Selasa, 08 Juni 2010

Fanfic The Future and the Past 32

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
THIRY SECOND SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Young Mishil: UEE: Kim Yoo Jin (Mishil legal daughter)
lady Ma Ya (King Jinyeong's wife) : Yoon Yoo Sun (Ibu dari Yo Won dan Ye Jin, memakai nama asli di FF)
San Tak: Kang Sung Pil (memakai nama asli di FF)
Bo Jong: Baek Do Bin : (memakai nama asli di FF)
fatimah: Kang Sung Fat
Yeomjong (tetap memakai nama ini)
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

“DORRR!!!”

“Shit!!” aku menyumpah serapah dalam hati.

Sialan. Kenapa bisa jadi begini kacaunya? Dua belas jam perjalanan ke Rusia, transit sekitar 2 jam lagi, istirahat sejam di hotel hanya untuk mengisi perut, dan tepat ketika matahari terbenam, transaksi dimulai. Begitu saja. Seharusnya, semudah itu.

Kemudian, transaksi selesai dengan aman. Sebelum akhirnya, ketika kami berbalik pergi, membiarkan pesawat pengangkut senjata itu pergi, sebuah pistol ditembakkan ke arah kami, mengenai lengan Sung Pil. Dan ketika kami menoleh, bukan pihak yang mengadakan perjanjian dengan kamilah pelakunya, melainkan Yeom Jong.

Ia kesal dan marah. Seharusnya ia yang menempati posisiku. Seharusnya ia yang mendapat keuntungan besar dalam proyek ini, namun keikutsertaanku menghancurkan semua rencananya. Do Bin sudah memberitahukan kemungkinan campur tangan Yeom Jong. Namun, tidak kuduga ia demikian gelap mata.

“Sung Pil! Bagaimana keadaanmu?” tanyaku pada Sung Pil yang berdiri merapat di sebelahku. Kami bersembunyi di balik drum-drum besar yang sudah terbengkalai. Maklum, tempat serah terima kami adalah di daerah pergudangan.

“Tidak apa, hanya terserempet sedikit, yoo…” senyumnya dengan dahi penuh keringat. Tangannya memegang pistol dengan mantap. ”Tenang saja, kita tidak akan mati, yoo...” ujarnya menyemangati.

”Aku tidak akan mati, yoo…” sorot matanya begitu tegas saat mengatakannya. ”Tidak sebelum bertemu Sung Fat...”

”Baguslah kalau semangatmu setinggi itu...” ujarku. Tetapi, sebelum kalimatku selesai, sebuah rasa panas membakar memenuhi tangan kiriku. ”DDORRR!!!”

”Kim Nam Gil!!” teriak Sung Pil, penuh kepanikan.

─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“PRANGGG!!!” dengan sigap kupunguti pecahan kaca itu, dan sedetik kemudian, tanganku berdarah. Pelan, kutatap darahku itu.

“Yo Won! Ya ampun! Sana, obati lukamu!” Mama mendorong bahuku dan kemudian menggulung lengan bajunya, membantuku memunguti pecahan mug kesayanganku. “Wajahmu pucat, Yo Won..” tegur Mama saat melihatku menempelkan plester di lukaku.

“Perasaanku cuma tidak enak, itu saja Ma...” Tapi, aku sendiri tidak yakin. Benarkah? Kenapa pikiranku selalu saja kembali ke cowok itu? Dan kemudian, selintas pertanyaan melewati benakku. “Ngg.. Ma, boleh aku bertanya?”

“Ada apa? Kesannya formal sekali...” gurau Mama sambil meletakkan sayuran di depannya dan mulai menyiapkan makan malam.

”Begini, Mama dan Go Hyun Jung terlihat dekat di pesta reuni hari itu. tapi, kenapa Mama mencurigainya soal kedekatannya dengan Papa...?”

Mama menghentikan kegiatannya dan duduk di sampingku. ”Maksudmu, kenapa Mama mencurigai teman Mama sendiri, bukan?” pelan aku mengangguk, dan mama meneruskan ceritanya.

”Aku─ Yoon Yoo Sun, Im Ye Jin, Go Hyun Jung, dan Soo Jin, adik dari Ye Jin... kami berempat geng terkenal di SMA dulu...” kenang Mama dengan mata menerawang. ”Soo Jin sakit-sakitan, memendam cinta pada kekasihnya Go Hyun Jung, Sa Da Ham. Pria yang baik, dan ramah...”

Aku diam dan mendengarkan. Tidak disangka... dunia pria itu, Kim Nam Gil, begitu dekatnya denganku...

”Dengan paksaan Ye Jin dan aku, Hyun Jung setuju untuk putus dari Sa Da Ham. Ia bertunangan dengan pria lain. Sa Da Ham yang hancur akhirnya berpaling pada Soo Jin.

Namun itu tidak lama. Sa Da Ham menemukan kalau Hyun Jung tidak pernah menikah dengan tunangannya, dan mereka selingkuh. Saat itu, Sa Da Ham sebenarnya sudah lama menikah dengan Soo Jin, namun mereka tidak diberi keturunan.”

Perselingkuhan membuahkan anak. Skandal kehamilan Hyun Jung ditutupi dari pers, Sa Da Ham membawa bayi itu pulang, dan kemudian, Soo Jin begitu benci pada bayi itu, benci karena ia tidak bisa memberikan keturunan, dan akhirnya berakhir tragis dengan bunuh diri...”

Tidak ada kalimat apapun yang keluar dari bibirku. Begitukah? Ironis sekali nasib Kim Nam Gil. ”Apakah... Papanya masih hidup?”

”Sa Da Ham seorang arsitek terkenal. Namun beberapa waktu setelah Soo Jin meninggal, ia frustasi, merasa dirinya penyebab kematian istrinya, dan akhirnya meninggal dalam kecelakaan mobil karena mabuk-mabukan. Karena itulah, suami Ye Jin, teman sepekerjaan dengan Sa Da Ham, membawa bayi itu pulang. Kurasa kau tahu kenapa...”

”Aku masih tidak mengerti,” potongku. Bisa kurasakan, pria itu tumbuh dalam kebencian di rumah yang begitu dingin. Dan Papa yang menyayanginya, tidak ada. Air mataku menetes pelan mendengar cerita Mama.

”Yah, Hyun Jung tipe yang paling sulit kupahami. Ia tertutup dan begitu taktikal. Aku tidak bisa memahami jalan pikirannya... Dan Papamu, memiliki apa yang wanita ambisius butuhkan. Uang dan kekuasaan. Kurasa, itulah yang membuatku berjaga-jaga...”

”Ma, biar bagaimana pun, mungkin memang perselingkuhan itu sangat rendah. Tapi, tetap saja, bukan anak yang salah, kenapa anak yang menanggung kesalahan itu?”

”Yo Won... itulah hidup. Kau akan memahaminya kelak…”

Kalimat Mama perlahan mengiang di otakku. Sorot mata cowok itu selalu saja kesepian, dan dingin. Begitu dingin... karena ia sendiri, tidak pernah merasakan apa yang dinamakan kehangatan...


─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

”Brengsek!!” makiku. Darah menyembur keluar dari luka di tanganku. Syukurlah ia bukan penembak ulung. Denyutan rasa sakit terasa menembus sarafku, sampai ke bahu.

”Darahmu banyak sekali,yoo.. Kim Nam Gil... kau tidak apa, yoo?” wajah Sung Pil tidak kalah pucatnya denganku. Ia memeriksa selongsong pelurunya. ”Tinggal satu tembakan lagi. Gagal, artinya kita kalah...”

”Kita masih beruntung...” tukasku, merasa optimis. ”Dia hanya bertiga. Dan dua lagi sudah lumpuh...” kuingat, aku dan Sung Pil masing-masing menembak salah satu dari mereka. ”Tinggal Yeom Jong. Rasanya bersyukur si bodoh itu terus menyerempet sasaran...”

”Ya, dia memang tidak begitu pandai menembak, yoo...” ujar Sung Pil, mengarahkan pistolnya ke arah tempat persembunyian Yeom Jong.

Pria itu muncul dan menembak membabi buta. Sung Pil terkena satu tembakan lagi di bahunya. Secepat itu kuangkat pistolku, kutembakkan ke tangan pria itu. pistolnya terlempar jauh, dan bersamaan dengan itu, ia mengerang kesakitan.

”Sung Pil! Bertahanlah! Dia sudah kalah! Akan kubawa kau ke rumah sakit sekarang...” ujarku, memapah Sung Pil sambil berusaha mengingat letak rumah sakit berdasarkan peta pemberian Do Bin.

”DDORR!!” sebuah peluru melesat, kembali menggores bahuku. ”Arrghh!!” mati-matian kupertahankan Sung Pil di bahuku. Sekuat tenaga aku berlari. ”Darimana asal tembakan itu?” tanyaku pada Sung Pil yang kini kugendong di punggungku.

”Dari atap... kelihatannya ada satu sniper tersisa...” belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Sung Pil mendorongku. Lalu, ia mengerang keras.

”Sung Pil!!” teriakku, panik. Peluru menembus perutnya. Dengan bahu yang terluka, kuraih pistolku yang terjatuh, dan kutembakkan ke arah pria itu. Nyaris gagal, namun kena telak ke tangannya. Pistol laras panjangnya jatuh. Sung Pil merangkak meraihnya, dan menembakkan pistol itu berulang kali ke arah atap.



”Dimana ini?” tanyaku. Kepalaku terasa sakit dan sekelilingku masih berputar. ”Bagaimana keadaan temanku?” otomatis kutarik selimut yang menutupi tubuhku, dan berjalan terhuyung-huyung dengan berpegangan pada dinding.

”Temanmu masih belum sadar...” ujar Dokter itu dalam bahasa inggris. ”Kau bisa memahamiku? Coba duduk dulu... Bagaimana? Ada yang kau ingat?”

”Aku hanya ingat... aku menggendongnya sekuat tenaga...dan begitu melihat rumah sakit ini... semuanya gelap...” jawabku dalam bahasa inggris sambil memegang kepalaku. Bahuku terasa berdenyut sakit.

”Kau banyak mengalami luka di bahu sebelumnya... kurasa, ototmu cukup terlatih menerimanya. Sayangnya, temanmu tidak demikian...”

”Apa maksud dokter?” tanyaku, kuat-kuat mencengkeram bajunya.

Dokter itu tersenyum pahit memandangku. ’Temanmu kritis... ada anggota keluarganya di sini?”

Jantungku berdentam kencang mendengar kalimatnya. Apa maksudnya itu? Sung Pil kritis? Apa yang harus kukatakan pada... Sung Fat? Ponselku bergetar. Panggilan internasional dari Do Bin. ”Halo?”

”Senang mendengar suaramu, Nam Gil. Bagaimana keadaanmu?”

”Buruk,” jawabku singkat. ”Yeomjong mengacaukan segalanya. Sung Pil kritis. Kuharap kau bisa membawa Sung Fat ke sini... Eh, apa nama rumah sakit ini?”

Dokter menjawab pertanyaanku. Begitu kusebutkan nama rumah sakit itu, Do Bin berkata, ”Tidak perlu khawatir. Aku akan ke sana dengan Sung Fat...”


─Lee Yo Won, Seoul, 2008─

“Apa yang kau maksud? Bagaimana mungkin kau tidak tahu Kakakmu pergi kemana?” tanyaku, nyaris emosi.

“Dia tidak bilang apapun dan menolak menjelaskannya. Bagaimana aku tahu? Kau tahu sendiri. Dia paling tidak bisa dipaksa!!” jawabnya kesal. Kelihatannya Yoo Jin sama cemasnya denganku.

“Sudah tiga hari dan masih belum ada kabar…” gumamku. ”Apakah ia aman-aman saja di sana?” tanyaku lagi.

“Kau doakan saja. Aku sendiri dan Mamaku tidak bisa menghubungi ponselnya. Selalu saja tidak aktif…”

“Tidak adakah cara mengetahui dimana keberadaannya?” tanyaku lagi.

“Tidak ada. Satu-satunya cara adalah diam dan menunggunya. Doakan saja dia. Aku punya perasaan, Kakakku tidak akan mati semudah itu...”

Pandangan cemasku membentur mata Yoo Jin yang menatapku dalam-dalam. Aku menginginkan ketegaran seperti miliknya. Oh Tuhan, lindungi dia, dimana pun ia berada.


─Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

”Apa yang terjadi?” tanya Sung Fat begitu ia tiba di rumah sakit tempatku dan Sung Pil berada. Wajahnya diliputi kecemasan luar biasa.

”Maafkan aku...” jawabku. ”Operasinya sedang berjalan. Kuharap kau bisa menunggu sebentar...”

”Kakak... tidak cerita apapun padaku...” tangis Sung Fat sedih. ”Bagaimana... kalau terjadi sesuatu padanya...?”

Kubiarkan ia menangis di bahuku. ”Maaf, aku gagal menjaganya...” matanya yang basah menatapku sendu, lalu sebuah senyuman membekas begitu dalam di bibirnya.

”Kakakku selalu mengatakan... bisa mati melindungimu, adalah hal paling membanggakan dalam hidupnya....”


Beberapa saat kemudian, pintu ruang operasi terbuka. Dokter melangkah keluar dengan raut wajah keruh. ”Operasinya berhasil, tetapi... kami cemas, tubuhnya tidak kuat menahan semua rasa sakitnya...” ujar dokter itu sambil menggeleng khawatir. ”Kalian harus menengoknya. Mungkin untuk yang terakhir kalinya....”

”Apa maksudmu?” tanya Sung Fat berurai air mata. “Kakakku adalah orang yang kuat!!” tukasnya, lalu lari menerobos pintu dan memasuki ruang perawatan.

“Kakak!!” ia memanggil Kakaknya dan terus menangis. Sung Pil membuka matanya perlahan-lahan, tersenyum melihat wajah adiknya. “Kak, cepat sembuh! Lalu pulang bersamaku!”

“Sung Fat, ada… yang mau… kukatakan padamu…yoo..”

“Apa itu, Kak?” Tanya Sung Fat, memegang tangan Kakaknya erat di pipinya. ”Katakan saja...”

”Kau sangat cantik...” gumam Sung Pil, tersenyum. Air mata menetes di pipinya. ”Selama ini... kau tidak seperti adik bagiku, tapi...se..orang wanita...”

”Aku tahu, aku tahu itu...” Sung Fat mengangguk dan meneteskan air mata. Aku berjalan ke samping Sung Fat, menatap sahabatku dan tersenyum padanya.

”Hai, Nam gil, yoo...” ia tertawa menatapku. Setetes airmata menitik di pipinya. ”Syukurlah, kali ini... aku bisa menolongmu...”

”Kau banyak berjasa untukku. Kau adalah teman baikku, Sung Pil...”

Sung Pil tertawa sekaligus menangis. ”A-aku, senang... bisa menjadi teman baikmu. Terimakasih. Nam Gil...” isaknya tertahan.

”Kak, jangan banyak bicara. Ayo, istirahat saja... ya?” Sung Fat tersenyum pada Kakaknya. Bulir-bulir air mata terus menetes di pipinya. ”Nanti.. kita belanja makan malam bareng-bareng lagi...”

Sebelah tangan Sung Pil terangkat naik dan menghapus air mata itu. ”Aku... bahagia... bersamamu...”

”Ya, aku tahu itu...” jawab Sung Fat lagi. ”Karena itu, tetaplah bersamaku, tetaplah membahagiakanku...” ia mulai menangis terisak-isak. Do Bin menepuk pundak gadis itu dengan lembut.

”Sung... Fat, sebenarnya... aku... ” Nafas Sung Pil semakin menghilang. ”Sudah....sejak lama.....” suaranya mengecil, nyaris berupa bisikan, dan akhirnya menghilang. Tangsnnya terkulai lemas.

”Kak! Katakan! Apa? Apa yang mau kau sampaikan padaku?” tangis Sung Fat semakin menjadi-jadi. ”Kau belum mengatakannya! Huhu.. jangan pergi! Kakak, aku... aku mencintaimu, Kak... bukan sebagai kakak, sebagai pria! Katakan! Katakan itu, Kak! Katakan!!!” ia menjerit histeris, menangis sejadi-jadinya, dan kemudian jatuh pingsan.

”Sung Pil! Katakan ini tidak benar!!” teriakku, mengguncang tubuhnya. ”Kau bilang akan selalu menemaniku! Hei! Bangunlah!!! Aku baru saja kehilangan Papaku! Sung Pil!! Sung Pil!!!”

”Sudahlah Nam Gil, sudahlah...” Do Bin menepuk punggungku. Ia memapah Sung Fat yang pingsan dan menidurkannya di sofa. ”Apakah, Sung Pil meninggalkan pesan untuk adiknya?

”Seharusnya, kami tidak menulis pesan itu...” rasa sakit memukul-mukul jantungku. ”Kalau kami tidak menulisnya, mungkin ia bisa memompa semangat hidupnya...”

”Tidak, kau melakukan hal yang benar....” Do Bin menepuk pundakku. Tangannya gemetar dan terasa dingin. ”Aku akan mengurus semuanya. Abunya akan dibawa ke Korea... Kau juga harus istirahat, Nam Gil...”

”Aku ingin berada di sini...” tukasku, menepis tangannya pelan. “Aku ingin menemaninya sampai saatnya nanti...”

”Aku tahu itu... Baiklah, kalau begitu, aku akan menunggu di luar...”

”Ya, tolong tinggalkan aku sendiri...”


”Kak Nam Gil?” panggil Sung Fat.

“Kau sudah sadar?” tanyaku sambil menatapnya pedih. Rasanya aku tidak tahu harus mengatakan apa dalam situasi semacam ini. ”Aku tidak akan menyalahkanmu kalau kau membenciku...”

”Aku tidak membencimu... Bukan kau penembaknya, bukan?” ujarnya sambil bangkit dan menghampiri ranjang tempat jenasah kakaknya berada. “Aneh bukan? Rasanya ia hanya tertidur saja di sana…”

”Sung Fat, terimalah ini...” kusodorkan sebauh surat yang ditulis Sung pil. Kurasa, memang untuk Sung Fat surat itu tertuju.

Sung Fat membacanya dengan tangan gemetar. Air mata memenuhi pipinya. “Kakak… menitipkanku pada seseorang… kurasa aku akan menemuinya nanti…” ia melipat surat itu dan tersenyum padaku.

“Aku pasti akan kehilanganmu, Kak… Kakakku adalah cinta pertamaku...” ujarnya.

”Kau tahu, Sung Fat, Kakakmu juga mencintaimu...” ujarku dengan nafas tercekat. Sejenak tenggorokanku terasa begitu panas. ”Kurasa,.. itu yang akan dikatakannya...”

”Aku tahu...itu...” jawabnya sambil mengangguk pedih. ”Kami sama-sama saling menahan diri agar tidak saling menyakiti...” ia memegang tangan Kakaknya dan menangis. ”Kumohon. Tinggalkan aku disini...”

Aku berjalan keluar dan duduk di koridor panjang rumah sakit. Koridor itu terasa begitu sunyi dan mencekam. Rasanya ini semua tidak nyata. Sung Pil. Kang Sung Pil telah tiada. Mimpi buruk macam apa ini?! Rasanya bahkan baru kemarin aku mengenalnya!!

Tanganku bergerak menutupi wajahku. Air mataku mengalir perlahan. Bisa kurasakan amarah berkecamuk di dadaku.

Kalau ini mimpi buruk, aku ingin bangun secepatnya. Aku bisa gila berada di dunia sekacau ini. Satu demi satu orang yang kucintai pergi meninggalkanku. Menyakitkan... Aku tidak akan lari dari takdirku. Keluargaku, teman-temanku, dan Lee Yo Won. Aku akan melindunginya. Walau nyawa taruhannya.


--to be continued-

Tidak ada komentar: