Kamis, 12 Agustus 2010

Fanfic The Future and the Past 44

-------------------------------------------------------------------------------------------------
FORTY FOURTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Ho Jae: Go Yoon Hoo (memakai nama asli di FF)
Bakui: Jang Hee Woong (memakai nama asli di FF)
Kim Yong Soo : Park Jung Chul(nama asli): Jung Yong Soo (nama di FF)
lady Ma Ya (King Jinyeong's wife) : Yoon Yoo Sun (Ibu dari Yo Won dan Ye Jin, memakai nama asli di FF)
General Ga Baek: Seo Bum Shik (memakai nama asli di FF)
Yeom Jong
-------------------------------------------------------------------------------------------------
─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

“Yong Soo? Bagaimana keadaan di sana?” Yoon Hoo melakukan hal yang sama denganku, menggunakan handsfree dan tidak melepaskan pandangannya dari mobil di depan kami. Mereka memasukkan sejumlah bagasi dan bersiap pergi. “Di rumah itu tampaknya tidak ada perubahan? Oke, ya, kami sudah menemukan mereka. Kalian segeralah kemari. Tempatnya di….”

“Mereka bergerak…”

“Kalian menyusullah selagi sempat…” ucapan Yoon Hoo terputus begtiu saja. Ia segera meraih motornya dan menghidupkan mesin. Sebisa mungkin kami menjaga jarak.

Tidak lama giliran ponselku yang bergetar. “Do Bin?” sebuah suara menjawabku dari seberang.

“Tampaknya penerbangan mereka sejam lagi. Kalian sudah menemukannya?” tanya Do Bin.

“Ya, sekarang ia berada di pom bensin yang jaraknya sekitar 200 meter dari bandara…” Do Bin menyarankan diri untuk ikut dan aku tidak sempat menjawabnya karena pria itu sudah bergerak lagi. “Nanti kuhubungi lagi…” ucapnya saat memutuskan teleponnya.

“Mereka ke sana…” Yoon Hoo mengikuti petunjukku. Pria itu pandai memanfaatkan jalan-jalan sempit untuk mencapai tempat tujuannya. Tampaknya rencana ini sudah mereka siapkan dari dulu.

“Jalan buntu!!” tukasku dan Yoon Hoo bersamaan. Dari belakang, suara deruman mobil mengejutkan kami. Yoon Hoo memandangku dengan wajah pucat pasi.

“Kita terjebak…” ujarku dengan suara bergetar.

“Bukan, dia yang menjebak kita… Ternyata dia tidak sebodoh dugaanku…” suara Yoon Hoo terdengar panik, namun ia mengusahakan eskpresinya tetap tenang.

Mobil itu berhenti di depan sudut jalan dan menghalangi kami kabur. Aku berpandangan dengan Yoon Hoo, dan kami berdua bergerak turun dari motor. Dua orang Seo Bum Shik turun dari mobil dan mengamati kami dengan senyuman menyeringai.


─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“BLAMMM!!!”

“Ye Jin! Kalau tutup pintu pelan-pelan, dong…” gerutuku sambil menghembuskan nafas kesal. “Perasaanku lagi nggak enak nih!!”

“Perasaanku juga nggak enak, Yo Won. Sorry…” sahut YeJin sambil menghempaskan tubuhnya ke kasur. “Apa yang mereka lakukan sekarang?”

“Tidak tahu. Kita hanya bisa menunggu kabar dari mereka…” jawabku dengan perasaan campur aduk. “Kenapa sih sementara para pria maju ke medan perang, para wanita hanya bisa menunggu dengan perasaan kacau setengah mati?”

“Tidak tahu, Yo Won...” ucapan Ye Jin terhenti saat melihat wajahku. “Ya ampun, coba lihat wajahmu! Kau seperti hantu!!”

“Aku memang akan jadi hantu kalau ia pergi meninggalkanku….”

“Sama denganku…”

─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

“Akhirnya aku bisa membalas sakit hatiku, Kim Nam Gil…” ujar Yeom Jong. “Seharusnya kau tidak perlu membantu Do Bin…”

“Kau yang seharusnya tidak perlu merusak hidup orang lain. Dan kau membunuh orang hanya supaya kau bisa melarikan diri…”

“Itu bukan urusanmu. Dan sekalian kukenalkan, Pamanku, Seo Bum Shik yang ternyata juga pernah sakit hati padamu…”

“Bahumu tidak sakit lagi kan?” tanyanya sambil tersenyum culas. “Tapi hatiku masih sakit dan jujur saja, melihatmu, darahku semakin mendidih…”

“Terimakasih untuk salamnya yang hangat…” jawabku sambil meludah ke tanah di depan mereka. “Kau menjebakku karena menyadari aku mengintaimu?”

“Aku menyadarinya dari pom bensin…” Yeom Jong tertawa culas. “Dan temanmu, apa aku kenal? Oh, ya, dia si pria di asrama dulu… Hmm… aku tidak punya dendam padanya, tetapi sayang sekali, dia berada dalam posisi tidak tepat…”

“Kalian pecundang…” ujar Yoon Hoo. Ia mengeratkan kepalan tangannya dan memandang dua pria di depannya dengan berani.

“Kau jangan gegabah. Sebaiknya kau melarikan diri dan membantuku memanggil bantuan…” bisikku ke Yoon Hoo begitu dua pria itu saling mendiskusikan cara terbaik membunuhku, kalau aku tidak salah dengar.

“Mereka hanya berdua…” protes Yoon Hoo sambil setengah berbisik.

“Pria macam mereka tidak akan bergerak hanya dengan dua orang. Dengarkan aku, begitu aku maju dan menyerang mereka, kau lari dan memanggil bala bantuan. Percayalah, larimu sangat cepat…”

“Tapi Nam Gil…” Yoon Hoo terlihat mencemaskan keadaanku.

“Dengarkan saja aku. Dan kemudian, kalau ada sesuatu yang terjadi padaku, kau berikan ini pada Yo Won…” secepat kilat kuselipkan sebuah surat ke saku jaket hitam Yoon Hoo. “Kau harus ingat janjimu pada Rae Na…”

“Hati-hatilah Nam Gil…” ujar Yoon Hoo sambil menatapku dengan pandangan serba salah. Ia bersiap di tempatnya, menunggu aba-aba dariku.

“Halo? Kalian ke sini sekarang…” ujar Yeom Jong di teleponnya.

Secepat kilat kakiku kulangkahkan ke arah mereka. Memanggil bawahan pasti butuh waktu. Dan waktu adalah hal terpenting untuk membantu Yoon Hoo pergi dari sini.

“Brengsek!!” ujar Yeom Jong saat tendanganku mengenai perutnya. Seo Bum Shik membekukku dari belakang dan begitu kuputar tubuhku, kakinya malah menghantam keponakannya sendiri.

“Pergilah, Yoon Hoo!!” seruku begitu tanganku menahan kerah baju Yeom Jong dan menjatuhkan pukulan bertubi-tubi ke arahnya. Dalam waktu yang sekejap itu, pistol Yeom Jong kutembakkan ke mesin mobilnya.

“Tembakanmu meleset, Nam Gil!!” seru Seo Bum Shik puas. Ia menghantamku dan secepat itu pula kubalas pukulannya.

Yoon Hoo berlari pergi dengan langkah lebar dan memanjat kap mobil lalu melompat lari dari lorong kami. Bafasku berangsur lega ketika sosoknya tidak lagi terlihat.

“Jangan biarkan dia lolos!!” seru Seo Bum Shik. “Mana anak buahmu!!” serunya gusar pada Yeom Jong. Ia berlari namun kuhempaskan tubuhku menubruknya.

“Lepaskan! Lepaskan aku!!” serunya kalap. Dengan gusar ia meraih benda apapun untuk melempariku. “Yeom Jong! Kejar! Kejar temannya itu!”

Yeom Jong menggosok kepalanya dan menggerakkannya. Ia terlihat sempoyongan dan dengan mudah terjatuh ketika kakiku menjegalnya. “Aku tidak akan biarkan kalian melukainya…” seruku marah.

“Kalian! Lama sekali kalian datang!!”

Wajahku memucat melihat beberapa pria bertubuh besar datang ke hadapanku. Jumlah mereka sekitar 10 orang. Kalau kondisiku baik, mungkin aku masih bisa menghadapi mereka.

Tapi, selain keadaanku terjepit, kondisiku juga tidak lagi prima. Apakah keputusanku menyuruh Yoon Hoo pergi adalah keputusan yang salah? Tidak. Tidak. Ini adalah masalahku sendiri. Dan aku… harus bisa mengatasinya sendiri. Maafkan aku, Yo Won… mungkin… aku tidak bisa pulang…

Pria itu mengepungku dan memukuliku. Aku membalas sekuat tenaga tetapi tenagaku semakin habis sementara jumlah mereka semakin bertambah. Akhirnya aku kalah dan semakin terdesak. Tubuhku dioper ke kiri dank e kanan, dan dihadiahi pukulan di sekujur tubuhku.

“Kau tamat Nam Gil…” Yeom Jong mengeluarkan tawanya yang licik. Ia menjentikkan jarinya dan beberapa anak buahnya menyiramkan minyak ke kardus-kardus di dekatku.

“Selamat tinggal…” perlahan, Yeom Jong mengangkat pistolnya dan mengarahkannya ke kepalaku. Mataku nyaris buram oleh darah dari kepalaku. Ia menarik pelatuknya dan nafasku tersangkut di tenggorokanku.

Maafkan aku, Yo Won… mungkin… aku tidak bisa pulang…

─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

Beberapa tubuh perkasa mengelilinginya dan menjatuhkan sejumlah pukulan bertubi-tubi ke tubuhnya. Wajahnya pucat namun dipenuhi darah… hentikan.. cukup… cukup…

“Jangan! Jangan! Jangan!”

“Yo Won! Yo Won! Bangunlah!!” Ye Jin mengguncang tubuhku beberapa kali, membangunkanku dari mimpi.

“Hah! Apa… apa yang terjadi…?” tanyaku, memegang dahiku dan menyentuhnya. Keringat membasahi peluhku.

“Kau mimpi buruk?” tanya Ye Jin. Aku mengangguk. “Masih kilasan itu?”

“Bukan.. mimpi itu sudah lama sekali tidak muncul sejak ingatanku kembali… Aku memimpikan Nam Gil… dia.. dikeroyok…”

“Doakan saja semoga ia tidak apa-apa…” Ye Jin memelukku dan menepuk punggungku beberapa kali, mencoba menenangkanku.

“Masih belum ada kabar?” tanyaku dengan suara getir.

“Belum…” ujar Ye Jin sambil memaksakan senyuman di bibirnya. “Barangkali….” Namun, belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, sebuah suara memanggil nama kami berdua.

“Ye Jin! Yo Won! Ada tamu!!” seru Mama dari lantai bawah. Kami berpandangan dan dengan segera berlarian dan berebutan menerobos turun tangga.

Yoon Hoo, Hee Wong dan Yong Soo berdiri di depan pintu dengan wajah kuyu. Ye Jin langsung melompat ke pelukan Yong Soo dan menangis bahagia karena lega.

“Apa yang terjadi? Bagaimana?” suaraku bagai melayang tidak menentu. “Mana… Nam Gil? Kenapa aku tidak melihatnya?”

“Yoon Hoo, bicaralah…” ujar Hee Wong menyenggol siku Yoon Hoo yang berdiri kaku di sampingnya. Wajahnya muram.

“Nam Gil menghadapi mereka sendirian… dan ia menyuruhku pergi memanggil bantuan. Ketika aku kembali.. di sana sudah jadi lautan api…”

Aku memandang pria tegap itu dengan perasaan tidak percaya. Wajahnya terkena beberapa luka bakar. “Kau… menemukannya? Kau menemukannya, iya kan?”

“Maaf Yo Won…” tangis Yoon Hoo meledak seketika. Ia meletakkan tangannya di bahuku dan mengeraskan rahangnya. “Aku tidak menemukannya….dalam lautan api itu…”

“Apa…” suaraku hilang bagai tercekik. “Kau.. bohong kan…” aku nyaris tidak bisa mengenali suaraku sendiri. “Kau bohong! Katakanlah kau bohong padaku!!”

“Aku juga tidak percaya! Seharusnya aku menemaninya!” Yoon Hoo memukuli dadanya sendiri dengan perasaan hancur. “Seharusnya aku tidak mendengarkan perintahnya!!” ia menyalahkan dirinya sendiri.

Bahunya berguncang-guncang dengan pedih. Teman-temannya menahannya agar tidak jatuh. Kakiku terasa begitu lemasnya sampai-sampai Ye Jin membantuku tetap berdiri.

“Kembalikan… Nam Gil.. tidak..” tangisku meledak di bahu Ye Jin. “Dia janji… akan kencan denganku… kami akan menghitung countdown bersama…” nafasku terasa naik turun di dadaku. “Dan dia… dia sudah janji… akan pulang…”

“Nam Gil menitipkan ini untukmu…” Yoon Hoo mengulurkan sebuah surat yang tersimpan rapi di sakunya. Tanganku bergetar saat mengenali tulisan yang rapi dan tegas menuliskan namaku. Tulisan Nam Gil.

Yo Won,

Saat kau menerima surat ini, mungkin aku tidak lagi bersamamu…
Aku menjanjikan akan pulang, tetapi, maaf karena aku tidak bisa memenuhi janji itu. Sebagai gantinya, saat malam tiba, kau bisa memandang bintang dan menemukan aku ada di sana…

Mencintaimu selamanya, dan akan terus mencintaimu, berapa kalipun reinkarnasi, kurasa aku akan terus mencintaimu…


Air mataku tumpah tiada henti. Ye Jin memelukku dari samping. Aku bahkan masih bisa mengingat ciuman darinya, genggaman tangannya, dan suaranya. Suaranya bahkan masih terasa begitu dekat denganku. Dan… aku tidak bisa melihatnya lagi….


-to be continued-

Tidak ada komentar: