LETTER TO HEAVEN -Chap 1-
February 9, 2011 at 11:54am
Sebelumnya, sekedar pemberitahuan, FF ini sudah di publikasi oleh admin untuk lomba FF
berhubung tag sudah penuh; maka dengan seijin admin, saya memindahkan ke note saya
bagi yang minta di tag, comment atau post wall saya
thanks
LETTER TO HEAVEN -Chap 1-
Chapter 1
─Kim So Eun, Seoul, 2009─
Langit cerah hari ini. Sambil menarik nafas senang, kususuri pinggir lapangan atletik yang dipenuhi oleh teriakan anak-anak perempuan. Seperti biasanya, hari ini pun ia masih menjadi idola nomor satu dari klub atletik.
“Kyaaa!! Kak Han Geng!!!” teriak para siswi di sebelahku.
”Permisi,” ujarku, berusaha menyeruak dari antara gerombolan itu. Akhirnya, tanganku berhasil mencapai pagar kawat pembatas lapangan atletik itu.
”Kak Han Geng!” teriakku padanya, berharap suaraku bisa didengarnya dari antara suara puluhan gadis lain yang juga meneriakkan namanya.
Tetapi cowok itu mendengarnya. Dadaku berdentum keras. Kak Han Geng lewat sambil memberikan senyuman manis ke arahku.
”Tidaaak!! Dia tersenyum ke arahku!!” seru seorang gadis,
”Salah, ke arahku tahu!!” tukas gadis lainnya tidak mau kalah.
”Kalian berdua aneh.” seru gadis lainnya. Ketika dua temannya menoleh, dengan memiringkan kepala sedikit, ia berujar dengan wajah serius, ”Kurasa, ia malah jatuh cinta padaku!!”
Kontan, kedua temannya berteriak, ”Bhhuuu....” bersamaan sambil mencubitinya kiri kanan. Senyuman geli tidak bisa kutahan dari wajahku.
Kak Han Geng berdiri di samping pelatih sambil melihat catatan waktunya. Ia menoleh sekilas, dan melambai padaku. Lagi-lagi para gadis menjerit gila-gilaan. Dari lambaian tangannya yang sepintas itu, aku tahu sebentar lagi latihannya selesai. Dan itu artinya, kami akan berkumpul di halaman belakang, seperti biasanya.
”Hei,” suara seorang cowok memanggilku.
“Hei, Kim Bum, aku juga punya nama tahu...” ujarku sambil mengernyitkan dahiku, kesal. “Coba kau eja namaku, So Eun...”
“Malas,” sahutnya angkuh. Ia menyampirkan tasnya yang berisi saksofon ke kursi tempat kami duduk. “Eh, Kak Han Geng masih lama tidak?”
Kim Bum adalah adik dari Han Geng. Dan seperti Kakaknya yang populer di antara siswi, demikian pula adiknya. Kami bertiga sudah bertetangga sejak kecil. Kegiatan pulang bersama semacam ini seolah sudah menjadi ritual kecil di antara kami.
Bicara soal bintang atletik? Sebut saja nama Han Geng, dan para gadis itu akan menjerit kesetanan. Bintangnya musik? Ucapkan nama Kim Bum dan para gadis akan meleleh karena senyumannya.
”Kurasa tidak begitu lama,” sahutku, berusaha tampak santai. Dan dugaanku tepat, sejurus kemudian, Kak Han Geng datang sambil menenteng sport bag-nya.
”Maaf ya, membuat kalian menunggu...” ujarnya sambil tersenyum ramah. ”Udaranya mulai dingin, kan?” dengan cepat, ia membuka jaketnya dan memakaikannya padaku.
”Wah, tidak usah, Kak...” seruku kaget, berusaha menolak.
”Jaketmu nggak bau keringat, ya?” tanya Kim Bum dengan nada mencela.
”Oooh... Bau ya?” Kak Han Geng menatap mataku langsung, membuat jantungku terasa mau melompat keluar.
”B-bukan, tidak bau kok!” seruku kaget. Malahan sangat harum. Wangi yang maskulin. Kurasa ia mengenakan jaketnya setelah membilas badan di ruang ganti. ”Maksudku, apa Kak sendiri tidak kedinginan?”
”Tidak, aku sih laki-laki, jadi aku lebih kuat...” suaranya terdengar menyenangkan. Rasanya sulit untuk tidak menyukai senyuman sehangat itu.
Kak Han Geng... sejak kecil, nama itu selalu memiliki tempat istimewa di hatiku. Aku menyukainya. Senyumannya, tatapan matanya, caranya memanggil namaku. Kapan ya, ia akan menyadari perasaanku?
─Han Geng, Seoul, 2009─
“Han Geng, cepat bangun, sudah pagi nih!” Mama membangunkanku sambil membuka tirai lebar-lebar.
”Oke,” jawabku. Lalu mendadak, rasa sakit yang hebat menyentak kepalaku. Kupejamkan mataku sesaat, berusaha meredakan rasa sakitnya dengan memijit keningku.
“Kau kenapa?” Mama menatapku khawatir. ”Pusing?”
”Mungkin gejala anemia ringan,” sahutku sambil tersenyum, berusaha meredakan kekhawatiran di wajah Mamaku.
”Mau ijin sekolah, hari ini?”
”Tidak perlu,” tukasku sambil buru-buru bangkit dan mengambil handukku. ”Aku ada test lari hari ini...”
”Berusahalah,” Mama menepuk bahuku lembut.
”Hari ini akan lahir seorang mega bintang!!” seru So Eun sambil tersenyum senang. Uap putih mengepul saat kami berbicara. Udara semakin dingin.
”Masih belum tahu, kan belum diketahui sampai test-nya dilakukan...” jawabku sambil tersenyum.
So Eun menatapku dengan matanya yang bulat besar. ”Aku pasti mendukungmu!!” ia mengepalkan tangan dan dengan bersemangat bicara sambil menatapku. ”Oh ya, ini jaketnya, terima kasih, Kak...” ia mengeluarkan jaket yang sepertinya sudah disterika rapi dari tasnya.
”Sebenarnya tidak perlu dikembalikan sekarang,” ujarku sambil memakainya. Gadis itu tersenyum senang, membuat denyut jantungku sepuluh kali lebih cepat.
”Aku tidak bisa membiarkan mega bintang atletik sakit hanya karena aku lupa mengembalikan jaketnya, dong...” sahutnya sambil tersenyum jahil.
Aku menyukai So Eun. Sejak pertama kali melihatnya, sejak pertama kali bicara dengannya. Aku menyukainya. Tetapi, sampai sekarang, aku tidak memiliki keberanian mengungkapkannya.
Mungkin nanti? Ya, tidak sekarang. Tentu saja tidak sekarang.
─Kim Bum, Seoul, 2009─
Dua sosok itu melupakanku begitu saja, pikirku sambil menatap Han Geng dan So Eun yang berjalan berdampingan di udara yang begitu dingin. Dan mereka terlihat sangat cocok. Sampai kapan sih dua orang itu akan bersikap tidak jujur pada perasaan mereka satu sama lain?
”Hei, kalian melupakan aku!!” seruku sambil berlari menyusul dan menubruk mereka. So Eun menatapku dengan kesal.
”Kau lama sekali sih, bangunnya!” ia menggerutu, namun masih terlihat manis.
”Aku main saksofon sampai malam...” jawabku enteng.
”Kelihatannya dia membuat lagu baru,” sahut Kak Han Geng santai.
”Begitulah,” jawabku asal.
“Kau membuat lagu baru?” mata bulat So Eun spontan berbinar kagum.
Ia terbiasa mendukung kami berdua. Saat melihat Han Geng berlari, ia akan ikut bersorak. Sementara saat mendengarku memainkan musik, ia akan tersenyum dan menunggu sampai tiba saatnya bertepuk tangan keras-keras.
”Belum selesai,” sahutku, berusaha meredakan rasa cemburu di dadaku.
Entah sudah berapa kali kuingatkan diriku untuk menyudahi perasaanku padanya, tetapi entah berapa kali pula aku gagal. Sampai detik ini. Padahal aku tahu dengan jelas, kalau mereka saling menyukai. Dan tidak ada tempat untukku di sana.
─Kim So Eun, Seoul, 2009─
Kak Han Geng meletakkan jarinya di tanah. Matanya menatap tajam ke depan. Wajahnya tampak sangat serius. Ia selalu terlihat serius saat berlari, dan kurasa, kalau matanya menatapku seperti itu, aku bisa meledak detik itu juga.
Perasaanku berdebar naik turun. Kalau lulus test kali ini, Han Geng akan dipilih untuk mewakili sekolah mengikuti lomba tingkat nasional.
”Prittttt!!!!!!!!!!!!!!”
Begitu peluit ditiup, cowok itu melesat dengan sempurna, seperti peluru. Dan nyaris semua anak perempuan menjerit gila-gilaan di sampingku. Jantungku berdentum, seolah memukul rongga dadaku.
Berusahalah! Rasanya setiap sel tubuhku menyuarakan dukungan untuknya.
Kemudian, insiden itu terjadi. Kak Han Geng tiba-tiba jatuh tersungkur. Bersamaan dengan itu, para gadis ikut menjerit tertahan melihat posisi jatuhnya yang begitu tiba-tiba.
Petugas P3K yang berdiri di pinggir lapangan langsung datang menyerbunya. ”Kak!!” suaraku terasa tertelan oleh rasa sesak di dadaku. ”Kak!!” seruku lebih kuat, tetapi gagal. Suaraku musnah diantara jeritan gadis-gadis lainnya.
Tiba-tiba sebuah tangan menarikku dengan kencang. “Apa yang terjadi?” Kim Bum menatapku dan wajah cemasnya menatap lapangan.
”Semuanya begitu cepat, dia tiba-tiba jatuh...” dengan tangan gemetar, aku berusaha mengingat setiap detik kejadian itu.
Kim Bum masih menatapku. ”Padahal awalnya kondisinya sangat prima. Ia melesat,” nafasku nyaris habis saat mengucapkannya. ”Seperti... peluru... dan kemudian... dia jatuh...”
Begitu kalimatku selesai, air mataku tumpah begitu saja. Kim Bum meraih bahuku dan memelukku.
”Padahal, ini adalah saat terbaiknya, dan tadi pagi... rasanya...” dadaku bertambah sesak seiring isakan tangisku. ”Rasanya semua baik-baik saja...”
”Masih ada kesempatan lain untuknya,” jawab Kim Bum, berusaha untuk menenangkanku. ”Sekarang, ayo kita temui dia...”
Masih banyak siswi yang berpelukan dan menangis di pinggir lapangan. Mereka nyaris sama kecewanya denganku. Idola mereka gagal secara mengenaskan. Rasanya dadaku sakit seperti disayat-sayat.
─Han Geng, Seoul, 2009─
”Kak, tidak apa-apa?” So Eun menyerbu masuk ketika kesadaranku mulai kembali. ”Ada yang sakit?”
”Tidak, tidak apa-apa kok...” sahutku, berusaha menyembunyikan kekecewaan besar di dadaku.
Air mata menggenang di matanya yang semula ceria. ”Apanya yang tidak apa-apa?” ia menggigit bibirnya dan menundukkan kepalanya. ”Padahal kau terjatuh begitu kerasnya tadi...”
”Kak, kau sakit?” Kim Bum memasuki ruangan dan menatapku tajam. ”Kau tidak pernah jatuh separah itu sebelumnya...”
”Tadi pagi aku agak sakit kepala,” jawabku. ”Mungkin karena anemia...” So Eun membalikkan badannya, berusaha menghapus air mata dari wajahnya.
”Mungkin masuk angin, gara-gara meminjamkan jaket padaku kemarin...” sahutnya dengan suara galau.
”Ya ampun, masa aku masuk angin? Sama sekali tidak. Aku hanya agak ceroboh. Mungkin tadi ada gundukan tanah dan aku tidak melihatnya...”
”Kau roboh,” ujar Kim Bum menyela. ”Kau tiba-tiba roboh di tengah kecepatan tinggi. Akibatnya, kau jatuh tersungkur...”
”Aku belum sarapan,” sahutku, berusaha mencari alasan lain.
So Eun terus menyalahkan dirinya, dan aku tidak menginginkan itu. Kim Bum menatapku dengan sorot mata yang mengatakan kalau aku tidak mungkin bisa menipunya.
”Aku tinggal kalian dulu. Aku mau membeli teh hangat. Kau mau, So Eun?” gadis itu menjawab dengan anggukan singkat.
Pintu tertutup dan suasana kembali hening. ”Kurasa aku gagal, ya...” suaraku terdengar tawar, bahkan di tenggorokanku sendiri.
”Kak...” So Eun menatapku dengan matanya, terlihat cemas.
”Maaf ya, So Eun, aku jadi mengecewakanmu...”
”Tidak kok, Kakak masih terlihat luar biasa di mataku...” dengan keras ia menggigit bibirnya, berusaha menahan air matanya.
”Dan terima kasih, karena menggantikanku menangis, So Eun...”
Kali ini So Eun maju dan memeluk kepalaku sampai bersender di bahunya. ”Aku tidak mau melihat wajah Kakak yang seperti itu!” bahunya bergerak naik turun seiring isakan tangisnya. ”Kakak kan juga manusia, tidak apa kalau sesekali menangis!”
”Padahal, aku berniat menyatakan perasaanku kalau aku terpilih...” kubenamkan kepalaku di bahunya. ”Dan aku gagal. Tidak bisa menyatakannya dengan keren...”
─Kim Bum, Seoul, 2009─
”Aku juga menyukai Kak Han Geng...” suara So Eun terdengar pilu dan sekaligus lirih. Pelan kutolehkan kepalaku, menatap ruangan UKS itu.
Kakakku yang biasanya terlihat kuat, hari ini tiba-tiba jatuh dan roboh. Aku tahu, sebagai laki-laki harga dirinya sangat terluka. Ia gagal menunjukkan kemampuannya di hadapan gadis yang disukainya.
Kemudian mereka berciuman. Aku tidak mau melihatnya. Mendengarkan pernyataan cinta mereka saja, hatiku sudah hancur. Kulangkahkan kakiku ke mesin minuman terdekat, dan membeli tiga kaleng teh panas.
Sambil berjalan kembali ke ruangan itu, sebagian hatiku cemburu dan sebagian lagi bersyukur. Akhirnya mereka berdua bisa bersama, itu bagus. Tetapi, bagaimana denganku? Semuanya tidak akan sama lagi mulai sekarang. Tidak ada tempatku di tengah mereka.
”Sorry kalau lama,” kusodorkan minuman itu ke tangan mereka. ”Jadi, ceritanya kalian sudah jadian, nih?” tanyaku sambil tersenyum menggoda.
Otomatis mereka berdua kelihatan salah tingkah. Wajah So Eun memerah sampai ke telinga.
“Tenang, aku sih tidak apa-apa...” jawabku, berusaha menekan perasaanku sendiri. “Malah dari dulu aku gregetan sendiri melihat kalian berdua seperti itu…” kupaksakan sebuah tawa ceria keluar dari bibirku.
“Thanks ya,” ujar Kak Han Geng dengan senyuman tulus. Di matanya sama sekali tidak ada rasa curiga padaku.
So Eun menatapku dengan wajah merah. ”Terima kasih, Kim Bum...” ujarnya terbata-bata.
Dengan susah payah, kutahan nafasku sebelum membalas senyuman mereka.. Aku harus menghapus perasaan ini, sebelum terlambat.
To Be Continued......
berhubung tag sudah penuh; maka dengan seijin admin, saya memindahkan ke note saya
bagi yang minta di tag, comment atau post wall saya
thanks
LETTER TO HEAVEN -Chap 1-
Chapter 1
─Kim So Eun, Seoul, 2009─
Langit cerah hari ini. Sambil menarik nafas senang, kususuri pinggir lapangan atletik yang dipenuhi oleh teriakan anak-anak perempuan. Seperti biasanya, hari ini pun ia masih menjadi idola nomor satu dari klub atletik.
“Kyaaa!! Kak Han Geng!!!” teriak para siswi di sebelahku.
”Permisi,” ujarku, berusaha menyeruak dari antara gerombolan itu. Akhirnya, tanganku berhasil mencapai pagar kawat pembatas lapangan atletik itu.
”Kak Han Geng!” teriakku padanya, berharap suaraku bisa didengarnya dari antara suara puluhan gadis lain yang juga meneriakkan namanya.
Tetapi cowok itu mendengarnya. Dadaku berdentum keras. Kak Han Geng lewat sambil memberikan senyuman manis ke arahku.
”Tidaaak!! Dia tersenyum ke arahku!!” seru seorang gadis,
”Salah, ke arahku tahu!!” tukas gadis lainnya tidak mau kalah.
”Kalian berdua aneh.” seru gadis lainnya. Ketika dua temannya menoleh, dengan memiringkan kepala sedikit, ia berujar dengan wajah serius, ”Kurasa, ia malah jatuh cinta padaku!!”
Kontan, kedua temannya berteriak, ”Bhhuuu....” bersamaan sambil mencubitinya kiri kanan. Senyuman geli tidak bisa kutahan dari wajahku.
Kak Han Geng berdiri di samping pelatih sambil melihat catatan waktunya. Ia menoleh sekilas, dan melambai padaku. Lagi-lagi para gadis menjerit gila-gilaan. Dari lambaian tangannya yang sepintas itu, aku tahu sebentar lagi latihannya selesai. Dan itu artinya, kami akan berkumpul di halaman belakang, seperti biasanya.
”Hei,” suara seorang cowok memanggilku.
“Hei, Kim Bum, aku juga punya nama tahu...” ujarku sambil mengernyitkan dahiku, kesal. “Coba kau eja namaku, So Eun...”
“Malas,” sahutnya angkuh. Ia menyampirkan tasnya yang berisi saksofon ke kursi tempat kami duduk. “Eh, Kak Han Geng masih lama tidak?”
Kim Bum adalah adik dari Han Geng. Dan seperti Kakaknya yang populer di antara siswi, demikian pula adiknya. Kami bertiga sudah bertetangga sejak kecil. Kegiatan pulang bersama semacam ini seolah sudah menjadi ritual kecil di antara kami.
Bicara soal bintang atletik? Sebut saja nama Han Geng, dan para gadis itu akan menjerit kesetanan. Bintangnya musik? Ucapkan nama Kim Bum dan para gadis akan meleleh karena senyumannya.
”Kurasa tidak begitu lama,” sahutku, berusaha tampak santai. Dan dugaanku tepat, sejurus kemudian, Kak Han Geng datang sambil menenteng sport bag-nya.
”Maaf ya, membuat kalian menunggu...” ujarnya sambil tersenyum ramah. ”Udaranya mulai dingin, kan?” dengan cepat, ia membuka jaketnya dan memakaikannya padaku.
”Wah, tidak usah, Kak...” seruku kaget, berusaha menolak.
”Jaketmu nggak bau keringat, ya?” tanya Kim Bum dengan nada mencela.
”Oooh... Bau ya?” Kak Han Geng menatap mataku langsung, membuat jantungku terasa mau melompat keluar.
”B-bukan, tidak bau kok!” seruku kaget. Malahan sangat harum. Wangi yang maskulin. Kurasa ia mengenakan jaketnya setelah membilas badan di ruang ganti. ”Maksudku, apa Kak sendiri tidak kedinginan?”
”Tidak, aku sih laki-laki, jadi aku lebih kuat...” suaranya terdengar menyenangkan. Rasanya sulit untuk tidak menyukai senyuman sehangat itu.
Kak Han Geng... sejak kecil, nama itu selalu memiliki tempat istimewa di hatiku. Aku menyukainya. Senyumannya, tatapan matanya, caranya memanggil namaku. Kapan ya, ia akan menyadari perasaanku?
─Han Geng, Seoul, 2009─
“Han Geng, cepat bangun, sudah pagi nih!” Mama membangunkanku sambil membuka tirai lebar-lebar.
”Oke,” jawabku. Lalu mendadak, rasa sakit yang hebat menyentak kepalaku. Kupejamkan mataku sesaat, berusaha meredakan rasa sakitnya dengan memijit keningku.
“Kau kenapa?” Mama menatapku khawatir. ”Pusing?”
”Mungkin gejala anemia ringan,” sahutku sambil tersenyum, berusaha meredakan kekhawatiran di wajah Mamaku.
”Mau ijin sekolah, hari ini?”
”Tidak perlu,” tukasku sambil buru-buru bangkit dan mengambil handukku. ”Aku ada test lari hari ini...”
”Berusahalah,” Mama menepuk bahuku lembut.
”Hari ini akan lahir seorang mega bintang!!” seru So Eun sambil tersenyum senang. Uap putih mengepul saat kami berbicara. Udara semakin dingin.
”Masih belum tahu, kan belum diketahui sampai test-nya dilakukan...” jawabku sambil tersenyum.
So Eun menatapku dengan matanya yang bulat besar. ”Aku pasti mendukungmu!!” ia mengepalkan tangan dan dengan bersemangat bicara sambil menatapku. ”Oh ya, ini jaketnya, terima kasih, Kak...” ia mengeluarkan jaket yang sepertinya sudah disterika rapi dari tasnya.
”Sebenarnya tidak perlu dikembalikan sekarang,” ujarku sambil memakainya. Gadis itu tersenyum senang, membuat denyut jantungku sepuluh kali lebih cepat.
”Aku tidak bisa membiarkan mega bintang atletik sakit hanya karena aku lupa mengembalikan jaketnya, dong...” sahutnya sambil tersenyum jahil.
Aku menyukai So Eun. Sejak pertama kali melihatnya, sejak pertama kali bicara dengannya. Aku menyukainya. Tetapi, sampai sekarang, aku tidak memiliki keberanian mengungkapkannya.
Mungkin nanti? Ya, tidak sekarang. Tentu saja tidak sekarang.
─Kim Bum, Seoul, 2009─
Dua sosok itu melupakanku begitu saja, pikirku sambil menatap Han Geng dan So Eun yang berjalan berdampingan di udara yang begitu dingin. Dan mereka terlihat sangat cocok. Sampai kapan sih dua orang itu akan bersikap tidak jujur pada perasaan mereka satu sama lain?
”Hei, kalian melupakan aku!!” seruku sambil berlari menyusul dan menubruk mereka. So Eun menatapku dengan kesal.
”Kau lama sekali sih, bangunnya!” ia menggerutu, namun masih terlihat manis.
”Aku main saksofon sampai malam...” jawabku enteng.
”Kelihatannya dia membuat lagu baru,” sahut Kak Han Geng santai.
”Begitulah,” jawabku asal.
“Kau membuat lagu baru?” mata bulat So Eun spontan berbinar kagum.
Ia terbiasa mendukung kami berdua. Saat melihat Han Geng berlari, ia akan ikut bersorak. Sementara saat mendengarku memainkan musik, ia akan tersenyum dan menunggu sampai tiba saatnya bertepuk tangan keras-keras.
”Belum selesai,” sahutku, berusaha meredakan rasa cemburu di dadaku.
Entah sudah berapa kali kuingatkan diriku untuk menyudahi perasaanku padanya, tetapi entah berapa kali pula aku gagal. Sampai detik ini. Padahal aku tahu dengan jelas, kalau mereka saling menyukai. Dan tidak ada tempat untukku di sana.
─Kim So Eun, Seoul, 2009─
Kak Han Geng meletakkan jarinya di tanah. Matanya menatap tajam ke depan. Wajahnya tampak sangat serius. Ia selalu terlihat serius saat berlari, dan kurasa, kalau matanya menatapku seperti itu, aku bisa meledak detik itu juga.
Perasaanku berdebar naik turun. Kalau lulus test kali ini, Han Geng akan dipilih untuk mewakili sekolah mengikuti lomba tingkat nasional.
”Prittttt!!!!!!!!!!!!!!”
Begitu peluit ditiup, cowok itu melesat dengan sempurna, seperti peluru. Dan nyaris semua anak perempuan menjerit gila-gilaan di sampingku. Jantungku berdentum, seolah memukul rongga dadaku.
Berusahalah! Rasanya setiap sel tubuhku menyuarakan dukungan untuknya.
Kemudian, insiden itu terjadi. Kak Han Geng tiba-tiba jatuh tersungkur. Bersamaan dengan itu, para gadis ikut menjerit tertahan melihat posisi jatuhnya yang begitu tiba-tiba.
Petugas P3K yang berdiri di pinggir lapangan langsung datang menyerbunya. ”Kak!!” suaraku terasa tertelan oleh rasa sesak di dadaku. ”Kak!!” seruku lebih kuat, tetapi gagal. Suaraku musnah diantara jeritan gadis-gadis lainnya.
Tiba-tiba sebuah tangan menarikku dengan kencang. “Apa yang terjadi?” Kim Bum menatapku dan wajah cemasnya menatap lapangan.
”Semuanya begitu cepat, dia tiba-tiba jatuh...” dengan tangan gemetar, aku berusaha mengingat setiap detik kejadian itu.
Kim Bum masih menatapku. ”Padahal awalnya kondisinya sangat prima. Ia melesat,” nafasku nyaris habis saat mengucapkannya. ”Seperti... peluru... dan kemudian... dia jatuh...”
Begitu kalimatku selesai, air mataku tumpah begitu saja. Kim Bum meraih bahuku dan memelukku.
”Padahal, ini adalah saat terbaiknya, dan tadi pagi... rasanya...” dadaku bertambah sesak seiring isakan tangisku. ”Rasanya semua baik-baik saja...”
”Masih ada kesempatan lain untuknya,” jawab Kim Bum, berusaha untuk menenangkanku. ”Sekarang, ayo kita temui dia...”
Masih banyak siswi yang berpelukan dan menangis di pinggir lapangan. Mereka nyaris sama kecewanya denganku. Idola mereka gagal secara mengenaskan. Rasanya dadaku sakit seperti disayat-sayat.
─Han Geng, Seoul, 2009─
”Kak, tidak apa-apa?” So Eun menyerbu masuk ketika kesadaranku mulai kembali. ”Ada yang sakit?”
”Tidak, tidak apa-apa kok...” sahutku, berusaha menyembunyikan kekecewaan besar di dadaku.
Air mata menggenang di matanya yang semula ceria. ”Apanya yang tidak apa-apa?” ia menggigit bibirnya dan menundukkan kepalanya. ”Padahal kau terjatuh begitu kerasnya tadi...”
”Kak, kau sakit?” Kim Bum memasuki ruangan dan menatapku tajam. ”Kau tidak pernah jatuh separah itu sebelumnya...”
”Tadi pagi aku agak sakit kepala,” jawabku. ”Mungkin karena anemia...” So Eun membalikkan badannya, berusaha menghapus air mata dari wajahnya.
”Mungkin masuk angin, gara-gara meminjamkan jaket padaku kemarin...” sahutnya dengan suara galau.
”Ya ampun, masa aku masuk angin? Sama sekali tidak. Aku hanya agak ceroboh. Mungkin tadi ada gundukan tanah dan aku tidak melihatnya...”
”Kau roboh,” ujar Kim Bum menyela. ”Kau tiba-tiba roboh di tengah kecepatan tinggi. Akibatnya, kau jatuh tersungkur...”
”Aku belum sarapan,” sahutku, berusaha mencari alasan lain.
So Eun terus menyalahkan dirinya, dan aku tidak menginginkan itu. Kim Bum menatapku dengan sorot mata yang mengatakan kalau aku tidak mungkin bisa menipunya.
”Aku tinggal kalian dulu. Aku mau membeli teh hangat. Kau mau, So Eun?” gadis itu menjawab dengan anggukan singkat.
Pintu tertutup dan suasana kembali hening. ”Kurasa aku gagal, ya...” suaraku terdengar tawar, bahkan di tenggorokanku sendiri.
”Kak...” So Eun menatapku dengan matanya, terlihat cemas.
”Maaf ya, So Eun, aku jadi mengecewakanmu...”
”Tidak kok, Kakak masih terlihat luar biasa di mataku...” dengan keras ia menggigit bibirnya, berusaha menahan air matanya.
”Dan terima kasih, karena menggantikanku menangis, So Eun...”
Kali ini So Eun maju dan memeluk kepalaku sampai bersender di bahunya. ”Aku tidak mau melihat wajah Kakak yang seperti itu!” bahunya bergerak naik turun seiring isakan tangisnya. ”Kakak kan juga manusia, tidak apa kalau sesekali menangis!”
”Padahal, aku berniat menyatakan perasaanku kalau aku terpilih...” kubenamkan kepalaku di bahunya. ”Dan aku gagal. Tidak bisa menyatakannya dengan keren...”
─Kim Bum, Seoul, 2009─
”Aku juga menyukai Kak Han Geng...” suara So Eun terdengar pilu dan sekaligus lirih. Pelan kutolehkan kepalaku, menatap ruangan UKS itu.
Kakakku yang biasanya terlihat kuat, hari ini tiba-tiba jatuh dan roboh. Aku tahu, sebagai laki-laki harga dirinya sangat terluka. Ia gagal menunjukkan kemampuannya di hadapan gadis yang disukainya.
Kemudian mereka berciuman. Aku tidak mau melihatnya. Mendengarkan pernyataan cinta mereka saja, hatiku sudah hancur. Kulangkahkan kakiku ke mesin minuman terdekat, dan membeli tiga kaleng teh panas.
Sambil berjalan kembali ke ruangan itu, sebagian hatiku cemburu dan sebagian lagi bersyukur. Akhirnya mereka berdua bisa bersama, itu bagus. Tetapi, bagaimana denganku? Semuanya tidak akan sama lagi mulai sekarang. Tidak ada tempatku di tengah mereka.
”Sorry kalau lama,” kusodorkan minuman itu ke tangan mereka. ”Jadi, ceritanya kalian sudah jadian, nih?” tanyaku sambil tersenyum menggoda.
Otomatis mereka berdua kelihatan salah tingkah. Wajah So Eun memerah sampai ke telinga.
“Tenang, aku sih tidak apa-apa...” jawabku, berusaha menekan perasaanku sendiri. “Malah dari dulu aku gregetan sendiri melihat kalian berdua seperti itu…” kupaksakan sebuah tawa ceria keluar dari bibirku.
“Thanks ya,” ujar Kak Han Geng dengan senyuman tulus. Di matanya sama sekali tidak ada rasa curiga padaku.
So Eun menatapku dengan wajah merah. ”Terima kasih, Kim Bum...” ujarnya terbata-bata.
Dengan susah payah, kutahan nafasku sebelum membalas senyuman mereka.. Aku harus menghapus perasaan ini, sebelum terlambat.
To Be Continued......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar