Sing out loud, love Side Story 4
May 1, 2012 at 8:58am
Sing out loud, love
Side Story 4
Cast:
Park Hae Bin
Max Chang Min
—Hae Bin, Februari 2012, SM Entertainment—
Sudah lebih dari setengah tahun sejak pernikahan antara Lee-ah dan Hyun-joong terjadi. Semenjak hari itu, Jae-shi yang tidak pernah berhenti berkarir sebagai penyanyi semakin terkenal dan sibuk.
“Pernikahan Nona Ha-na akan diadakan pada hari Valentine. Jadi, pada hari itu kita tidak bisa kencan…” Chang-min melihat agendanya sambil berpikir. “Bagaimana kalau sebelumnya?”
“Jae-shi ada pertunjukan. Show yang dilaksanakan hari itu akan diputar waktu Valentine nanti… Jadi, tidak bisa…” ucapku sambil menggeleng. “Bagaimana kalau tanggal sesudahnya? Hari itu jadwal Jae-shi juga kosong…”
“Jadwalku padat hari itu…” sesal Chang-min. “Ada wawancara dimana-mana. Intinya mereka mau tahu bagaimana DBSK menghabiskan hari valentine mereka…”
“Ohh…” aku berusaha memahami kesibukan Chang-min seperti ia juga memahami kesibukanku. Akhir-akhir ini kami berdua sama-sama sibuk sampai-sampai untuk mendapatkan waktu kencan sehari saja susahnya bukan main.
“Bagaimana kalau… tanggal ulangtahunmu saja?” tanyaku sambil tersenyum. Ulangtahun Chang-min adalah pada tanggal 18 Februari. Wajahnya mencerah ketika mendengarku masih mengingat tanggal ulangtahunnya.
“Aku senang kau mengingatnya. Tapi, kurasa tidak bisa…” Chang-min menunduk lagi. “Biasanya ulangtahun dirayakan bersama para fans. Kau tahu, kami selalu berusaha untuk tidak mengecewakan mereka…”
“Kau benar…” aku bodoh sekali bisa melupakan hal itu.
“Biar bagaimana pun, aku hanya dapat libur waktu tanggal 13...” ucap Chang-min sambil menatap langit-langit kantor. Aku ikut mendesah bersamanya.
“Hari itu jadwal Jae-shi padat…” jawabku.
“Kalian membicarakan apa? Membicarakanku?” tanya sebuah suara tiba-tiba. Jae-shi muncul di depan kami dengan sekotak kue kering hadiah dari para fans.
“Tidak…” jawabku dan Chang-min hampir bersamaan. Bodohnya, kami menjawab terlalu cepat. Jae-shi menyunggingkan senyuman—aku tidak percaya—pada kami.
“Tenang saja, Yoo-chun sudah berjanji akan menemaniku hari itu…” Jae-shi meletakkan kotak kue keringnya di pangkuanku. “Dan kakakku akan datang bersama Kak Hyun-joong. Kau tidak perlu menghawatirkanku, aku bisa kok.”
“T-tapi…” Aku hendak menyanggah dengan mengatakan bahwa sudah menjadi tugasku untuk selalu menemaninya.
“Kalian bersenang-senang saja. Chang-min kan jarang mendapat hari libur. Sayang sekali kalau tidak dimanfaatkan.”
“T-tapi…” Chang-min masih berusaha memanggil Jae-shi, “Sungguh, bukan begitu…”
“Tenang saja sunbae…” Jae-shi menepuk pundak Chang-min dengan gembira. “Akan kurahasiakan!” matanya bahkan terlihat berbinar saat mengucapkannya. “ Nah, selamat menikmati!” Jae-shi melambai ringan dan pergi meninggalkan kami yang masih duduk melongo.
“Apa maksud ucapan selamat menikmati darinya itu?” tanya Chang-min.
“Kuenya, mungkin…” ucapku. “Atau… menikmati… kencan kita?”
Wajah kami berdua sama-sama memerah mendengar ucapanku. Terima kasih, Jae-shi. Aku akan berusaha menikmati kencan ini dengan baik! Dan berikutnya, akan kucarikan sponsor yang lebih baik untukmu!
—Max Chang Min, 13 Februari 2012, SM Entertainment—
“Hai!” Aku setengah berlari mulai menghampiri gadisku, Hae-bin yang berdiri menunggu di depan tiang putih besar. Tempat janjian yang paling mudah untuk kami memang gedung ini.
“Enaknya kemana ya?” tanyaku sambil menggandeng tangannya keluar gedung.
“Eh… kemana ya…”
Melihat Hae-bin memasang wajah sangat serius saat berpikir, tanpa sadar aku juga ikut berpikir bersamanya. Kami sama-sama terdiam karena baru menyadari kalau kami berdua memang jarang sekali mendapat kesempatan untuk kencan berdua.
“Oh!” Tiba-tiba sebuah ide tercetus di kepalaku. “Makan saja dulu!” seruku.
“I-ide bagus!” Hae-bin menyahut dengan antusias sekaligus gugup.
Kami terbiasa menghabiskan waktu bersama. Tapi, jarang sekali kami benar-benar bisa berduaan seperti hari ini. Untuk waktu yang lama pula. Sebagian besar waktu kami dihabiskan di kantor. Jadi, kadang-kadang kami hanya bisa mengobrol bersama, bertemu sebentar di sela-sela kesibukan, atau sama-sama melempar lirikan saat Jae-shi sedang ada acara gabungan dengan DBSK.
“Bagaimana kalau kita ke Seoul Tower?” Aku masih mengunyah jajangmyung milikku ketika mendengar Hae-bin menatapku sambil tersenyum. “Tidak suka tempat itu?”
“Tidak… tidak masalah sebenarnya…” jawabku sambil tersenyum. Di manapun, asalkan bersamanya, akan terasa menyenangkan.
“Bagaimana kalau kita juga membeli dulu hadiah untuk pernikahan Nona Ha-na?”
“Ah, benar juga…”
Aku membalas senyuman riang Hae-bin. Gadisku memang pintar. Itulah mengapa aku sangat menghargai sekaligus menghormatinya.
—Park Hae-bin, 13 Februari 2012,Seoul Street—
“Yang ini lebih bagus bukan?”
Saat ini kami sedang memilih satu set peralatan makan yang terdiri dari piring, cangkir, poci, dan gelas bertema sama.
“Aku lebih suka warna biru laut ini…” ucapku sambil berpikir. Tapi sebenarnya bentuk yang dipilih Chang-min lebih elegan dan menunjukkan kelasnya. “Tapi yang itu bentuknya bagus…”
“Pilih saja sambil tutup mata…” usulnya sambil mengulum senyum.
“Tidak, tidak. Karena dua lawan satu, kita pilih yang ada di tanganmu saja. Bagaimana?” Chang-min mengangguk yakin padaku.
“Sayang sekali kau tidak mau menutup matamu tadi…” guraunya sambil membayar di kasir. Aku menatap Chang-min dengan tatapan heran. Chang-min tertawa sambil mengibaskan tangannya, tampak malu-malu. “Aku bermaksud mencium pipimu saat kau menutup matamu…”
Wajahku serasa memerah sampai leher mendengarnya. Chang-min memalingkan wajahnya ke samping. Telinganya juga memerah. “Karena itu tadi aku ragu-ragu mau mengatakannya…”
“Sekarang kemana?” tanya Chang-min sambil menggandeng tanganku. Seorang gadis yang berjalan terburu-buru tanpa melihat ke depan tidak sengaja menabraknya. Chang-min membungkuk untuk mengambil kaca matanya yang terjatuh ketika gadis itu berulang kali meminta maaf dan menundukkan kepalanya.
“Aku minta maaf sekali… astaga… kau…”
Aku langsung melepaskan gandengan tanganku dari tangan Chang-min. Ucapan tidak apa-apa yang mau diucapkan Chang-min juga langsung menghilang ketika gadis itu tiba-tiba berseru keras dengan gaya heboh.
“Astaga!! Astaga! Chang-min oppa!!!” serunya sambil berjingkrakan di tempatnya berdiri. “Bo-bolehkan aku minta foto bersamamu?”
Aku langsung menghilang dan bersembunyi ketika Chang-min menatapku sekilas dan memberikan isyarat padaku.
Dalam sekejap, Chang-min sudah dikerbungi para fansnya—begitu banyak gadis-gadis entah darimana—berkumpul mengelilinginya. Berfoto, meminta tandatangan, meminta salaman, semua seolah tidak ada habisnya.
Sambil menghela nafas, aku hanya bisa menatap sosoknya. Habislah, kencan kami memang sudah berantakan sekarang.
—Max Chang Min, 13 Februari 2012, Seoul Tower—
Nafasku hampir putus ketika berusaha keras berlari meninggalkan para fansku. Jumlah mereka semakin tidak terkontrol. Oleh karena itu, kurasa sudah saatnya aku kabur dari sana.
Hae-bin tidak kutemukan di tempat yang kuisyaratkan padanya. Aku memintanya menunggu di toko tempat kami makan mie tadi. Mungkin ia tidak sempat melihat isyaratku karena keadaan benar-benar kacau tadi.
Kakiku mengitari department store tempat kami membeli seperangkat peralatan makan. Tidak ada juga tanda keberadaannya di sana.
“Halo? Jae-shi?” Mungkin kedengerananya bodoh, tapi kuharap Jae-shi tahu—atau setidaknya punya ide—di mana aku bisa menemukan Hae-bin. “Apa show nya sudah selesai? Sudah? Oooh… kau bersama Yoo-chun sekarang? Ah, sebenarnya aku mau bertanya tentang Hae-bin… Tidak melihatnya? Dia tidak menelepon? Baiklah, nanti kalau dia menelepon tolong hubungi aku. Bertengkar? Tidak… kami tidak bertengkar. Semuanya kacau karena tidak sengaja penyamaranku terbongkar dan kami jadi terpisah… Ya, baiklah…”
Jae-shi juga tidak melihat Hae-bin. Jadi, di mana lagi aku harus mencari?
—Park Hae-bin, 13 Februari 2012,Seoul Tower—
“Sepertinya memang mustahil…” keluhku sambil menatap gembok di tanganku. “Kalau tidak sepasang, tidak bisa…”
Seoul Tower. Di menara ini aku bisa melihat ada begitu banyak gembok dipasang di sini. Semuanya sepasang. Kutatap gembok yang kubeli berdua dengan Chang-min tadi, sebelum kami membeli perabotan makan.
Chang-min menyuruhku menunggu di toko mie tadi. Tapi, aku sudah tidak berselera melanjutkan kencan kami. Tidak sengaja setitik air mata jatuh ke gembok di tanganku. Dasar bodoh, untuk apa menangis?
“Karena tidak ada pasangannya, gembok yang itu jadi menangis sedih, kan?” ucap sebuah suara.
Aku mengangkat wajahku dan menutup mulut dengan tangan, terkejut setengah mati melihat Chang-min berdiri dengan nafas putus-putus dan wajah pucat berkeringat di depanku.
“Sudah kuduga kau memang di sini…” ujarnya sambil menarik tanganku.
“KAu… ingat ya…”
“Aku ingat semuanya…” ucap Chang-min. ia membantuku memasangkan gembok itu dan melemparkan kuncinya jauh-jauh. Di gembok itu, dengan spidol permanen, Chang-min menuliskan tiga kata. Selamanya sampai mati. Aku tidak tahan untuk melompat dan memeluknya.
“Besok…” Ia berbisik di telingaku. “Akan kubantu kau merebut buket bunga milik Nona Ha-na…” Sambil tersenyum ia menambahkan. “Supaya aku bisa mendahului Yoo-chun dan menikahimu…”
“Tapi… bukankah buket itu milik Jae-shi…” Ucapanku terputus ketika Chang-min memeluk pingganggku dan menciumku lembut.
“Jae-shi bisa menunggu. Karirnya masih panjang. Dia juga masih muda. Kau dan aku? Kita sudah terlalu lama menunggu…”
Chang-min menciumku lagi. Sambil tersenyum, aku menarik lehernya mendekat. “Jadi, hanya itu yang kau ucapkan untuk melamarku?”
“Ada versi lengkapnya…” ujarnya sambil tersenyum manis. “Tapi supaya lebih mendebarkan, tunggulah sampai hari H-nya tiba…”
-tamat-
Side Story 4
Cast:
Park Hae Bin
Max Chang Min
—Hae Bin, Februari 2012, SM Entertainment—
Sudah lebih dari setengah tahun sejak pernikahan antara Lee-ah dan Hyun-joong terjadi. Semenjak hari itu, Jae-shi yang tidak pernah berhenti berkarir sebagai penyanyi semakin terkenal dan sibuk.
“Pernikahan Nona Ha-na akan diadakan pada hari Valentine. Jadi, pada hari itu kita tidak bisa kencan…” Chang-min melihat agendanya sambil berpikir. “Bagaimana kalau sebelumnya?”
“Jae-shi ada pertunjukan. Show yang dilaksanakan hari itu akan diputar waktu Valentine nanti… Jadi, tidak bisa…” ucapku sambil menggeleng. “Bagaimana kalau tanggal sesudahnya? Hari itu jadwal Jae-shi juga kosong…”
“Jadwalku padat hari itu…” sesal Chang-min. “Ada wawancara dimana-mana. Intinya mereka mau tahu bagaimana DBSK menghabiskan hari valentine mereka…”
“Ohh…” aku berusaha memahami kesibukan Chang-min seperti ia juga memahami kesibukanku. Akhir-akhir ini kami berdua sama-sama sibuk sampai-sampai untuk mendapatkan waktu kencan sehari saja susahnya bukan main.
“Bagaimana kalau… tanggal ulangtahunmu saja?” tanyaku sambil tersenyum. Ulangtahun Chang-min adalah pada tanggal 18 Februari. Wajahnya mencerah ketika mendengarku masih mengingat tanggal ulangtahunnya.
“Aku senang kau mengingatnya. Tapi, kurasa tidak bisa…” Chang-min menunduk lagi. “Biasanya ulangtahun dirayakan bersama para fans. Kau tahu, kami selalu berusaha untuk tidak mengecewakan mereka…”
“Kau benar…” aku bodoh sekali bisa melupakan hal itu.
“Biar bagaimana pun, aku hanya dapat libur waktu tanggal 13...” ucap Chang-min sambil menatap langit-langit kantor. Aku ikut mendesah bersamanya.
“Hari itu jadwal Jae-shi padat…” jawabku.
“Kalian membicarakan apa? Membicarakanku?” tanya sebuah suara tiba-tiba. Jae-shi muncul di depan kami dengan sekotak kue kering hadiah dari para fans.
“Tidak…” jawabku dan Chang-min hampir bersamaan. Bodohnya, kami menjawab terlalu cepat. Jae-shi menyunggingkan senyuman—aku tidak percaya—pada kami.
“Tenang saja, Yoo-chun sudah berjanji akan menemaniku hari itu…” Jae-shi meletakkan kotak kue keringnya di pangkuanku. “Dan kakakku akan datang bersama Kak Hyun-joong. Kau tidak perlu menghawatirkanku, aku bisa kok.”
“T-tapi…” Aku hendak menyanggah dengan mengatakan bahwa sudah menjadi tugasku untuk selalu menemaninya.
“Kalian bersenang-senang saja. Chang-min kan jarang mendapat hari libur. Sayang sekali kalau tidak dimanfaatkan.”
“T-tapi…” Chang-min masih berusaha memanggil Jae-shi, “Sungguh, bukan begitu…”
“Tenang saja sunbae…” Jae-shi menepuk pundak Chang-min dengan gembira. “Akan kurahasiakan!” matanya bahkan terlihat berbinar saat mengucapkannya. “ Nah, selamat menikmati!” Jae-shi melambai ringan dan pergi meninggalkan kami yang masih duduk melongo.
“Apa maksud ucapan selamat menikmati darinya itu?” tanya Chang-min.
“Kuenya, mungkin…” ucapku. “Atau… menikmati… kencan kita?”
Wajah kami berdua sama-sama memerah mendengar ucapanku. Terima kasih, Jae-shi. Aku akan berusaha menikmati kencan ini dengan baik! Dan berikutnya, akan kucarikan sponsor yang lebih baik untukmu!
—Max Chang Min, 13 Februari 2012, SM Entertainment—
“Hai!” Aku setengah berlari mulai menghampiri gadisku, Hae-bin yang berdiri menunggu di depan tiang putih besar. Tempat janjian yang paling mudah untuk kami memang gedung ini.
“Enaknya kemana ya?” tanyaku sambil menggandeng tangannya keluar gedung.
“Eh… kemana ya…”
Melihat Hae-bin memasang wajah sangat serius saat berpikir, tanpa sadar aku juga ikut berpikir bersamanya. Kami sama-sama terdiam karena baru menyadari kalau kami berdua memang jarang sekali mendapat kesempatan untuk kencan berdua.
“Oh!” Tiba-tiba sebuah ide tercetus di kepalaku. “Makan saja dulu!” seruku.
“I-ide bagus!” Hae-bin menyahut dengan antusias sekaligus gugup.
Kami terbiasa menghabiskan waktu bersama. Tapi, jarang sekali kami benar-benar bisa berduaan seperti hari ini. Untuk waktu yang lama pula. Sebagian besar waktu kami dihabiskan di kantor. Jadi, kadang-kadang kami hanya bisa mengobrol bersama, bertemu sebentar di sela-sela kesibukan, atau sama-sama melempar lirikan saat Jae-shi sedang ada acara gabungan dengan DBSK.
“Bagaimana kalau kita ke Seoul Tower?” Aku masih mengunyah jajangmyung milikku ketika mendengar Hae-bin menatapku sambil tersenyum. “Tidak suka tempat itu?”
“Tidak… tidak masalah sebenarnya…” jawabku sambil tersenyum. Di manapun, asalkan bersamanya, akan terasa menyenangkan.
“Bagaimana kalau kita juga membeli dulu hadiah untuk pernikahan Nona Ha-na?”
“Ah, benar juga…”
Aku membalas senyuman riang Hae-bin. Gadisku memang pintar. Itulah mengapa aku sangat menghargai sekaligus menghormatinya.
—Park Hae-bin, 13 Februari 2012,Seoul Street—
“Yang ini lebih bagus bukan?”
Saat ini kami sedang memilih satu set peralatan makan yang terdiri dari piring, cangkir, poci, dan gelas bertema sama.
“Aku lebih suka warna biru laut ini…” ucapku sambil berpikir. Tapi sebenarnya bentuk yang dipilih Chang-min lebih elegan dan menunjukkan kelasnya. “Tapi yang itu bentuknya bagus…”
“Pilih saja sambil tutup mata…” usulnya sambil mengulum senyum.
“Tidak, tidak. Karena dua lawan satu, kita pilih yang ada di tanganmu saja. Bagaimana?” Chang-min mengangguk yakin padaku.
“Sayang sekali kau tidak mau menutup matamu tadi…” guraunya sambil membayar di kasir. Aku menatap Chang-min dengan tatapan heran. Chang-min tertawa sambil mengibaskan tangannya, tampak malu-malu. “Aku bermaksud mencium pipimu saat kau menutup matamu…”
Wajahku serasa memerah sampai leher mendengarnya. Chang-min memalingkan wajahnya ke samping. Telinganya juga memerah. “Karena itu tadi aku ragu-ragu mau mengatakannya…”
“Sekarang kemana?” tanya Chang-min sambil menggandeng tanganku. Seorang gadis yang berjalan terburu-buru tanpa melihat ke depan tidak sengaja menabraknya. Chang-min membungkuk untuk mengambil kaca matanya yang terjatuh ketika gadis itu berulang kali meminta maaf dan menundukkan kepalanya.
“Aku minta maaf sekali… astaga… kau…”
Aku langsung melepaskan gandengan tanganku dari tangan Chang-min. Ucapan tidak apa-apa yang mau diucapkan Chang-min juga langsung menghilang ketika gadis itu tiba-tiba berseru keras dengan gaya heboh.
“Astaga!! Astaga! Chang-min oppa!!!” serunya sambil berjingkrakan di tempatnya berdiri. “Bo-bolehkan aku minta foto bersamamu?”
Aku langsung menghilang dan bersembunyi ketika Chang-min menatapku sekilas dan memberikan isyarat padaku.
Dalam sekejap, Chang-min sudah dikerbungi para fansnya—begitu banyak gadis-gadis entah darimana—berkumpul mengelilinginya. Berfoto, meminta tandatangan, meminta salaman, semua seolah tidak ada habisnya.
Sambil menghela nafas, aku hanya bisa menatap sosoknya. Habislah, kencan kami memang sudah berantakan sekarang.
—Max Chang Min, 13 Februari 2012, Seoul Tower—
Nafasku hampir putus ketika berusaha keras berlari meninggalkan para fansku. Jumlah mereka semakin tidak terkontrol. Oleh karena itu, kurasa sudah saatnya aku kabur dari sana.
Hae-bin tidak kutemukan di tempat yang kuisyaratkan padanya. Aku memintanya menunggu di toko tempat kami makan mie tadi. Mungkin ia tidak sempat melihat isyaratku karena keadaan benar-benar kacau tadi.
Kakiku mengitari department store tempat kami membeli seperangkat peralatan makan. Tidak ada juga tanda keberadaannya di sana.
“Halo? Jae-shi?” Mungkin kedengerananya bodoh, tapi kuharap Jae-shi tahu—atau setidaknya punya ide—di mana aku bisa menemukan Hae-bin. “Apa show nya sudah selesai? Sudah? Oooh… kau bersama Yoo-chun sekarang? Ah, sebenarnya aku mau bertanya tentang Hae-bin… Tidak melihatnya? Dia tidak menelepon? Baiklah, nanti kalau dia menelepon tolong hubungi aku. Bertengkar? Tidak… kami tidak bertengkar. Semuanya kacau karena tidak sengaja penyamaranku terbongkar dan kami jadi terpisah… Ya, baiklah…”
Jae-shi juga tidak melihat Hae-bin. Jadi, di mana lagi aku harus mencari?
—Park Hae-bin, 13 Februari 2012,Seoul Tower—
“Sepertinya memang mustahil…” keluhku sambil menatap gembok di tanganku. “Kalau tidak sepasang, tidak bisa…”
Seoul Tower. Di menara ini aku bisa melihat ada begitu banyak gembok dipasang di sini. Semuanya sepasang. Kutatap gembok yang kubeli berdua dengan Chang-min tadi, sebelum kami membeli perabotan makan.
Chang-min menyuruhku menunggu di toko mie tadi. Tapi, aku sudah tidak berselera melanjutkan kencan kami. Tidak sengaja setitik air mata jatuh ke gembok di tanganku. Dasar bodoh, untuk apa menangis?
“Karena tidak ada pasangannya, gembok yang itu jadi menangis sedih, kan?” ucap sebuah suara.
Aku mengangkat wajahku dan menutup mulut dengan tangan, terkejut setengah mati melihat Chang-min berdiri dengan nafas putus-putus dan wajah pucat berkeringat di depanku.
“Sudah kuduga kau memang di sini…” ujarnya sambil menarik tanganku.
“KAu… ingat ya…”
“Aku ingat semuanya…” ucap Chang-min. ia membantuku memasangkan gembok itu dan melemparkan kuncinya jauh-jauh. Di gembok itu, dengan spidol permanen, Chang-min menuliskan tiga kata. Selamanya sampai mati. Aku tidak tahan untuk melompat dan memeluknya.
“Besok…” Ia berbisik di telingaku. “Akan kubantu kau merebut buket bunga milik Nona Ha-na…” Sambil tersenyum ia menambahkan. “Supaya aku bisa mendahului Yoo-chun dan menikahimu…”
“Tapi… bukankah buket itu milik Jae-shi…” Ucapanku terputus ketika Chang-min memeluk pingganggku dan menciumku lembut.
“Jae-shi bisa menunggu. Karirnya masih panjang. Dia juga masih muda. Kau dan aku? Kita sudah terlalu lama menunggu…”
Chang-min menciumku lagi. Sambil tersenyum, aku menarik lehernya mendekat. “Jadi, hanya itu yang kau ucapkan untuk melamarku?”
“Ada versi lengkapnya…” ujarnya sambil tersenyum manis. “Tapi supaya lebih mendebarkan, tunggulah sampai hari H-nya tiba…”
-tamat-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar