Selasa, 08 Juni 2010

Fanfic The Future and the Past, side story 6

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
SIDE STORY 6
-BEING POPULAR AND MOSQUITOS-
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Kim Yong Soo : Park Jung Chul(nama asli): Jung Yong Soo (nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Seol Won : Jun Noh Min (Guru olahraga)
shendi: han shin woo
Kim Min Sun (memakai nama asli di FF)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
─Lee Ye Jjn, on the bus, 2009─

“Memang menyebalkan,” pikirku sambil menutup majalah di pangkuanku dan mematikan ponselku. Bus wisata sedang dingin-dinginnya. Yo Won sedang tertidur di depan, beralaskan bahu Kim Nam Gil. Hanya orang bodoh yang tidak mamahami situasi mereka.

“Pinjam majalahmu, ya,” pinta Shin Woo yang duduk di sebelahku. Ia menukar tempat duduknya dengan Kim Nam Gil. Aku memang tidak keberatan, lagipula, seharusnya bukan ini juga tempat dudukku. Entah berapa banyak yang sudah melakukan pertukaran tempat duduknya.

Shin Woo mengambil majalahnya dan berdecak kagum saat memandang cover boy di halaman pertama. ”Ya ampun, rasanya aku pernah melihatnya... cowok ini kan yang datang ke festival kita dulu.. dan waktu ada keributan, aku juga melihatnya... wah, iya, benar, namanya Jung Yong Soo...”

”Ya, benar,” sahutku malas. Pelan kusenderkan kepala ke jendela, mencoba tidur. Adakalanya perasaanku begitu sensitif seperti hari ini. Bayangkan, mendengar namanya saja, jantungku berdebar-debar. Sangat aneh... dan... mengganggu...

Namaku Ye Jin. Ada begitu banyak orang akan menyapaku kalau aku melintasi lorong sekolah. Entah siswi senior, junior, maupun yang laki-laki. Tidak ketinggalan para staff dan Guru. Populer adalah kata yang identik padaku, menurut Yo Won.

Kuakui, aku sudah cukup terbiasa menerima pernyataan cinta, dan tidak ada yang kurasa mampu menyentuh hatiku. Aku merasa cukup aman dalam duniaku.

Namun, sejak bertemu Jung Yong Soo, aku kehilangan pijakanku. Aku ingin bertemu dan bicara lama padanya. Tapi, kurasa itu terlalu memalukan. Sebagai perempuan, kurasa aku tidak bisa bertindak agresif atau semacam itu.

”Dia pacarmu, kan?” tanya Shin Woo sambil tersenyum kecil.

”Bukan,” jawabku, berusaha tersenyum. Dadaku berdebar kencang. Ah, lagi-lagi... ”Hanya... teman...” kenapa harus ada perasaan mengganjal seperti ini?

”Ooh...” Shin Woo menghentikan kalimatnya, tidak berani bertanya lebih jauh. Dari tadi kuperhatikan, ia terus sms-an dengan Kak Seung Hyo. Rasanya menyebalkan. Ya, memang menyebalkan. Masing-masing punya pasangan. Dan aku, yang disebut sebagai si populer malah sendirian. Sendirian dan menjadi pengganggu seperti nyamuk.

”Kau sudah makan?” begitu bunyi sms darinya. Perutku jadi mulas membacanya. Ia tidak pernah bertanya lebih. Hanya mengingatkanku akan jam makanku. Tapi, perhatiannya itu membuat perasaanku naik turun.

Yong Soo mungkin menganggapku anak kecil. Kami biasa janjian bertemu, hanya untuk makan bersama. Tetapi, semakin mengharapkan lebih, yang terjadi malah sebaliknya. Ia tidak pernah menggandeng tanganku. Ia tidak pernah menunjukkan perhatian lebih.

Makan. Tiap bertemu denganku, ia mengajakku makan. Masa hanya itu yang ada di pikirannya? Memangnya aku sekurus itu?


─Jung Yong Soo, Seoul, 2009─

“Baiklah, aku tidak mengerti dengan gadis ini. Aku menyerah,” tukasku sambil melempar ponselku. Ia terus saja mematikannya. Dan tidak membalas pesanku. Padahal badannya sudah sekurus itu. Dan tiap kali kutelpon, bisa-bisanya dia belum makan padahal jam makan sudah lewat.

”Kau sedang menggerutu apa, Yong Soo?” tanya wanita di sampingku. ”Daritadi kau bukannya menatapku, malah asyik dengan ponselmu...” ia terkekeh geli, kelihatan menikmati tawanya. Namanya Kim Min Sun. Gadis yang mengenalkanku pada dunia modelling, dan ia memang cukup sering terlihat modis dan kalau boleh kukatakan, seksi?

”Tidak apa,” elakku, memaksakan senyuman di bibirku. ”Kau tidak makan?” kutunjuk piringnya yang masih penuh dengan garpuku.

”Sudah kenyang,” senyumnya, berusaha menggodaku. ”Kau terlihat buru-buru sekali,” ujarnya sambil memandangku makan dengan cepat. ”Kau akan pergi?” tanyanya.

”Ya, ada urusan penting,” sahutku asal. ”Pelayan, bill-nya?” sambil menunggu pelayan datang, aku mulai menekan nomor telepon Yoon Hoo.

─Lee Ye Jjn, Gyeongju, 2009─

“Baik anak-anak, ayo turun, kita sudah sampai…” ujar Pak Jun sambil menepuk tangannya keras-keras. Aku menguap beberapa kali, berusaha mengusir kantukku.

Kuseret koperku memasuki hotel Park Tourist Hotel Gyeongju. Dindingnya dicat pink dan terlihat sangat manis, kurasa pada kesan pertama aku langsung menyukainya. Jarak hotel ini menuju city center hanya berkisar 0.9km. Lokasinya cukup strategis.

“Kau darimana saja?” tanyaku pada Yo Won. Satu kamar diisi oleh dua orang, dan penempatan kamar untuk kami sangat tepat.

”Tidak darimana pun kok...” tukasnya, sibuk mengeluarkan barangnya dan memasukkannya ke lemari. Aku menatap matanya yang terlihat sembab.

”Kau habis menangis?” tanyaku, penuh selidik. ”Kita ada waktu bebas sampai jam 6, kan? Aku mau tidur saja...”

”Aku akan jalan-jalan di sekitar sini, Yoo Jin mengajakku, jadi...”

”Oke, tidak masalah,” sahutku, mulai memasukkan barangku ke lemari, dengan gerakan jauh lebih cepat dari Yo Won. ”Bangunkan aku kalau ada sesuatu yang penting...”

”Nyalakan ponselmu,” perintah Yo Won. Dengan senyuman terpaksa kuturuti kehendaknya. Apa boleh buat, kan? Uh, benar saja, begitu ponselku dinyalakan, bertubi-tubi masuk sms yang sama seperti tadi.

“Waduh, ponselmu lagi rame ya?” canda Yo Won, berusaha tertawa. Aku tersenyum sekilas menanggapinya. Kuhempaskan tubuhku di kasur. Hmm… nyaman sekali…




“Kau sudah mandi, Ye Jin?” tanya Yo Won. Aku menatapnya dari meja kaca di depanku. Ia masuk dan melepaskan sepatunya, menggantinya dengan sendal kamar. “Wah, aku harus mandi secepat mungkin...” gerutunya sambil tergesa-gesa menyambar handuk.

”Kau habis bertemu dengan Kim Nam Gil, tadi?” tanyaku, masih sibuk mengatur rambutku.

Yo Won menggumamkan sesuatu seperti ’ya...’ dari kamar mandi. Sejurus kemudian terdengar suara air menyiram dan membilas. Tak lama ia keluar dan terlihat lebih segar. ”Kau tidur terus dari tadi?” tanyanya sambil tersenyum.

”Ya, begitulah...” sahutku asal. ”Tadi wajahmu kusut sekali, dan sekarang wajahmu luar biasa cerah. Ada apa sih?” tanyaku.

”Tidak kok,” ia mulai mengelap rambutnya dengan cepat. ”Hanya...saja... mm.. Ye Jin, aneh tidak, kalau dua orang yang berbeda memimpikan hal yang saling berhubungan?”

”Aneh sih, seperti di film bukan? Biasanya kalau dalam film, orang speerti itu berjodoh...”

“Benarkah?” mata Yo Won membesar dan terlihat kaget. ”Masa sih...” kali ini ia tersipu malu. Akhir-akhir ini tindak tanduk Yo Won begitu jelas. Ia jatuh cinta. Dan aku tidak perlu menyebutkan siapa pasangannya.

“Yuk, waktunya makan malam...” ajaknya ceria. ”Hm... aku juga mau minta maaf padamu...” pelan Yo Won menatapku ragu. ”Kalau kau menganggap kedekatanku dengan Nam Gil terlihat menyebalkan...”

”Kau bicara apa sih?” potongku, tidak sabar. ”Kau mau ribut karena aku tidak punya pasangan? Tidak perlu merasa tidak nyaman, Yo Won. Aku baik-baik saja. Ini duniaku. Dunia Ye Jin...”

Aku bohong...

”Aku tahu itu, kau yang terbaik!” serunya sambil tersenyum memelukku. Kami turun dengan gembira ke ruang makan yang sudah di booking untuk grup dari sekolah kami. Suasana sangat ramai di sana.

Sejenak mataku terpaku pada sosok Kim Nam Gil yang berdiri di sudut ruangan, tengah berbicara dengan seorang lelaki. Tubuhku langsung kaku dan mematung. Kenapa ada dia di sini? Tampaknya ia menyadari kehadiranku. Secepat itu ia memutar tubuhnya dan berjalan ke arahku.

Aku bohong... aku tidak baik-baik saja... kalau ada dia, kebohonganku akan semakin parah....

─Jung Yong Soo, Gyeongju, 2009─

“Kenapa kau ada disini?” tanyanya dengan mata melotot kaget. Aku tidak pernah melihat ekspresinya selucu itu.

”Aku datang untuk memastikan makananmu...” jawabku. Kalimat itu terus menari di dasar otakku. ”Kau belum makan, ya?”

”Aku bisa makan tanpa bantuanmu,” jawabnya sambil berlalu pergi. ”Terimakasih, tapi tidak perlu datang untuk mengurusku...Aku kan bukan anak kecil,”ia masih terus mengomel sambil berjalan pergi.

”Ye Jin, tunggu!” aku menarik tangannya. Entah berapa kali aku terkejut saat berada di sampingnya. Saat pertama melihatnya, aku terkejut karena ada sesansi aneh mendesak keluar dari dadaku. Kedua kali, saat menarik tangannya, aku kaget karena ia begitu kurus. Dan sekarang, ada sengatan aneh lagi di dadaku.

”Lepaskan,” wajahnya terlihat memerah, seperti hendak menangis. ”Aku mau ke tempat Yo Won...”

”Tapi aku mau bicara denganmu...”

”Di sini saja, sekarang...” sahutnya. Ia terus celingukan ke kanan dan ke kiri.

”Kau tidak suka terlihat bersamaku?”

”Kau yang tidak suka!” tuduhnya. ”Apa kata orang kalau kau terlihat sedang jalan sama anak SMA?” matanya terlihat marah menatapku. ”Padahal mereka tidak tahu kau hanya menganggapku anak kurus kurang makan!!”

Tawaku meledak keluar dari bibirku. Begitu saja. Aku suka melihatnya mengomeliku seperti ini. Atau cara matanya yang kesal menatapku. Tetapi, di luar itu semua, aku paling suka melihatnya tersenyum. Sesuatu yang tidak pernah lagi kulihat sampai sekarang.

”Bagaimana kalau kukatakan aku datang karena aku ingin menemuimu?”

”Menemuiku untuk memastikan aku makan dengan baik?”

”Itu salah satunya. Tapi, aku... memang ingin menemuimu. Kau tidak membalas pesanku...”

”Aku tidak punya kewajiban untuk membalas,” balasnya pedas. Ia berlalu pergi dengan wajah kesal. Dari jauh kuperhatikan ia masih speerti biasanya, memakan makanan dalam porsi kecil.

”Biasanya dia tidak segalak itu,” tukas Yo Won yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingku. Yo Won memberikan pandangan pengertian padaku. ”Tapi, dia memang sudah terbiasa makan sedikit,” ujarnya lagi.

”Aku tahu, hanya saja, aku tidak bisa membiarkannya...”

”Berusahalah,” ujar Yo Won sambil menepuk pundakku pelan, memberikan semangat. Sekejap kemudian ia sudah berlalu pergi dan menghampiri Ye Jin yang juga menghilang di antara kerumunan itu.

”Motifmu kacau sekali,” ledek Nam Gil yang berdiri di belakangku, asyik menyantap ayam goreng di piringnya. ”Biasanya kau punya sejuta alasan untuk merayu perempuan. Kali ini kau bilang mengawasi makannya? Hahaha...” ia tertawa sambil meneruskan makannya.

”Aku hanya sudah terlanjur berada dalam posisi itu...” ujarku, berusaha membela diri,

Nam Gil menatapku dan tersenyum pelan. ”Kulihat di grup ini banyak yang mengincarnya. Ia kan populer. Dan kau tahu, kemungkinan untuk jadian saat studi wisata persentasenya tinggi...”

”Sebanyak apa?” tanyaku, berusaha tidak terlihat terlalu peduli.

”Pria di sana. Lalu anak itu, anak itu, anak itu dan dia...” Nam Gil menunjuk siswa di depan kami dengan ayamnya. ”Mereka terlihat berusaha mendekati Ye Jin akhir-akhir ini...” Nam Gil lantas nyengir lebar melihat wajahku yang bingung. ”Yo Won cerita banyak padaku...”


─Lee Ye Jjn, Gyeongju, 2009─

“Ye Jin? Kau kenapa? Sakit?” Tanya Yo Won sambil menghampiriku di kamar.

Aku menoleh memandangnya dari balik kasurku. ”Tidak, maaf ya, aku tiba-tiba pergi… hanya pusing saja,,,” tukasku, berusaha menyembunyikan lilitan perasaan di perutku. Melihat cowok itu datang begitu jauh untukku, dadaku serasa dihantam palu dan perutku sakit. Sakit yang terasa aneh.



Mataku terbuka dalam kegelapan. Pelan kuseka keringat yang membasahi keningku. Rasanya sudah lama sekali tidak memimpikan sesuatu semacam itu.

Sebuah kerajaan. Begitu banyak hanbok, begitu banyak prajurit, begitu banyak detail bangunan. Rasanya begitu nyata, membuatku bergidik. Seolah aku memang pernah berjalan di sana. Melewati setiap ruangan di sana. Dan seornag pria. Memelukku. Mendekapku, suamiku.

”Kau tidak bisa tidur?” tanya seseorang. Nyaris saja aku melompat kaget saat memandangnya. Ia menatap piyamaku, membuatku merasa jengah.

”Aku mau ambil minum,” ujarku, berusaha menekan nada suaraku yang dipenuhi getaran aneh. ”Haus”

”Kutemani...” ia menyejajarkan langkah kakinya denganku. ”Biaya menginap di hotel ini cukup murah ya,” pelan ia membuka percakapan. ”Dan penampilan hotelnya cocok denganmu...”

”Kuharap itu bukan sindiran...” kami memasuki dapur dan di sana ia duduk menungguku di salah satu kursi. ”Yuk, kalau sudah...” ujarnya sambil menyampirkan jaketnya ke bahuku.

”Tidak perlu,” ujarku, berusaha mengembalikannya. Namun, tangannya menekan tanganku dan memelukku dari belakang.

”Kenapa?” tanyaku. ”Hei... kenapa memelukku?” suaraku nyaris berupa bisikan.

Jantungku berdebar naik turun. Aku bisa merasakan nafasnya di telingaku. Ia memelukku. Perasaan aneh bermunculan di dadaku. Aku pernah... merasakan perasaan semacam ini sebelumnya. Dimana? Dimana?

Tangannya bergerak turun, kali ini ia masih memelukku, tapi tangannya berada di pinggangku. Bisa kurasakan debaran jantungku bertambah kencang, kencang, semakin kencang.

”Salah ya, kalau aku memperhatikan makanmu...?” tanyanya dengan suara berat.

”Tidak kok,” aduh,.... suaraku kok bergetar beginii? Beberapa kali aku berusaha melegakan tenggorokanku, tapi akhirnya suaraku malah tambah aneh. ”Hanya saja... kau menganggapku anak kecil...”

”Kau terlalu kurus...”

”Tidak kok...” tukasku. Kali ini nafasnya terasa di leherku. ”Hei, lepaskan!” seruku sambil mendorongnya. Ia kaget melihat wajahku yang merah.

”Sorry, aku...” Yong Soo mulai kelihatan salah tingkah saat mataku menatapnya, meminta penjelasan. ”Loh? Kenapa? Aduh, jangan menangis...”

”Maaf... jangan memelukku lagi..” pintaku. Air mataku keluar begitu saja. Yong Soo adalah pria. Aku tahu itu. Tapi, ia tidak pernah menyadari kalau Lee Ye Jin bukan anak kecil. ”kau memelukku karena aku anak-anak dan bisa dipermainkan?” tanyaku dengan suara bergetar.

”Bukan begitu, hanya saja...”

”Kau akan memintaku melupakan kejadian ini? Dan bersikap seolah semua ini tidak terjadi?”

”Kau bisa melakukannya?” tanyanya.

Mata kami bertatapan begitu lama. Aku merasakan perasaan itu lagi. Mengendur dan menguat. ”Aku tidak bisa... aku tidak bisa...” gelengan kepalaku semakin kuat, dan sebentar saja, tangisku pecah.

Ia menarikku dalam pelukannya. ”Aku juga tidak bisa, Ye Jin...”



”Sudah lebih lega sekarang?” tanyanya sambil tersenyum. Kami duduk berdua di halaman depan hotel. Minum secangkir teh panas dengan gelas kertas yang bisa dibeli dari mesin otomat yang ada di dekat resepsionis.

“Terimakasih...” pelan kuminum tehku dan berusaha meresapinya. Apa yang baru saja terjadi? Dia bilang, dia juga tidak bisa. Apanya? Apakah dia tidak bisa melupakannya? Apa itu berarti...

”Aku... memposisikan diriku dengan konyol di hadapanmu...” ujarnya sambil merenggangkan kakinya. ”Aku... tidak melihat cara lain mendekatimu selain itu...”

Dadaku berdebar pelan, dan semakin lama semakin kencang. Tangannya menyentuh bahuku dan ia tersenyum kecil. ”Tapi, kau memang kurus...”

”Terserahlah,” sahutku sambil kembali menatap gelas kertasku.

”Baik, baik, kulanjutkan ceritaku...” ujarnyas sambil tertawa kecil. ”Pertama mengenalmu, aku kaget karena entah mengapa ada perasaan aneh di sini...” ia meraih tanganku, meletakkannya di dadanya yang bidang.

”Dan kedua kalinya, aku merasa kau sangat kurus...” ia tertawa pelan sebelum melanjutkan. ”Tapi, aku memang selalu mencemaskanmu...”

”Maksudmu, apa aku makan teratur atau tidak, begitu?”

”Bukan itu saja kok...” ia tertawa lalu matanya memandangku semakin lekat. ”Apakah makan dengan baik, apakah belajar dengan baik. Apakah sehat, apakah....”

”Kau seperti orangtuaku saja...” keluhku. Ia tertawa sabar. ”Baiklah, tolong lanjutkan...”

”Apakah kau... memikirkanku.. seperti aku memikirkanmu... Apakah ada pria lain, apakah aku...tidak...bertepuk sebelah tangan?”

Kali ini matanya menatapku dengan tatapan begitu dalam. Aku tidak bisa bernafas saat memandangnya. Kelam, sekelam langit malam. ”Kenapa menangis?” tanyanya. Ia mengusap pipiku dengan ibu jarinya.

”Kukira... aku bertepuk sebelah tangan...” gumamku pelan.

Bisa kurasakan tatapan matanya masih membiusku. Pelan, tangannya bergerak menyusuri wajahku, ia mendekatkan wajahnya dan refleks, mataku kututup. Ternyata Yong Soo mencium pipiku.

”Tadinya aku akan menunggu sampai Ye jin cukup dewasa...” ujarnya sambil menghembuskan nafas kuat-kuat ke rahangnya. ”Tapi tidak bisa. Kalau aku terus di tempat, para serigala itu akan mengambilmu...”

Aku tertawa dalam pelukannya. Serigala? Siapa yang dimaksudnya? ”Teman-temanku? Masa mereka serigala?”

”Kalau di depan pria lain, kuharap kau jangan tertawa seperti itu...” ujarnya sambil tersenyum senewen.

”Eh? Kenapa?”

”Aku ingin menjadi satu-satunya orang yang membuatmu tertawa...” pikirnya sambil mengangguk-angguk pelan. ”Benar, selama itu pula, aku akan berada di sampingmu dan melihatmu semakin dewasa...”

”Memangnya aku tidak dewasa?”

”Tunggu sampai kau lebih gemuk...”

”Menyebalkan!!” seruku kesal. Dalam satu gerakan cepat, aku bangkit dan berdiri meninggalkannya. Menyebalkan! Sebentar mengatakan cinta, sebentar ledekan, sebentar pujian, kali lain malah mencemooh.

”Ye Jin! Sampai jumpa besok pagi!!” teriaknya sambil melambaikan tangannya gembira.

Aku membalas lambaiannya dengan cibiran pendek. Senang rasanya menjadi diri sendiri. Tidak perlu takut mengakui kalau aku menyukainya. Tidak perlu takut menunjukkan sisi kenakanku di depannya. Dan tidak perlu lagi jadi nyamuk pengganggu!!

-selesai-

Tidak ada komentar: