kalau kau tidak cepat, kau akan menyesalinya...”

Dadaku berderak cepat, tapi sebisa mungkin kutekan ekspresiku. Amerika? Aku sangat tidak percaya diri menjalin hubungan jarak jauh atau semacam itu. Apa lebih baik aku pass saja? ”Bagaimana kalau di Amerika ia sudah punya pilihan lain?”

”Entahlah,” Nam Gil mengangkat bahunya sedikit. ”Aku juga tidak tahu soal itu. tapi, daripada itu, lebih baik kau pikirkan perasaanmu sendiri. Kalau kau sama sekali tidak mencoba, aku yakin kau akan menyesal. Seperti Sung Pil...”

Kalimat Nam Gil menggantung di udara. Kang Sung Pil. Pria yang dalam waktu singkat menjadi sahabatnya yang tidak terlupakan. Belakangan kuketahui kalau ia tidak sempat menyampaikan perasaannya sampai akhir hidupnya... benar-benar ironis...

”Yah, aku tahu itu,” jawabku, berusaha tidak menyinggung perasaan Nam Gil. Akhir-akhir ini, kurasakan ia semakin ekspresif dan terbuka. Beberapa kali kulihat ia menggandeng Yo Won saat pulang sekolah. Mungkin, mereka sudah mulai pacaran.

Sejujurnya, kuakui kalau Yo Won sangat menarik perhatianku. Ada sesuatu... entah apa itu, sangat mengusikku. Menarikku untuk semakin mengenalnya. Namun kedekatan kami sangat aneh. Dekat, tapi juga dingin.

Dan kepada Dae Chi... aku senang berada di dekatnya. Tapi, apakah hanya itu? berkali-kali kutanyakan pada diriku bagaimana perasaanku padanya, dan aku masih belum mampu menjawabnya, bahkan sampai detik ini... saat pandangan Nam Gil seolah hendak meneropong jauh...jauh ke dalam hatiku...

─Uhm Dae Chi, Seoul, 2009─

“Aku mau menyerah saja soal Kak Tae Wong...” ujarku, akhirnya. Yo Won menatapku dengan wajah terkejut. Kumainkan garpu di atas piring spagetthy-ku yang masih penuh. “Yah, begitulah...”

“Kenapa?” tanyanya, masih tidak percaya. Ye Jin duduk di sebelah kami. Wajahnya sama kagetnya, namun reaksinya sangat kalem, berbeda dengan Yo Won. ”Kau bilang kau mau kami tidak mengantarmu ke bandara. Kau bilang kau mau minta dia yang mengantarmu, kau bilang kau mau menyatakan padanya hari itu....”

”Iya, tapi tidak bisa...” dengan kesal kumasukkan sesuap ke mulutku. ”Ia dingin. Dan sejauh ini, kami bahkan tidak pernah bergandengan tangan...” gerutuku,. ”Masa sinyalku kurang jelas? Kami beberapa kali bertemu untuk makan bersama. Tapi, yang ia lakukan tidak lebih sekedar memandangku, tertawa bersamaku. Itu saja!”

”Dae Chi, bagaimana kalau ternyata ia tertarik padamu, namun tidak berani mengucapkannya?” Ye Jin yang dari tadi terus bungkam akhirnya membuka mulutnya juga.

”Oh? Kau yakin sekali? Cobalah jadi aku. Aku capek. Sebentar lagi aku akan ke Amerika. Dan ia sama sekali tidak bergeming. Mungkin memang sebaiknya aku pacaran dengan Billy, Ken, atau Rob!” cetusku sambil menancapkan garpuku.

”Siapa itu? mantanmu?” tanya Yo Won bingung,

”Bukan, mereka nama kuda yang dipelihara di sekolahku!” dengusku. ”Ya, jelas, mereka tipe yang mengerti sinyal wanita! Berbeda dengan orang itu! Mungkin, memang lebih enak pacaran dengan mereka!”

”Tapi, kau kan sukanya sama Kak Tae Wong, kan?” tanya Yo Won lagi. Aku merasa malas menjawabnya dan terus saja memakan spageti-ku dengan perasaan kesal.

Padahal begitu melihatnya, perasaanku begitu campur aduknya. Apakah, keberadaanku tidak lebih dari sekedar memberikan hiburan? Kalau begitu, nonton saja acara komedi seharian! Huh!


─Kim Tae Wong, Seoul, 2009─

“Siapa itu Ken, Rob dan Billy?” tanyaku dengan wajah kusut. Benar dugaanku. Ia memang memiliki pilihan lain.

”Itu nama pria yang kemungkinan menjadi penggantimu!” tawa Nam Gil terdnegar hambar di telingaku.

Saat ini kami sedang menguntit para gadsi itu. jarak kami berada tidak jauh dari mereka. Sekitar dua meja, dan duduk kami saling membelakangi. Rasanya wajar kalau ia tidak menyadari keberadaanku. Sulit sekali menguping pembicaraan para gadis itu. dan yang jelas kutangkap di telingaku hanya tiga nama itu. karena, Dae Chi begitu lantang menyebutnya.

”Dengar, tidak? Itu saatnya untuk bertindak...”ujar Nam Gil lagi, menyenggol sikuku. ”Hei! Kau dengar tidak?”

”Ya, eh, maksudku, begitulah...” sahutku, merasa kacau. Lalu, bisa kudengar tawanya beberapa kali, bagaikan gema di punggungku. Tawa yang sangat kusukai. Apakah aku salah kalau aku sangat menikmati kebersamaan kami?

”Kau tidak salah, tapi, kau kurang tegas...” ujar Nam Gil. Kuangkat kepalaku, kaget. Darimana ia tahu pikiranku?

”Pikiranmu jelas terbaca di wajahmu,” sergah Nam Gil sambil menghabiskan seluruh isi minuman di gelasnya. ”Maaf, aku tidak bisa menemanimu. Sebentar lagi, Yo Won mungkin menelponku. Aku harus pergi sebelum kepergok di sini...”

”Oke,” jawabku. Aku melambai pelan ke arahnya. Dan saat tanganku kuletakkan, sikuku menyenggol dompetku dan menjatuhkannya ke lantai. Seseorang yang kebetulan lewat membantuku memungutnya. Tanganku langsung membeku melihat wajah penolongku. Ya Tuhan! Dae Chi! Habislah!

”Sedang apa kau disini?” tanyanya bingung, menatapku dengan pandangan meneliti. ”Habis bertemu seseorang?” tanyanya lagi. Aku terus memandang matanya, seperti terhipnotis. Ia memandang mejaku dan tampak terluka. ”Kau menikmatinya?”

”Hah? Apa?” tanyaku, bingung.

Wajahnya mengkeruh, lalu ia menarik nafas panjang dan berdiri. Lalu pergi. Ia pergi begitu saja, dikejar dua teman akrabnya, Yo Won dan Ye Jin. Aku tidak paham. Kenapa?


─Uhm Dae Chi, Seoul, 2009─

“Kau mungkin salah paham, Dae Chi!!” seru Yo Won gusar. Kumatikan ponselku dan kubanting. Besok, besok semuanya akan berakhir. Aku akan pulang ke Amerika, lalu berakhirlah petualangan cintaku di sini. The end. Begitu saja.

rasanya sakit. Luar biasa sakit. Padahal aku hanya melihatnya. Dan melihat dua buah gelas di atas meja. Hanya itu. bisa kubayangkan wanita secantik apa di sampingnya. Yo Won pernah cerita tentang Gurunya yang cantik, yang kelihatan tertarik pada Kim Nam Gil. Aku hanya pernah melihatnya sekali, dan kuakui, dia sangat cantik. Menarik. Anggun.

Melihat dua buah gelas di meja itu, aku tahu bagaimana masa depanku. Aku masih muda. Mungkin ia menganggapku terlalu muda. Kami tidak akan pernah pantas duduk berhadapan seperti itu. kuakui, mungkin hari ini perasaanku over sensitif, tapi, hatiku rasanya remuk redam. Apakah tadi ia menikmati kebersamaannya dengan siapalah itu, yang sepertinya seorang wanita?

Tidur! Lebih baik aku tidur sekarang! Dan kemudian, pulang ke Amerika, bertemu Billy, Ken dan Rob. Kemudian, aku akan menjadi Dae Chi yang semula. Yang ceria, yang periang. Tidak lemah, tahan banting, menyenangkan!!



”Hati-hati di Amerika, ya, Dae Chi...” ujar Kim Rae Na yang ikut mengantarku. Ia memelukku lama dan kemudian menatapku dengan kerinduan. ”Penuhi janjimu untuk kuliah di sini, oke?”

”Ya...” sahutku enggan. Kalau aku memang masih berniat pulang ke sini, pikirku kesal. Yo Won dan Ye Jin memelukku sambil mengeluarkan senyuman masam yang dipaksakan. ”Huh, masa mukamu seperti itu waktu mau mengantarku?” protesku.

Yo Won akhirnya tertawa kecil dan menepuk pipiku. ”Kau bodoh, seharusnya kau pikir panjang dulu. Yang kemarin minum dengan Kak Tae Wong adalah Nam Gil... dasar cemburuan...” olok Yo Won.

Aku menatapnya kaget. Ya ampun! Jadi, aku salah paham? Tidak, tidak! Tekadku sudah bulat. Cowok itu tidak menganggapku wanita, hanya menganggapku komedian. Huh! Mengesalkan! Tetap saja, suatu hari, aku akan melihatnya di sana, duduk dengan wanita lain yang dewasa dan cantik...

”Ya sudah! Biarin saja!” jawabku ketus. Yo Won menggumamkan kalimat seperti ’dasar keras kepala’ sambil berlalu pergi. Kutenteng koperku dan pelan, aku berjalan ke arah pintu keberangkatan.

”Dae Chi! Dia datang! Dia datang!” sorak Rae Na, Yo Won, dan Ye Jin.

Jantungku mati rasa melihat pria yang dengan wajah pucat berlari ke arahku. Kak Tae Wong?! Mau apa dia datang ke sini?! Saking gugupnya, aku malah langsung berbalik dan berlari kabur, menyeret koperku dan berlari ke arah kiri, jelas bukan ke arah pintu keberangkatan.

“Tunggu dulu!” seru Kak Tae Wong sambil menarik tanganku. Aku masih diam di tempatku, tidak berani menoleh ke belakang. ”Kau salah paham...” ujarnya, masih dengan nafas menderu. Sialan, oh, aduh, kenapa dadaku jadi sesak karena kalimat itu? Kenapa rasanya mau menangis karena melihatnya mengejarku?

”Kalau memang mau mengantar, kenapa tidak lebih cepat?” tanyaku, pura-pura ketus, berusaha menyembunyikan air mataku, sakit di dadaku, semuanya.

”Maaf, aku salah naik bis... mobilku direparasi...”

”Ah! Alasan klasik! Masa nggak bisa naik taksi!!” tidak bisa kutahan bulir-bulir air mata yang menetes turun di pipiku. Aduh, tidak bisa berbalik sekarang. Bisa-bisa ia melihat air mataku.

”Maaf, karena buru-buru, aku salah membawa dompet...” akunya, akhirnya.

”Jadi, tidak ada hadiah perpisahan?”tanyaku. Cepat kuhapus air mataku sebelum berbalik menatapnya. Ia masih sama tegapnya dengan saat pertama kali melihatnya. Dan kurasa, sejak hari itu, mungkin aku sudah jatuh cinta padanya.

”Maaf, aku lupa...” wajahnya terlihat penuh penyesalan. ”Mungkin terlambat, tapi, aku ingin mengatakan... kalau aku sangat senang dengan keberadaanmu di sampingku. Dae Chi... jadi, kalau kau pergi karena membenciku, bisakah kau membatalkannya?”

”Tidak bisa dong! Kau saja ngirit mode on ke sini!” cetusku kesal. ”Lagipula tiketnya memang sudah dipesan jauh-jauh hari. Dan memang visaku habis! Aku memang sudah harus pulang!”

”Baiklah, aku minta maaf...” ia menarik nafas panjang dan tersenyum. ”Apa itu ngirit mode on?” tanyanya lugu. Oh, God! Demi Tuhan, saat itu deraian tawa yang panjang keluar dari mulutku. Entah berapa lama aku terpingkal-pingkal di depannya. Rasanya sudah lama sekali tidak tertawa begitu keras untuk waktu panjang begini.

”Lupakan saja pertanyaanku tadi,” ujarnya gugup. Ia memalingkan wajahnya yang memerah. ”Tapi, aku... memang sangat senang bersamamu. Ini jujur, aku harap... bisa selalu bersamamu...”

”Karena aku lucu? Menarik? Seperti komedian?” pancingku, kembali dipenuhi emosi.

“Tentu saja bukan!” seru cowok itu dengan nada gusar. ”Aku menyukaimu! Tapi, aku butuh waktu untuk bisa menyadarinya!!”

“Bohong!!” reaksiku begitu gamblangnya. Mana bisa... dia mengatakannya...seperti itu? Tanpa bunga atau puisi apapun...

“Aku tidak bohong!!” balasnya sengit. Wajahnya merah sampai telinga. ”Aku mungkin memang bodoh karena tidak menyadarinya. Tapi, kumohon., percayalah...”

”PERHATIAN.... PENUMPANG PESAWAT JURUSAN AMERIKA DENGAN NOMOR PESAWAT XX-XX-XX DIHARAPKAN....”

”Aku harus pergi...” ujarku sambil menatap langit-langit. Perasaanku terasa begitu aneh. Ada lonjakan naik dan turun. Tidak jelas. Kacau. Ruwet luar biasa. ”Tapi, aku senang dengan pengakuanmu...”

”Itu saja?” tanyanya bingung. Kumiringkan kepalaku, tidak mengerti. ”Aku sudah menyatakannya. Bagaimana dengan perasaanmu? Apakah... kita sepasang kekasih? Apakah, kau akan memilihku daripada Ken, Billy dan Rob?”

Sudut bibirku bergerak menahan tawa. Saat itu, kurasakan getaran pelan dari ponsel di dalam sakuku.”Ya, Ma? Pesawat? Oh, aku belum naik... Mmmm...mungkin aku tidak akan pulang ke Amerika...Ya, akan kuceritakan nanti...”’

”Jadi?” cowok itu berdiri di depanku, mengulum senyum, dan menatapku penasaran.

”Kau tidak dengar percakapanku dengan Mamaku barusan?” tanyaku. Ia menggeleng. ”Masa kau tidak dengar?!” protesku, kesal.

”Habisnya di sini kan berisik!” ujarnya, meninggikan suara.

Lama kami bertatapan. Bertatapan seolah tidak ada lagi orang lain di samping kami. Lalu, kami sama-sama mengeluarkan senyuman perlahan. Melihatnya berjalan ke arahku dengan langkah mantap, kuhempaskan koperku begitu saja, dan berlari ke arahnya, menyongsong pelukannya.

”Susah sekali menaklukkanmu...” bisikku di telinganya. Ia tertawa dan memelukku semakin erat, sampai-sampai kakiku tidak menyentuh tanah. ”Bisa duilangi?” tanyaku penuh harap.

”Aku menyukaimu...” bisiknya di telingaku.

Aku tertawa kecil mendengarnya. Sudah berapa kali ya kubayangkan bisa mendengarkan kalimat itu dari bibirnya? Memimpikan pelukannya? ”Kurasa masih kurang keras...” ujarku kecil. Ia tertawa dan berdehem beberapa kali, lalu mengulanginya. ”Kurang,” protesku.

”Aku menyukaimu, Uhm Dae Chi!! Jadilah pacarku!!” teriakannya membahana di seluruh bandara. Beberapa orang menoleh dan menyaksikan tawa kami berderai dalam pelukan kami yang begitu erat. Lalu ia menurunkanku dari pelukannya, dan matanya menatapku dengan pandangan menggoda.

“Aku rasa kau tidak berani melakukann...” belum selesai kalimatku, ia sudah menempelkan bibirnya dan mengulum bibirku, menguncinya dalam ciuman yang bahkan tidak pernah kuimpikan.

Aku bisa merasakan panasnya pandangan orang di sekitar kami. Masa bodohlah. Ye Jin, Yo Won, dan Kim Rae Na bisa menunggu penjelasanku nanti, kan? Pelan, kuangkat tanganku ke lehernya, dan kami meneruskan ciuman kami, pertanda dimulainya cinta kami. Cinta antara pria ngirit mode on dan seorang komedian menarik. Hihihi...





”Oh, ya, aku harus mengakui sesuatu padamu...” ujarku, masih bergelayut di tangannya dengan manja.

”Apa itu?”

”Sebenarnya, Ken, Billy dan Rob adalah nama-nama hamster jantan yang kupelihara di Amerika...”

”A-apa?!” semburat merah muncul di wajah Kak Tae Wong. ”Masa aku dibandingkan dengan hamster!” gerutunya. Aku menanggapinya dengan sebuah tawa panjang. Kami akan saling menghibur, setidaknya...mulai sekarang!!


-selesai-