Sing out loud, love 16-end
May 1, 2012 at 8:49am
Sing out loud, love 16-end
Chapter 16
Cast:
Liana Wijaya as Kim Lee Ah
Kim Hyun Joong
Author as Kim Jae shi (Lee Ah’s younger sister)
Micky Yoo-chun (TVXQ)
—Lee-ah, March 2011, France Restaurant—
Malam itu Hyun-joong memaksaku mengenakan sebuah gaun putih. Ia memainkan piano di sudut ruangan dan bernyanyi untukku, membuatku tersentuh.
“Lee-ah… mereka sudah datang…” Ketika mengatakan itu, tiba-tiba dari arah pintu datang sepasang pria dan wanita menghampiri kami. “Kedua orangtuaku…”
Tepatnya, orang tua angkatnya. “Salam kenal, saya Lee-ah…”
“Kami banyak mendengar cerita tentangmu dari Hyun-joong…” ujar Mamanya Hyun-joong.
“KElihatannya lebih cantik daripada yang terlihat di televisi…” ujar Papanya Hyun-joong sambil tertawa.
Kami menikmati makan malam dengan gembira. Hyun-joong tidak banyak menyinggung tentang orangtuaku. Kedua orangtuanya juga bersikap ramah dan kelihatannya cukup menerimaku sebagai kekasih anaknya. Sampai tiba-tiba…
“Jadi, kapan kau akan menikahinya?” tanya Papanya tiba-tiba.
Hyun-joong dan aku sama-sama kesulitan menelan makanan dan terbatuk-batuk beberapa kali. “Secepatnya…” jawab Hyun-joong setelah ekspresi jahilnya kembali. Astaga, aku hampir saja menjatuhkan gelas minumanku ke meja kalau saja Hyun-joong tidak menangkapnya dengan sigap.
—Jae-shi, April 2011, Apartment—
(setelah side story 2 & 3)
“Halo, aku datang untuk meminjam kakakmu…” Kak Hyun-joong datang ke apartemen kami dengan gayanya yang keren seperti biasa.
“Kakakku? Silahkan, pinjam sepuasnya…” tawaku sambil mendorong bahu kakakku ke pintu.
“Eh, Jae-shi? Apaan sih…” wajah kakakku memerah dan sedikit memprotes. Terdengar suara adu argumentasi yang disusul dengan tawa. Bagus kalau kakakku bisa gembira.
Kuhela nafasku sambil menatap ponselku yang mulai bordering. Jam menunjukkan pukul sepuluh. Ah, kenapa dia harus begitu tepat waktu? “Aku akan segera ke rumah sakit itu. Tunggu saja…”
Ting tong
Kubuka pintu dan di sana, berdiri Yoo-chun dengan senyumnya yang semanis biasanya. “MElihat wajahmu, apa dia sudah menelepon?”
Aku mengangguk dan Yoo-chun hanya menarikku masuk dalam pelukannya. “Ayo, kuantar kau ke sana…”
—Hyun-joong, April 2011, Seoul Hotel—
Lee ah pergi meninggalkanku dengan ragu-ragu. Saat ia menghilang bersama pelayan yang kutunjuk untuk mendampinginya, kakiku melangkah ke ball room. Semuanya sempurna, batinku sambil tersenyum. Semua harus sempurna untuk gadisku.
“Apa ada lagi yang perlu saya siapkan?” manajer operasional restoran ini melangkah ke arahku dengan senyuman lebar.
“Kau sudah melakukan semua sesuai permintaanku?” tanyaku sambil menatap sekeliling. Kakiku kembali melangkah ke tempat semula, di dekat pintu masuk.
“Tentu saja. Tidak satu detail pun saya lupakan…”
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba terdengar suara di belakang kami. “Tuan, ehm…” pelayan tadi kembali dengan tatapan kagum. “Nona Lee-ah sudah siap…”
Secepat itu, kubalikkan wajahku dan menatapnya. Di sanalah Lee-ah, berdiri, tepat dengan bayanganku ketika membeli baju itu untuknya. Bedanya adalah—walaupun sudah beberapa kali membayangkan sosoknya dalam gaun yang kubelikan—tetap saja aku tidak bisa menyembunyikan ekspresi kaget ini dari wajahku.
“Eh…” Lee-ah menatapku dan menunduk lagi dengan malu. “Jadi… apa cocok denganku?”
Sangat. “Sempurna…” jawabku, apa adanya.
Gaun putih itu membungkus tubuh Lee-ah dengan tepat. Ia terlihat seperti… seorang dewi. “Tapi…” ia bergumam pendek sambil menatap gaunnya. “Tidakkah ini berlebihan? Untuk makan malam, kan?” Ia menatapku yang sudah berganti dengan jas. “Kau juga memakai jas…”
“Sebentar lagi mereka akan datang…” bisik manajer restoran di telingaku. Kulirik arlojiku dan mengangguk.
“Hyun-joong…” Lee-ah menarik tanganku.
“Kenapa tidak kau katakan padaku?” tanyaku sambil menarik tangannya kea rah ballroom.
“Katakan? Soal apa?”
“Kalau kau ketakutan….” Menangkap kebingungan di wajahnya, kulanjutkan kalimatku. “Setelah malam itu… di penginapan. Kita berduaan…”
“Oh…” Wajah Lee-ah memerah saat ia menunduk untuk menyembunyikannya.
“Jae-shi cerita padaku…” akuku. “Tunggu, jangan marah dulu padanya. Aku justru berterimakasih padanya. Ia menyadarkanku bahwa ini sangat penting untukku. Untuk kita…”
“Aku tidak mau kelihatan berusaha mengikatmu…”
“KAu tidak mengikatku, dasar bodoh…” kucubit hidungnya sambil tertawa. Kami bergandengan tangan di depan pintu ball room. “Jae-shi cerita bagaimana kau menggunakan tes kehamilan diam-diam. Untung kau ceroboh waktu membuangnya…”
“Aku…”
“Apapun hasilnya,” potongku. “Aku akan menemanimu menghadapinya…”
Lee-ah menatapku bingung dengan matanya. Aku meletakkan tanganku di depan pintu ballroom dan mendorongnya terbuka. “Percaya saja padaku…”
Begitu pintu terbuka, wajah Lee-ah langsung tampak kaget setengah mati.
—Lee-ah, April 2011, Seoul Hotel—
“Jae-shi? Bagaimana mungkin kau bisa kemari?” tanyaku sambil memeluk adikku.
“Kak Hyun-joong memang bilang mau meminjam kakak… Tapi belakangan dia diam-diam mengirimkan sms, menyuruhku datang kemari dengan baju bagus bersama Yoo-chun…”
“Akhirnya kami buru-buru pergi ke butik untuk mencarikannya baju…” Yoo-chun menoleh senang ke arah Jae-shi yang mengenakan mini dress berwarna pastel. Pilihannya bagus karena bahan gaun itu terlihat indah dan jatuh dengan baik di pinggangnya.
“Selamat ya…” bisik Jae-shi sambil memelukku lagi.
“Eh? Selamat kenapa?”
Jae-shi berpandangan dengan Yoo-chun dan menahan senyum. “Pokoknya selamat saja…” tegasnya.
“Eh, tapi…”
“Hei, Lee-ah…” Young-saeng dan Ha-na datang untuk menyelamatiku. Semenjak Ha-na menceritakan padaku bagaimana kejadian April Mop itu berujung pada ciuman yang manis, aku selalu tidak tahan untuk tidak menggodanya seharian.
“Selamat ya…”
Lagi-lagi ucapan selamat. “Apa maksudnya…”
“Hai, Lee-ah…” anggota SS501 yang lain dan anggota DBSK teman-teman Yoo-chun dan Hyun-joong datang menghampiriku dan Hyun-joong, sekali lagi menyelamati kami.
“JAdi?” tanyaku sambil menatap Hyun-joong. “Bisa kau jelaskan sebelum aku mati penasaran? Kenapa semua orang memberikan ucapan selamat padaku?”
“Sebentar lagi…” Ia mengedipkan sebelah matanya.
Lampu tiba-tiba dimatikan, dan sebuah cahaya menyorot kami berdua. Semua yang hadir di sana, termasuk teman-temanku menepukkan tangan dengan keras.
Seorang MC mengumumkan dengan bersemangat.“Kita semua hadir di malam ini, di saat yang berbahagia ini untuk menghadiri upacara pertunangan untuk Hyun-joong, Leader SS501 dan seorang penyanyi cantik yang sedang naik dauh, Nona Lee-ah!!!”
Apa? Pertunangan? Aku tidak salah dengar? Dengan bingung, kutatap Hyun-joong. Cowok itu tertawa lebar padaku. “Bukan, kau tidak salah dengar…”
“Tapi… kedua orangtuamu… orangtuaku…”
“Mereka sudah tiba…” Hyun-joong melirik ke ujung ruangan dan tersenyum. Bisa kurasakan jantungku berhenti berdetak saat melihat siapa saja yang datang. Ada orangtua angkat Hyun-joong. Ada orangtua angkatku. Dan ada… Papa kandungku!
—Hyun-joong, April 2011, Seoul Hotel—
“Apa aku membuatmu marah?” tanyaku hati-hati. Bisa kulihat wajah gadis itu memucat melihat Papa kandungnya berdiri di sana. “Kupikir…”
“Tidak… aku tidak marah. Lagipula, dia memang orangtua kandungku…”
“Ayo…” Aku mendorong Lee-ah ke tengah-tengah ruangan. Lampu masih menyorot kami. Lee-ah yang sudah biasa tersorot kamera, tersenyum cemerlang seperti biasanya.
MC memberikan mic padaku. “Hari ini, aku tidak hanya ingin bertunangan denganmu…” ucapku jujur. “Secara resmi, di hadapan semua yang hadir di sini, aku ingin memintamu menikah denganku. Bersediakah kau menerimaku?”
Lee-ah menatapku dengan wajah terkejut. Sekejap kemudian, senyumannya kembali. “Aku sudah lama sekali menunggunya….”
Kami berpelukan di tengah derai tepuk tangan semua yang hadir di sana.
—Jae-shi, Mei 2011, Apartment—
“Jadi? Kau akan menjadi pendampingku. Kau tidak bohong padaku, kan?” Entah keberapa kalinya kakakku mengulangi pertanyaan yang sama.
“Sudah ratusan kali kau menanyakannya minggu ini. jawabanku adalah “ya, kakakku yang cantik…” Dan kemarin kau juga meminta Yun-ho menjadi best-man mu…”
“Benar…” Kakakku yang tertawa malu terlihat semakin cantik.
Beberapa minggu terakhir, ia dan Hyun-joong mengumumkan pernikahan mereka ke pers. Fans mereka terguncang. Dunia musik Korea terguncang. Dan pemberitaan mereka semakin heboh dari waktu ke waktu.
“Aku akan segera pergi memilih gaunnya. Kau mau menemaniku, kan?” tanyanya lagi.
“Bagaimana dengan pertunjukkan itu? Kau akan melaksanakannya?”
“Ya…” angguknya.
Kakakku sudah memutuskan untuk meliburkan kariernya sebagai penyanyi selama beberapa waktu. Jadi, dalam rangka pengumuman resmi, ia bermaksud untuk tampil terakhir kalinya dalam sebuah pertunjukkan. Bersama Hyun-joong, tentu saja.
Bayangkan reaksi public mendengar berita ini. tiket habis lebih cepat dari jentikan jari. Bahkan ratusan tiket yang hanya berdiri sudah dipesan. Bagaimana pun, mereka berdua adalah tokoh paling sensasional saat ini.
“Kau berhutang cerita padaku…” oloknya tiba-tiba.
“Apa?”
“Kau sudah menemui Papa kandung kita lagi, bukan? Apa kau sudah melakukan… tes DNA itu?”
“Ya… sudah…” Aku menatapnya dan tertawa. Kami berpelukan lama sekali. “Sudah kuduga, memang hanya kau kakakku!”
“Dan hanya kau adikku!” ia membalas pelukanku dengan gembira. “Kubilang juga apa!”
—Hyun-joong, MEi 2011, DSP Entertainment—
“Mari kita lakukan sebaik mungkin…” candaku sambil menyelipkan tanganku di pinggang Lee-ah.
Beberapa waktu lalu, setelah tes yang terakhir, Lee-ah dinyatakan positif hamil. Pernikahan memang tidak bisa ditunda untuk kami berdua. Lee-ah memutuskan untuk konsentrasi merawat anak kami nanti, dank arena itu kami memutuskan untuk melakukan konser sayonara ini.
Konser berlangsung dengan sukses. Kami melakukan duet lagu First Love, mengingat kembali bagaimana pertama kali kami berjumpa di panti asuhan itu.
“Untuk terakhir kalinya. Saya ingin menyanyikan lagu ini untuk mengingat masa lalu bersama seseorang yang selalu sangat berarti bagi saya…”
Fans berteriak histeris ketika Lee-ah mulai menyanyikan lagu yang diajarkan ibunya. Someone’s watching over me.
Bersamaan dengan itu, berbagai kenangan seolah membungkus kami berdua. Bagaimana pertama kami bertemu, berciuman tidak sengaja. Lalu, bagaimana Lee-ah mengikuti audisi dan kami memulai duet pertama kami. Pertengkaran. Air mata. Dan senyuman bahagia. Kurasa semua itu menjadi bagian dari cerita cinta di antara kami.
Sambil membawa sebuah buket bunga, aku melangkah naik ke panggung untuk memberikannya pada gadisku. Lagi-lagi fans berteriak histeris.
“Aku akan selalu bersamamu…” janjiku.
“Ingat, kau sudah berjanji…” bisiknya sambil memelukku. Di tengah jeritan histeris dan tepukan tangan yang membahana di seluruh panggung, aku mencium gadisku.
—Jae-shi, June 2011, Grand Hotel Seoul—
“Ahh… Kakakku memang cantik sekali…” ucapku sambil memandangi sosok pasangan bahagia yang tidak berhenti tersenyum di depan sana.
Kakakku dan Kak Hyun-joong memilih bulan Juni sebagai bulan pernikahan mereka. mereka percaya bahwa pengantin bulan Juni akan berbahagia. Aku percaya bahwa tanpa perlu berlatar belakang bulan Juni pun, mereka akan bahagia selamanya.
“Kau sudah hampir menyaingi pengantinnya…” bisik Yoo-chun di sebelahku. Ia membawakan segelas air padaku. “Aku tahu kau pasti haus…”
“Sangat…” senyumku sambil meminumnya. Hari ini memang kukenakan gaun putih panjang, bagian dari tugasku sebagai pengiring pengantin. “Terima kasih untuk pujiannya…”
“Kalau aku menikah denganmu nanti, apa kau akan berhenti menyanyi?” tanya Yoo-chun tiba-tiba.
“Apa…” hampir saja aku menyemburkan air dari mulutku. “Kenapa tiba-tiba tanya begitu?” tanyaku panik.
“Jangan berhenti….” Tegas Yoo-chun. “Maksudku, kau boleh berhenti jadi penyanyi untuk umum. Tapi, jangan berhenti menyanyi untukku. Bahkan mungkin kau bisa mengajarkan anak kita bernyanyi…”
“Tapi…” wajahku memerah sampai telinga. “Tidakkah terlalu cepat untuk kita? Membicarakan hal semacam ini?”
“Tidak juga.” Yoo-chun berdehem pendek melirikku. “Kurasa aku bisa membayangkanmu dalam gaun semacam itu. Dalam jangka waktu tidak lama lagi….”
Perlahan, jemarinya meremas jemariku lembut. Aku menyenderkan kepala di bahunya dan tersenyum. “Ingat pertama kali kita bertemu? Kau juga tidak sabaran. Seperti sekarang ini…”
“Karena itu, kukatakan jangan berhenti menyanyi. Tiap mendengarmu bernyanyi, aku bisa mengingat dengan jelas pertemuan pertama kita…”
“Jangan sebut-sebut itu lagi karena rasanya memalukan…” omelku.
KAkakku mulai berkeliling ruangan, digandeng Hyun-joong, dan menerima semua ucapan selamat dengan senyuman lebar di wajahnya. Ia meyenggolku dan mengingatkanku untuk menangkap buket miliknya.
“Tidak memalukan. Kau tahu? Aku baru tahu sebuah lagu bisa terasa sesedih itu karena kau menyanyikannya. Aku sudah menyukaimu sejak saat itu. Kau saja yang selalu lari melihatku…”
“Huuh… Karena kau mengajakku untuk debut sesegera mungkin. Bayangkan betapa kagetnya aku…” Yoo-chun mengajakku kea rah tribun tempat kakakku akan segera melempar buketnya.
“Ayo, berjuanglah…”
“Satu… Dua… tiga!!”
Buket itu berlarian ke sana kemari, terpantul kesana kemari karena begitu banyak tangan mencoba untuk meraihnya. Sampai tiba-tiba buket itu jatuh ke pelukan Ha-na, manajer kakakku yang kebetulan berdiri di dekat sana.
“Ah… akan kuberikan ini padamu…” ia melirikku gugup.
“Tidak, tidak…” Aku tersenyum dan melirik Kak Young-saeng. “Kelihatannya Kak Young-saeng senang. Kurasa memang itu milikmu…” ucapku.
“Ah…” Ha-na membalas senyuman lebar Young-saeng dengan canggung. “Kalau begitu, bagaimana kalau kau menunggu buket dariku?”
“SEbaiknya memang begitu…” canda Yoo-chun sambil meletakkan kedua tangannya di bahuku. “Karena aku sudah tidak sabar menunggu giliranku…” tawanya.
-tamat-
*bersambung ke side story 4.5
Chapter 16
Cast:
Liana Wijaya as Kim Lee Ah
Kim Hyun Joong
Author as Kim Jae shi (Lee Ah’s younger sister)
Micky Yoo-chun (TVXQ)
—Lee-ah, March 2011, France Restaurant—
Malam itu Hyun-joong memaksaku mengenakan sebuah gaun putih. Ia memainkan piano di sudut ruangan dan bernyanyi untukku, membuatku tersentuh.
“Lee-ah… mereka sudah datang…” Ketika mengatakan itu, tiba-tiba dari arah pintu datang sepasang pria dan wanita menghampiri kami. “Kedua orangtuaku…”
Tepatnya, orang tua angkatnya. “Salam kenal, saya Lee-ah…”
“Kami banyak mendengar cerita tentangmu dari Hyun-joong…” ujar Mamanya Hyun-joong.
“KElihatannya lebih cantik daripada yang terlihat di televisi…” ujar Papanya Hyun-joong sambil tertawa.
Kami menikmati makan malam dengan gembira. Hyun-joong tidak banyak menyinggung tentang orangtuaku. Kedua orangtuanya juga bersikap ramah dan kelihatannya cukup menerimaku sebagai kekasih anaknya. Sampai tiba-tiba…
“Jadi, kapan kau akan menikahinya?” tanya Papanya tiba-tiba.
Hyun-joong dan aku sama-sama kesulitan menelan makanan dan terbatuk-batuk beberapa kali. “Secepatnya…” jawab Hyun-joong setelah ekspresi jahilnya kembali. Astaga, aku hampir saja menjatuhkan gelas minumanku ke meja kalau saja Hyun-joong tidak menangkapnya dengan sigap.
—Jae-shi, April 2011, Apartment—
(setelah side story 2 & 3)
“Halo, aku datang untuk meminjam kakakmu…” Kak Hyun-joong datang ke apartemen kami dengan gayanya yang keren seperti biasa.
“Kakakku? Silahkan, pinjam sepuasnya…” tawaku sambil mendorong bahu kakakku ke pintu.
“Eh, Jae-shi? Apaan sih…” wajah kakakku memerah dan sedikit memprotes. Terdengar suara adu argumentasi yang disusul dengan tawa. Bagus kalau kakakku bisa gembira.
Kuhela nafasku sambil menatap ponselku yang mulai bordering. Jam menunjukkan pukul sepuluh. Ah, kenapa dia harus begitu tepat waktu? “Aku akan segera ke rumah sakit itu. Tunggu saja…”
Ting tong
Kubuka pintu dan di sana, berdiri Yoo-chun dengan senyumnya yang semanis biasanya. “MElihat wajahmu, apa dia sudah menelepon?”
Aku mengangguk dan Yoo-chun hanya menarikku masuk dalam pelukannya. “Ayo, kuantar kau ke sana…”
—Hyun-joong, April 2011, Seoul Hotel—
Lee ah pergi meninggalkanku dengan ragu-ragu. Saat ia menghilang bersama pelayan yang kutunjuk untuk mendampinginya, kakiku melangkah ke ball room. Semuanya sempurna, batinku sambil tersenyum. Semua harus sempurna untuk gadisku.
“Apa ada lagi yang perlu saya siapkan?” manajer operasional restoran ini melangkah ke arahku dengan senyuman lebar.
“Kau sudah melakukan semua sesuai permintaanku?” tanyaku sambil menatap sekeliling. Kakiku kembali melangkah ke tempat semula, di dekat pintu masuk.
“Tentu saja. Tidak satu detail pun saya lupakan…”
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba terdengar suara di belakang kami. “Tuan, ehm…” pelayan tadi kembali dengan tatapan kagum. “Nona Lee-ah sudah siap…”
Secepat itu, kubalikkan wajahku dan menatapnya. Di sanalah Lee-ah, berdiri, tepat dengan bayanganku ketika membeli baju itu untuknya. Bedanya adalah—walaupun sudah beberapa kali membayangkan sosoknya dalam gaun yang kubelikan—tetap saja aku tidak bisa menyembunyikan ekspresi kaget ini dari wajahku.
“Eh…” Lee-ah menatapku dan menunduk lagi dengan malu. “Jadi… apa cocok denganku?”
Sangat. “Sempurna…” jawabku, apa adanya.
Gaun putih itu membungkus tubuh Lee-ah dengan tepat. Ia terlihat seperti… seorang dewi. “Tapi…” ia bergumam pendek sambil menatap gaunnya. “Tidakkah ini berlebihan? Untuk makan malam, kan?” Ia menatapku yang sudah berganti dengan jas. “Kau juga memakai jas…”
“Sebentar lagi mereka akan datang…” bisik manajer restoran di telingaku. Kulirik arlojiku dan mengangguk.
“Hyun-joong…” Lee-ah menarik tanganku.
“Kenapa tidak kau katakan padaku?” tanyaku sambil menarik tangannya kea rah ballroom.
“Katakan? Soal apa?”
“Kalau kau ketakutan….” Menangkap kebingungan di wajahnya, kulanjutkan kalimatku. “Setelah malam itu… di penginapan. Kita berduaan…”
“Oh…” Wajah Lee-ah memerah saat ia menunduk untuk menyembunyikannya.
“Jae-shi cerita padaku…” akuku. “Tunggu, jangan marah dulu padanya. Aku justru berterimakasih padanya. Ia menyadarkanku bahwa ini sangat penting untukku. Untuk kita…”
“Aku tidak mau kelihatan berusaha mengikatmu…”
“KAu tidak mengikatku, dasar bodoh…” kucubit hidungnya sambil tertawa. Kami bergandengan tangan di depan pintu ball room. “Jae-shi cerita bagaimana kau menggunakan tes kehamilan diam-diam. Untung kau ceroboh waktu membuangnya…”
“Aku…”
“Apapun hasilnya,” potongku. “Aku akan menemanimu menghadapinya…”
Lee-ah menatapku bingung dengan matanya. Aku meletakkan tanganku di depan pintu ballroom dan mendorongnya terbuka. “Percaya saja padaku…”
Begitu pintu terbuka, wajah Lee-ah langsung tampak kaget setengah mati.
—Lee-ah, April 2011, Seoul Hotel—
“Jae-shi? Bagaimana mungkin kau bisa kemari?” tanyaku sambil memeluk adikku.
“Kak Hyun-joong memang bilang mau meminjam kakak… Tapi belakangan dia diam-diam mengirimkan sms, menyuruhku datang kemari dengan baju bagus bersama Yoo-chun…”
“Akhirnya kami buru-buru pergi ke butik untuk mencarikannya baju…” Yoo-chun menoleh senang ke arah Jae-shi yang mengenakan mini dress berwarna pastel. Pilihannya bagus karena bahan gaun itu terlihat indah dan jatuh dengan baik di pinggangnya.
“Selamat ya…” bisik Jae-shi sambil memelukku lagi.
“Eh? Selamat kenapa?”
Jae-shi berpandangan dengan Yoo-chun dan menahan senyum. “Pokoknya selamat saja…” tegasnya.
“Eh, tapi…”
“Hei, Lee-ah…” Young-saeng dan Ha-na datang untuk menyelamatiku. Semenjak Ha-na menceritakan padaku bagaimana kejadian April Mop itu berujung pada ciuman yang manis, aku selalu tidak tahan untuk tidak menggodanya seharian.
“Selamat ya…”
Lagi-lagi ucapan selamat. “Apa maksudnya…”
“Hai, Lee-ah…” anggota SS501 yang lain dan anggota DBSK teman-teman Yoo-chun dan Hyun-joong datang menghampiriku dan Hyun-joong, sekali lagi menyelamati kami.
“JAdi?” tanyaku sambil menatap Hyun-joong. “Bisa kau jelaskan sebelum aku mati penasaran? Kenapa semua orang memberikan ucapan selamat padaku?”
“Sebentar lagi…” Ia mengedipkan sebelah matanya.
Lampu tiba-tiba dimatikan, dan sebuah cahaya menyorot kami berdua. Semua yang hadir di sana, termasuk teman-temanku menepukkan tangan dengan keras.
Seorang MC mengumumkan dengan bersemangat.“Kita semua hadir di malam ini, di saat yang berbahagia ini untuk menghadiri upacara pertunangan untuk Hyun-joong, Leader SS501 dan seorang penyanyi cantik yang sedang naik dauh, Nona Lee-ah!!!”
Apa? Pertunangan? Aku tidak salah dengar? Dengan bingung, kutatap Hyun-joong. Cowok itu tertawa lebar padaku. “Bukan, kau tidak salah dengar…”
“Tapi… kedua orangtuamu… orangtuaku…”
“Mereka sudah tiba…” Hyun-joong melirik ke ujung ruangan dan tersenyum. Bisa kurasakan jantungku berhenti berdetak saat melihat siapa saja yang datang. Ada orangtua angkat Hyun-joong. Ada orangtua angkatku. Dan ada… Papa kandungku!
—Hyun-joong, April 2011, Seoul Hotel—
“Apa aku membuatmu marah?” tanyaku hati-hati. Bisa kulihat wajah gadis itu memucat melihat Papa kandungnya berdiri di sana. “Kupikir…”
“Tidak… aku tidak marah. Lagipula, dia memang orangtua kandungku…”
“Ayo…” Aku mendorong Lee-ah ke tengah-tengah ruangan. Lampu masih menyorot kami. Lee-ah yang sudah biasa tersorot kamera, tersenyum cemerlang seperti biasanya.
MC memberikan mic padaku. “Hari ini, aku tidak hanya ingin bertunangan denganmu…” ucapku jujur. “Secara resmi, di hadapan semua yang hadir di sini, aku ingin memintamu menikah denganku. Bersediakah kau menerimaku?”
Lee-ah menatapku dengan wajah terkejut. Sekejap kemudian, senyumannya kembali. “Aku sudah lama sekali menunggunya….”
Kami berpelukan di tengah derai tepuk tangan semua yang hadir di sana.
—Jae-shi, Mei 2011, Apartment—
“Jadi? Kau akan menjadi pendampingku. Kau tidak bohong padaku, kan?” Entah keberapa kalinya kakakku mengulangi pertanyaan yang sama.
“Sudah ratusan kali kau menanyakannya minggu ini. jawabanku adalah “ya, kakakku yang cantik…” Dan kemarin kau juga meminta Yun-ho menjadi best-man mu…”
“Benar…” Kakakku yang tertawa malu terlihat semakin cantik.
Beberapa minggu terakhir, ia dan Hyun-joong mengumumkan pernikahan mereka ke pers. Fans mereka terguncang. Dunia musik Korea terguncang. Dan pemberitaan mereka semakin heboh dari waktu ke waktu.
“Aku akan segera pergi memilih gaunnya. Kau mau menemaniku, kan?” tanyanya lagi.
“Bagaimana dengan pertunjukkan itu? Kau akan melaksanakannya?”
“Ya…” angguknya.
Kakakku sudah memutuskan untuk meliburkan kariernya sebagai penyanyi selama beberapa waktu. Jadi, dalam rangka pengumuman resmi, ia bermaksud untuk tampil terakhir kalinya dalam sebuah pertunjukkan. Bersama Hyun-joong, tentu saja.
Bayangkan reaksi public mendengar berita ini. tiket habis lebih cepat dari jentikan jari. Bahkan ratusan tiket yang hanya berdiri sudah dipesan. Bagaimana pun, mereka berdua adalah tokoh paling sensasional saat ini.
“Kau berhutang cerita padaku…” oloknya tiba-tiba.
“Apa?”
“Kau sudah menemui Papa kandung kita lagi, bukan? Apa kau sudah melakukan… tes DNA itu?”
“Ya… sudah…” Aku menatapnya dan tertawa. Kami berpelukan lama sekali. “Sudah kuduga, memang hanya kau kakakku!”
“Dan hanya kau adikku!” ia membalas pelukanku dengan gembira. “Kubilang juga apa!”
—Hyun-joong, MEi 2011, DSP Entertainment—
“Mari kita lakukan sebaik mungkin…” candaku sambil menyelipkan tanganku di pinggang Lee-ah.
Beberapa waktu lalu, setelah tes yang terakhir, Lee-ah dinyatakan positif hamil. Pernikahan memang tidak bisa ditunda untuk kami berdua. Lee-ah memutuskan untuk konsentrasi merawat anak kami nanti, dank arena itu kami memutuskan untuk melakukan konser sayonara ini.
Konser berlangsung dengan sukses. Kami melakukan duet lagu First Love, mengingat kembali bagaimana pertama kali kami berjumpa di panti asuhan itu.
“Untuk terakhir kalinya. Saya ingin menyanyikan lagu ini untuk mengingat masa lalu bersama seseorang yang selalu sangat berarti bagi saya…”
Fans berteriak histeris ketika Lee-ah mulai menyanyikan lagu yang diajarkan ibunya. Someone’s watching over me.
Bersamaan dengan itu, berbagai kenangan seolah membungkus kami berdua. Bagaimana pertama kami bertemu, berciuman tidak sengaja. Lalu, bagaimana Lee-ah mengikuti audisi dan kami memulai duet pertama kami. Pertengkaran. Air mata. Dan senyuman bahagia. Kurasa semua itu menjadi bagian dari cerita cinta di antara kami.
Sambil membawa sebuah buket bunga, aku melangkah naik ke panggung untuk memberikannya pada gadisku. Lagi-lagi fans berteriak histeris.
“Aku akan selalu bersamamu…” janjiku.
“Ingat, kau sudah berjanji…” bisiknya sambil memelukku. Di tengah jeritan histeris dan tepukan tangan yang membahana di seluruh panggung, aku mencium gadisku.
—Jae-shi, June 2011, Grand Hotel Seoul—
“Ahh… Kakakku memang cantik sekali…” ucapku sambil memandangi sosok pasangan bahagia yang tidak berhenti tersenyum di depan sana.
Kakakku dan Kak Hyun-joong memilih bulan Juni sebagai bulan pernikahan mereka. mereka percaya bahwa pengantin bulan Juni akan berbahagia. Aku percaya bahwa tanpa perlu berlatar belakang bulan Juni pun, mereka akan bahagia selamanya.
“Kau sudah hampir menyaingi pengantinnya…” bisik Yoo-chun di sebelahku. Ia membawakan segelas air padaku. “Aku tahu kau pasti haus…”
“Sangat…” senyumku sambil meminumnya. Hari ini memang kukenakan gaun putih panjang, bagian dari tugasku sebagai pengiring pengantin. “Terima kasih untuk pujiannya…”
“Kalau aku menikah denganmu nanti, apa kau akan berhenti menyanyi?” tanya Yoo-chun tiba-tiba.
“Apa…” hampir saja aku menyemburkan air dari mulutku. “Kenapa tiba-tiba tanya begitu?” tanyaku panik.
“Jangan berhenti….” Tegas Yoo-chun. “Maksudku, kau boleh berhenti jadi penyanyi untuk umum. Tapi, jangan berhenti menyanyi untukku. Bahkan mungkin kau bisa mengajarkan anak kita bernyanyi…”
“Tapi…” wajahku memerah sampai telinga. “Tidakkah terlalu cepat untuk kita? Membicarakan hal semacam ini?”
“Tidak juga.” Yoo-chun berdehem pendek melirikku. “Kurasa aku bisa membayangkanmu dalam gaun semacam itu. Dalam jangka waktu tidak lama lagi….”
Perlahan, jemarinya meremas jemariku lembut. Aku menyenderkan kepala di bahunya dan tersenyum. “Ingat pertama kali kita bertemu? Kau juga tidak sabaran. Seperti sekarang ini…”
“Karena itu, kukatakan jangan berhenti menyanyi. Tiap mendengarmu bernyanyi, aku bisa mengingat dengan jelas pertemuan pertama kita…”
“Jangan sebut-sebut itu lagi karena rasanya memalukan…” omelku.
KAkakku mulai berkeliling ruangan, digandeng Hyun-joong, dan menerima semua ucapan selamat dengan senyuman lebar di wajahnya. Ia meyenggolku dan mengingatkanku untuk menangkap buket miliknya.
“Tidak memalukan. Kau tahu? Aku baru tahu sebuah lagu bisa terasa sesedih itu karena kau menyanyikannya. Aku sudah menyukaimu sejak saat itu. Kau saja yang selalu lari melihatku…”
“Huuh… Karena kau mengajakku untuk debut sesegera mungkin. Bayangkan betapa kagetnya aku…” Yoo-chun mengajakku kea rah tribun tempat kakakku akan segera melempar buketnya.
“Ayo, berjuanglah…”
“Satu… Dua… tiga!!”
Buket itu berlarian ke sana kemari, terpantul kesana kemari karena begitu banyak tangan mencoba untuk meraihnya. Sampai tiba-tiba buket itu jatuh ke pelukan Ha-na, manajer kakakku yang kebetulan berdiri di dekat sana.
“Ah… akan kuberikan ini padamu…” ia melirikku gugup.
“Tidak, tidak…” Aku tersenyum dan melirik Kak Young-saeng. “Kelihatannya Kak Young-saeng senang. Kurasa memang itu milikmu…” ucapku.
“Ah…” Ha-na membalas senyuman lebar Young-saeng dengan canggung. “Kalau begitu, bagaimana kalau kau menunggu buket dariku?”
“SEbaiknya memang begitu…” canda Yoo-chun sambil meletakkan kedua tangannya di bahuku. “Karena aku sudah tidak sabar menunggu giliranku…” tawanya.
-tamat-
*bersambung ke side story 4.5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar