-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
THIRTY FIRST SCENE
THE SCENERY OF INQUIRY
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Penjualan album kalian menduduki peringkat satu di ranah industri musik korea…” ujar Wolya sambil tertawa bangga. Ia memandang tumpukan majalah dan tersenyum puas. “Rasanya tidak ada yang lebih membahagiakan daripada ini…, benar bukan Bidam?”
”Tentu saja banyak hal yang lebih membahagiakan daripada ini...” jawab Bidam sambil menutup majalah yang dibacanya dan beralih menatap arlojinya. ”Kurasa aku harus menyusul Alcheon sekarang...” ujarnya sambil bergegas pergi. ”Ada yang mau kau titipkan, Wolya-shi?”
”Tidak ada,” senyum Wolya. ”Kalian sudah mau menikah, jadinya sangat repot...” ia berkacak pinggang dan menatap bayangannya di jendela kantor. ”Aku titip doa saja. semoga kalian sukses...”
”Harapanmu diterima,” jawab Bidam sambil tertawa. Ia menyambar jaket dan mengambil kunci mobilnya. ”Sampai jumpa, Wolya-shi. Kuharap kau juga segera menikah...”
---------------------------------==========================-----------------------------------------
”Aku kira kehadiranku bakal sangat diperlukan, nyatanya tidak...” keluh Alcheon sambil mengepas tuxedonya.
”Dimana gadis-gadis itu?” tanya Bidam sambil mengamati sahabatnya dari samping. Sambil mengangkat alis sedikit, ia ikut mempertimbangkan apakah sebaiknya ia juga ikut mencoba mengepas pakaian.
”Deokman di sebelah, membantu Chenmyeong mengepas gaunnya Aku benar-benar tak habis pikir. Sudah sedari tadi mereka masih memilih dan terus bingung... Aku jujur mengatakan kalau ia cantik mengenakan apapun, tapi ia malah marah-marah karena merasa aku tidak serius...”
”Oh, mungkin wajahmu kurang serius...” canda Bidam. Ia menatap Alcheon dan berkomentar sambil mengangguk-angguk. ”Bagus kok, hyung...” dan ia menatap tuxedo di sebelahnya. ”Apakah sebaiknya aku mencoba juga ya?”
”Sebaiknya begitu,” jawab Alcheon sambil menatap simpul dasinya. ”Deokmanmu itu sudah mencoba beberapa gaun juga sejak tadi. Mungkin sebaiknya kalian sama-sama memilih...”
”Baiklah kalau begitu,” Bidam menarik salah satu tuxedo dan menempelkannya di tubuhnya. ”Kurasa yang ini paling pas untukku. Oh, apakah hyung mengenakan dasi kupu-kupu itu?” tanya Bidam tertawa geli.
”Ya!!” gerut Alcheon. ”Dan setengah mati harus kuakui, aku benci dasi kupu-kupu ini!!!”
”Kurasa aku akan memilih dasi yang lain...” gumam Bidam sambil tertawa. Ia mengambil posisi di kamar ganti sebelah Alcheon dan memandang tubuh proporsionalnya saat mengepas tuxedo di cermin. “Bagaimana cara hyung melamarnya?” tanyanya tiba-tiba.
“Aku...” Alcheon terbata-bata sebelum akhirnya tergelak pelan. “Aku membooking satu restoran, mengajaknya makan malam, dan meminta pelayan menghidangkan kue strawberry shortcake kesukaannya, dengan cincin di dalamnya, tepat di bawah potongan strawberry-nya. Tapi...entah aku lupa bilang atau pelayan itu yang kurang mendengar, cincinnya berada tepat di atas kuenya. Rasanya aku sangat syok saat itu...”
Bidam memainkan bibirnya, kebiasaan yang tidak pernah hilang darinya. “Rencana awalnya cukup keren, lalu bagaimana?”
“Entah bagaimana, Chenmyeong mula-mula tertawa melihat ekspresi kagetku. Lalu selanjutnya, dia tiba-tiba menangis saat aku memintanya untuk memakai cincin itu...”
“Hmmm...” Bidam mengangguk lagi. ”Jadi, selanjutnya hyung yang memakaikannya?”
”Kurang lebih begitu...” jawab alcheon sambil mengamati Bidam saat melangkah keluar dari ruang ganti. ”Aku rasa itu bagus untukmu,” ujarnya. ”Dan, yah, dalam situasi kikuk itu, kami saling memakaikan cincin... Untuk sementara... aku bisa merasakan gema lonceng pernikahan di otakku... Rasanya ajaib sekaligus konyol...”
”Tidak, itu sangat keren...” tukas Bidam sambil memainkan senyuman di bibirnya. Tak lama, terdengar suara dua orang wanita memanggil mereka. ”Sepertinya mereka sudah selesai juga, yuk!!!” ajak Bidam sambil buru-buru melepas kembali tuxedonya.
”Ohh!! Grr... menyebalkan sekali dasi kupu-kupu ini!!!” geram Alcheon sambil dengan kesal melepaskan dasinya. Ia tidak sadar bahwa dengan atau tanpa dasi itu, ia punya penampilan oke sebagai pengantin pria.
-------------------------------======================--------------------------------------------------
”Bagaimana?” tanya Bidam saat ia meletakkan tuxedonya ke kasir. ”Aku rasa warna hitam cocok untukku, bukan?” Deokman mengangguk senang.
”Postur tubuhmu membuatmu cocok dengan baju apapun...” jawabnya sambil berusaha membayangkan.
”Dan apakah kau sudah menemukan baju yang cocok untukmu sendiri?” tanya Bidam. ”Akan kubayar sekalian...”
”Sudah,” angguk Deokman. ”Tapi, katanya tidak baik kalau calon pengantin pria melihatnya sebelum waktunya...” pipi Deokman memerah malu.
”Baiklah, akan kubayar sambil menutup mata...” candanya sambil mengeluarkan senyum andalannya. ”Atau mungkin kau mau menggesek sendiri?” ia menyerahkan kartu kreditnya dan membiarkan gadis itu menggunakannya sendiri.
Deokman menggeleng menolak. ”Sebaiknya kugunakan kartu kreditku sendiri...” tolaknya halus. Bidam memaksa gadis itu memegang kartu kreditnya sambil menunjuk ke arah kasir. ”Tapi...” protes Deokman bingung.
”Sebentar lagi kau akan menjadi istriku, kenapa masih segan padaku, sih?” ucap pria itu sambil memasang tampang sedih. ”Tidak ada tapi-tapian, okay? Dan kemudian, setelah selesai, ayo ke rumah sakit. Hari ini hasil tesnya keluar, bukan?”
”Baiklah, terimakasih banyak...” Deokman tersenyum senang dan membayar ke kasir dengan cepat. Ia meminta baju itu dikirim ke rumah mereka. Dan kemudian, sekembalinya dari kasir, dengan cepat ia mengamit lengan Bidam. ”Ayo, kita ke rumah sakit!!!”
------------------------------============================----------------------------------------
”Bagaimana hasilnya?” tanya Bidam tidak sabar. Dilihatnya wajah Deokman begitu muram. ”Apakah hasilnya buruk?”
”Aku bingung bagaimana caraku menentukan apakah hasilnya buruk atau tidak...” gumam Deokman sambil menyerahkan map hasil tes DNA itu. ”Tapi, aku benar-benar tidak siap dengan semua ini...” keluhnya.
Bidam membaca hasil tes itu dengan dahi berkerut. Dan sejenak kemudian, seulas senyuman mengembang di bibirnya. ”Ternyata kau memang anak Appa-ku. Orang tua kandungmu ditemukan. Bukankah seharusnya kau senang?”
”Apakah seharusnya aku senang?” tanya Deokman tidak yakin.
”Seharusnya begitu...” jawab Bidam. ”Munno-shi dan Sohwa-shi, sekalipun belum pernah melihatnya, aku yakin mereka orang yang baik. Punya orang tua kandung yang baik, bukankah itu sebuah keberuntungan?”
”Lalu bagaimana dengan sttatus kita? Apakah mereka masih memperbolehkan kita menikah? Status kita kan kakak dan adik angkat...”
”Aku tidak peduli dengan status dan semacamnya. Untukku, kau yang ada di depanku adalah kenyataan. Dan takdir yang membimbing pertemuan kita. Selebihnya, itu tidak penting. Dan karena kita tidak ada hubungan darah apapun, kurasa tidak ada masalah...” jawab Bidam dengan entengnya.
Deokman menarik nafas dan tersenyum. Pria ini selalu bisa membuat perasaannya menjadi jauh lebih baik. ”Baiklah, sekarang kita mau langsung pulang?” tanyanya sambil menatap pria itu.
”Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat...” ujar Bidam. ”Ayo,” ia menarik tangan gadis itu sambil tersenyum bangga pada dirinya sendiri. Semuanya sudah dipersiapkannya sejak dua hari lalu. Dan seharusnya, tidak ada kecerobohan yang terjadi seperti yang dialami Alcheon. Seharusnya.
------------------------------=========to be continued==========-----------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar