-------------------------------------------------------------------------------------------------
FORTY FIFTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Ho Jae: Go Yoon Hoo (memakai nama asli di FF)
Bakui: Jang Hee Woong (memakai nama asli di FF)
Kim Yong Soo : Park Jung Chul(nama asli): Jung Yong Soo (nama di FF)
lady Ma Ya (King Jinyeong's wife) : Yoon Yoo Sun (Ibu dari Yo Won dan Ye Jin, memakai nama asli di FF)
General Ga Baek: Seo Bum Shik (memakai nama asli di FF)
Yeom Jong
-------------------------------------------------------------------------------------------------
─Lee Yo Won, Seoul, 2008─
“Dia akan lumpuh selamanya…” tukas dokter itu sambil membetulkan letak kacamatanya.
Aku memandang pria yang sudah merenggut nyawa Nam Gil dari kaca luar. Sekujur tubuhnya terbalut perban. Luka bakarnya terlihat parah dan beberapa hantaman merusak saraf penggeraknya.
Dari surat kabar dikatakan kalau Pamannya, Seo Bum Shik langsung tewas di tempat saat mesin mobil mereka komplikasi dan menabrak pembatas jalan, berulang kali terguling sampai akhirnya meledak.
“Kurasa itu karena tembakan yang dilakukan Nam Gil di mesin mereka… Kukira meleset, ternyata tidak… Pria itu akan lumpuh selamanya. Menyedihkan…”
Perasaanku sudah membeku. Bahkan ucapan Yoon Hoo yang mengasihani mereka tidak membuatku tersentuh. “Mereka pantas mendapatkannya,” ujarku dengan suara dingin dan kaku.
“Ya, dalam keadaan seperti itu, lebih baik mati daripada cacat seumur hidup…” Yoon Hoo menepuk pundakku dan Ye Jin yang berdiri di sebelahku merangkulku lembut.
Seoul, dua tahun kemudian…
─Lee Yo Won, Seoul, 2010─
“Yo Won, kau sudah siap?” tanya Ye Jin sambil mengintipku. “Oh, waw, kau cantik sekali, Yo Won…”
“Thanks, tapi aku sebetulnya masih malas pergi…” balasku sambil menghela nafas panjang.
Hari ini adalah hari pernikahan Baek Do Bin dan Park Ri Chan. Mereka mengatakan kalau kedatanganku ke sana sama seperti kedatangan Nam Gil sendiri. Terpaksa aku menerima undangan mereka, walaupun rasanya seperti membuka luka lamaku.
“Kau masih mengingatnya?”
“Aku tidak mungkin melupakannya. Sampai kapanpun…”
“Kau cantik Yo Won. Dan pria di dunia ini ada ribuan…” Ye Jin memelukku dan menepuk pipiku lembut. “Sudah saatnya kau bergerak maju…”
“Entahlah, Ye Jin…” jawabku, meraih tasku dan pergi.
Ye Jin ada kencan hari ini dengan Yong Soo dan sudah sepantasnya aku tidak mengajaknya. Sebagai gantinya, aku meminta Yoo Jin, adik Nam Gil menemaniku. Semenjak kepergian kakaknya, kami jadi sangat dekat.
Entahlah, sampai detik ini aku tidak bisa menyebutnya kematian. Aku percaya ia masih ada di sampingku, dan semua ini hanya mimpi buruk. Oleh karena itu, aku hanya mampu menyebutnya… ‘kepergian’, bukan ‘kematian’.
“Hai Yo Won, kau cantik…” puji Yoo Jin sambil memelukku dan menunjukkan mobil tunangannya padaku.
“Ke Hotel Grand Hyatt Seoul…” ujar Yoo Jin sambil tersenyum pada si supir yang tidak lain tidak bukan adalah Kak Sang Wook yang dimintanya untuk mengantar kami.
“Maaf merepotkan Kak Sang Wook…” ujarku berbasa-basi.
“Tidak apa Yo Won… kebetulan searah dengan jalanku ke apartemen adikku…” jawabnya sambil tersenyum kasual. Yoo Jin mengedipkan mata dan mereka tertawa bersama.
Aku masih tidak bisa melihat kebahagiaan semacam itu. Ada rasa sakit mendalam saat melihat keakraban orang di sampingku dengan pasangan mereka masing-masing. Rasanya… entahlah, terlalu menyakitkan. Aku tidak boleh iri, aku tahu itu. Sebagai gantinya, rasa sakit mendalam menusuk hatiku.
“Sudah sampai, dan selamat bersenang-senang Yo Won… Dan Yoo Jin, ingatlah aku kalau ada cowok tampan di sana…” canda Sang Wook sambil melajukan mobilnya.
“Kuharap kami tidak membuatmu sakit hati, Yo Won…” ujar Yoo Jin sambil memandangku dengan sepasang mata bulatnya. Senyumannya terlihat resah.
“Tidak apa-apa, Yoo Jin… aku paham kok…” jawabku, berusaha menenangkannya. Tentu saja aku berbohong.
“Semoga pestanya menyenangkan! Lihat, tempatnya semewah ini, pasti makanannya lezat!” seru Yoo Jin sambil melangkah dengan gembira. Aku mengiringinya sambil tersenyum.
“Yo Won, sebentar, aku ke toilet dulu untuk merapikan dandananku ya…” ujar Yoo Jin sambil tersenyum manis.
Aku berdiri di samping pintu, kemudian berbisik pada Yoo Jin. “Aku cari minum dulu…” ia menjawab ya dan kemudian kakiku bergerak ke tempat minuman. Rasanya tiba-tiba haus sekali.
“Ups, maaf…” ujarku kaget, ketika mendadak tanganku menyentuh tangan seorang pria saat kami bermaksud mengambil gelas yang sama.
Tanganku mendadak terasa aneh. Tidak mungkin, tetapi… rasanya sentuhan itu begitu familiar… rasanya… aku mengenalnya… Pelan, kuangkat kepalaku dan jantungku nyaris lepas melihat pria di depanku begitu mirip dengan Kim Nam Gil.
“Nam Gil?” tanyaku, nyaris pingsan dan tidak mempercayai penglihatanku sendiri. Tanganku berusaha mengingat sentuhan sekilas tangannya di kulitku. Rasanya begitu nyata… ini bukan mimpi…
Alisnya yang tebal bertaut bingung, namun senyumannya tetap seramah biasanya. Kalimat berikut yang meluncur di bibirnya membuat nafasku terhenti beberapa detik.
“Apa aku mengenalmu?”
─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─
Wanita cantik di depanku tersenyum kaget. Ia memandangku dari atas sampai ke bawah. “Kau… Kim Nam Gil?” tanyanya lagi.
Ada yang salah dengan wanita ini. Suaranya… wajahnya… gerak-geriknya… semuanya menimbulkan sensasi aneh di dadaku. Rasanya begitu sulit mengambil nafas saat ia berdiri di depanku dan menatapku dalam-dalam.
“Benar, kalau tidak salah memang itu namaku…” jawabnya. “Tapi Nam Gil, cukup Nam Gil saja…”
Aku masih berusaha mengingat sentuhan tangannya di kulitku. Rasanya seperti kejutan listrik. Seperti biasanya… kepalaku terasa sakit lagi… Selalu saja begini tiap kali ada peristiwa kecil yang terasa tidak asing denganku.
Aku mengenali sentuhan itu. Entah bagaimana aku cukup yakin dengan pikiranku itu. Dan melihatnya, mendnegar suaranya, tenggorokanku terasa panas. Aneh, aku merasa… ingin menangis saat membalas tatapan matanya.
“Yo Won, ternyata kau di sini…!!” seru seorang gadis cantik sambil menghampirinya. Gadis ini juga memandangku dengan kaget. “Kak Nam Gil?!” serunya kaget.
“Kau mengenalku?” tanyaku lagi. Kali ini mereka berdua terdiam.
“Apa yang terjadi?” tanya gadis itu pada wanita pertama.
“Dia bilang namanya Nam Gil. Itu saja… dan dia bertanya apa aku mengenalnya atau tidak. Yoo Jin, mungkin aku gila, tapi.. rasanya dia benar-benar Kim Nam Gil…”
“Yo Won, kalau dia tidak mengenalmu, berarti dia memang bukan kakak… Tapi, ada berapa orang yang nama dan wajahnya sama di Korea?”
Namanya… Yo Won… dadaku berdentam keras mendengarkan nama itu. Dan Yoo Jin… rasanya aku sering mendengarmya. Entah di mana.
“Selamat datang, Yo Won…” ujar seorang pria di belakangku. Aku mengangguk hormat ke arahnya dan tersenyum. “Kalian sudah bertemu, rupanya…”
“Baek Do Bin, mungkin kau bisa jelaskan padaku ada apa ini sebenarnya…” ujar wanita itu dengan suara tegas dan dalam.
“Dia Kim Nam Gil, aku menyelamatkannya, dari kebakaran yang dibuat Yeom Jong. Dan ingatannya hilang, karena tembakan di pelipisnya dan gumpalan darah akibat pukulan-pukulan keras di kepalanya…”
Dadaku berdebar keras mendengar penuturan Baek Do Bin. Selama dua tahun terakhir, bekerja dengannya sebagai general manager di perusahaan miliknya, ia merahasiakan identitasku karena tiap kali menceritakannya, kepalaku terasa sakit seperti mau meledak.
Apakah… aku mengenal wanita ini seperti halnya ia mengenalku? Jantungku terus berdebar. Ada amarah yang tidak bisa kusembunyikan saat mendengar nama Yeom Jong disebutkan. Kenapa?
“Yo Won!” Yoo Jin berteriak kaget saat melihat wanita bernama Yo Won mendadak limbung.
Sebelum wanita itu jatuh pingsan, aku keburu menangkapnya. Dan detik itu juga, bagai sambaran petir, kepalaku terasa sakit luar biasa.
“Arrgh…” erangku sambil memegangi kepalaku.
“Ada apa? Kenapa dia?” Yo Won menatapku bingung dengan matanya yang berkaca-kaca. “Baek Do Bin! Kenapa dia!?”
“Selalu begitu setiap kali aku berusaha mengingatkannya akan masa lalunya…”
“ARRGGHHH!!” sakit kepalaku bertambah hebat ketika Yo Won menyentuhku dan memelukku. Aku mengerang dan bergerak liar dalam pelukannya. Sakit kepala menghentak-hentak kepalaku seperti akan memecahkannya.
“Seseorang, tolonglah dia… hentikan.. kau sudah tidak eprlu mengingatnya.. Lupakan… lupakan saja aku…” serunya dengan air mata tertahan.
Tanganku terangkat menghapus air matanya. Ia memandangku ragu sebelum akhirnya menyebutkan sebuah nama… “Bi Dam…”
Berbagai ingatan merembes masuk ke otakku. Rasanya menyakitkan seperti pukulan-pukulan berkali-kali di kepalaku.
Suara-suara bergantian mengisi kepalaku.
“Kau sudah tamat, Kim Nam Gil….”
“Kau sudah janji Nam Gil.. kau akan pulang…”
“Maafkan aku, Yo Won…”
“Kak Nam Gil!!”
“Aku mencintaimu…”
“Bi Dam…”
“Deok Man…”
Dan detik itu, kepalaku terasa ringan, pemandangan berputar dan segalanya menghitam.
─Lee Yo Won, Seoul, 2010─
“Kapan dia akan sadar?” tanyaku pada Dokter jaga di klinik itu. Untunglah tidak sulit menghubungi Hee Wong. Yoo Jin terus bersamaku dan dialah yang mengucapkan salam pada Baek Do Bin dan Ri Chan lalu mengucapkan pamit pada mereka.
Dalam sekejap Hee Wong dan Yoon Hoo, serta Yong Soo dan Ye Jin sudah berkumpul di tempat itu.
“Dia akan sadar ketika obat penenangnya habis… mungkin sekitar dua tiga jam lagi…”
“Maafkan aku karena merusak kencanmu, Ye Jin…” ujarku sambil menatap Ye Jin.
Saudariku menatapku simpatik dan tersenyum. “Sudahlah, yang penting semuanya baik-baik saja. Dan ternyata dia masih hidup…”
Tiga pria itu memandang Nam Gil yang terbaring tidak sadar dengan ekspresi senang. “Jadi dia masih hidup, brengsek Baek Do Bin tidak cerita apapun.,. Tetapi, syukurlah…”
“Ya, hebat juga Do Bin…” puji dua lainnya. “Dan syukurlah, dia masih hidup…”
Yong Soo menatapku dan tersenyum. “Soal kenangan, kalau dia masih tidak bisa mengingatnya, kau buat saja yang baru bersamanya…”
“Aku tahu itu,” jawabku menyetujui. Kenyataan kalau dia masih hidup adalah hal terindah dalam hidupku.
“Pengunjung dpersilakan masuk…” ujar perawat itu. Aku mengangguk dan mempersilakan Yoo Jin dan sahabat Nam Gil masuk, namun mereka menolak dan menyuruhku segera masuk.
Nafasnya terdengar teratur, walaupun wajahnya masih terlihat pucat. Nam Gil pria yang kuat. Belum pernah aku melihatnya begitu menderita seperti tadi. Seolah kepalanya akan pecah tadi. menyedihkan…
Aku menyentuh tangannya dan mengusapnya pelan. “Kau janji… kau akan pulang… Mungkin terlambat dua tahun, tetapi kau memenuhinya… terimakasih, Nam Gil…” air mata meluncur turun dari pipiku.
Tiba-tiba sebuah tangan mengusap pipiku lembut dan menghapus air mataku. “Kau masih saja cengeng, Yo won…” ujar suara itu.
Aku memandang raut wajah di depanku dengan mimik tidak percaya. “Kau… mengingtku… Nam Gil?” tanyaku dengan suara bergetar.
“Maaf, Yo Won…” tangannya bergerak menyusuri tulang pipiku. “Mungkin terlambat, tetapi… aku sudah pulang….”
Aku memeluknya dan menangis sesunggukan di pelukannya. Nam Gil tersenyum dan ia mengusap punggungku, berusaha meredakan tangisku. “Maaf membuatmu menunggu lama…”
“Lama sekali, tahu…” balasku setengah mengomel.
“Kalau begitu, apa kuucapkan sekarang saja?” tanyanya sambil mencium dahiku lembut. “Aku… ingin menikahimu, Yo Won…”
Mataku kututup perlahan dan bibirnya menekan bibirku lembut. Awalnya bibirnya hanya menyentuh bibirku bagai sapuan ringan marshmallow. Namun, ketika tanganku kulingkarkan di lehernya, ciumannya bergerak semakin mendalam dan semakin menuntut.
Dentang lonceng kebahagiaan berkumandang di kepalaku. Saat menoleh ke samping, wajahku serta merta memerah melihat Yoo Jin, Ye Jin, Yong Soo, Hee Wong dan Yoon Hoo bersorak dari kaca rumah sakit.
Nam Gil tertawa dan memelukku sambil mengeluarkan tanda victory dengan jarinya. Kali ini kami takkan terpisahkan lagi, selamanya, selamanya, dan selamanya. Aku tahu itu…
TAMAT
Note: fyuhh... finally, it's done...
1 komentar:
keren abis ne...........
ada lagi gak????? he......
Posting Komentar