-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
THIRTY NINTH SCENE
THE INVISIBLE PAIN
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dokter itu sesaat terpana tanpa mampu berkata apapun. “Apakah saat melahirkan, pendarahannya sangat hebat?” tanyanya. Deokman mengangguk ragu. ”Rupanya hal itu memperparah sel tumor yang ada di sini...” ujar Dokter itu sambil menunjuk asil scan pertama. ”Akibatnya, perkembangannya menjadi sangat cepat...” Bidam melihat tangan dokter itu sedikit gemetar saat menunjuk hasil scan yang baru dilakukan Deokman. ”Kurasa, jalan terbaik adalah operasi...” suaranya terdengar tidak meyakinkan.
”Apakah dengan itu, saya bisa selamat? Apakah, selanjutnya saya tidak bisa punya anak lagi?” tanya Deokman sedih, ragu dan bingung. Ia merasakan genggaman Bidam begitu kuat di tangannya.
”Hanya itu jalan satu-satunya. Dan kalau tidak berhasil juga, kita bisa melakukan kemoterapi... Tapi, hal itu hanya akan menekan sel kankernya, dan kemudian, semuanya tergantung Tuhan...”
Deokman terduduk lemas di kursinya. ”Berapa lama.. berapa lama lagi saya bisa hidup?” tanyanya dengan suara bergetar.
Bidam memandang Deokman dengan pandangan tidak percaya. ”Kenapa kau menanyakan hal semacam itu?!” ia bertanya dengan suara marah sekaligus kecewa. ”Kau akan sembuh, dan kemudian, kita bersama, Nam gil, juga Yo won. Kita berempat akan selalu bersama...”
”Sebaiknya kalian menenangkan diri dulu...” ujar Dokter pelan. ”Lagipula, Nyonya... kalian sudah memiliki anak bukan? Sedikit menyakitkan, namun satu-satunya jalan sementara hanya mengangkat rahimmu...”
-------------------------------===================================--------------------------
”Kau akan mengangkat rahimmu?” tanya Mishil di suatu sore. Bidam telah menceritakan masalah mereka pada Munno dan Mishil. Deokman mengangguk sedih. Mihsil meraih menantunya ke dalam pelukannya.
”Tetaplah kuat, Deokman...” ujarnya sambil menepuk-nepuk punggung Deokman lembut. ”Sejak pertama melihatmu, aku tahu satu hal. Kau wanita yang kuat. Dan tidak ada yang bisa menghilangkan sifat itu darimu...”
”Kalau setelah itu, sel kankernya tetap menyebar, dan aku mati, bagaimana? Apa yang harus kulakukan?” tanya Deokman putus asa. Ia menyandarkan kepalanya dan airmatanya mulai menggenangi pelupuk matanya, mengaburkan pandangannya. ”Aku tidak mau kalian semua sedih, aku bisa gila kalau memikirkan bagaimana perasaan Bidam selanjutnya...” ia terisak sedih.
”Aku tahu, aku tahu,” Mishil mengelus rambut menantunya, menganggapnya putrinya sendiri. ”Karena itu, kita manusia hanya bisa berjuang. Selebihnya terserah Tuhan...” ia menepuk punggung Deokman lembut, seperti menenangkan anak kecil.
”Aku mencintainya...” ratap Deokman. ”Dan aku... tidak mau... ia bersedih karena aku...” ujarnya terputus-putus. Tangisnya meledak dalam hitungan detik. Ia tahu, biar bagaimanapun, pihak yang ditinggalkan selalu lebih menderita.
--------------------------------------======================-------------------------------------------
Deokman tidak takut akan operasi. Ia tidak takut menjalaninya seberapa pun sakitnya proses itu. Satu-satunya yang ia takutkan, ia tidak bisa membuka matanya selamanya. Operasi berjalan sukses, nyaris tanpa rasa sakit. Dan Deokman bersyukur. Terlebih karena saat membuka mata, sosok yang pertama kali dilihatnya adalah Bidam.
”Hai, selamat pagi...” sapa Bidam sambil tersenyum. Sosoknya yang membelakangi gorden yang berkibar-kibar membuat Deokman tersenyum. Suaminya memang sangat tampan. ”Kurasa akan ada mujizat...” ujar Bidam sambil tersenyum.
”Aku harap begitu...” jawab Deokman antusias. Di sisi lain, ia ingin menangis. Akhirnya ia tidak bisa memberikan adik untuk Nam gil dan Yowon. Tapi, karena inilah yang terbaik, ia tidak bisa mengatakan apapun. Sudut matanya terasa panas. Namun ciuman Bidam di keningnya membuat senyumnya muncul kembali.
“Kenapa tiba-tiba sikapmu manis begini ya?” tanya Deokman sambil mengeluarkan senyuman jahil.
“Siapa bilang? Bukannya setiap saat aku memang manis?” tanya Bidam membalas. Ia tersenyum lebar, dan Deokman terpaksa mengakui dalam hati. Suaminya memang pria paling manis dalam hidupnya.
--------------------------------------====================-----------------------------------------------
Seoul, 4 tahun kemudian
”Nam gil, jangan ganggu adikmu di sana!!” gerutu Deokman sambil berkacak pinggang. Nam gil sedang nakal-nakalnya saat ini.
Ada-ada saja ulahnya. Menggambari tembok dan menulis aku tampan━hanya kata itu yang sangat diingatnya━dan kadang ia juga menulis ─aku sayang papa mama─tapi hanya kadang-kadang.
Dan lebih sering lagi, ia berkhayal kalau ia adalah seorang ksatria. Dan ia sering memaksa Yowon pura-pura menjadi putri yang harus diselamatkannya. Yowon tentu saja senang. Daripada main boneka dengan teman satu kompleks perumahan, main dengan kakak yang lahir beberapa menit lebih dulu terasa lebih menyenangkan. Apalagi kakaknya bisa membuat suasana bermain mereka lebih seru.
Deokman dan Bidam hanya mampu geleng-geleng kepala dengan heran. Kedua anak mereka masing-masing punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dan keduanya menunjukkan kecerdasan lebih dibandingkan dengan anak-anak seusianya.
”Hari ini Hyo Hoon datang?” tanya Bidam dengan binar mata penuh semangat. ”Aku mau menunjukkan pedang-pedangan baruku padanya! Dan ia sudah berjanji mau adu lomba cepat padang robot-robotan denganku!!” ia terlihat sangat tidak sabar.
”Tentu saja dia akan datang. Bahkan mungkin Papanya, maksudku, Om Alcheon dan Tante Chenmyeong akan datang membawa hadiah mainan baru untuk kalian...” jawab Deokman sambil mengelus kepala putra dan putrinya bergantian. Ia menatap puas ke ruangan penuh dekorasi lucu itu. Dan kue ulangtahun yang semalam dibuatnya. ”Sekarang, coba kalian cari di mana Appa kalian...”
”Appa ada di pagar,” celetuk Yo won. “Pas ngintip, ternyata tante dan om datang. Dan ada om satu lagi tuh ma...” jawabnya sambil menarik-nari rok Ommanya. Ia tampak manis dalam balutan busana putri kecil.
”Om yang mana?” tanya Deokman sambil tersenyum. ”Mungkin maksudmu, Haraboji?” ia berusaha mengoreksi, tapi putrinya malah menggeleng kuat-kuat.
”Bukan, pasti Om kok, ma!! Masa aku nggak tahu sama Haraboji!!” tegasnya yakin. ”Tingginya beda tipis sama Appa!! Tapi mukanya tua dikit, hehe.. terus matanya sipit. dikit.. dagunya kotak-kotak dikit...”
Deokman menahan tawanya. ”Maksudmu Om Yushin?!” tanya Deokman akhirnya. Ia geli mendengar cara putrinya mendeskripsikan Yushin. Semuanya serba didefinisikan dengan kata dikit. Lain kali ia akan mengajari putrinya menggunakan kata ’agak’.
”Om Yushin juga datang!?” seru Nam Gil ceria. ”Aku mau menyambutnya ah!!” ia berlari dengan riang ke arah pintu. ”Oommm!!!” dari jauh seruan senangnya sudah terdengar.
”Ayo, sana ikuti kakakmu menemui Om Yushin!!” ujar Deokman sambil tersenyum.
”Mama pakai bedak?” tanya Yo won bingung. Ia memiringkan kepala. ”Kok muka mama putih?”
”Mama tidak apa-apa kok, Cuma kecapekan saja...” jawab Deokman sambil tersenyum. ”Ayo, sana temui Om dan tante.. nanti kamu nggak dapat hadiah loh!!” begitu diancam seperti itu, segera Yo won berlari menyusul kakaknya. ”Wah, cantiknya!!” suara pujian Chenmyeong terdengar sampai ke sini.
”Mana Omma-mu?” tanya Bidam sambil mengangkat putrinya. Ia menggendong Nam Gil di bahu kiri dan Yo won di bahu kanan. Yo won dan Nam gil menunjuk ke arah dapur. Bidam mengangguk paham. Tapi tak lama... PRANGGG!!! Terdengar suara piring pecah.
Dengan terkejut semua berlari ke arah dapur. Bidam menurunkan anaknya dari gendongan dan dengan panik memeluk Deokman yang terkapar di lantai dapur. Piring-piring pecah berserakan di dekatnya. ”D-deokman!? Deokman?! Kenapa? Kau Kenapa? Sadarlah!! Ia menatap sekeliling dengan panik. Hanya tiga kata keluar dari mulutnya. ”Panggil Ambulans, cepat!!!”
----------------------------------========to be continued========-------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar