SING OUT LOUD, LOVE 14
February 14, 2012 at 6:16pm
Sing out loud, love 14
Chapter 14
Cast:
Liana Wijaya as Kim Lee Ah
Kim Hyun Joong
Author as Kim Jae shi (Lee Ah’s younger sister)
Micky Yoo-chun (TVXQ)
Hero Jae-joong (TVXQ)
Uknow Yun-ho (TVXQ)
Adriana Wijaya as Lee Ha na
Park Hae bin
Young Saeng
—Lee ah, Nagano Ski Resort, March 2011—
“Aduuuh…” keluhku setengah meringis. Rasanya kepalaku masih pusing setelah terguling dan terperosok jatuh seperti tadi. Rasanya aku masih mau berbaring sebentar….
“Hei~… jangan bergerak sembarangan saat kau menindihku…”
“Apa…” Aku buru-buru mengangkat wajahku dan bertemu pandang dengan Hyun-joong. Wajah kami hanya berjarak beberapa senti dan nafasnya yang segar terasa di wajahku. “Hyun-joong! Astaga, maafkan aku!” seruku kalut.
“Sudahlah…” pria itu meletakkan tangannya di punggungku dan menekanku mendekat. “Lagipula begini nyaman juga… Biarkan begini sebentar…”
Aku tergoda untuk menurutinya ketika tiba-tiba suara guntur terdengar dari kejauhan. “Itu suara apa?”
“Ck… sial, situasi mulai memburuk. Kita harus cepat mencari tempat berlindung. Kelihatannya akan ada badai sebentar lagi…”
“Iya!” aku bergegas berdiri dan memapah Hyun-joong yang kelihatan kesulitan berdiri. “Apa kau tidak apa-apa?” tanyaku.
“Tidak, kita sebaiknya cepat pergi saja!” ia meraih tanganku dan menggandengnya. “Jangan sampai terpisah dariku.”
—Jae-shi, Nagano Ski Resort, March 2011—
“Awas!” Yoo-chun berteriak memperingatkan, tapi aku sudah terlanjur membakar tanganku sendiri dengan air panas dari termos.
“Aduh!” cepat-cepat pria itu menarikku ke wastafel dan menyiramku terus dengan air yang terasa dingin.
“Siapa sangka termos itu sudah tua dan bias bocor?” Gumam Yoo-chun sambil melihat tanganku yang sedikit melepuh. “Mungkin kau harus memakai salep… Hei, kau melamun?”
“Aku lupa… aku belum melihat kakak seharian ini…” gumamku. Jantungku terasa tidak nyaman.
“Tidak apa, kan? Mungkin dia punya acara sendiri dengan Hyun-joong. Jangan mengganggu mereka berdua.”
“Tapi… aku merasa harus melihatnya segera… perasaanku tidak enak…” Kutatap Yoo-chun dengan gelisah. Pria itu hanya tersenyum memaklumi.
“Baiklah, kita akan mencarinya. Tapi kita harus membeli salep untukmu dulu. Oke?” Tidak ada cara lain selain patuh padanya.
—Hyun joong, Nagano Ski Resort, March 2011—
“Hyun-joong? Apakah ada yang sakit? Biar kulihat kakimu. Jalanmu sepertinya sulit…” Lee-ah terus menarik tanganku, memaksaku memperlambat langkahku.
“Tidak ada yang perlu dicemaskan sebenarnya…” ujarku. Namun Lee-ah sudah terlanjur berjongkok dan menarik ujung celanaku yang robek. Bagian itu terasa lengket dan nyeri. Lee-ah memandang kakiku dengan wajah ngeri dan takut.
“Sejak kapan kau menahannya?” ia mulai merogoh kantungnya dan mengeluarkan sapu tangan. “Sejak tadi? Lukamu begini dalam…”
“Tidak sesakit itu… Diobati nanti saja…” protesku.
“Tidak boleh begitu!” ia memarahiku dengan mata berkaca-kaca. Aku tertegun sejenak melihatnya menahan tangis saat membalut kakiku dengan sapu tangannya. Saat itu wajahnya terlihat begitu menggemaskan sampai begitu sulit untuk tidak memeluknya.
Tidak berapa lama kemudian, ia sudah memapahku lagi. “Di sana saja!” seruku sambil menunjuk sebuah rumah. Sepasang suami istri mengamati kami dan mempersilahkan kami masuk ke dalamnya untuk tinggal.
“Dulu tempat ini terkenal sebagai tempat menginap… Tapi sejak resort dibangun di sana, akhirnya di tempat ini hanya tinggal kami berdua,” kenang pasangan itu sambil berpegangan tangan. Bisa kulihat Lee-ah tersenyum kagum dan mengangguk mengerti saat memandang dua pasangan tua di depannya. Aku mengenalinya dengan baik, bias kutebak bagaimana perasaannya melihat kemesraan pasangan tua itu. Kagum dan terharu.
—Park Yoo chun, Nagano Ski Resort, March 2011—
“Tidak ada? Maksud Kakak… mereka belum kembali dari lokasi ski?” Tanya Jae-shi panik pada manajer Lee-ah yang berdiri di depannya.
“Aku sudah berusaha menelepon ponselnya dan Hyun-joong berkali-kali. Petugas penjaga setempat juga sudah kuberitahu, kita cuma bisa menunggu kabar…”
“Oh…” bahu Jae-shi terkulai lemas. “Benar sekali, firasat burukku…” ia menutup wajah dengan kedua tangannya.
“Kita tunggu saja…” ucapku sambil menepuk bahunya. Kuharap wajahnya jangan sesedih itu. “Bagaimana kalau kau makan sesuatu? Sesudah itu kita bisa menunggu di lobi hotel…”
Jae-shi memaksakan seulas senyum dan berterima kasih padaku.
—Hyun joong, Nagano Ski Resort, March 2011—
“Kamar ini nyaman dan memiliki perapian… Sayang sekali aku tidak membawa dompetku kemari…” ujarku sambil membaringkan tubuh di kasur.
Lee-ah memasuki kamar dengan sebaskom air dan handuk. “Aku meminjamnya untuk membersihkan lukamu…” Lee-ah menatap mataku lama. “Besok kita kembali lagi ke sini untuk membayar biaya penginapan ini. Malam ini Hyun-joong jangan berpikir macam-macam. Istirahat saja…”
Sejak kapan gadisku jadi begini dewasa?
“Tidak boleh berpikir macam-macam?” Ide untuk mengusilinya muncul begitu saja. “Walaupun kita hanya berdua di kamar ini? Sepasang pria dan wanita?”
“Eh itu…” Lee-ah memalingkan wajahnya, “Sekarang kan kau sedang sakit. Mana punya energi untuk menakutiku?” cibirnya.
“Oh ya? Kau mau mencobanya?” Kutarik lengan Lee-ah agak keras, gadis itu tersentak dan jatuh dalam pelukanku, lalu dalam sekejap kuputar tubuhku sehingga posisi kami terbalik. Lee-ah yang terbaring di kasur menatapku dengan bola matanya yang besar. Kilasan cahaya api dan bayangan diriku terpantul di bola matanya.
Perlahan kusingkirkan rambut yang menyentuh wajahnya. “Pernahkan kukatakan kau begitu cantik?” tanyaku sambil menciumnya pelan.
Lee-ah terkejut namun tidak melawan. Tangannya mencengkeram bajuku kuat-kuat dan terasa gemetar. “Kau takut padaku?” tanyaku, terkejut. Senyum jahil segera kembali di wajahku.
“Kau menggodaku lagi?” wajahnya berubah dari kaget jadi marah. Ia memukuli dadaku berulang-ulang. “Dasar jahil!!!”
“Tidak, aku tidak bercanda…” kutangkap tangannya. Pelan kubuka telapak tangannya untuk menelusurinya. Lee-ah menutup matanya dan menghindari tatapanku. “Aku menahan diri seharian untuk menciummu… Apa tidak boleh?”
Lee-ah menahan nafas lagi saat tanganku menyentuh bahunya dan menariknya untuk mendekat. Aroma lehernya yang manis, tubuhnya yang terasa rapuh setiap kali berada dalam pelukanku. Semuanya terasa terlalu tepat, seolah memang seharusnya di sanalah ia berada.
Kami saling bertatapan lama. Lee-ah tersenyum saat aku maju untuk mencium dahinya. Entah siapa yang memulai, namun selanjutnya ciuman itu begitu memabukkan. Membuatku merasa pusing. Kepalaku dipenuhi dirinya. Selanjutnya, yang kuingat hanya itu.
—Jae-shi, Nagano Ski Resort, March 2011—
Pagi sudah tiba namun belum ada tanda-tanda kemunculan kakakku. Yoo-chun tertidur di sofa sebelahku dengan tangan satunya masih menggenggam tanganku. Ha-na, manajer Kak Lee-ah menghampiriku bersama Young-saeng.
“Aku akan mencarinya. Badai salju sudah reda. Apa kau mau ikut denganku?” tanyanya. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengangguk menyanggupi.
Di luar cottage, salju sudah menumpuk tebal dan tinggi. Jalanku terasa sulit dan terseok-seok. Yoo-chun buru-buru menarik tanganku untuk membantuku berjalan. Di samping, kulihat Young-saeng juga menggandeng tangan Ha-na dengan hati-hati. Aku tidak tahu bagaimana hubungan mereka, sepertinya mereka saling menyukai.
“Kau tidak kedinginan?” samar-samar terdengar suara Young-saeng bertanya pada gadis di sebelahnya. “Pakailah ini.” Ia memakaikan syalnya ke leher gadis itu.
“Apa kau mau memakai jaketku?” Tanya Yoo-chun sambil tersenyum menawarkan. Melihatku menggeleng, ia menarik tanganku dan memasukkannya ke dalam saku jaketnya.
Ha-na menahan wajahnya yang memerah dan menundukkan kepala. Saat berpaling, pandangan kami tidak sengaja bertemu dan kami bertukar senyuman malu.
—Lee ah, Nagano Ski Resort, March 2011—
“Pagi…” Hyun-joong menatapku sambil tersenyum. Kepalaku masih terasa berat. Pelan-pelan, saat kesadaranku kembali, bisa kurasakan darah naik ke kepalaku dan wajahku terasa terbakar.
“Jangan melihatku seperti itu,” pintaku. Kepalaku kubenamkan ke dalam selimut. Aku tidak percaya kami berdua semalam benar-benar telah melakukannya. “Aduh… apa yang harus kukatakan pada Jae-shi?”
Hyun-joong meraih tanganku dan memelukku. Di dadanya yang bidang, pelukan itu terasa hangat dan menenangkan. “Rasanya seperti mimpi. Begitu membuka mata, yang pertama kali ada di depanku adalah wajahmu. Aku sudah sejak lama menunggu saat seperti ini…”
“Ingat, kau sudah berjanji padaku…” senyumku sambil memeluk lehernya.
“Kau salah Lee-ah,” Hyun-joon memiringkan wajahnya dan mulai menciumiku lagi. “Itu bukan janji, tapi sumpah.” Kami mulai berciuman lagi ketika tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.
“Apa kalian mau sarapan bersama kami?”
Uh-oh. “Ya…” Hyun-joong mencubit hidungku dan tersenyum. Ia meraih baju untuk menutupi dadanya yang telanjang. “Sepertinya kita harus segera pulang. Adikmu pasti cemas…”
“Ya,” senyumku. Hyun-joong terus menatapku. “Balik badanmu, aku mau ganti baju…” tukasku sambil meraih bajuku.
“Kenapa masih malu padaku?” ia mengedip jahil dan langsung pergi menutup pintu ketika kulemparkan bantal ke arahnya.
—Jae-shi, Nagano Ski Resort, March 2011—
Kami sudah berjalan sekitar belasan menit ketika dari jauh, terlihat dua sosok manusia berjalan mendekat kea rah kami dengan posisi tubuh merapat. Apa mataku salah lihat? Bukankah itu….
Yoo-chun menyentuh bahuku dan tersenyum. “Itu kakakmu!” Kami bertatapan dan ia segera memahami maksudku. Ia melepaskan pegangan tangannya, membiarkanku berlari untuk menyongsong kakakku dan memeluknya.
“Kakak! Kukira kau terjebak badai salju itu!” seruku sambil memeluknya erat-erat. “Aku cemas setengah mati…”
“Aku tidak apa-apa. Ada Hyun-joong yang menjagaku,” ia menepukku dan tersenyum. Ada sesuatu dari caranya mereka bertatapan yang terlihat… berbeda.
“Ada yang terjadi?” tanyaku, kak Lee-ah mengangkat alisnya, heran. “MAksudku, kalian berduaan semalaman. Ada yang terjadi?”
Sejenak kulihat Kak Hyun-joong berdehem dan Kak Lee-ah salah tingkah. Uh-oh. Sesuatu memang terjadi. Pertanyaannya, apakah dugaanku tepat?
yunHy H
—Lee ah, Nagano Ski Resort, March 2011—
Hyun-joong ditemani manajernya pergi untuk mencari kembali losmen tempat kami menginap semalam dan membereskan urusan pembayaran dan semacamnya. Sekarang, aku dan Jae-shi hanya berdua. Kami membereskan barang bawaan dan bersiap pulang. Aku menahan nafas, menghitung mundur waktu. Kapan Jae-shi akan mulai bertanya?
“Ehm….” Ia mulai berdehem kecil.
Sudah mulai, pikirku panik. Saatnya interogasi.
“Kalian menginap di satu kamar?” kulihat di sudut mataku Jae-shi melipat dan memasukkan pakaian ke dalam kopernya.
“Uuh… iya…” akuku, mengingat apa yang terjadi semalam.
“Semalaman? Hanya berdua?” tanyanya lagi. Nadanya mulai terdengar curiga.
“Iya… dan iya…” jawabku lagi. Tenggorokanku mulai terasa kering.
“Kak, apa kalian…” ia tidak menyelesaikan kalimatnya, melainkan menatapku. Melihatku memegang pipiku dengan kedua tanganku, Jae-shi hanya bisa menatapku kaget dengan mulut menganga. “Jadi, benar-benar terjadi?!”
“Ssstt!! Pelankan suaramu!” tanganku langsung bergerak untuk membekap mulutnya. Jae-shi mengangguk dan memberikan isyarat bahwa ia kesulitan bernafas. “Kami harus merahasiakannya dari manajer kami…”
“Pantas saja tatapan kalian jadi berbeda. Apa ya? Tidak bisa kujelaskan, tapi aku tahu kalau tatapan kalian berbeda…” Jae-shi meraih tanganku dan bertanya dengan hati-hati. “Jadi, apa seharusnya aku memberi ucapan selamat?”
“Dasar kau,” gumamku sambil tersenyum dan mencubit pipinya gemas.
—Yoo-chun, Nagano Ski Resort, March 2011—
Cuaca cerah dan perasaanku luar biasa lega. Kaget juga melihat Jae-joong bisa menyerahkan cokelat ke Jae-shi dengan mimik setulus itu. “Ah… lega sekali…” pikirku.
Bus lain berhenti di sebelah bus milik SM entertainment dan kulihat Jae-joong membantu seorang gadis mengangkat kopernya. Tidak biasanya ia mau repot-repot mengurus masalah orang lain. Mungkin gadis itu yang berhasil membuatnya mengatasi patah hatinya.
“Halo? Ya, ini Yun-ho.” Yun-ho di sebelahku, memasukkan sebelah tangannya ke saku dan tangan lainnya memegangi ponsel, “Ya, aku di Nagano. Apa? Kenapa Ma?”
Ooh… dia sedang bicara dengan Ibunya. “Akiyo? Akiyo yang itu? Kenapa dengannya?”
Aku ingat Yun-ho pernah bercerita padaku tentang gadis blasteran Jepang, teman baiknya waktu kecil yang sekarang kuliah di Jepang. Mungkin mereka sedang membicarakan sesuatu tentang gadis itu.
“Oh… Mamanya dating mengunjungi Mama? Oke, sampaikan saja kabarku baik. Tidak masalah, makanku teratur, oke, bye…” Yun-ho menutup teleponnya dan tersenyum. “Udara cerah, Chun…”
“Ya, nyaman sekali…” seruku tersenyum. Saatnya menghampiri gadisku. “Aku masuk dulu. Mau membantu Jae-shi mengangkat kopernya.” Yun-ho mengangguk dan melambai masuk ke dalam bis.
—Lee ah, Nagano Ski Resort, March 2011—
Jae-shi mengangkat ponselnya yang bordering dan terlihat pucat. “Ya, ini aku…” jawabnya. “Apa? Tapi… ya, baiklah…”
“Dari siapa?” tanyaku.
“Papa…”
Nyaris saja kemarahanku meledak sampai ke kepala dan mengatakan bahwa pria itu tidak boleh disebut Papa. Tapi kebahagiaanku terlalu besar untuk bisa marah hari ini. “Apa katanya?”
“Dia mau aku tes DNA…”
“Untuk apa?” tanyaku. “Apa dia bermaksud mengatakan kalau ia mau menampung kita?” jae-shi mengangguk. “Setelah semuanya itu, dia mau bertindak sebagai Papa kandung?”
“Tenanglah Kak,” senyum Jae-shi sambil menggenggam tanganku. “Kita bisa bicara baik-baik dengannya. Ia pasti bisa mengerti… aku juga tidak bermaksud tinggal bersamanya…”
Samar-samar kurasakan ada yang disembunyikan Jae-shi dariku. Tapi… apa?
“Lee-ah, bagaimana kalau kubantu kau membawa barang?” Tanya Hyun-joong yang tahu-tahu sudah bersender di pintu. “Chun, kau akan membantu membawakan barang Jae-shi?” tanyanya.
Dua pria itu bertukar senyum dan menghampiri kami. Jae-shi tersenyum tapi senyumnya tidak terlihat seceria biasanya. Apa yang terjadi? Apa yang disembunyikannya dariku?
-to be continued-
Chapter 14
Cast:
Liana Wijaya as Kim Lee Ah
Kim Hyun Joong
Author as Kim Jae shi (Lee Ah’s younger sister)
Micky Yoo-chun (TVXQ)
Hero Jae-joong (TVXQ)
Uknow Yun-ho (TVXQ)
Adriana Wijaya as Lee Ha na
Park Hae bin
Young Saeng
—Lee ah, Nagano Ski Resort, March 2011—
“Aduuuh…” keluhku setengah meringis. Rasanya kepalaku masih pusing setelah terguling dan terperosok jatuh seperti tadi. Rasanya aku masih mau berbaring sebentar….
“Hei~… jangan bergerak sembarangan saat kau menindihku…”
“Apa…” Aku buru-buru mengangkat wajahku dan bertemu pandang dengan Hyun-joong. Wajah kami hanya berjarak beberapa senti dan nafasnya yang segar terasa di wajahku. “Hyun-joong! Astaga, maafkan aku!” seruku kalut.
“Sudahlah…” pria itu meletakkan tangannya di punggungku dan menekanku mendekat. “Lagipula begini nyaman juga… Biarkan begini sebentar…”
Aku tergoda untuk menurutinya ketika tiba-tiba suara guntur terdengar dari kejauhan. “Itu suara apa?”
“Ck… sial, situasi mulai memburuk. Kita harus cepat mencari tempat berlindung. Kelihatannya akan ada badai sebentar lagi…”
“Iya!” aku bergegas berdiri dan memapah Hyun-joong yang kelihatan kesulitan berdiri. “Apa kau tidak apa-apa?” tanyaku.
“Tidak, kita sebaiknya cepat pergi saja!” ia meraih tanganku dan menggandengnya. “Jangan sampai terpisah dariku.”
—Jae-shi, Nagano Ski Resort, March 2011—
“Awas!” Yoo-chun berteriak memperingatkan, tapi aku sudah terlanjur membakar tanganku sendiri dengan air panas dari termos.
“Aduh!” cepat-cepat pria itu menarikku ke wastafel dan menyiramku terus dengan air yang terasa dingin.
“Siapa sangka termos itu sudah tua dan bias bocor?” Gumam Yoo-chun sambil melihat tanganku yang sedikit melepuh. “Mungkin kau harus memakai salep… Hei, kau melamun?”
“Aku lupa… aku belum melihat kakak seharian ini…” gumamku. Jantungku terasa tidak nyaman.
“Tidak apa, kan? Mungkin dia punya acara sendiri dengan Hyun-joong. Jangan mengganggu mereka berdua.”
“Tapi… aku merasa harus melihatnya segera… perasaanku tidak enak…” Kutatap Yoo-chun dengan gelisah. Pria itu hanya tersenyum memaklumi.
“Baiklah, kita akan mencarinya. Tapi kita harus membeli salep untukmu dulu. Oke?” Tidak ada cara lain selain patuh padanya.
—Hyun joong, Nagano Ski Resort, March 2011—
“Hyun-joong? Apakah ada yang sakit? Biar kulihat kakimu. Jalanmu sepertinya sulit…” Lee-ah terus menarik tanganku, memaksaku memperlambat langkahku.
“Tidak ada yang perlu dicemaskan sebenarnya…” ujarku. Namun Lee-ah sudah terlanjur berjongkok dan menarik ujung celanaku yang robek. Bagian itu terasa lengket dan nyeri. Lee-ah memandang kakiku dengan wajah ngeri dan takut.
“Sejak kapan kau menahannya?” ia mulai merogoh kantungnya dan mengeluarkan sapu tangan. “Sejak tadi? Lukamu begini dalam…”
“Tidak sesakit itu… Diobati nanti saja…” protesku.
“Tidak boleh begitu!” ia memarahiku dengan mata berkaca-kaca. Aku tertegun sejenak melihatnya menahan tangis saat membalut kakiku dengan sapu tangannya. Saat itu wajahnya terlihat begitu menggemaskan sampai begitu sulit untuk tidak memeluknya.
Tidak berapa lama kemudian, ia sudah memapahku lagi. “Di sana saja!” seruku sambil menunjuk sebuah rumah. Sepasang suami istri mengamati kami dan mempersilahkan kami masuk ke dalamnya untuk tinggal.
“Dulu tempat ini terkenal sebagai tempat menginap… Tapi sejak resort dibangun di sana, akhirnya di tempat ini hanya tinggal kami berdua,” kenang pasangan itu sambil berpegangan tangan. Bisa kulihat Lee-ah tersenyum kagum dan mengangguk mengerti saat memandang dua pasangan tua di depannya. Aku mengenalinya dengan baik, bias kutebak bagaimana perasaannya melihat kemesraan pasangan tua itu. Kagum dan terharu.
—Park Yoo chun, Nagano Ski Resort, March 2011—
“Tidak ada? Maksud Kakak… mereka belum kembali dari lokasi ski?” Tanya Jae-shi panik pada manajer Lee-ah yang berdiri di depannya.
“Aku sudah berusaha menelepon ponselnya dan Hyun-joong berkali-kali. Petugas penjaga setempat juga sudah kuberitahu, kita cuma bisa menunggu kabar…”
“Oh…” bahu Jae-shi terkulai lemas. “Benar sekali, firasat burukku…” ia menutup wajah dengan kedua tangannya.
“Kita tunggu saja…” ucapku sambil menepuk bahunya. Kuharap wajahnya jangan sesedih itu. “Bagaimana kalau kau makan sesuatu? Sesudah itu kita bisa menunggu di lobi hotel…”
Jae-shi memaksakan seulas senyum dan berterima kasih padaku.
—Hyun joong, Nagano Ski Resort, March 2011—
“Kamar ini nyaman dan memiliki perapian… Sayang sekali aku tidak membawa dompetku kemari…” ujarku sambil membaringkan tubuh di kasur.
Lee-ah memasuki kamar dengan sebaskom air dan handuk. “Aku meminjamnya untuk membersihkan lukamu…” Lee-ah menatap mataku lama. “Besok kita kembali lagi ke sini untuk membayar biaya penginapan ini. Malam ini Hyun-joong jangan berpikir macam-macam. Istirahat saja…”
Sejak kapan gadisku jadi begini dewasa?
“Tidak boleh berpikir macam-macam?” Ide untuk mengusilinya muncul begitu saja. “Walaupun kita hanya berdua di kamar ini? Sepasang pria dan wanita?”
“Eh itu…” Lee-ah memalingkan wajahnya, “Sekarang kan kau sedang sakit. Mana punya energi untuk menakutiku?” cibirnya.
“Oh ya? Kau mau mencobanya?” Kutarik lengan Lee-ah agak keras, gadis itu tersentak dan jatuh dalam pelukanku, lalu dalam sekejap kuputar tubuhku sehingga posisi kami terbalik. Lee-ah yang terbaring di kasur menatapku dengan bola matanya yang besar. Kilasan cahaya api dan bayangan diriku terpantul di bola matanya.
Perlahan kusingkirkan rambut yang menyentuh wajahnya. “Pernahkan kukatakan kau begitu cantik?” tanyaku sambil menciumnya pelan.
Lee-ah terkejut namun tidak melawan. Tangannya mencengkeram bajuku kuat-kuat dan terasa gemetar. “Kau takut padaku?” tanyaku, terkejut. Senyum jahil segera kembali di wajahku.
“Kau menggodaku lagi?” wajahnya berubah dari kaget jadi marah. Ia memukuli dadaku berulang-ulang. “Dasar jahil!!!”
“Tidak, aku tidak bercanda…” kutangkap tangannya. Pelan kubuka telapak tangannya untuk menelusurinya. Lee-ah menutup matanya dan menghindari tatapanku. “Aku menahan diri seharian untuk menciummu… Apa tidak boleh?”
Lee-ah menahan nafas lagi saat tanganku menyentuh bahunya dan menariknya untuk mendekat. Aroma lehernya yang manis, tubuhnya yang terasa rapuh setiap kali berada dalam pelukanku. Semuanya terasa terlalu tepat, seolah memang seharusnya di sanalah ia berada.
Kami saling bertatapan lama. Lee-ah tersenyum saat aku maju untuk mencium dahinya. Entah siapa yang memulai, namun selanjutnya ciuman itu begitu memabukkan. Membuatku merasa pusing. Kepalaku dipenuhi dirinya. Selanjutnya, yang kuingat hanya itu.
—Jae-shi, Nagano Ski Resort, March 2011—
Pagi sudah tiba namun belum ada tanda-tanda kemunculan kakakku. Yoo-chun tertidur di sofa sebelahku dengan tangan satunya masih menggenggam tanganku. Ha-na, manajer Kak Lee-ah menghampiriku bersama Young-saeng.
“Aku akan mencarinya. Badai salju sudah reda. Apa kau mau ikut denganku?” tanyanya. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengangguk menyanggupi.
Di luar cottage, salju sudah menumpuk tebal dan tinggi. Jalanku terasa sulit dan terseok-seok. Yoo-chun buru-buru menarik tanganku untuk membantuku berjalan. Di samping, kulihat Young-saeng juga menggandeng tangan Ha-na dengan hati-hati. Aku tidak tahu bagaimana hubungan mereka, sepertinya mereka saling menyukai.
“Kau tidak kedinginan?” samar-samar terdengar suara Young-saeng bertanya pada gadis di sebelahnya. “Pakailah ini.” Ia memakaikan syalnya ke leher gadis itu.
“Apa kau mau memakai jaketku?” Tanya Yoo-chun sambil tersenyum menawarkan. Melihatku menggeleng, ia menarik tanganku dan memasukkannya ke dalam saku jaketnya.
Ha-na menahan wajahnya yang memerah dan menundukkan kepala. Saat berpaling, pandangan kami tidak sengaja bertemu dan kami bertukar senyuman malu.
—Lee ah, Nagano Ski Resort, March 2011—
“Pagi…” Hyun-joong menatapku sambil tersenyum. Kepalaku masih terasa berat. Pelan-pelan, saat kesadaranku kembali, bisa kurasakan darah naik ke kepalaku dan wajahku terasa terbakar.
“Jangan melihatku seperti itu,” pintaku. Kepalaku kubenamkan ke dalam selimut. Aku tidak percaya kami berdua semalam benar-benar telah melakukannya. “Aduh… apa yang harus kukatakan pada Jae-shi?”
Hyun-joong meraih tanganku dan memelukku. Di dadanya yang bidang, pelukan itu terasa hangat dan menenangkan. “Rasanya seperti mimpi. Begitu membuka mata, yang pertama kali ada di depanku adalah wajahmu. Aku sudah sejak lama menunggu saat seperti ini…”
“Ingat, kau sudah berjanji padaku…” senyumku sambil memeluk lehernya.
“Kau salah Lee-ah,” Hyun-joon memiringkan wajahnya dan mulai menciumiku lagi. “Itu bukan janji, tapi sumpah.” Kami mulai berciuman lagi ketika tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.
“Apa kalian mau sarapan bersama kami?”
Uh-oh. “Ya…” Hyun-joong mencubit hidungku dan tersenyum. Ia meraih baju untuk menutupi dadanya yang telanjang. “Sepertinya kita harus segera pulang. Adikmu pasti cemas…”
“Ya,” senyumku. Hyun-joong terus menatapku. “Balik badanmu, aku mau ganti baju…” tukasku sambil meraih bajuku.
“Kenapa masih malu padaku?” ia mengedip jahil dan langsung pergi menutup pintu ketika kulemparkan bantal ke arahnya.
—Jae-shi, Nagano Ski Resort, March 2011—
Kami sudah berjalan sekitar belasan menit ketika dari jauh, terlihat dua sosok manusia berjalan mendekat kea rah kami dengan posisi tubuh merapat. Apa mataku salah lihat? Bukankah itu….
Yoo-chun menyentuh bahuku dan tersenyum. “Itu kakakmu!” Kami bertatapan dan ia segera memahami maksudku. Ia melepaskan pegangan tangannya, membiarkanku berlari untuk menyongsong kakakku dan memeluknya.
“Kakak! Kukira kau terjebak badai salju itu!” seruku sambil memeluknya erat-erat. “Aku cemas setengah mati…”
“Aku tidak apa-apa. Ada Hyun-joong yang menjagaku,” ia menepukku dan tersenyum. Ada sesuatu dari caranya mereka bertatapan yang terlihat… berbeda.
“Ada yang terjadi?” tanyaku, kak Lee-ah mengangkat alisnya, heran. “MAksudku, kalian berduaan semalaman. Ada yang terjadi?”
Sejenak kulihat Kak Hyun-joong berdehem dan Kak Lee-ah salah tingkah. Uh-oh. Sesuatu memang terjadi. Pertanyaannya, apakah dugaanku tepat?
yunHy H
—Lee ah, Nagano Ski Resort, March 2011—
Hyun-joong ditemani manajernya pergi untuk mencari kembali losmen tempat kami menginap semalam dan membereskan urusan pembayaran dan semacamnya. Sekarang, aku dan Jae-shi hanya berdua. Kami membereskan barang bawaan dan bersiap pulang. Aku menahan nafas, menghitung mundur waktu. Kapan Jae-shi akan mulai bertanya?
“Ehm….” Ia mulai berdehem kecil.
Sudah mulai, pikirku panik. Saatnya interogasi.
“Kalian menginap di satu kamar?” kulihat di sudut mataku Jae-shi melipat dan memasukkan pakaian ke dalam kopernya.
“Uuh… iya…” akuku, mengingat apa yang terjadi semalam.
“Semalaman? Hanya berdua?” tanyanya lagi. Nadanya mulai terdengar curiga.
“Iya… dan iya…” jawabku lagi. Tenggorokanku mulai terasa kering.
“Kak, apa kalian…” ia tidak menyelesaikan kalimatnya, melainkan menatapku. Melihatku memegang pipiku dengan kedua tanganku, Jae-shi hanya bisa menatapku kaget dengan mulut menganga. “Jadi, benar-benar terjadi?!”
“Ssstt!! Pelankan suaramu!” tanganku langsung bergerak untuk membekap mulutnya. Jae-shi mengangguk dan memberikan isyarat bahwa ia kesulitan bernafas. “Kami harus merahasiakannya dari manajer kami…”
“Pantas saja tatapan kalian jadi berbeda. Apa ya? Tidak bisa kujelaskan, tapi aku tahu kalau tatapan kalian berbeda…” Jae-shi meraih tanganku dan bertanya dengan hati-hati. “Jadi, apa seharusnya aku memberi ucapan selamat?”
“Dasar kau,” gumamku sambil tersenyum dan mencubit pipinya gemas.
—Yoo-chun, Nagano Ski Resort, March 2011—
Cuaca cerah dan perasaanku luar biasa lega. Kaget juga melihat Jae-joong bisa menyerahkan cokelat ke Jae-shi dengan mimik setulus itu. “Ah… lega sekali…” pikirku.
Bus lain berhenti di sebelah bus milik SM entertainment dan kulihat Jae-joong membantu seorang gadis mengangkat kopernya. Tidak biasanya ia mau repot-repot mengurus masalah orang lain. Mungkin gadis itu yang berhasil membuatnya mengatasi patah hatinya.
“Halo? Ya, ini Yun-ho.” Yun-ho di sebelahku, memasukkan sebelah tangannya ke saku dan tangan lainnya memegangi ponsel, “Ya, aku di Nagano. Apa? Kenapa Ma?”
Ooh… dia sedang bicara dengan Ibunya. “Akiyo? Akiyo yang itu? Kenapa dengannya?”
Aku ingat Yun-ho pernah bercerita padaku tentang gadis blasteran Jepang, teman baiknya waktu kecil yang sekarang kuliah di Jepang. Mungkin mereka sedang membicarakan sesuatu tentang gadis itu.
“Oh… Mamanya dating mengunjungi Mama? Oke, sampaikan saja kabarku baik. Tidak masalah, makanku teratur, oke, bye…” Yun-ho menutup teleponnya dan tersenyum. “Udara cerah, Chun…”
“Ya, nyaman sekali…” seruku tersenyum. Saatnya menghampiri gadisku. “Aku masuk dulu. Mau membantu Jae-shi mengangkat kopernya.” Yun-ho mengangguk dan melambai masuk ke dalam bis.
—Lee ah, Nagano Ski Resort, March 2011—
Jae-shi mengangkat ponselnya yang bordering dan terlihat pucat. “Ya, ini aku…” jawabnya. “Apa? Tapi… ya, baiklah…”
“Dari siapa?” tanyaku.
“Papa…”
Nyaris saja kemarahanku meledak sampai ke kepala dan mengatakan bahwa pria itu tidak boleh disebut Papa. Tapi kebahagiaanku terlalu besar untuk bisa marah hari ini. “Apa katanya?”
“Dia mau aku tes DNA…”
“Untuk apa?” tanyaku. “Apa dia bermaksud mengatakan kalau ia mau menampung kita?” jae-shi mengangguk. “Setelah semuanya itu, dia mau bertindak sebagai Papa kandung?”
“Tenanglah Kak,” senyum Jae-shi sambil menggenggam tanganku. “Kita bisa bicara baik-baik dengannya. Ia pasti bisa mengerti… aku juga tidak bermaksud tinggal bersamanya…”
Samar-samar kurasakan ada yang disembunyikan Jae-shi dariku. Tapi… apa?
“Lee-ah, bagaimana kalau kubantu kau membawa barang?” Tanya Hyun-joong yang tahu-tahu sudah bersender di pintu. “Chun, kau akan membantu membawakan barang Jae-shi?” tanyanya.
Dua pria itu bertukar senyum dan menghampiri kami. Jae-shi tersenyum tapi senyumnya tidak terlihat seceria biasanya. Apa yang terjadi? Apa yang disembunyikannya dariku?
-to be continued-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar