Sabtu, 13 Maret 2010

FanFic Bideok After Love 38

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
THIRTY EIGHTH SCENE
BOMBS OF HAPPINESS
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Deokman terbangun dengan keringat dingin memenuhi tubuhnya. Ia melirik Bidam yang tertidur pulas di sampingnya, lalu setelah menarik nafas panjang, ia beringsut bangun dan mengambil segelas air untuk membantunya menenangkan diri.

Deokman merasa perasaannya jauh lebih baik setelah ia meneguk sampai habis isi gelasnya. Dengan tangan gemetar, ia menekan dadanya. ”Kenapa harus mimpi itu lagi?” pikirnya gelisah. Dengan takut ia mencoba mengingat mimpinya. Seorang wanita yang merupakan dirinya sendiri memeluknya. Setetes air mata jatuh di pipi Deokman.
--------------------------------------============================--------------------------------
”Bulgoginya dua porsi, kemudian ikannya, nasi putih dua, dan tehnya dua juga...” Bidam menutup buku menu dengan gembira. Ia puas sekali bisa makan berdua lagi dengan Deokman. Sedikit sepi memang, karena Nam gil dan Yo won sedang dijaga oleh Munno dan Mishil. Rasanya seperti kembali ke masa pacaran dulu. Restoran yang kali ini mereka kunjungi berupa bilik-bilik yang terpisah, karena itu ia merasa nyaman makan di sini tanpa mengenakan penyamaran apapun.

”Lusa ada pemotretan bukan?” tanya Deokman sambil membuka percakapan. ”Apakah bersama dengan Alcheon-shi?”

”Oh tidak, kami berbeda. Aku mendapat iklan handphone, dan Alcheon hyung entah apa...” Bidam merentangkan kakinya dengan lega. ”Semalam tidak bisa tidur, ya?” tanya Bidam sambil mengangguk pelan pada pelayan yang meletakkan gelas teh mereka.

”Ehm, iya, sedikit...” Deokman menatap Bidam dengan terkejut. ”Kenapa bisa tahu?”

”Kau hilang dari sampingku. Aku tidak mungkin tidak mengetahuinya,” papar Bidam jujur. Ia meniup tehnya dan meminumnya, merasakan kehangatan memenuhi dadanya. ’Ada yang sakit?” tanya pria itu dengan tatapan menyelidik.

”Tidak, ehm, aku baik-baik saja...” jawab Deokman sambil tersenyum kaku. ”Hanya saja... aku mimpi buruk jadi...”

”Mimpi apa?” tanya Bidam sambil menuangkan teh untuk Deokman. ”Minum dulu...”

Deokman mengangguk dan minum dengan patuh. ”Aku lupa aku mimpi apa,” jawab Deokman berbohong. Bidam tersenyum namun segera menyadari kalau istrinya berbohong.

”Sebenarnya, ada yang mau kaukatakan padaku, bukan?” pancing Bidam. Kali ini pelayan masuk bergantian sambil menghidangkan aneka makanan yang mereka pesan. Setelah para pelayan keluar, Bidam melanjutkan pertanyaannya. ”Kalau memang ada, katakan saja... Aku kan bukan orang lain bagimu...”

Deokman memaksakan seulas senyum di bibirnya. Namun, sejurus kemudian, air matanya jatuh. Ia segera menangis tersedu-sedu. Bidam maju dan memeluknya. Ia menutup matanya dengan perasaan galau. Bahu Deokman terasa gemetar di pelukannya, dan ia segera memahaminya, gadis itu merasa takut. Entah kenapa.
-----------------------------------=========================-----------------------------------------
”Kita akan ke rumah sakit lagi, besok...” ujar Bidam tegas. Deokman memandangnya dengan tatapan protes. ”Kau sakit, dan kurasa kau juga menyadari kondisimu sendiri...”

mendengar kata-kata Bidam, ia terdiam dan menarik nafas panjang. ”Apa yang dikatakan Dokter...padamu?” tanya Deokman akhirnya. Ia yakin kalau Bidam begitu memaksanya untuk ke sana, pasti ada alasan kuat di baliknya.

”Kita akan tahu besok,” jawab Bidam, menolak untuk menjawab langsung. Ia tidak mau berspekulasi, dan tidak mau mengambil resiko. ”Aku akan menemanimu...”

”Aku pergi sendiri saja,” tolak Deokman. “Kita sudah cukup merepotkan Mishil dan Munno-shi, lebih baik kau yang menjaga Nam gil dan Yo won...”

“Mereka aman bersama kakek dan nenek yang menyayangi mereka,” sergah Bidam dengan senyuman tabah. ”Kau tahu Deokman?” ia meraih tangan Deokman ke dadanya. “Kita sudah melalui banyak hal bersama, masa kali ini kau mau menanggung semuanya sendirian?”

Deokman merasakan sudut matanya memanas. Ia kembali teringat mimpinya. Teringat akhir hidupnya sebagai Ratu Shilla. Teringat kepedihannya harus meninggalkan semua yang ia kasihi. Bahunya mulai berguncang dan tangisnya mulai pecah. Bidam menarik tangannya dan Deokman masuk dalam pelukannya yang terasa begitu kuat, hangat, dan melindungi.

”Semuanya akan baik-baik saja...” ujar Bidam sambil mengusap rmabut Deokman. ia berusaha menahan getaran dalam suaranya. Ia takut kehilangan istrinya, namun di saat ini, Deokman membutuhkan kekuatannya agar ia pun bisa menjadi kuat.

”Tidak akan baik-baik saja!!” seru Deokman galau. ”Kalau aku akan mati, apa yang harus kulakukan!?” ie menggigit bibirnya dan menangis sejadi-jadinya di dada Bidam. Pria itu memeluknya semakin erat dan erat. Ia juga tidak mampu menjawab.
-------------------------------===========================-----------------------------------------
”Kalian sedang apa dan dimana?” tanya Alcheon. ”Kudengar seharusnya kau melakukan pemotretan hari ini. Tetapi kau membatalkannya. Ada apa sebenarnya?”

”Aku sedang mengantar Deokman ke rumah sakit. Ada apa?”

”Sebetulnya aku bermaksud main ke rumahmu hari ini... Tapi sepertinya kau sedang sibuk...”

”Ada sedikit masalah,” jawab Bidam sambil menatap Deokman yang sedang bicara empat mata dengan dokter di dalam. ”Aku segera mengabarimu nanti... Thanks, hyung...” ujar Bidam sebelum mengakhiri pembicaraannya. Ia menyerbu masuk tepat ketika dokter membuka file yang disimpannya.

”Nyonya, apakah Anda bisa melihat benjolan aneh di sini?” tanya Dokter itu sambil mengarahkan pensil di tangannya ke arah hasil scan Deokman beberapa hari lalu. Deokman mengangguk dengan perasaan tidak nyaman. ”Ada indikasi/ kemungkinan...” ia menahan nafas sejenak. ”Kemungkinan tumor rahim...”

Deokman menahan pinggiran meja sebelum kesadarannya menghilang. Ia memaksakan diri tersenyum, namun wajahnya terasa sangat kaku. ”Apakah... berbahaya? Apakah.. saya akan meninggal?” tanyanya takut.

”Semuanya belum bisa dipastikan,” jawab Dokter itu tenang. ”Kalau hanya tumor jinak yang bisa mudah diangkat, maka ia tidak berbahaya. Namun, kalau ternyata ia merupakan tumor ganas...”

dokter sengaja tidak melanjutkan kalimatnya. Ia tahu kalau mereka memahami dengan jelas apa maksudnya. Deokman mengangguk. Tangan Bidam meremas tangannya lembut. ”Kalau masih stadium awal, ada kemungkinan bisa diatasi...”

”Ya,” jawab Deokman berusaha menenangkan diri. ”Kapan semuanya bisa dipastikan?”

”Anda sudah menjalani scan sekali lagi? Setelah hasilnya keluar, kita bisa melihatnya lebih jelas...”

Kali ini Bidam dengan kuat menahan tangan Deokman dan membimbingnya ke ruangan tes. Jemari mereka bertaut, masing-masing berdoa demi kemungkinan yang terbaik.
---------------------------=============to be continued=============--------------------------

Tidak ada komentar: