Selasa, 08 Juni 2010

Fanfic The Future and the Past, side story 3,

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
SIDE STORY 3
-PIANIST’S DIARY -
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Alcheon: Lee Seung Hyo (memakai nama asli di FF)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Young Bakui: Joo Sang Won as Wolya brother (real name: Seo Sang Won)
Shendi: Han Shin Woo
Rin: Na Rin Young
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

─Han Shin Woo, Seoul, 2009─

Dear diary, sebentar lagi ulangtahun Kak Seung Hyo tiba. Mungkin bodoh karena aku menyukai pria yang begitu populer di sekolahku. Ketua OSIS, dan murid yang tidak pernah keluar dari peringkat tiga besar di sekolah. Tampan, dan pandai olahraga. Hh.. kubuat coretan2 iseng sampai puas, dan kemudian, kumasukkan hadiah yang kusiapkan untuk cowok itu, beserta buku harianku ke dalam tas.

Yes! Tidak ada siapapun di sekolah! Dengan berjinjit, kubuka loker Kak Seung Hyo, dan kumasukkan kado yang sudah kusiapkan untuknya, kue yang kubuat sendiri. Ini kedua kalinya kubuat hadiah tanpa nama untuk cowok itu. Aku tidak berharap perasaanku dibalas, hanya berharap... ia memakan kue itu dengan bahagia.

Ingatanku kembali ke kemarin sore, ketika akhirnya kuhabiskan waktu lama untuk memutuskan menyatakan perasaanku, tidak sampai sejam, tekadku sudah goyah. Aku bermaksud menyapa Kak Seung Hyo, ketika detik itu kulihat seorang gadis cantik berdiri di depannya.

“Kak Seung Hyo… aku menyukaimu…” ujar gadis itu. Aku terdiam di tempatku dan menahan nafas.

”Maaf, ya... sekarang ini aku ingin konsentrasi ke ujianku dulu. Karena itu, tidak bisa....” tolak Kak Seung Hyo ramah.

Aku membatu di tempatku berdiri. Dan sampai kedua sosok itu pergi, aku masih belum beranjak dari tempatku berdiri. Air mata membanjiri pipiku. Kak Seung Hyo bukan hanya menolak gadis itu. secara tidak langsung, aku merasa patah hati, bahkan sebelum menyatakannya.

─Lee Seung Hyo, Seoul, 2009─

Lagi-lagi piano di ruang musik berdenting tanpa kuketahui siapa pemainnya. Seperti hari-hari yang lalu, musik itu begitu membius dan memikatku. Bagaimana mungkin si pemain mengetahui lagu kesukaanku sejak kecil? Sudahlah, kuputuskan untuk tidak memikirkannya di hari ulang tahunku. Kakiku berjalan ke arah loker, berharap menemukan kado yang kunantikan.

Sebuah kado tanpa nama. Aku begitu penasaran, sebenarnya siapa sih pengirimnya? Seulas senyum mengembang di pipiku. Kue tahun ini bahkan terlihat lebih enak daripada kue tahun sebelumnya.

“Hadiah dari siapa, Seung Hyo?” tanya Rin Young. Ia tertawa melihat wajahku belepotan terkena krim kue coklat itu. “Kelihatannya enak sekali…”

“Memang enak,” senyumku sambil menusuk kue itu dengan garpu dan melahap sepotong besar.

“Siapa pengirimnya? Kau menolak semua hadiah lain, tapi menerima kue itu. Kurasa pengirimnya special untukmu…”

“Entahlah…” jawabku, masih asyik mengunyah kueku.

“Wajahmu bahagia sekali, Kak,” sambar Sang Won yang tahu-tahu sudah duduk di depan meja Rin Young. Aku tidak perlu menanyakan alasan kedatangannya. Akhir-akhir ini, mereka berdua memang selalu terlihat bersama.

“Mungkin dia sudah jatuh cinta sama si pembuat kue…” celetuk Rin Young sambil membuka bekalnya, membaginya dengan Sang Won.

“Enak saja!” elakku. “Belum tentu aku jatuh cinta sama si pembuat kue ini! Hanya saja...” aku tidak tahu harus bagaimana meneruskan kalimatku. Akhirnya, aku hanya berkata. ”Begitulah...”

”Aku tahu loh, siapa pembuatnya...”

Kue di mulutku nyaris membuatku tersedak saat mendengar kalimat Sang Won. ”Kau tahu!? Bagaimana mungkin?!”

”Kebetulan saja. tadi pagi, aku lewat ruang loker sebelum ke klub...” jawab Sang Won sambil dengan gembira memakan bekal Rin Young. ”Tapi tidak akan kuberitahu... Eh, apa itu hadiah tambahan?” tanya Sang Won sambil menunjuk sesuatu yang berada di bawah kotak pembungkus kueku.

”Entah,” kuangkat benda itu dan mengamatinya. ”Mungkin juga hadiah tambahan,” begitu halamannya kubuka, seketika itu juga batukku tidak bisa berhenti.

─Han Shin Woo, Seoul, 2009─

“Dimana diary-ku!!” dengan panik kubongkar dan kubuka tasku, menumpahkan semua isinya ke meja belajarku. Kotak pensil, dompet, buku catatan pelajaran, penggaris, dan… tidak ada dimana pun! Matilah! Habislah aku!

”Yo Won?” suaraku terdengar panik saat ia menjawab teleponku. ”Kau melihat diary-ku? Tidak? Oke, terimakasih...” aku ganti menelepon Yoo Jin dan teman lainnya. Tidak ada. Tidak ada dimanapun. Habislah. Habislah aku. Tidak, coba tenang, tenangkan dirimu dan ingat-ingat dimana kau letakkan buku itu Han shin Woo!!

”RRRR...” ponselku kembali bergetar, kali ini yang meneleponku adalah... ”Halo, siapa ini?” sebuah nomor tidak dikenal.

”Ini Seung Hyo...” jawab suara dari seberang. Lututku langsung lemas mendengarnya. Tidak mungkin... katakan tidak benar... Jangan sampai... ”Bukumu ada padaku. Kapan kau ingin mengambilnya?” AARGHHH!! Tidak!! Kenapa harus sama Kak Seung hyo!!!

”Secepatnya,” jawabku, sambil menelan ludah dan menarik nafas panjang. Jantungku berdebar naik turun namun sebisa mungkin kutenangkan diriku.

”Oke, kita ketemu Sabtu depan...”

Oh, tidak. Tidak. Kak seung Hyo akan marah. Aku akan malu besar. Ia akan menolakku. Aku ketahuan menyukainya. Tidak. Tidak. Seseorang, tolong katakan ini tidak benar!!! Aa.... tapi, kemungkinan besar kami akan... kencan? Paling tidak, aku mendapat satu kesempatan untuk bersenang-senang, seblum akhirnya ia memarahiku.

─Lee Seung Hyo, Seoul, 2009─

“Pagi,” sapaku sambil tersenyum. Gadis itu tampak modis di depanku. Pakaiannya kasual dan rapi, tipe yang kusukai. Namun wajahnya murung, dan tampak ketakutan.

”Ayo, Shin Woo... kita ke kafe itu dulu...” ujarku sambil menarik tangannya. Ia berjalan mengikuti dengan wajah menunduk. Ada apa dengan gadis ini? Kenapa tingkahnya seolah aku akan memakannya?

”Ini buku harianmu...” ujarku sambil menyerahkan buku itu. ”Kurasa, kau salah meletakkannya di lokerku, bersama kado itu. oh ya, aku belum sempat membacanya. Hanya melihat halaman pertama...”

Wajahnya kontan mencerah mendengar penjelasanku. ”Kakak belum membacanya?” ia menerima buku itu dan mendekapnya dengan wajah begitu gembira. ”Terimakasih!!” serunya sambil tersenyum manis.

”Ya, sama-sama...” balasku. ”Oh ya, ada yang mau kutanyakan padamu... Apakah kau yang meletakkan kue itu?”

Gadis itu menatapku dengan terkejut. Lalu sejenak, ekspresi wajahnya memucat. ”Apa kuenya tidak enak?” tanyanya.

”Kau membuat dan memberikannya padaku?” tanyaku penuh selidik. Apakah ia gadis yang kucari-cari?

”B-bukan! Bukan! Aku hanya dimintai tolong...”

Sudah kuduga, pikirku. Tidak mungkin semua terlalu kebetulan begini. Tidak mungkin gadis itu Han Shin Woo... ”Apa... aku boleh menitipkan pesan?” tanyaku lagi. Gadis itu mengangguk hati-hati dan tersenyum.

─Han Shin Woo, Seoul, 2009─

Dear Diary, aku berbohong pada Kak Seung Hyo. Sudah kuduga ia tidak emngingatku. Sudah kuduga ia melupakanku. Begitu menyakitkan, namun aku tahu aku harus menyerah. Hanya ucapan terimakasih yang ia titipkan untuk si pembuat kue. Dan itu tidak ada artinya bukan? Aku tidak boleh berharap. Aku tidak boleh menyukainya lagi. Aku harus melupakannya. Tapi bagaimana? Kenapa setiap detik, otakku selalu mengingatnya?

“Shin Woo… aku mau bicara, boleh?” tanya Sang Won sambil berjalan ke arahku. Ia duduk di sampingku dan bertanya dengan wjaha serius. “Kenapa kau tidak mengaku pada Kak Seung Hyo?”

“Karena aku akan hancur kalau melakukannya…”

”Hancur bagaimana?” tanya Sang Won, sepolos biasanya. Ia memang lugu dan polos, dan karena itu banyak yang tertarik pada kepolosannya yang begitu murni. ”Kulihat, kalian saling menipu begitu...”

”Kau sendiri bagaimana? Hubunganmu dengan Kak Rin Young juga tidak jelas...” tuduhku.

”Aku bisa mengurusnya sendiri. Paling tidak, aku bisa saling memahami dengan Rin Young. Beda dengan kalian berdua. Apa untungnya sih, diem-dieman begitu?”

”Sang Won, kau tidak tahu apa-apa! Pikiranmu itu terlalu lugu! Seperti anak kecil, tahu! Jadi jangan bilang apapun lagi! Cukup!!”

Dear diary, aku menyesal melukai hati Sang Won, mengatainya anak kecil. Aku menyesal dan akan meminta maaf besok. Kurasa aku butuh memainkan piano untuk melupakan masalahku sejenak.

Kubuka pintu ruang piano dengan kunci duplikat yang kuperoleh dari pengurus sekolah. Seperti biasa, tidak ada orang di sana. Kumainkan bait demi bait. Dan begitu lagu selesai. Sebuah tepuk tangan membahana di ruang musik yang kecil itu.

Sudah kuduga. Kau bukan pembohong yang baik, Shin Woo…” ujar Kak Seung Hyo sambil tersenyum. Ia bersender di dinding dengan sebuah senyuman kemenangan. ”Kau pemain piano yang berbakat, dan sekaligus koki yang hebat...”

”Kakak... membaca diary-ku...?”

”Sudah kukatakan. Aku hanya melihat halaman pertama.. dan di sana, ada fotomu sewaktu masih kecil. Kau gadis itu bukan? Tetangga kecil yang pindah sebelas tahun lalu? Kita biasa main piano berdua...”

“Kukira Kak Seung Hyo sudah melupakanku...” aku nyaris menangis saat ia bergerak maju dan menuntunku kembali ke pianoku. Kami duduk bersebelahan, dan memainkan melodi yang sama, seperti sebelas tahun lalu, saat kami berdua masih kecil.

Semua kenangan masa kecilku tergambar jelas dalam setiap dentingan piano kami. Memoriku bersamanya di SMA ini juga ada di sana. Dan air mataku menetes pelan saat mengingat kebersamaan kami dulu, dan sekarang. Tidak kuduga, bisa berada sedekat ini lagi dengannya.

“Kau... tidak punya rahasia lain dariku?” tanya cowok itu lagi.

Aku berusaha tersenyum tetapi gagal. Air mata memenuhi pipiku, memaksaku menunduk untuk menghapusnya. “Aku... bohong...”

“Aku tahu itu...” senyum Kak Seung Hyo sambil mengangkat daguku dan mengusap air mataku pelan dengan jemarinya. “Tidak perlu kau bilang, aku sudah tahu...” ulangnya, kali ini dengan nada yang lebih lembut.

“Aku... membuat kue itu... karena aku...” rasanya terlalu sulit mengatakannya. Cowok itu tersenyum singkat lalu menggantikanku mengucapkannya.

”Aku menyukaimu, Han Shin Woo... Aku menyukaimu. Baik kau Han Shin Woo yang dulu atau sekarang... sejak melihatmu di SMA ini, kurasa aku sudah menyukaimu...”

Kak Seung Hyo memelukku lalu berbisik. ”Kenapa kau begitu takut mengatakannya?”

”Karena penolakan. Kak Seung Hyo menolak seorang gadis karena mengatakan akan serius untuk ujian...”

”Sebagian benar, tentu saja...” tawa cowok itu renyah. ”Oh, ayolah, hapus airmatamu...”

”Tapi, dia kan cantik sekali...”

”Oh, ya? Aku tidak melihat. Dimana sih letak kecantikannya?” pancing cowok itu. Matanya memandangku lekat-lekat, membuatku sulit bernafas.

”Tinggi dan ramping... Lalu... wajahnya seperti boneka...” mendengar uraianku, cowok itu malah tertawa dan merangkulku.

”Dia bukan tipeku. Secantik apapun dia, dia tidak bisa membuatku merasa nyaman, dan dia juga tidak bisa membuatkan kue coklat untukku bukan?” candanya.

Aku tertawa pelan dan menangis kecil di bahunya. ”Aku merindukanmu, Kak Seung Hyo...” tanganku mulai memainkan tuts-tuts piano di depanku.

”Aku juga merindukanmu...” balasnya, memainkan nada yang sama.

Kami kembali bermain dan terhanyut dalam melodi piano kami. Lalu, di akhir permainan, Kak Seung Hyo mendekatkan wajahnya dan menciumku pelan, melambungkanku ke awan, ke tempat malaikat menyanyikan melodi cinta.

-selesai-

Tidak ada komentar: