Sabtu, 13 Maret 2010

FanFic Bideok After Love 40

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
FORTIETH SCENE
THE LAST AND FINALLY
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Selama ini sel-sel kankernya ternyata tetap bertumbuh, walaupun perlahan, dan pertumbuhan mereka relative lambat. Namun sayangnya kau dan istrimu sama sekali tidak pernah memeriksakan kondisi terakhir dari kanker itu…”

Bidam menggebrak meja dan menatap dokter itu dengan marah. ”Bukankah seandainya dioperasi, ia akan sembuh?! Bukankah seharusnya selesai sampai di sana!?”

“Operasi bukan jaminan…” dokter itu menggeleng lemah. “Selama ini istrimu sudah begitu lama merahasiakan nyeri di perutnya, mungkin sudah beberapa kali. Dan lihat,” dokter itu menarik gambar scan terbaru. “Kankernya sudah menyebar hampir ke paru-paru...”

Bidam merasakan sudut matanya begitu panas. Dadanya sesak dan nafasnya mulai naik turun. Emosi sekaligus kecewa pada dirinya sendiri. ”Apakah...” ia menggeleng jauh-jauh pertanyaan apakah istrinya akan mati atau tidak. Memalukan, kecamnya pada dirinya sendiri. Di saat Deokman membutuhkan dirinya sebagai penyangga,. Tidak seharusnya ia melunak begini. ”Ada kemungkinan ia selamat?” tanyanya dengan suara bergetar. Sekuat apapun ia menekan nada suaranya agar tetap datar, ia tidak mampu.

”Semua tergantung yang di atas...” papar dokter itu sambil tersenyum lemah.

”Kalau.. ia menjalani radioterapi, atau kemoterapi, atau apapun itu, apakah ia bisa bertahan?” Bidam mendapati lututnya terasa lemas saat dokter itu lagi-lagi hanya mampu mengatakan bahwa semuanya tergantung. Dan semuanya terserah pada Yang Di atas.
-----------------------------------------========================------------------------------------
”Bidam, kau sudah makan malam?” tanya Chenmyeong sambil membawakan tiga kantung plastik makanan. Di sampingnya Alcheon menggendong Hyo Hoon. Bidam mengangguk dan menolak makan. ”Kalau begitu, aku pulang dulu. Mishil-shi akan datang bukan?” tanyanya lagi. Dan lagi-lagi Bidam hanya mengangguk dengan pandangan kosong. Chenmyeong menatap ke samping dengan cemas. Alcheon menggeleng pelan, lalu menepuk pundak Bidam.

”Kami pulang dulu, ingat untuk terus jaga kesehatan.” begitu Bidam mengangguk mengiyakan, Alcheon tersenyum dan menepuk pundaknya beberapa kali, lalu pergi. Di tengah jalan ia berpapasan dengan Munno dan Mishil. Keduanya terlihat stress dan lelah.

”Kalian hati-hati di jalan...” ujar Munno sambil memaksakan sebuah senyuman ke arah Hyo Hoon. Ia menggandeng Nam Gil sementara Mishil menggandeng Yo Won. ”Terimakasih sudah mau datang,” sambung Mishil.

”Kenapa putriku, harus mengalami ini semua?” keluh Munno sambil menatap langit-langit rumah sakit.

Nam Gil mengguncang pelan lengan kakeknya. ”Haraboji, apakah Omma sakit? Kenapa Omma tidak pulang-pulang?”

”Omma sakit? Omma sakit?” Yo won mulai terisak sambil menggandeng Mishil. ”Kenapa Omma bisa sakit? Sakit apa?”

”Kalian tidak perlu cemas,” hibur Mishil sambil berjongkok dan menatap kedua cucunya lembut. ”Kalian harus berdoa terus kepada Tuhan. Dan kemudian, obat terbaik bagi Omma adalah wajah kalian yang ceria. Jadi, kalau kalian bertemu Omma, jangan lupa untuk terus tersenyum...” ujar Mishil dengan mata berkaca-kaca. Ia bangkit lalu menghapus air matanya cepat. ”Ayo, kita jalan ke kamar Omma...”

”Appa!!” seru Yo won dan Nam gil bersamaan, lalu berlari dan memeluk ayahnya. ”Appa, apa Omma sudah sadar?” Bidam mengangguk dan memeluk putra-putrinya. Ia membenamkan wajahnya dan menangis tanpa suara sesaat.

”Appa? Appa kenapa?” tanya Yowon sambil terisak. Nam gil yang biasanya ceria ikut-ikutan terisak. ”Maaf appa, kami tidak nakal lagi...” ujarnya. ”Kami tidak nakal lagi, jadi ayo kita pulang sama Omma...”

”Kalian tidak nakal,” ujar Bidam sambil memaksakan senyuman di bibirnya yang penuh. ”Ayo, kita jenguk Omma...”

Tetapi sebelum mereka melangkah masuk, puluhan jurumedis berpakaian hijau mendahului mereka. ”Kondisi pasien Deokman menurun!! Harap minggir sebentar!!” dan kemudian Deokman dibawa ke ruang UGD.

Bidam mengangkat kedua putra-putrinya ke bahu kiri kanannya dengan satu gerakan cepat, lalu dengan sigap mengejar para dokter itu.

”Sebaiknya kalian segera memutuskan apakah akan melakukan operasi pengangkatan sebagian dari paru-parunya atau tidak. Karena kalau dibiarkan, kondisinya bisa semakin berbahaya...”

Dengan tangan gemetar dan mata nanar, Bidam mengangguk. Mishil dan Munno meletakkan tangan mereka di lengan Bidam, menguatkannya. Dan Bidam meraih pulpen, menutup matanya dan menggoreskan tanda tangannya di formulir persetujuan operasi.
--------------------------===============================---------------------------------------
”Dokter?! Dokter!? Bagaimana operasinya!?” tanya Bidam sambil buru-buru menghampiri Dokter yang baru saja keluar dari ruangan operasinya. Bidam bahkan tidak dapat menutup mata sekejap pun. Pikirannya penuh oleh Deokman.

”Operasinya sukses,” Dokter itu tersenyum puas. ”Tapi,” sesaat roman mukanya mengkeruh. ”Kondisinya sangat lemah. Semua tergantung pada ketahanan tubuhnya malam ini. Kalau ia sanggup melewati malam ini, seharusnya ia bisa bertahan ke depannya...”

Bidam merasakan rahangnya mengeras dan senyumannya terasa kaku. Ia memaksakan sebuah senyuman terimakasih. Malam ini? Apakah itu artinya.. kalau Deokman tidak bisa bertahan malam ini, ia akan pergi selamanya? Sekali lagi nyawa Deokman dipertaruhkan. Bidam dengan gusar melangkah masuk ke ruangan istrinya. Deokman masih terkantuk-kantuk. Namun, begitu tangan Bidam menyentuh tangannya, ia terbangun.

”Hai,” senyum Deokman. ”Sekarang apa di luar terang?” tanyanya lagi. Suaranya nyaris berupa bisikan, dan itu membuat dada Bidam terasa sakit seperti disayat. ”Anak-anak datang?”

”Aku akan minta Omma dan Appa membawa mereka kemari,” jawab Bidam. Ia lantas menelepon dan meminta mereka datang dan berkumpul di sini. Seburuk apapun itu, ia harus siap, dan tidak bisa tidak.

”Anak-anak sudah datang,” ujar Bidam mengumumkan. Deokman tersenyum lemah dan menjangkau anak-anaknya ke pelukannya. Bidam menarik kursi agar anak-anak mereka bisa memanjat dan menjangkau tangan Ibunya.

”Kalian tidak nakal kan?” tanya Deokman sambil tersenyum. Kedua anak itu menggeleng kuat-kuat. ”Sudah terima hadiah dari Omma? Suka tidak?”

”Sudah!! Kami suka sekali!!” jawab mereka serempak. Nam Gil menunjukkan keteguhan yang tidak biasa pada anak seusianya. Namun Yowon yang memang sangat perasa sudah mulai menangis tersedu-sedu. ”Omma sakit, ya?” tanyanya sambil mengusap tangan Deokman.

”Iya, Omma sakit...” Deokman tersenyum pada putrinya. Rasanya sudah lama sekali tidak melihatnya, dan putrinya itu terlihat semakin menggemaskan. ”Kalau sama Appa, kalian tidak boleh nakal ya? Dan Nam gil, harus selalu menjaga adikmu...”

”Omma kapan pulang?” tanya Nam gil tiba-tiba. ”Aku ingin makan bekal buatan Omma...” ujarnya sambil menggigit bibir keras-keras. ”Aku.. tidak akan mengganggu Yo won lagi, aku...aku akan menjaganya. Aku juga tidak akan pelit meminjamkan mainanku... tapi, Omma harus pulang!!!” tangisnya mendadak pecah.

Yowon yang sudah terlebih dahulu menangis semakin keras menangis. ”Aku mau Omma pulang!! Aku akan jadi anak baik!! Omma, ayo pulang!! Ayo pulang!!” ia mulai menangis sambil terus menarik tangan Deokman.

Mishil memalingkan wajah dan menyusut air matanya. Bidam menutup wajahnya dengan tangan. Dan Munno, ia menghembuskan nafasnya keras-keras, dengan gerakan cepat menghapus air matanya. ”Kalian jangan merengek begitu, nanti Omma tambah pusing...” ujar Bidam menengahi.

”Kau harus cepat sembuh, anak-anak menunggumu...” ujar Bidam sambil memaksakan senyumannya muncul. ”Waktu kau pingsan, orangtua angkatmu datang, Yushin datang bersama istrinya. Begitu juga Wolya-shi, dan Chuncu. Terlebih lagi Chenmyeong dan Alcheon. Mereka mengharapkan kesembuhanmu. Mereka semuanya menunggumu pulang...”

Deokman merasakan airmata mengalir dari sudut matanya. Ia menggenggam tangan Bidam erat-erat. ”aku percaya kau bisa menjaga anak-anak kita dengan baik..” suaranya terdengar semakin lemah. ”Dan kau selamanya selalu baik di mataku...”

”Deokman,” Bidam tersenyum lalu melarang Deokman untuk bicara terlalu banyak. ”Kau lelah, jangan memaksakan diri...”

”Aku... tidak akan pernah melupakan saat pertama kali melihatmu,” ujar Deokman lagi. Ia tersenyum lembut dan tampak begitu pucat. ”Kau akan... menjaga... mereka...?” tanyanya dengan suara terputus-putus. Kesadarannya mulai menipis. Samar-samar ia bisa melihat Bidam mengangguk. Dan bersamaan dengan itu, pandangannya semakin buram dan buram. ”aku.. mencintaimu...”

”Deokman!! deokman!!!” Bidam memanggil deokman dengan putus asa. ”Deokman!!1 bangunlah, Deokman!!! Kau dengar aku? Jangan pergi!! Deokman!!!”

Yo won dan Nam gil ikut menangis sambil memanggil Deokman. berulang dan berulang. ”Omma!!!!” Munno menghampiri putrinya dan menggeleng sedih. Cukup sudah. Ia tidak rela kehilangan orang yang dicintainya dua kali. Dengan gemetar ia berusaha membangunkan Deokman.
----------------------------------============================------------------------------------
~Seoul, 5 tahun kemudian~

Bidam memandang batu nisan di hadapannya dan tersenyum sedih. ”Sudah berapa lama aku tidak datang kemari?” tanyanya pada batu yang berdiri diam itu. Ia mengelus permukaannya yang diukir tulisan nama orang yang dirindukannya. ”Rasanya sangat merindukanmu, padahal baru seminggu lalu aku datang kemari...”

Bidam meletakkan bunga yang dibawanya. ”Bunga kesukaanmu, bukan? Bunga yang melambangkan dirimu. Penuh keanggunan...” Bidam mencabut rumput-rumput liar yang mulai tumbuh di sekeliling makam itu.

”Dan anak-anak akan datang ke sini... Sebentar lagi,” ia tersenyum lalu menoleh ketika mendengar suara langkah dari jauh. ”Nam gil dan Yowon kini sudah berusia 8 tahun. Keduanya tumbuh dengan baik, dan ah...” ia tersenyum melihat Munno datang bersama anak-anak. ”Appa juga datang...”

”Maaf Appa, tidak lama kan? Rasanya capek harus menunggu Yowon mampir di WC!!” gerutu Nam Gil dengan wajah tidak senang. Ia menoleh ke samping lalu terkejut. ”Loh? Kok!?” di belakang mereka datang sesosok wanita dalam balutan gaun putih sederhana. Nam gil dan Yowon berlarian menghampiri wanita itu.

”Omma!! Kenapa menghilang lagi sih!!” protes mereka. Deokman tersenyum jahil dan menggeleng. Ia mengangkat sebuah buket bunga. ”Katanya kalian mau memberikan bunga untuk Haramoni...”

”Oh ya, maaf lupa...” Nam Gil tertawa grogi dan mengambil buket bunga yang disiapkan Ibunya. Ia melangkah dengan riang ke arah batu nisan neneknya.

”Tidak terasa sudah dua tahun ia meninggal bukan?” tanya Bidam kepada Munno dan Deokman yang berjalan ke arahnya. Ia meraih tangan Deokman dan menggandengnya. ”Biar bagaimanapun, Omma meninggal dengan tenang...”

Ia tersenyum pahit saat mengingat suatu pagi ia datang mengunjungi Munno dan Mishil. Agak janggal karena tiba-tiba Munno berkata kalau Mishil belum bangun. Padahal setahu Bidam, Ommanya itu sangat rajin. Ternyata begitu diperiksa, Mishil telah meninggal. Kata Dokter, pernah ada kasus serupa terjadi. Jantungnya berhenti tiba-tiba. Begitu saja.

”Mungkin ini semua rencana Tuhan,” ujar Deokman sambil bersender ke bahu Bidam. ”Kalau kupikir dulu, aku juga sangat takut akan pergi lebih dulu darimu...”

”Aku sudah sangat kalap waktu itu...” ujar Bidam. ”Syukurlah, ternyata malam itu kau bisa kembali siuman...”

”Oh, aku belum memberikan bunga untuk Appa kandungmu,..” ujar Deokman tiba-tiba. Ia berlari dan meletakkan buket bunganya di makam Sadaham yang bersebelahan dengan makam Mishil. ”Terimakasih, Sadaham-shi...” gumam Deokman. ”Terimakasih untuk semuanya...”

”Beberapa waktu ini, kulihat kau memberi perhatian lebih pada Appa kandungku...” tanya Bidam sambil menaikkan sebelah alisnya.

”Kau benar,” jawab Deokman sambil menyunggingkan senyum. ”Aku belum pernah cerita, tapi kurasa, ialah yang menolongku..” tuturnya sambil mengusap nama yang diukir di nisan itu.

”Menolongmu? Menolong bagaimana?” tanya Bidam bingung. Seingatnya, Deokman sama sekali tidak mengenal Appanya. Bagaimana mungkin, toh ia sendiri awalnya tidak mengenal Appanya.

”Appa mu yang menunjukkan jalan kembali bagiku. Di sana...” Deokman menunjuk ke langit. Dan sebelum melepasku, aku bisa melihat jalan itu. Bisa mendengar suara kalian memanggilku. Dan kemudian, aku berbalik dan berterimakasih padanya, lalu saat melihat senyumnya, aku tahu, senyumnya persis denganmu. Sangat hangat...”

”Berarti ia menolong ku dua kali...” gumam Bidam sambil memeluk Deokman dari belakang. ”Kau tidak boleh terlalu lelah...” suara Bidam terdengar lembut mengingatkan. ”Nanti aku gendong sampai mobil,” candanya. Deokman

deokman dengan gugup menolak .”Aku bisa jalan sendiri! Aku akan jalan pelan-pelan!!” ia sudah cukup malu saat merasakan panasnya pandangan iri ke arahnya, melihatnya menggandeng suami yang tampan. Tetapi ia sendiri tidak menyadari kalau sosoknya terlihat serasi berjalan di samping Bidam. Beberapa waktu terakhir saat diperiksa, tidak ada lagi tanda-tanda kanker di tubuhnya. Namun, karena sebagian paru-parunya sudah dibuang, ia tidak boleh kelelahan. Dan Bidam memegang peranan besar dalam menjaga kondisi istrinya.

Mereka memandang langit dan awan-awan, lalu tersenyum. Kemudian tatapan mereka beralih ke anak-anak mereka yang tampak luar biasa. Kali ini tidak akan ada lagi keraguan... selama tangan ini masih menggandengku, aku akan kuat, pikir mereka masing-masing. Kali ini. Tidak akan ada lagi yang akan memisahkan mereka. Selalu, selamanya.
---------------------------------===========FIN============-----------------------------



Note: akhirnya tamat juga... makasih untuk Tuhan yang nggak pernah meninggalkan aku kapanpun dimana pun dan terutama juga untuk semua temen2 di forum ya atas dukungannya yang berlimpah *hugs and kisses, jesica*

2 komentar:

rhimel mengatakan...

lam kenal *HUG* kasih applause dulu wat patricia... plock...plock...plock...100x akhirnya tamat juga nech scene aq suka ceritamu akhir yang indah bisa membangkitkan emosi pembaca*bhs gw* sebelumnya muph ya sist baru bisa koment coz keasyikan baca FF nya n bikin penasaran mulu...mw bikin FF versi laen ya aq tunggu loch jangan kelamaan ya Heehee....*maksa ....* patricia fighting...sebelum pergi pluk dulu ...* muph kepanjangan*

Chika_erfenn mengatakan...

wah, makasih ya untuk applausenya
nggak nyangka ada juga yang baca blog ini ^^

kamu punya blog juga ga?

jangan lupa baca FF aku yg baru ya, judulnya the future and the past ^^
tenkiu ya

PS: kalau bisa di follow, aku lebih seneng lagi deh ^^ hihihi