-------------------------------------------------------------------------------------------------
SIXTH SCENE
*urutan dari kiri ke kanan: nama di QSD, nama asli, nama di FF)
Bidam: Kim Nam Gil (memakai nama asli di FF)
Park Jung Chul: Kim Yong Soo: Jung Yong Soo
Bakui: Jang Hee Woong (memakai nama asli di FF)
Ho Jae: Go Yoon Hoo (memakai nama asli di FF)
Park Jung Chul: Kim Yong Soo: Jung Yong Soo
ChenMyeong: Park Ye Jin (Lee Ye Jin)
Deokman: Lee Yo Won (memakai nama asli di FF)
Yeom Jong (tetap)
San Tak: Kang Sung Pil (memakai nama asli di FF)
-------------------------------------------------------------------------------------------------
─ Kim Nam Gil, Seoul, 2008─
“Test akan segera dimulai, harap semuanya menyiapkan kartu peserta dan alat tulis di meja..” ujar panitia mengumumkan.
Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan. Semalaman aku tidak berhasil belajar. Setelah Hee Wong menelepon, Jung Yong Soo dan Go Yoon Hoo ganti-gantian meneleponku hanya untuk menanyakan keadaanku dan memastikan kedatanganku ke tempat yang dijanjikan. Mereka kadang bisa kekanakan sekali. Hah! Kalau kali ini aku tidak bisa menjawab soal-soal, mereka harus mentraktirku habis-habisan!!
Panitia menatap sekeliling dan mengumumkan sudah tiba waktunya mulai mengerjakan. Bersamaan dengan itu, speaker di ruangan mengumandangkan bahwa ujian masuk sudah dimulai. Aku membalik soal dengan perasaan galau. Semoga saja... belum sempat berujar, rupanya doaku sudah terkabul. Kutatap soal-soal itu dengan pandangan tidak percaya.
Ini kan soal yang sering kukerjakan waktu di Amerika dulu! Syukurlah kebiasaan lamaku menyendiri di perpustakaan dan mengerjakan banyak macam latihan soal kini membuahkan hasil. Tidak sia-sia dulu aku melakukannya sekaligus untuk menghindari pertemuanku dengan Yeom Jong.
Dengan bersemangat soal-soal kukerjakan layaknya mengisi teka-teki silang. Wah, rasanya asyik juga kalau sola-soal bisa kukerjakan selancar ini. Eh, tunggu, soal ini begini kan? Dan begitu pensil kugores lagi, aku tersenyum puas saat lagi-lagi berhasil memecahkan soal berikutnya. Bel tanda selesai berbunyi tanpa ampun. Aku tersenyum lega karena selain menyelesaikan semuanya, aku sudah memeriksa keseluruhan. Dengan santai kuambil tasku dan berjalan santai keluar ruangan.
”Kenapa?” tanyaku bingung pada anak di sampingku.
”eh, nggak,” jawab anak itu malu dan dengan buru-buru menghitamkan jawabannya.
Dengan ragu kutatap ke sekelilingku. Kenapa mereka semua memandangku kaget begitu sih? Pikirku. Pandanganku melayang ke seluruh ruangan. Beberapa bersiap pergi. Hei, rupanya aku orang pertama yang menyelesaikan test-ku.
”Cepat sekali,” puji panitia di depanku. Aku hanya tersenyum seperlunya untuk menanggapi perkataannya. Namun entah mengapa, wanita itu tersenyum salah tingkah saat membalas senyumku.
Masa bodoh, pikirku cuek. Hee Wong, Yong Soo, dan Yoon Hoo sedang menungguku. Sebaiknya aku bergegas saja, pikirku sambil buru-buru melangkah. Siapa sangka saat sedang berlari keluar, lagi-lagi sosok menyebalkan itu mencegatku. Dan tidak lupa dengan gayanya yang pongah dan dua sahabat setia atau pengikut setianya.
“Hai, Nam Gil,” sapanya ramah. Aku mengangkat wajahku malas. “Kulihat kau tetap cekatan seperti dulu,” ia mulai berbasa-basi dan mengeluarkan kemampuannya menjilat. Aku tersenyum masam.
”Aku tahu apa yang ingin kau katakan. Tapi besok saja, atau besoknya lagi, atau kapan-kapan, bahkan kalau bisa nggak usah. Sorry...” tukasku sambil terus berjalan dan tidak mempedulikannya yang terus memanggil namaku.
”Sorry guys, nunggu lama?” tanyaku sambil berjalan ke arah meja di depanku. Tiga pria itu serentak menoleh dan tertawa melihat wajahku yang sedikit tertekuk. Kuletakkan tas ransel begitu saja di kursi.
”Ada hal buruk?” tanya mereka sambil dengan ramah menyapaku.
Kutatap tiga sahabat kentalku itu. Rupanya lama tidak berjumpa, mereka sudah sangat berubah. ”Kalau nggak janjian, kurasa aku tidak bisa mengenali kalian...” tukasku. ”Aku bertemu Yeom Jong tadi. Apa itu termasuk hal buruk?” tanyaku pada mereka.
Tentu saja mereka mengenal pria pendek pembuat masalah itu. Yem Jong sempat mengenyam pendidikan di asrama kami karena kudengar Ayahnya penyumbang dana terbesar di sana. Tetapi, karena hobinya berkelahi dan berjudi, tidak sampai setahun ia sudah dikeluarkan dari asrama. Namanya sudah dicap buruk di sana, kuharap ia tidak menambah panjang daftar masalahnya.
”Oh, anak menyebalkan itu?” tanya Hee Wong. Dari raut wajahnya jelas ia tidak suka.
”Dia? Si pembuat onar dan suka menyeret orang ke dalam masalah? Dia kuliah bersama denganmu?” Yoon Hoo dan Yong Soo menampakkan ekspresi kesal.
“Dia tidak pernah disukai orang, bukan? Sebaiknya berhati-hati dengannya...” ujar Yoon Hoo sambil meneguk kopinya. ”Oh ya, Nam Gil, bagaimana testnya? Kami sudah memesankan capuccino untukmu...”
”Oh, capuccino? Thanks.. dan … testnya?” tanyaku dengan ekspresi pura-pura kecewa. Tetapi dramaku tidak berhasil menipu Hee Wong.
”Dasar anak ini!” ia menepuk pundakku dengan gemas. ”Bisa-bisanya ekspresimu menjijikkan seperti itu! Mau mencoba menipuku?!”
Aku tertawa terbahak-bahak dan menunjukkan tanda oke dengan menempelkan jempol dan telunjukku. Spontan teman-temanku tertawa dan mengangkat gelasnya, bersulang untukku tepat saat minuman untukku datang.
”Kali lain kita harus kumpul-kumpul begini!!” ujarku sambil tertawa. Saat aku menoleh, kulihat seorang dari rombongan Yeom Jong masuk ke restoran. Ia melihatku dan PRANGGG!! Ia menjatuhkan gelasnya. Kalau tidak salah ingat namanya Sung Pil. Kulihat dari sudut mataku sepertinya ia bermaksud mengabarkan keberadaanku pada Yeom Jong. Tidak bisa kubiarkan!
” Nam Gil! Mau kemana?!” tanya teman-temanku. Dengan gesit aku bangkit dan berlari, menarik kerah bajunya dari belakang. Melihatku menarik Sung Pil ke meja kami, yang lain langsung memasang tampang serius. ”Siapa dia?”
”Salah satu anak buah Yeom Jong...” tukasku sambil menatap matanya tajam. Sung Pil sekejap berkeringat dingin dan mengalihkan matanya dariku. ”Namamu Sung Pil kan?”
”Ya, tapi aku jangan diapa-apakan yo...” ujarnya sambil melirikku dengan takut-takut. Wah, pria ini lucu sekali. Kalau tidak ada Yeom Jong, tingkah angkuhnya hilang entah kemana. Mungkin ini kesempatan bagus?
”Apa sih yang ia lakukan sampai kau mau menjadi anak buahnya?” tanyaku, tertarik untuk mengorek info darinya. Tiga temanku menatap diam dengan serius. ”Uang?”
”Yeom Jong membantu kami masuk universitas melalui jalan belakang, jadinya begitu yo...” jawabnya. Aku mengerling geli. Sepertinya sudah jadi kebiasaannya mengucapkan kata ’yoo’. ”Dan ia.. punya bekingan mafia, kalau kami dihajar, bagaimana?”
”Jadi itu alasannya? Rendah sekali! Pergi sana! Dan jangan katakan kalau kau melihatku di sini! Sebagai gantinya, aku juga akan menganggap tidak bertemu denganmu di sini. Sana pergi!!” perintahku. Pria itu serentak lari tunggang langgang.
“Oh, ya, teman-teman...” ujarku. ”Sepertinya sampai di sini dulu, ada tempat yang ingin kutuju.... Kebetulan ini saat tepat...”
“Tempat apa itu?” tanya Hee Wong sambil bersedekap. Aku tersenyum sekilas dan menyebutkan nama West High.
─ Lee Yo Won, Seoul, 2008─
“Terlambat deh,” pikirku sambil menatap arloji-ku. “Ye Jin pasti marah deh,” pikikru sambil mempercepat langkahku. Langit sore terlihat menyilaukan. Rasanya lelah juga karena di luar hari biasa, bahkan hari Sabtu juga para anggota klub diwajibkan datang.
Dan parahnya, Ye Jin melupakan daftar absen yang disimpannya di rumah. Akhirnya ia memintaku membantunya membawakan daftar absen itu. Karena rapat OSIS dan jam mulai kegiatan klub sangat berdekatan, akhirnya aku menawarkan bantuan yang memang diperlukan Ye Jin. Dan berhubung jam mulainya klub dan jam berakhirnya rapat OSIS sangat dekat, kata ’terlambat’ sangat tidak terelakkan.
“Maaf, aku terlambat...” ujarku sambil membuka pintu ruangan klub. Tetapi pemandangan yang kulihat jauh berbeda dengan apa yang kubayangkan. Sebelumnya, biasanya anak-anak pria tampak berlatih dalam grup dan saling membantu memperagakan gerakan baru. Tetapi kini, kenapa mereka berkerumun di tengah lapangan? Dengan penasaran aku berjalan ke arah tengah lapangan.
“Ye Jin!!” seruku begitu melihat Ye Jin menatap ke tengah lapangan dengan raut wajah cemas, bingung, sekaligus kagum dan terpana.
Ia menatapku dan mengomentari keterlambatanku, “Kau terlambat sekali…” lalu kembali menatap ke tengah lapangan.
Apakah aku juga terlambat untuk menyaksikan apa yang terjadi? Pikirku bingung. “Apa sih yang terjadi?” tanyaku sambil berusaha berjinjit untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di tengah lapangan.
”Ada seorang pria yang sendirian, menerobos puluhan siswa kita dan memintanya maju satu-satu untuk melawannya. Entah siapa dia, tapi dia benar-benar hebat...” Ye Jin berdecak kagum sambil memandang ke tengah lapangan. ”Aah, dia bahkan membanting Seung Hyo!!” pekik Ye Jin.
Seorang pria sendirian menerobos puluhan siswa? Entah kenapa begitu mendengar kalimat itu jantungku berdentam keras. ”Aku tidak bisa lihat apa-apa nih! Kenapa sih mereka semua begitu antusias!?” protesku.
Ye Jin menarik tanganku dan membantuku berdiri di kursi yang biasa diduduki pencatat nilai. Dengan terkejut aku melihat pria yang berdiri di sana adalah pria yang pernah merasakan tendanganku di selangkangannya!! ”Dia?!” seruku kaget.
Namun sebelum bibirku mengatakan sesuatu pada Ye Jin, sebuah kilasan peristiwa, seperti sebuah slide film, berputar di kepalaku. Seorang pria, entah siapa dia, hanya dengan sebuah pedang berlumuran darah, maju menuju tempatku berdiri. Melihat matanya dadaku terasa hangat sekaligus nyeri. Jantungku berdebar dengan aneh, dan mataku menatap ke sekeliling. Entah bagaimana bisa kurasakan kalau Ia menerobos untukku! Dapatkah ia melaluinya dengan selamat?!
Pemandanganku berputar dan berputar. Kepalaku terasa begitu pusing, dan beberapa kali denyutnya terasa begitu menghantam. Tubuhku kehilamgan keseimbangan dan jatuh dengan suara keras. Secepat itu pula, tangan Ye Jin menahan laju tubuhku.
Tatapan semua orang kini beralih ke arahku, termasuk cowok aneh itu. Ia bahkan berjalan ke arahku. Aduh, apakah secara tidak sengaja aku mengacaukan acaranya? Pikirku panik.
”Yo Won!! Yo Won!!” panggil Ye Jin cemas. Ia mengguncang tubuhku dengan gugup. ‘Kenapa kau? Kenapa?!” tanyanya.
“Tidak apa-apa,” jawabku sambil berusaha tersenyum. “Hanya agak pusing…” ujarku sambil mencoba berdiri, tapi terhuyung-huyung. Nyaris jatuh, namun sebuah tangan kuat menarikku.
Sesaat aku rak mampu berkata-kata karena kali ini sebuah kilasan lagi-lagi memenuhi otakku. Seorang pria menatapku dengan penuh cinta. Wajahnya tampan dan matanya begitu dipenuhi kepedihan, membuat sebuah sayatan kecil dan dalam di dadaku. Seperti mengiris sebuah luka, aku bisa memahami kepedihannya, dan kemudian ia memelukku. Dalam pelukannya, kurasakan kedamaian. Namun di satu sisi, kurasakan bahwa ini tidak seharusnya terjadi.
”Kau tidak apa-apa?” tanya cowok itu sambil menatapku cemas. Aku menggeleng dengan kepala tertunduk. Apa yang baru saja kupikirkan? Tanyaku malu pada diri sendiri. Begitu kuangkat wajahku, cowok itu menatapku dengan terkejut. "Kau?!?!?!"
”Gawat deh,” saat itu hanya ada dua kata itu dalam pikiranku.
Cowok itu pasti sudah mengingatku sekarang. Sebagai seorang cewek yang menyamar jadi cowok beberapa waktu lalu. Dan bukan hanya itu saja, kebaikannya mungkin akan dirasakannya mubazir. Karena yang ditolongnya adalah cewek yang pernah menendang kemaluannya. Ooh, pikirku kalut. Sekarang semuanya sudah jadi kacau.
---to be continued--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar