Senin, 15 Maret 2010

Fanfic The Future and the Past 4

-------------------------------------------------------------------------------------------------
FOURTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF*
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Yushin: Uhm Tae Wong, Kim Tae Wong as KNG brother
Yeomjong (tetap memakai nama ini)
Bakui: Jang Hee Woong (memakai nama asli di FF)
San Tak: Kang Sung Pil (memakai nama asli di FF)
Seok Pum: Hong Kyung In (memakai nama asli di FF)
-------------------------------------------------------------------------------------------------

─ Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

“Tes masuk akan diadakan hari Sabtu, dimulai jam delapan pagi. Harap membawa semua kelengkapan administrasi,” ujar wanita yang terus melirikku sambil tersenyum sembari memasukkan data ku ke komputernya.

“Baiklah, tentu saja, terimakasih,” jawabku sambil menerima map yang disodorkannya dan tersenyum sopan. Senyum lebar wanita itu semakin menjadi-jadi. Lebih baik aku segera pergi dari sini. Aneh sekali wanita itu, pikirku sambil mengeluarkan kunci mobil dan sebelum pintu mobil kubuka, sebuah suara memanggilku.

Aku memandang ke suara itu dengan tatapan tidak percaya. Nyaris mustahil ia bisa berada di sini, pikirku kesal.

“Hai, Nam Gil,” ia berjalan mendekatiku bersama dua orang lelaki di belakangnya. Belakangan kusadari dua orang itu pun tidak asing bagiku. ”Kau tidak melupakan kawan baikmu ini, kan?”

Aku mendengus kesal. ”Mana bisa aku melupakan tampangmu, Yeomjong?” ujarku sambil menolak jabatan tangan darinya. ”Tapi soal aku menjadi sahabatmu, itu lain urusan...”

”Oh, kurasa tidak demikian,” ia tertawa cengengesan. Aku selalu membenci caranya tertawa. “Kau ingat mereka? Kyung In dan Sung Pil. Teman seangkatan kita...” ujarnya sambil mengenalkan dua pria di sampingnya.

Ia berlagak seolah-olah sosoknya terlihat hebat dengan berjalan berbarengan bertiga. Dan yang membuatku lebih heran, bisa-bisanya dia tetap bebal walaupun jelas-jelas aku menunjukkan sikap penolakan padanya.

”Bergabunglah dengan kami, Nam Gil, aku ingat kau selalu dijuluki multitalented man di high school kita di Amerika...”

”Itu tidak penting,” jawabku. ”Sekarang aku mau tanya, apa kau ada urusan di kampus ini? Bukankah seharusnya kau masih berada di Amerika?” tanyaku.

”Aku tidak puas kau pergi begitu saja,” ia menunjukkan senyuman liciknya. ”Dan aku masuk ke kampus ini. Bukankah kita akan semakin akrab?” tanyanya, lagi-lagi sambil menyeringai licik.

”Terserah. Asal kau tahu, Korea berbeda dengan Amerika. Dan apa yang terjadi padamu tidak ada kaitannya denganku...”

Aku berbalik dan pergi. Sedikit banyak aku mendengar dua pria di belakangnya bertanya apakah seharusnya menyusulku atau tidak. Kalau pun mereka berani mencari masalah denganku, bukan aku yang akan rugi. Tapi mereka. Mereka punya keluarga yang masih bersedia menampung mereka, dan keluarga mereka itu yang akan menanggung malu apabila mereka melakukan kesalahan.

Sedangkan keluargaku? Hah! Aku bahkan tidak yakin mereka benar-benar keluargaku. Rasanya dendam semakin berkobar di dadaku. Hanya ada sato orang yang tidak ingin kusakiti di rumah itu. Dan orang itu adalah Papa. Dengan kesal aku menaiki mobilku dan membanting pintunya.

Kulirik buku tabunganku. Sebenarnya Papa tidak perlu bersusah payah mentransfer sejumlah uang untuk biaya kuliahku. Uang yang kukumpulkan dari kerja sambilanku di Amerika sudah lebih dari cukup. Tapi ia menuntut, memaksa, membuat Mama semakin kesal padaku. Akhirnya aku mengalah, membiarkan ia berperan sebagai orangtua bagiku. Setidaknya, dana pendidikanku masih ditanggungnya.

Aku melihat arloji di tanganku. Pukul dua siang. Masih ada waktu untuk berkeliling. Sebaiknya kemana ya? Aku melihat map daerah sekitar dari GPS mobil dan tiba-tiba mataku tertuju pada suatu objek. ”West High School,” pikirku sambil menatap peta di GPS mobil. ”Tidak jauh,” ujarku sambil mulai menyalakan mobil. Sebaiknya aku melihat-lihat sebentar di sana. Barangkali ada hal menarik nantinya.


─ Lee Yo Won, Seoul, 2008 ─

“Semua beres kan?” tanyaku cemas. Aku menatap kaca di depanku dan berpikir, ”tidak jelek juga.” Yang kulihat adalah seorang anak lelaki yang untuk ukuran seusianya mungkin sedikit kecil, namun ia benar terlihat seperti lelaki.

Ye jin memandangku dengan teliti dan akhirnya tersenyum puas. ”Cukup!! Lagipula, apa lagi yang bisa kita lakukan? Oh, aku tidak menyangka kau akan membantu Sang Won dengan cara begini. Kemarin malam saat kau cerita rasanya jantungku hampir lepas...”

”Jangan berlebihan dong,” ujarku sambil merapikan letak wig yang kukenakan. ”Jadi, bagaimana rencanaku? Oke kan?”

”Oke. Aku paham. Aku akan mengambil alih absensi. Dan kemudian, waktu namamu kupanggil, teman-teman Sang Won akan menutupimu yang duduk di baris kedua. Dan sebelum Kak Tae Wong menoleh untuk mengecek, aku akan menandai nama Sang Won...”

”Kedengarannya mudah kan?” tanyaku yakin. Ye Jin mengangguk ragu-ragu. Kadangkala ia memang suka cemas berlebihan sih... ”Kenapa lagi sih? Kok mukamu tertekuk begitu?” tanyaku sambil tersenyum geli.

”Oh ya? Mukaku seperti ini kan karena cemas. Kedengarannya memang mudah. Tapi kalau praktiknya tidak semudah itu?!”

”Kau jangan mengambil kesimpulan aneh-aneh dulu dong,” ujarku kesal. ”Pokoknya jalani saja dulu. Toh Sang Won Cuma akan terlambat sekitar setengah jam. Dan kurasa hanya duduk setengah jam dengan kepala tertunduk bukan masalah...”

”Kuharap sih, begitu...” ujar Ye Jin. ”Sudah ke WC belum?” tanyanya bingung.



Harus kuakui seharusnya aku mendengarkan saran Ye Jin tadi, bukannya malah menertawakannya saat menyuruhku ke WC. Sekarang rencana tahap awal sudah sukses. Kak Tae Wong memang tidak melihat wajahku karena teman-teman Sang Won sangat kompak saat menutupku, sehingga hanya tanganku yang terlihat. Dan sekarang, masalah kedua, aku ingin ke WC. Tapi, ke WC mana? Masa WC cowok? Aduh, ogah banget!!

Dengan langkah cepat aku berjalan melewati teman-teman Sang Won melalui jalan di belakang barisan. Cari mati namanya kalau berjalan di depan barisan. Karena Kak Tae Wong duduk di sana. Sambil menarik nafas lega karena sekarang kakiku sudah menginjak daerah lorong sekolah, aku memandang dua pintu di depanku dengan bingung.

Mataku menatap ke kiri. WC PRIA. Kemudian menatap ke kanan. WC WANITA. Aah, di saat seperti ini kayaknya hati nuraniku sebagai perempuan mulai diuji, keluhku.

Baiklah, karena penampilanku sebagai pria, mungkin sebaiknya aku masuk ke WC pria saja deh. Sambil menghela nafas kesal, aku memaksakan kakiku untuk melangkah masuk. WC pria, oh, semoga tidak ada orang di dalam, pikirku sambil celingukan.

Tetapi, begitu kakiku melangkah masuk, sebuah suara memanggilku dengan keras. “Hei!!!” dan saat itu juga, rasanya jantungku hampir copot karena kaget.


─ Kim Nam Gil, Seoul, 2008─

“Hei!!” ujarku pada seorang anak lelaki pendek di depanku. Setelah melihat di aula kalau sepertinya ada pertandingan, kuputuskan untuk berjalan-jalan di sekitar sekolah ini. Dan kebetulan, aku memang mau ke toilet. Tapi apa benar ini toilet umum atau toilet khusus penghuni merupakan pertanyaan wajar di otakku.

’Halo?” panggilku lagi. Lelaki kecil di depanku tidak kunjung menoleh. Dengan kesal aku menarik bahunya. Aku cukup kaget saat bahunya terasa begitu kecil di tanganku. ”Aku mau tanya, apakah di sini toilet umumnya?”

Orang yang─sampai barusan─kukira lelaki, sepertinya tidak demikian. Ia memandangku dengan wajah pucat seperti habis kepergok melakukan sesuatu. Aku menatap matanya yang terlihat jernih namun dipenuhi keterkejutan. Ia pelan-pelan tersenyum saat melihat wajahku. Mungkin aku bukan orang yang dikiranya tadi.

”Iya, silahkan masuk,” ujarnya lalu membiarkanku berjalan duluan. Aku menatapnya curiga. Walaupun penampilannya benar-benar seperti pria, aku tidak yakin ia benar-benar pria. Tanpa sadar mataku turun ke arah dadanya. Rata sih, pikirku. Tapi aku kok masih tidak yakin?

”Lihat apa kau!” ia mendelik marah. Satu lagi kecurigaanku. Kenapa ia tidak masuk ke WC bersamaku? Padahal sepertinya ia mau masuk tadi.

”Kau nggak mau masuk?” tanyaku sambil memandangnya. Untuk ukuran cowok─maksudku, kalau ia benar-benar cowok─ia cukup manis. Dan untuk ukuran cewek? Entahlah. Kurasa aku harus mencari tahu. Entah kenapa anak ini membuatku penasaran.

”Nanti saja,” elaknya. Membuat kecurigaanku semakin besar.

“Aku penasaran. Kau sebenarnya wanita? Pria? Atau banci?” tanyaku. Ia memandangku dengan tersinggung.

“Menurutmu?!” tanyanya menantang. Aku tersenyum melihat sorot matanya yang tajam.

”Karena tidak tahu, sebaiknya aku membuktikannya sendiri bukan?” tanyaku sambil menarik kerah baju karatenya.

Namun, begitu tanganku mulai menarik, tangan kanannya bergerak maju ke pipiku. Aku menangkisnya dengan tangan kiriku sambil tersenyum. Sekarang tangan kananku meneruskan pekerjaannya. Ia memandangku dengan marah, namun aku tersenyum tidak peduli.

Rasanya ia benar-benar perempuan. Kalau begini, gawat juga. Bisa-bisa aku dituduh melakukan pelecehan. Dan kemudian, tahu-tahu tangan kirinya yang bergerak menamparku. Otomatis tangan kananku yang menangkis.

”Berarti kau memang wanita...” ucapanku terpotong karena dalam sekejap ia melancarkan tendangan ke selangkanganku. Aku jatuh berlutut sambil mengumpat.

Tidak lama terdengar suara seorang anak lelaki. ”Kak Yo Won!!” aku masih mengaduh kesakitan saat kuangkat wajahku pelan. Anak lelaki itu cukup tampan dan berjalan mendekati anak lelaki palsu di hadapanku.

”Terimakasih sudah menggantikanku! Sekarang kau boleh ganti baju lagi. Eh, siapa pria ini?” tanyanya sambil memandang pria palsu itu dan aku bergantian..

Pria palsu yang sepertinya bernama Yo Won itu mengangkat bahu dengan acuh sambil membetulkan letak kaosnya. ”Entah, aku tidak kenal,” jawabnya sambil emalngkah dengan cuek.

”Sialan kau!!” umpatku. Ia berbalik dan mendelik marah padaku. Aku menggeram sambil berusaha bangkit. Cewek sialan! Kasar sekali dia! Beraninya menendang bagian vitalku! Hah!!! Bagus sekali! Ternyata di sekolah ini musuhku bukan hanya Kak Tae Wong, tapi juga cewek barbar itu!


---to be continued--





Tidak ada komentar: