Selasa, 08 Juni 2010

Fanfic The Future and the Past 33

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
THIRY THIRD SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Young Mishil: UEE: Kim Yoo Jin (Mishil legal daughter)
Ho Jae: Go Yoon Hoo (memakai nama asli di FF)
Bakui: Jang Hee Woong (memakai nama asli di FF)
Kim Yong Soo : Park Jung Chul(nama asli): Jung Yong Soo (nama di FF)
Bo Jong: Baek Do Bin : (memakai nama asli di FF)
fatimah: Kang Sung Fat
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“Akhirnya!!” teriak Yoo Jin girang saat melihat ponselnya pada jam istirahat. Ia tersenyum senang saat menghampiriku. “Akhirnya Yo Won! Akhirnya!!” terus saja ia mengulang kalimat yang sama.

“Apanya yang akhirnya?” tanyaku, sedikit bete.

”Kakakku akan pulang hari ini! Kau mau menjemputnya?!” tanyanya sambil mengguncang bahuku.

Kukerjapkan mataku, menatapnya tidak percaya. Belum pernah kerja otakku selelet ini. ”Pulang? Dia pulang?” tanyaku, masih melamun di kursiku.

”Ya! Ya! Ayo kita jemput dia sore ini! Kau mau ikut kan?” tanyanya. Tangannya sibuk menelepon pacarnya. ”Kak Sang Wook, aku gak bisa pulang bareng hari ini. Iya, ada urusan. Bye...”

”Temannya tidak menjemput?” tanyaku, masih ragu. Apakah ia akan menyukai kehadiranku di sana?

”Aku yakin mereka akan datang! Tapi, kurasa kau harus datang juga! Kakakku pasti senang melihatmu...”

”Kalau benar begitu, aku akan ikut...” jawabku dengan suara tidak jelas.

Dia akan pulang! Kim Nam gil akan pulang! Dadaku mau pecah saking bahagianya. Apakah ia akan menyukai keberadaanku di sana? Jangan-jangan melihatku, dia langsung pergi lagi? Ah, apa sih yang kupikirkan? Tidak. Dia sudah pulang. Dia selamat. Itu lebih dari cukup.


─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

”Kak! Di sini!!” teriak seseorang penuh semangat.

Ternyata Yoo Jin. Bisa kulihat ia berjejalan di samping banyak orang yang mungkin juga menjemput kerabatnya. Kuseret koperku, berjalan ke arah pintu. Kami bertemu di dekat tiang di sana.

“Kau baik-baik saja?! Astaga, kau kurus sekali!!” teriak Yoo Jin sambil mengamati penampilanku. ”Oh, siapa mereka?” tanyanya saat menatap dua sosok di belakangku. Sung Fat dan Baek Do Bin.

”Mereka temanku...” jelasku, menolak lebih jauh untuk bicara. Rusia adalah tempat kenangan berdarah terjadi. Rasanya dadaku sesak tiap mengingat arti tempat itu bagiku. ”Kau sendirian ke sini untuk menjemputku?”

”Tidak dong!!” jawabnya ringkas sambil tersenyum kecil. ”Temanmu, Hee Wong, Yong Soo, dan Yoon Hoo juga datang! Dan satu orang lagi, dia sedang di Wc. Ah,. Itu mereka!!” ia berteriak dan melambai ke arah kerumunan. Kuikuti arah pandangannya.

”Hai, Nam Gil!!” sapa mereka sambil menenteng bungkusan donat yang masih hangat saat diserahkan padaku.

”Donatnya enak sekali!” puji Hee Wong sambil menepuk bahuku. ”Kami memakannya sedikit tadi, haha...”

”Kau baik-baik saja Nam Gil?” tanya Yong Soo sambil menatapku yang terus melihat donat di tanganku.

”Sebegitu laparnya, Nam Gil?” goda Yoon Hoo sambil menyikutku pelan. Aku tertawa dan merangkul mereka. Rasanya tidak nyata. Rasanya begitu aneh. Kami berempat. Dan tidak ada Sung Pil di sini.

”Ngg.. kenalkan, ini adik Sung Pil... namanya Sung Fat...” ujarku sambil menunjuk ke arah gadis di sebelahku.

Ia mengangguk. Perasaanku selalu hancur saat melihat wajah Sung Fat. Ia tidak menyalahkanku, tentu saja. tetapi batinku yang tidak kuasa mengelak dari kenyataan.

”Manis juga! Wajahnya beda yah dari Sung Pil!!” tawa Hee Wong menghilang setelah melihat sekeliling. ”Oh ya, mana Sung Pil?”

”Dia sudah... meninggal...” jawab Do Bin di belakangku. ”Aku turut berduka cita, Sung Fat.. oh, malam ini kau ke tempatku saja...”

”Meninggal?” raut muka ketiga temanku dengan segera memucat. ”Apa maksudnya ia meninggal? Tidak mungkin kan!” mereka saling memandang dan kemudian terdiam setelah melihat betapa keruhnya eskpresiku. Kurasa mereka paham. Aku akan menjelaskannya nanti, tidak sekarang.

”Kak! Sung Fat ikut bersama kita saja!” ujar Yoo Jin tiba-tiba. Aku mengangguk pelan. Tidak disangkan Yoo Jin kadang bisa bertindak bijaksana juga. ”Kenalkan! Namaku Yoo Jin!!” Sung Fat menyambut uluran tangan itu dengan senyuman ramah.

”Oh! Dia datang!” seru Yoo Jin sambil menatap jalan di depanku. ”Kau lama sekali, sih! Apa kau tersesat?”

”Begitulah, maafkan aku..” jawab suara itu. ”Setelah dari WC, aku tidak tahu jalan mana ke sini...” walaupun pemilik suara itu berada di belakangku, bisa kurasakan bongkahan perasaan aneh memenuhi dadaku.

”Hai,” sapanya saat kubalikkan badanku. Mataku menatap matanya yang bening dan begitu jujur. Aku masih ingat sepucuk surat yang dititipkan Sung Pil padaku untuk Sung Fat. Di sana, ada 2 kalimat yang ditujukan untukku.

Seandainya aku mati, hiduplah dengan berani, Nam Gil, temanku, bukan dalam penyesalan. Kurasa, inilah takdirku, bukan semata kesalahanmu dan lindungilah orang yang kau cintai, selamanya.

”Kau pulang...” ujarnya. Tersenyum, dan kemudian, air mata mengalir di sana, di kedua belah pipinya.

”Ya... aku pulang...” senyumku. Merasa hidupku akan berakhir kalau tidak melihatnya lagi.

Sebelum menyadari apa yang dipikirkan otakku, tubuhku bereaksi lebih dulu. Aku maju dan memeluknya, merasakan dunia seolah berhenti berputar. Kilasan yang sama bergaung di kepalaku. Dua insan yang berpelukan dalam temaram lilin. Aku mencintainya... aku mencintainya... dan aku ingin terus memeluknya seperti ini...


─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

Kim Nam Gil maju dan memelukku. Sejenak otakku terasa kosong, dan lututku lemas dalam pelukannya. Lalu, kilasan itu lagi… kali ini lebih jelas dan semakin jelas… kami bertatapan begitu lamanya. Dan sorot matanya begitu dipenuhi kepedihan, membuatku bertanya-tanya.

Lalu kilasan itu mengambil alih seluruh kesadaranku. Pria itu di depanku, menatapku, dn bicara.

“Kau adalah satu2nya orang yang tidak merendahkan atau mengejek tindakanku. Kau berkata padaku, dalam dunia ini apa yang bagiku keberanian dunia mengatakan itu kekejaman, Kau memujinya sebagai keberanian dan mendukungku dalam keseluruhan strategi. Kau memujinya sebagai strategi yang brillian. Hari saat aku kehilangan ibu, pertanyaan Ratu apa aku yang menyebabkan ini bukan dipenuhi dengan penyalahan seperti sekarang tapi dengan pelukan yang penuh dengan pengertian.”

Kurasakan getaran di hatiku saat aku bicara dengan lantang, “jangan bicara lagi” rasanya dadaku sesak mendnegar kalimatnya. Begitu dalam arti diriku di hadapan pria ini. Dna begitu dalam arti keberadaannya.... di hatiku...?

Kemudian pemandangan bergerak berubah. Pria itu menghampiriku yang sedang berdiri di samping sebuah danau dan bertanya. ”Apa Ratu sudah mengambil keputusan?”

Kalimat mengalir lancar di mulutku, sekalipun aku tidak memahami apa yang kukatakan. Pria itu mendengarkan dalam diam, dan matanya terus menatapku. “Aku tidak punya nama apakah itu Putra Mahkota atau putri , bahkan orang di pasar punya nama tapi Penguasa tidak punya nama untuk dirinya sendiri. Penguasa hanyalah "Yang Mulia". Sekarang tidak seorang pun yang bisa memanggil namaku...” ujarku. Dadaku terasa sesak. Perasaan...yang aneh. Nyaris seperti.. keputusasaan...Ratu? Apakah aku seorang ratu?

Kemudian, pemandangan itu menghilang. Kim Nam Gil menatapku dengan pandangan cemas. ”Kau tidak apa-apa?”

”Mungkin kau memeluknya terlalu keras...” celetuk yang lain. Bisa kudengar geraman kesalnya. Bisa kurasakan betapa panasnya pipiku saat tangannya masih menyentuh bahuku.

”Apakah... kau sudah.. tidak... marahg lagi?” tanyaku hati-hati.

”Kapan aku marah padamu?” senyumnya. Ia menatap wajahku dan mengusap keringat di dahiku. ”Apakah kau sakit?”

”Tidak, aku tidak apa-apa...” namun, belum kalimtaku usai, kilasan itu sudah kembali muncul. Dan tubuhku, terlalu lelah menerimanya, terkulai lemas dalam pelukan Kim Nam Gil.

”Astaga! Dia pingsan!” aku ingin menjawab Yoo Jin kalau aku tidak apa-apa, tetapi menggerakkan bibirku pun tidak bisa.

”Aku akan membawanya pulang. Ayo kita pulang teman-teman...” ujar Kim Nam Gil. Ia menggendongku sehingga kepalaku tepat di dadanya. Bisa kudengar detakan jantungnya yang begitu nyata... dan tangannya yang begitu hangat merengkuhku...

kali ini sebuah kilasan kembali muncul....

--to be continued--

Tidak ada komentar: