TRY MY LOVE 15
June 24, 2011 at 4:44pm
TRY MY LOVEChapter 15
Cast:
Author (Jesica) as Park Jae Shi
Han Geng as himself
Wei Li Zhi as herself
Ji Ro Wang
Kim Ri Na
Dennies Oh
Shi Won, Sung Min, Hee Chul, Ki Bum
―Park Jae Shi, Parks family’s house, 2010 ―
“Pagi…” Kak Dennies menuangkan air panas ke dalam mugnya. Dalam sekejap, ruangan dipenuhi aroma kental kopi panas.
“Kopi Blue mountain,” tebakku, tersenyum. Hanya kopi jenis itu yang selalu diminum Kak Dennies setiap harinya.
“Kau masih mengingatnya…” binar matanya tampak senang saat menatapku. “Dan ini cokelat panasnya…”
“Terimakasih…” ujarku, menerima mug itu di tanganku. Tapi, tangan Kak Dennies tidak beranjak dari tanganku. Tangannya masih di sana, menyentuh tanganku dan menggenggamnya.
“Maaf…” ujarnya, tampak merasa tidak nyaman saat kutarik tanganku cepat. “Terlalu cepat?”
“Bukan begitu… hanya saja… setelah semuanya… Aku tidak bisa berubah secepat itu. biar bagaimana pun, yang ada di antara kita kan sudah selesai…” rasanya kepalaku tidak bisa kuangkat. Mataku terus menatap mug yang berada di genggamanku.
“Bagaimana kalau menurutku belum? Aku belum menyerah…”
Kurasakan panas di wajahku. “Aku tidak mau membicarakan ini sekarang…” pintaku. “Maaf…”
“Selamat makan kalau begitu…” ia mengedipkan sebelah matanya dan mengunyah rotinya.
Aku berusaha tersenyum. Kak Dennies membalas senyumanku dengan tulus. Tapi aku tetap tidak bisa menghilangkan perasaan jengah di dadaku… Apa yang kukunyah tidak bisa kurasakan.
Hari-hari yang sama. Hari-hari saat aku menyukainya. Hari-hari saat kami berdua begitu dekat. Kak Dennies berjuang untuk mengembalikanku ke hari itu. Ketika kebersamaan dengannya saja sudah membuatku begitu bahagia. Ketika belum ada Han Geng…
“Apa tidak enak?”
“Eh, apa?” tanyaku, terkejut.
“Itu…” ia menunjuk piring berisi roti panggang yang tadi dibuatnya. “Apa tidak enak? Wajahmu muram sekali…”
“Ah, bukan begitu…” tawaku, berusaha menghilangkan ekspresi itu dari wajahku. Kugigir sepotong besar dan kuacungkan jempolku. “Masih nomor satu!” pujiku, disambut tawanya yang hangat.
Dia pasti tahu, pikirku. Dia tahu aku memikirkan siapa tadi.
―Park Jae Shi, Seoul University, 2010―
“Selamat pagi…” sapa Li Zhi riang. Ia menarik kursinya ke mejaku dan mengerling jahil. “Jadi, ada peristiwa apa kemarin?”
“Tidak ada yang istimewa…” elakku.
“Tidak ada? Bahkan dengan Kak Dennies?” tanyanya.
“Apa maksudmu?” pikirku tiba-tiba. “Astaga! Kau dan Kak Dennies bicara apa di belakangku?”
“Tidak ada…” ia cepat-cepat berdiri dan tersenyum. “Dosen kita sudah datang!” serunya, buru-buru mendorong kursinya ke tempat semula. Singkat kata, ia kabur dariku.
“Kau tidak bisa kabur lagi…” ujarku sambil meletakkan tangan di mejanya dan menatapnya langsung. “Ayo jelaskan sekarang…”
“Tanya sama Kak Dennies aja…” ia meringis kecil. “Aku tidak pandai bicara…”
“Jadi benar, kalian ada membicarakan sesuatu di belakangku. Apa itu?” tanyaku, menuntut penjelasan darinya.
“Ngng…” Li Zhi memilin jarinya dengan bingung. “Dia hanya mencemaskanmu kok… Kau tahu, dia masih menyukaimu…” Li Zhi menatapku dan berseru kecil. “Astaga, wajahmu kenapa semerah itu?”
Rasanya tidak nyaman mengingat apa yang terjadi semalam. Ia memelukku. Dan kalimatnya saat itu… “Kalau pria itu gagal membahagiakanmu… kau jangan melupakanku…” astaga….
“Tidak ada apa-apa…”
“Tidak apa juga sih tidak mau cerita…” Li Zhi tertawa kecil ketika melihatku menutup pipiku yang terasa panas. “Aku juga bisa menebaknya…”
―Wei Li Zhi, Seoul University, 2010―
“Jae Shi!” panggil seseorang dari pintu kelas kami. Aku dan Jae Shi menoleh ke asal suara tersebut. Han Geng berdiri di sana, mengenakan kacamata hitam. Dan dalam sekejap, jeritan histeris terdengar di mana-mana.
“Astaga! Bukankah dia Han Geng dari Super Junior?”
“Dia memanggil Jae Shi? Aigooo… ada apa ini?”
“A-aku mau pulang…” ujar Jae Shi, terbata-bata. Ia meyambar tasnya dan menyampirkannya di pundak. Kakinya melangkah menuju pintu kelas dan ia melewati Han Geng begitu saja.
“Hei, kenapa diam saja? Tidak mengejarnya?” tanyaku pada Han Geng yang menatap Jae Shi dengan bingung.
“Dia belum mau bicara denganku?”
“Mana mau! Kalau jadi dia juga aku tidak mau!”
Han Geng berlari menyusul Jae Shi dan menangkap lengannya. Sung Min berdiri di belakangku, tampak sibuk memberikan tanda tangan dan foto bersama beberapa mahasiswi. Tidak jauh dari Sung Min ada Shi Won, Hee Chul, Shin dong, dan Ki Bum. Astaga. Mau apa anak-anak super junior ini?
“Kalian datang ke sini? Untuk apa?”
“Mensupport Han Geng…” jawab Hee Chul. Ia masih memberikan senyuman superstarnya. “Jangan sentuh rambutku… Iya, aku cinta kalian…” ia tersenyum dan mulai berfoto bersama fans lagi.
“Aku tidak mengerti… Kalian datang untuk mendukungnya. Kenapa tidak membantunya mengejar Jae Shi?” tanyaku.
Ki Bum tersenyum sambil berdehem, “Tugas kami adalah mendukungnya saat gadis itu sudah mau berdiri di sampingnya…”
Apa maksudnya? “Hah? Maksudnya?” Ki Bum hanya tersenyum, menolak memberikan clue lainnya. “Jadi, bagaimana peristiwa kemarin itu sebenarnya?”
“Oh, aku bisa menjelaskan…” Shi Won mengangkat wajah dan menatapku. “Sebentar…” ia menggoreskan pena lagi dan kemudian menyalami beberapa fans lagi. Sebentar? Kuharap tidak terlalu lama.
―Han Geng, Seoul University, 2010―
“Kau tidak mau mendengar penjelasanku?” tangannya yang berada dalam genggamanku terasa dingin. Sedingin tatapannya.
“Aku… sudah cukup melihat waktu itu…”
“Kau tidak percaya padaku?” ia menatapku. Kali ini ekspresinya tampak terluka. “Aku merindukanmu…” ujarku.
“Dan kau sengaja datang dengan semua kehebohan ini?” Jae Shi menghembuskan nafasnya, merasa tidak nyaman. “Aku tidak bisa bicara dengan tenang kalau semua orang memandang kita seperti ini. Dunia kita berbeda, Han Geng… Aku tidak terbiasa dengan popularitas…”
“Karena itu kau memilih Kak Dennies?”
Jae Shi menatapku dengan wajah tercengang. “Apa yang kau katakan? Dari mana kau tahu dia pulang?”
“Jadi, apakah itu benar?”
“Kau juga tidak percaya padaku…” tukas Jae Shi, memandang tajam ke arahku. “Kita belum putus baik-baik dan kau sudah mengklaim bahwa aku memilih Kak Dennies? Apa kau juga tidak mengenaliku?”
Astaga. Apa aku salah bicara?
“Dia… mengirimkan sms padaku, mengatakan kalau kau miliknya. Aku cemburu Jae Shi. Dan kau tidak mau bicara denganku. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan…”
“Baiklah, ayo kita bicara…” tukas Jae Shi sambil menghela nafasnya. “Tapi tidak di sini…”
“Di mobilku saja…” ujarku. Rasanya begitu lega melihat kepalanya mengangguk setuju. Akhirnya, akhirnya…. ia mau bicara denganku.
“Ri Na itu… waktu itu dia memintaku menatapnya….” ujarku, mencoba mengingat kejadian hari itu.
---------------------------------------
“Han Geng…tatap aku…” Sesaat, suaranya terdengar seperti suara Jae Shi. Aku menoleh untuk menatapnya, dan di wajahnya, terdapat sorot mata yang begitu sedih. Dan kesepian…
“Aku menyukaimu…” ujarnya, berbisik lirih, dan mulai mencengkeram lengan bajuku.
“Maaf,” tukasku. Keadaan ini mulai berbahaya. Jadi, kuputuskan untuk membalikkan badanku. Pada saat itu, tangannya belum melepaskan tanganku. Akibatnya, ia tergelincir dan hampir jatuh.
“Kyaaa!”
“Aduh… Kau tidak apa-apa?” tanyaku, membantu menahan tubuhnya di pinggang. “Ehem…” kucoba berdehem untuk menghilangkan situasi yang mulai terasa janggal ini. Tetapi, gadis itu masih menatap mataku dalam-dalam, masih mencengkeram bajuku.
“Bantu aku berdiri…” ia tersenyum kasual sambil memandangku. Perasaanku tidak nyaman karena merasakan tangannya bergelayut di leherku. “Terima kasih…” ia tersenyum, lalu dalam satu gerakan cepat, menarik leherku.
---------------------------------------
“Saat itulah kau masuk dan melihatnya…”
Jae Shi terdiam namun masih menatap ekspresiku. Rasanya ia masih mencoba menilai kejujuranku.
“Kau tidak bisa membiarkannya, bukan?” ujarnya, menyentuh kepalanya dan memijit pelipisnya pelan. “Semua pria di dunia ini tidak tega pada gadis cantik…”
“Maaf… Tidak akan ada hal semacam ini lain kali. Aku janji…” kutarik tangannya pelan. Tetapi Jae Shi menolak untuk bersender di bahuku.
“Kau tidak ada di sampingku… Dan Kak Dennies tiba-tiba datang. Aku bingung. Aku… aku tidak yakin pada diriku sendiri…”
“Aku tidak mau putus denganmu…” seruku, kaget dengan suaraku sendiri.
“Apa aku masih bisa mempercayaimu?” Tanya Jae Shi, tampak ragu-ragu saat membalas tatapanku.
Samar-samar kurasakan kepalaku mengangguk. Jae Shi menyentuh wajahku ragu-ragu. Tangannya memelukku pelan. Jantungku tiba-tiba berdetak semakin kencang. Kupeluk gadis yang ada di hadapanku. Aku tidak mau melepaskannya lagi.
“Aku tidak percaya… padamu…” suaranya membuatku terperangah. “Dan waktu itu… tidak mau mendengar penjelasanmu… Maafkan aku…” Jae Shi menyusupkan kepalanya di dadaku. “Gadis itu membuatku trauma…”
“Aku tahu itu…” bisa kuingat bagaimana caranya menatapku dengan tatapan menggoda yang tidak biasa. Ditambah lagi, ia memang cantik.
“Hari itu… aku hampir saja mengatakan padamu, akan kulakukan apapun asal kau tidak berada di dekatnya. Tapi, aku tidak bisa. Aku tidak percaya aku selemah itu…”
Senyum perlahan mengembang di ujung bibirku. “Apapun?” godaku. Jae Shi mengangkat wajahnya dan tersenyum kikuk.
Kudekatkan wajahku, dan kulihat kelopak mata Jae Shi melebar kaget melihatku. Ia memalingkan wajahnya malu. “Tidak bisa. Tidak siap… Maaf…” ujarnya terbata-bata.
“Tidak apa… Aku tipe penyabar…” ujarku, tertawa kering. Yang penting aku tahu Jae Shi menyukaiku. Itu sudah cukup.
Tok-tok-tok
Shi Won dan Ki Bum mengetuk kaca pintu mobil dan berkacak pinggang melihat kami. “Jadi? Apa kami masih dibutuhkan?”
“Apa maksudnya?” Tanya Jae Shi, melepaskan diri dari pelukanku dan menatapku bingung.
“Oh… ya… kalau aku gagal berbaikan denganmu, mereka akan membantuku merayumu…”
“Tidak. Perjanjiannya kan kau harus membuatnya mau berdiri di sampingmu… Aku tidak berjanji membantu sejauh itu…” sindir Ki Bum. Ia mengedipkan sebelah matanya dan disambut tawa Jae Shi. Astaga… aku tidak suka melihatnya sedekat itu dengan pacarku.
“Baiklah… sebenarnya aku mengharapkan tempat yang lebih bagus. Tidak mungkin kan, kita perform di lapangan parkir?” Hee Chul mengangkat kerah jasnya dan tertawa. “Aku terlalu keren di sini…”
Akhirnya atas desakan para mahasiswi di kampus Jae Shi, Super Junior melakukan perform di aula kampus. Aneh bukan? Di tengah lautan manusia ini… Yang lainnya tampak abu-abu. Mataku hanya terpaku padanya. Kurasa perasaanku mulai membuatku terperangkap sendiri.
Di tengah-tengah acara, kulihat pria itu datang. Dennies menatapku sekilas sebelum akhirnya mengajak Jae Shi pulang. Ini tidak bagus! Pikirku, saat konsentrasiku mulai terbelah antara menyanyi dan Jae Shi.
Walau sempat protes, ia ikut pulang bersama Dennies. Astaga… aku harus melakukan sesuatu. Apalagi melihat senyuman kemenangannya saat Jae Shi ikut pulang bersamanya. Aku harus melakukan sesuatu!
―Park Jae Shi, Seoul University, 2010―
“Kau mau membuat ku dan Han Geng kesal, bukan?” pertanyaanku membuat Kak Dennies menaikkan alisnya sedikit.
“Aku hanya disuruh Papamu menjemputmu. Tidak lebih. Kita kan sudah biasa pulang bersama seperti ini…”
“Kakak bisa mengelak, tapi aku tahu semuanya. Sudahlah, aku mau ke toilet…”
Belum berapa lama aku berbaikan dengannya. Apalagi ia bermaksud melakukan performance untukku. Rasanya perasaanku jadi tidak enak. Bukan hanya padanya, tetapi juga pada teman-temannya. Hah… sampai kapan sih Kak Dennies akan menyerah tentang hubungan kami?
“Kudengar Han Geng itu pacaran dengan Park Jae Shi…” terdengar sebuah suara dari luar. Kurasa siapapun itu yang membicarakanku tidak tahu bahwa aku―orang yang sedang mereka gosipkan―berada di sini, di dalam toilet.
“Masa sih? Gadis itu kan biasa-biasa saja…” tukas yang lainnya.. “Tapi kau tahu, barusan ini juga pernah ada seorang pria kan yang menjemputnya? Dia juga tampaan sekali…”
“Gadis itu beruntung sekali ya… Atau mungkin pria-pria itu dicuci otak olehnya…”
“Hahahah… kau sadis sekali… Tapi ya, aku juga bingung kenapa mereka mau dengan gadis begitu? Tidak terkenal dan bahkan… kita lebih cantik dan modis…”
“Kurasa pamor Han Geng bisa jatuh kalau pacaran dengan gadis semacam itu…”
Benarkah?
Apakah aku merusak image Han Geng sebagai superstar?
Li Zhi…
Apakah kau juga merasakan hal semacam ini dulu?
“Belum tentu juga mereka pacaran. Paling juga hanya sekedar kenal…”
Saat suara mereka mulai menghilang, aku baru berani keluar dari toilet. Di depan, bisa kulihat dua gadis sedang menggoda Kak Dennies. Jangan-jangan mereka dua gadis yang tadi di toilet? Astaga… aku tidak mau bertemu mereka…
Kupercepat langkahku, berjalan melewati Kak Dennies. Gadis itu masih tertawa cekikikan saat Kak Dennies membalas pertanyaan mereka. Suara tawa itu masih segar dalam ingatanku. Dua gadis tadi memang mereka.
“Jae Shi!” Kak Dennies memanggilku, tapi kupercepat langkahku. “Ada apa?” ia mencengkeram tanganku begitu berhasil menggapainya. “Kenapa wajahmu murung begitu?”
“Aku mau pulang naik angkutan umum saja…”
Aku merusak pamornya.
“Kau kenapa?”
“Tidak apa-apa…” tegasku, menatap matanya, dan kemudian memalingkan wajahku. “Aku mau sendirian dulu…”
Tanganku menyetop bus yang lewat. Sialnya, dua gadis itu juga memasuki bus yang sama denganku. Kututup wajahku dengan buku yang kubawa. Kak Dennies memandangku bingung. “Siapa yang mau kau hindari…”
“Tidak ada…” gumamku.
“Pria tadi itu juga… mungkin mendekati gadis itu cuma karena kasihan. Begitu juga Han Geng…” celetuk yang seorang, disambut tawa yang satunya. Mereka mengambil tempat duduk di depanku. Aku beruntung karena mereka tidak berbalik badan saat duduk tadi.
Cuma karena kasihan.
Kak Dennies mengangkat wajahnya dan menatapku. “Mereka membicarakanmu?” ia berbisik di sampingku. Dua gadis yang duduk di depanku itu tampaknya tidak mendengar dan masih asyik membicarakanku.
“Jangan-jangan dia cuma dipermainkan…” seru yang satunya.
“Mungkin juga! Kalau begitu,semuanya jadi jelas. Pantas saja…” mereka terdiam dan kemudian tertawa berbarengan. “Ah, kita turun di sini, bukan?”
“Jae Shi. Jangan dengarkan itu…” Kak Dennies menyentuh tanganku dan meremasnya pelan.
“Maaf aku…” kupalingkan wajahku ke luar jendela. Sudut mataku terasa panas dan aneh. Aku tidak mau menangis di sini.
“Stop di sini, Pak!” seru seorang gadis. Mereka bangkit dan mulai memutar badan. Kutundukkan kepalaku. Aku tidak mau mereka melihatku saat mereka berjalan keluar dari bus ini lewat pintu belakang.
“Hei, bukankah itu…” gadis itu menepuk pundak temannya. Kutundukkan kepalaku semakin dalam, saat tiba-tiba ada sebuah hentakan kuat di daguku, memaksaku berpaling.
“Ap…” aku hampir memprotes ketika tahu-tahu Kak Dennies menarikku dalam pelukannya dan menciumku. Kugerakkan kepalaku, namun tangannya yang satu mengurungku sementara tangan lainnya menahan kepalaku dari belakang.
“Mungkin kita salah orang..” bisik gadis-gadis itu lalu pergi. Mataku masih mengintip dari balik bahu Kak Dennies yang menutupiku sampai posisiku benar-benar terhalang tubuhnya.
“Lepas… kan…” seruku, kehabisan udara.
Kak Dennies masih di sana. Bibirnya masih menempel di bibirku. Dan kemudian, tangannya bergerak ke leherku. Ia memiringkan wajahnya, memperdalam ciumannya.
“Lepaskan!” seruanku tertahan di bibirnya. Tanganku bergerak meronta memukuli dadanya, namun ia tetap tidak bergeming.
Tidak…tidak… tidak….
Sebuah sirene tanda bahaya kembali berkumandang di kepalaku.
Ini jelas-jelas berbahaya.
Apa yang harus kulakukan?!
-to be continued-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar