Selasa, 08 Juni 2010

Fanfic The Future and the Past 37

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
THIRY SEVENTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Han Ga In : (memakai nama asli di FF)
Young Mishil: UEE: Kim Yoo Jin (Mishil legal daughter)
Seol Won : Jun Noh Min (Guru olahraga)
shendi: han shin woo
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Bagian mana yang sakit?” tanyaku.

Wanita itu menggeleng dan tersenyum. ”Aku tidak apa-apa,” jawabnya dengan senyuman lemah. Aku ingin sekali memeluknya. Tapi tidak boleh. Kenapa tidak boleh? Aku tidak tahu. TERLARANG. PENGHIANATAN. Hanya dua kata itu yang terlintas di benakku.

Pemandangan di sampingku memburam. Kali ini ketika mataku kukerjapkan, kakiku sudah menginjak tempat lain. Ada beberapa bunga di samping kami. Dan sebuah danau.

”Kau sudah siap... Tapi, aku tidak siap untuk itu,” katanya. Kemudian tangannya terulur, menyerahkan sebuah cincin ke genggamanku.

”Ini hanya perpisahan sementara diantara kita, aku akan menyelesaikan masalah ini segera...”

Kalimatnya tertoreh begitu dalamnya. Dalam sekaligus menyakitkan. Aku membalas pandangannya. Aku ingin mempercayainya. Aku ingin menyentuh hatinya. tapi, sebuah suara lain bergema di otakku.

”Apa kau benar2 berpikir bahwa Ratu dapat memberikan cintanya untukmu?”

Kepalaku terasa sakit. Sakit dan berat. Seberat rasa tusukan di dadaku. Dan detik itu, ketika mataku terasa begitu panasnya, kuangkat wajahku. Ia ada di sana. Memandangku dengan kedua matanya. Begitu jernih. Begitu pedih.

Tanganku bergerak maju. Selangkah... dua langkah... nafasku terasa begitu berat. Begitu menyakitkan hingga rasanya semua organ dalamku terlilit jadi satu. Kenapa? Ada apa...?

Darah... darah di tanganku. Di hadapanku, pemandangan membentang semerah darah. Air matanya... air mata itu... Jangan menangis... aku harus... NAMANYA! PANGGIL NAMANYA! Begitulah perintah otakku. Mulutku bergerak tidak karuan. Apakah aku sudah memanggilnya. Apakah ia mendengarnya?!

Lalu, sebuah rasa sakit luar biasa menikam jantungku. Lambungku. Entah apa. Begitu sakitnya sampai pemandangan berputar di sekelilingku. Beberapa kali aku mengerjap, berusaha mengambil udara sebanyak mungkin, mengisinya ke paru-paruku.

Tapi aku gagal.

Rasanya aku tahu. Aku tahu sensasi apa ini. Kematian. Kematian begitu jelasnya di depanku. Kemudian semuanya menghitam. Menggelap. Kematianku.

─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

”Bangun Kak!” seru Yoo Jin sambil serta merta memukulkan bantal ke wajahku. Dengan setengah menggeram aku bangun dan membalasnya. ”Haha... aku selalu ingin meniru adegan semacam ini dari film,” tawanya gembira. Ia tampak senang berhasil melakukan aksi menyebalkan itu.

”Uhh... dasar kau, pagi-pagi sudah bikin ribut..” pelan kuacak rambutku dan berjalan menuju kamar mandi. ”Jangan mengintip,” perintahku.

”Siapa yang mau!” ledeknya sambil menjulurkan lidah. Aku hanya tertawa menanggapi sifatnya yang terkadang masih kekanakan.

Kutatap wajahku di cermin. Dan tubuhku. Pelan tanganku bergerak, memastikan tidak ada luka di sana. Mimpi yang begitu nyata. Begitu mengerikan. Tanganku berulang kali mengelilingi daerah yang sama. Aku yakin rasa sakit itu berasal dari daerah ini. Tapi siapa? Mengapa? Apa arti mimpi itu? Dan mengapa selalu... wanita itu?

─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

”Cie...!!! Yo Won! Selamat ya, kau kayak kena lotre saja!” teriak salah satu anak perempuan. Otomatis, yang lain ikut menyorakiku.

Kugeser dudukku perlahan. Aduh... rasanya ingin menghilang saja. Kim Nam Gil duduk di sebelahku, tampak asyik dan tenang dengan buku bacaan di pangkuannya. Masa ia sama sekali tidak terusik? Rasanya jengah sekaligus mendebarkan.

”Kurasa aku seharusnya duduk dengan Shin Woo...” bisikku sambil meraih makanan ringan dari tasku, berusaha tampak normal.

”Shin Woo suka sama kuaci,” jawab Kim Nam Gil pendek. Ia mengedipkan sebelah matanya padaku. ”Dan ia bersedia menukar tempat duduknya...”

Kuangkat kepalaku. Shin Woo duduk di sebelah Ye Jin, asyik menikmati sebungkus kuaci. Kulihat ia beberapa kali menawarkan pada Ye Jin, namun ditolak oleh saudariku itu.

”Oh...oh...” sahutku. Seulas senyum mengembang di bibirku. “Kalau nanti ketiduran, tidak apa-apa kan?” tanyaku, berusaha tampak wajar, tapi gagal.

“Tidak, silahkan saja. Free to use…” ujar cowok itu sambil menepuk pundaknya dan menyodorkannya padaku. Ia kembali meneruskan bacaannya. Huh… aku jadi menyesal tidak membawa bacaan apapun.

“Menarik sekali, ya?” tanyaku. Pelan kuintip isi bacaannya. Ya ampun, ternyata petunjuk wisata daerah Gyeongju.

”Lumayan, ada beberapa sejarah singkat Kerajaan Silla yang diceritakan di sini,” jawab cowok itu santai. ”Ehm, bagi ya,” ia mengambil botol minumku dan meminumnya dengan santai. ”Thanks,” jawabnya.

”I-iya, sama-sama...” sahutku. Aduh, masa dia tidak sadar kalau itu adalah ciuman tidak langsung? Oh, cowok mana peduli soal hal semacam itu? sadar Yo Won, tetaplah waras kalau tidak mau disangka gila! ”Silla? Kenapa?”

”Karena menarik,” jawab cowok itu. Matanya memandangku begitu dalam, dan bisa kulihat bayanganku ada di dalam mata itu. kami bertatapan begitu lamanya.

Rasanya pernah... di suatu waktu.. di suatu tempat... tatapan yang sama.... Tempat dimana ada begitu banyak rintangan untuk....mengatakan...cinta...

”Yo Won?” panggil Ye Jin. Aku menoleh kaget menatapnya. ”Kau melamun?” tanya Ye Jin bingung.

Aku mengangguk dengan perasaan kalut. Apa yang kupikirkan tadi? Tempat... tempat apa? ”Ada apa?” tanyaku.

”Ada obat anti mabuk? Aku ingin tidur saja, ah...” ujar Ye Jin. Aku mencari dalam tasku dan tidak menemukannya. Tahu-tahu, tangan Kim Nam Gil bergerak menduluiku, memberikan obat yang dimaksud ke Ye Jin.

”Thanks,” ujar Ye Jin. Wajahnya tampak senang menerima obat itu. Kim Nam Gil hanya tersenyum wajar dan kemudian melanjutkan aktivitasnya, membaca buku.

“Perjalanan akan panjang anak-anak, kalian sebaiknya isitrahat saja dulu…” ujar guru olahraga kami, Pak Jun Noh Min.

Pak Jun kemudian duduk dengan gembira di samping si cantik Han Ga In. Gadis itu berkali-kali menatapku dengan pandangan kesal dan curoga. Jelas, belakangan kuketahui, ia yang seharusnya duduk di sebelah Kim Nam Gil.

Aku merenggangkan tanganku dan menggeliat pelan, lalu bersender ke jendela. Pelan, mataku tertutup perlahan. Semalam memang kurang tidur, sih...

Kemudian, mimpi itu datang. Mimpi yang sama. Kali ini semakin jelas.... dan semakin menangkapku....

─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

”Percayalah... padaku...” pintanya.

Aku mengangguk, menyetujuinya. Tetapi hatiku tidak. Aku ragu. Aku meragukannya hari itu. Dan kini terlambat. Hancur. Kami telah hancur karena ketidakpercayaanku. Karena keraguanku.

”Maafkan aku...” ujarku, merasakan bibirku bergetar dalam kesakitan yang mencekikku. Mencabik-cabik jantungku.

”Hei, kalian berdua tidak apa-apa?” tanya sebuah suara. Secepat mungkin kubuka mataku. Han Ga In berdiri di depanku, memandangku cemas. ”Kau mimpi buruk?” tanyanya bingung.

Nafasku terasa begitu sesak, begitu sulit menariknya. Beberapa kali udara berebut masuk ke paru-paruku dan gagal. ”Tidak apa-apa,” jawabku, setelah rentetan kebingungan yang memenuhi otakku mereda.

Mimpi itu lagi?! Gila! Sehari dua kali, memangnya makan obat?! Kulirik wajahnya yang tampak aneh. Oh, ternyata ia memandang Yo Won. Gadis itu tertidur di sampingku. Tidak jauh berbeda denganku, wajahnya pucat dan berkeringat.

”Kau sakit?” tanya Ga In sambil menjulurkan sekantung obat yang kurasa adalah miliknya.

Yo Won menggeleng dan menolak, ”Mimpi buruk, sudah biasa...” tukasnya pendek, masih setengah menggumam. Kulihat ia beberapa kali menarik nafas panjang. Dan ada bekas air mata di pipinya.

”Kalian berdua aneh, apa kalian memimpikan hal yang sama?” tanya Ga In sambil memiringkan wajahnya. Ia lantas kembali ke duduknya sambil mengulangi kalimat yang sama, ”Kalian sama-sama berkata ’maaf’...”

Aku memandang Yo Won dan berusaha tersenyum. Dadaku selalu berdebar saat melihat senyumannya, dan bagaimana cara matanya memandangku. Ia sama sekali tidak pernah memandangku dengan tatapan iba. Kurasa, itulah penyebab mengapa aku begitu terpikat pada matanya.

”Kau juga mimpi buruk?” tanyaku sambil berusaha tertawa kering. ”Apa yang membuatmu minta maaf?”

”Seorang pria,” tukasnya datar. Kurasakan rahangku mengeras. ”Dia... terbunuh.. entah berapa kali...” Yo Won menarik nafas dan menggigit bibirnya. ”Tidak, sudahlah, lupakan saja...” senyumnya tampak kikuk dan dipaksakan.

Aku tidak bisa melupakannya begitu saja. Pria. Ada pria lain dalam kehidupannya. Pria selain aku. Siapa? Sialan, kenapa otakku jadi panas begini?

“Kau bagaimana?” tanyanya tiba-tiba, memandangku dengan kedua matanya yang diliputi pertanyaan.

“Yah, begitulah...” aku tidak akan berbohong. ”Bukan bermaksud memanasi, tapi... ada seseorang... yang menangis untukku... aku tidak mengenalnya, tentu saja... tapi...” kalimatku terhenti sampai di sana. “Lupakan. Tidak penting,” ujarku dengan senyuman galau.

Otakku terus mengulangi patahan kalimatku.

“Kalian sangat mirip...” gumamku pelan. Tatapanku bertemu dengan Yo Won. Kami berpandangan dengan terkejut. ”Apa yang kau katakan?” tanya kami berdua lagi, berbarengan.

Beberapa mulai menyoraki kekompakan kami yang tidak biasa. Terlalu aneh dan terlalu serba kebetulan. Han Ga In memandang Yo Won dengan tatapan permusuhan. Tetapi itu semua tidak penting.

”Kau bilang apa tadi?” tanyaku pelan, berusaha menekan suaraku sewajar mungkin. Yo Won menatapku dengan pandangan yang seolah menanyakan pertanyaan yang sama. ”Kau bilang kalau seseorang dalam mimpimu itu... mirip dengan...ku?” Sialan! Kenapa lidahku begitu aneh mengucapkannya?!

Yo Won mengangguk dan menatapku lagi. Aneh. Bagaimana mungkin!? Apakah kami memimpikan hal yang sama? Apakah ia memimpikanku sementara aku memimpikannya? Tapi..tunggu wanita itu memang mirip dengannya, tetapi jelas bukan dia, kan!?

”Apakah... pria itu... tertusuk di sini?” tanyaku dengan suara nyaris berbisik. Rasanya semua kenyataan ini terlalu menyentakku. Tanganku menggenggam tangan Yo Won, memintanya menyentuh ulu hatiku. ”Di sini?”

Yo Won membelalakkan matanya kaget dan menatapku. Ia menatap tanganku dan menatapku lagi. Lalu, sedetik kemudian, setetes air mata jatuh di pipinya. ”Ya, di sana... di sana... dan ia... mati...”

Kemudian semuanya mulai kacau dan berputar. Udara di otakku serasa kosong. Lalu gelap. Semuanya gelap. Lagi-lagi.... apakah aku mati?

-to be continued-

Tidak ada komentar: