-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
THIRY SIXTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
─Lee Yo Won, Seoul, 2008─
“Sudah disiapkan sabun mandimu,Yo Won?” Tanya Ye Jin sambil memandangku dari balik tumpukan kopernya. Aku mengangguk dan mulai meneliti barang-barang bawaanku. Sampo, sabun, sikat gigi, obat-obatan, sisir, baju ganti, celana, dan…oh, dimana pasta gigiku.
“Sudah kukatakan, kau melupakannya…” ujar Ye Jin sambil menggeser sebuah pasta gigi ke dekat kakiku. Pelan aku menyeringai.
Dua hari lagi kami akan menikmati wisata ke Gyeongju. Menyenangkan, dan luar biasa. Gyeongju. Sebenarnya, ada dua tempat yang diusulkan untuk studi wisata kali ini. Namun, entah bagaimana, kepalaku terasa aneh saat mendengar nama wilayah itu. Ada yang aneh, aneh sekaligus memikat, entahlah, mungkin aku kebanyakan berpikir. Tapi, tempat itu seolah memanggilku untuk datang.
“Kau kelihatan senang, pasti karena dia ikut kan?” tanya Ye Jin sambil melipat beberapa baju dan memasukkannya ke kopernya. Aku meliriknya sedikit. Rasanya tidak enak kalau aku harus berbahagia, padahal ia di sana tidak ditemani siapapun.
“Tidak juga,” sergahku, mencoba menyembunyikan berbagai pikiran yang menyembul keluar di otakku. Kami akan berada bersama di sana. Liburan bersama, wuah.. pasti seru, dan…
“Jangan lupa, setelah selesai, kita akan membuat laporan loh…” ujarnya sambil memasukkan sebuah buku notes dan beberapa alat tulis. Selalu begitu. Sesudah ada yang menyenangkan terjadi, pasti menyusul hal menyebalkan. Huh!
“Yah, sementara ini, lebih baik kita menikmatinya,” sahutku. “Oh, aku harus membeli beberapa snack..!!”
”Tin! Tin!”
”Pacarmu datang!” Ye Jin mengumumkan dengan senyuman. ”Kalau beli snack, jangan lupa belikan bagianku juga, ya!” pesannya sambil menitipkan sejumlah uang ke tanganku.
”Baiklah,” sahutku tersenyum. Aku menatap punggung Ye Jin yang terlihat kesepian. Ia sangat menyukai teman Kim Nam Gil, pria bernama Jung Yong Soo. Tapi, kelihatannya sampai sekarang belum ada perkembangan jelas dalam hubungan mereka. Sedikit banyak, aku merasa kasihan padanya.
”Hai,” sapa Kim Nam Gil. ”Bagaimana kalau sebelum belanja kita mampir ke cafe dulu?” tawarnya. Senyuman lebarnya sungguh menggedor gerbang di hatiku.
Tanpa pikir panjang, aku menaiki motor dan melingkarkan tanganku di pinggangnya. Saat untuk menceritakan semuanya... mungkin telah tiba.
─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─
”Mamaku─ Yoon Yoo Sun, Im Ye Jin, Go Hyun Jung, dan Soo Jin, adik dari Tante Ye Jin.. berempat geng terkenal di SMA dulu...” kenang Mama dengan mata menerawang. ”Tante Soo Jin sakit-sakitan, memendam cinta pada kekasihnya Go Hyun Jung, Sa Da Ham. Pria yang baik, dan ramah...”
”Sa Da Ham...” pelan kueja kata itu. ”Apakah ia...” lidahku tidak bisa mengucapkannya.
Yo Won mengangguk pelan dan tersenyum. ”Papamu,” ujarnya. Aku menunduk, menarik nafas sebanyak yang kubisa. Genggaman tangan Yo Won menguatkanku, memberiku keberanian untuk menghadapi kenyataan. ”Teruskan,” pintaku.
Yo Won menarik nafas, lalu mulai mengatakan sejauh ingatannya dari cerita Mamanya. ”Mama dan Tante Ye Jin memaksa agar Tante Hyun Jung putus dengan Sa Da Ham. Kemudian, mereka berpisah, masing-masing menempuh jalannya. Mamamu menjadi aktris terkenal, Sa Da Ham menikah dengan Soo Jin...”
Aku bisa merasakan ketegangan mengalir dari tanganku. Yo Won menatapku, menunggu anggukanku, lantas meneruskan ceritanya. ”Kemudian, Sa Da Ham menemukan kenyataan kalau Tante Hyun Jung tidak menikah, dan mereka berselingkuh. Lalu, kau lahir...”
Pelan, kuserap semua cerita Yo Won. Tidak kusangka kenyataan akan kelaihiranku harus datang darinya. Dari sosok yang paling tidak ingin kutunjukkan kelemahanku. ”Tante Soo Jin... punya tubuh lemah. Bagaimana reaksinya setelah tahu... perselingkuhan itu?” tanyaku dengan suara getir.
Yo Won menatapku keruh. ”Ia bunuh diri, Nam Gil...” setetes air mata jatuh di pipi Yo Won. ”Skandal kehamilanmu ditutupi dari pers, tetapi Papamu, Sa Da Ham, membawamu pulang... dan karena itulah, Tante Soo Jin...” Yo Won menggigit bibirnya dan menatapku cemas. ”Kau bukan pembunuh, ia yang memilih mengakhiri hidupnya...”
Dentaman jantungku begitu keras sampai hendak membunuhku. Aku adalah anak haram. Anak perselingkuhan. Pantas saja Mama kak Tae Wong begitu membenciku. Pantas kalau Mamanya Yo Won juga membenciku. Kehadiranku...
”Kau memikirkan apa?” tanya Yo Won, menatapku tajam.
”Tidak, hanya saja....” pelan kupaksakan senyum di bibirku. ”Lupakan...”
”Kau memikirkan tentang kebencian mereka, kan?” tuding Yo Won tajam. ”Kau merasa pantas dibenci?”
”Sudahlah, lanjutkan saja ceritanya...” ujarku dengan nada memohon. Bagaimana mungkin ia bisa menebak perasaanku dengan begitu gamblang?
”Tidak akan kulanjutkan sampai kau menghapus pikiran buruk itu...” suaranya terdengar tegas dan matanya terlihat kecewa. ”Aku menceritakannya untuk kebenaran, bukannya untuk membuatmu terpuruk...”
”Baiklah,” potongku, mulai merasa tidak sabar. ”Lanjutkan!”
”Papanya Kak Tae Wong, adalah teman Papamu, sesama arsitek terkenal...” Yo Won memulai dengan nada kesal. ”Dia membawamu pulang setelah Papamu meninggal...”
”Meninggal...” suaraku tercekat di tenggorokan. Oh, ayolah, aku sudah tahu itu. Tetapi, kenapa tetap saja rasanya sesakit ini? “Kenapa?”
“Kecelakaan mobil. Beliau mabuk-mabukan semenjak Tante Soo Jin meninggal. Mungkin saja Beliau merasa...”
“Cukup!!” potongku. Aku sendiri terkejut dengan suaraku. Yo Won memandangku dengan mata basah. “Maaf... kurasa... aku...” tanganku bergerak dengan liar, menyusuri kepalaku.
“Nam Gil, kau kenapa?” Yo Won serta merta bangkit dan memegang tanganku. Aku tidak menyadarinya. Sejak kapan tanganku begitu kuat mencengkeram kepalaku. Bulir-bulir keringat menetes di kepalaku. Sesak. Rasanya sesak sekali. Rasanya seluruh urat kepalaku tertarik naik. ”Nam Gil!! Nafasmu sesak!?”
”Tidak apa-apa...” ujarku, akhirnya. Nafasku terasa begitu berat. ”Biasa, hyperventilating...” ujarku mencoba tersenyum.
Sudah berapa lama aku tidak mengalaminya? Sejak kecil, saat pertama ditinggal di depan pintu asrama, hal itu terjadi. Suster kepala di sana yang dengan cepat membantuku mengatasinya dan sekaligus mengenalkan istilah itu padaku.
”Maaf, mungkin tidak seharusnya aku cerita...” ujar Yo Won. Tangannya memegang tanganku erat-erat.
”Bukan salahmu,” ujarku membalas genggaman tangannya. ”Sudahlah. Kita pergi saja, oke? Orang-orang mulai memperhatikan...” ujarku. Yo Won mengangguk dan berjalan di sampingku. Pelan, aku menarik tangannya, menggenggamnya.
─Lee Yo Won, Seoul, 2008─
Bohong besar kalau orang mengatakan sesuatu yang sudah biasa akan dianggap biasa, begitu saja. Nyatanya tidak. Entah keberapa kalinya Kim Nam Gil sudah memegang tanganku. Dan tetap saja, dadaku berdebar keras seolah jantungku nyaris lepas dari tempatnya.
Aku mendongak dan memandangnya. Ia tersenyum, seperti biasanya. Beberapa kali aku ingin bertanya. Apa sebenarnya makna dari setiap genggaman tangannya? Apakah kami berpacaran? Atau… ia masih menganggapku adik perempuan kecilnya?
“Apakah kau mau makan snack itu juga?” tanya Nam Gil heran.
Aku menatapnya kaget. ”Hah? Snack apa?” tanyaku, terlihat kikuk.
”Itu...” jari Nam Gil menunjuk sesuatu yang kugenggam erat di tanganku.
”Ti-tidak kok!!”
Olala, sebungkus kuaci! Makanan yang tidak kusukai! Ya ampun! Sejak kapan aku meremas bungkusnya sampai lecek begini?! Buru-buru kukembalikan benda itu ke raknya. Sejak kapan kami tiba di supermarket? Aduh, hanya dalam genggaman tangannya saja, otakku jadi kosong begini.
”Ya sudah, biar untukku saja...” Nam Gil mengambil bungkusan lecek itu dan memasukkannya ke keranjang belanjaan.
”Kau suka kuaci?” tanyaku.
”Tidak,” jawabnya dengan enteng. Ia beralih ke sisi samping dan memungut makanan ringan yang menarik perhatiannya. Kue, wafer, biskuit.
”Lantas, kenapa kau mengambilnya?”
”Karena kau sudah meremasnya begitu kuat...” tawanya pecah saat melihat wajahku. ”Mana mungkin kubiarkan kau dimarahi petugas kan? Biar nanti kubagikan saja di jalan...”
Senyuman di bibirku lenyap dalam sekejap. Padahal sebenarnya, itu hanya sekedar tindakan kecil yang menunjukkan kebaikannya padaku. Hanya hal kecil. Namun, dadaku dipenuhi luapan emosi karena kebaikannya. Uuh... rasanya jadi ingin menangis...
”Hmm... Yo Won...” ia memandangku sambil berdehem. ”Kudengar, nanti studi wisata, akan dibagi per grup?” tanyanya.
”Ya, benar...” sejenak otakku kosong melompong. Astaga! Aku tidak memperkirakan sampai sana! Apakah nanti kami akan berpisah grup? Aku tidak mau begitu!
”Kudengar aku ditempatkan di grup dua...” ia masih sibuk menentukan mau wafer rasa cokelat atau kopi. ”Kau dimana?” tanyanya.
”Di grup tiga...” jawabku, lemas.
Kim Nam Gil menatapku sambil tersenyum jenaka. “Tidak masalah kalau begitu,” sahutnya santai. Akhirnya, ia memutuskan untuk memasukkan yang rasa kopi ke keranjangnya, mengingat ada begitu banyak biskuit coklat di sana.
Aku memandangnya dan merasa kacau sendiri. Tidak masalah? Apa tidak masalah kalau kami tidak bisa bersama? Uuh... apakah ia tidak mengharapkan bersamaku?
-to be continued-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar