-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
THIRTY SEVENTH SCENE
THE UNFORGETTABLE MOMENTS
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Deokman sedang asyik bersenandung sambil menimang putranya ketika Bidam berjalan menghampirinya sore itu. Di kamar mereka, Yo Won sudah tertidur pulas. ”Dia sduah tidak rewel lagi?” tanyanya sambil duduk di samping Deokman.
”Sudah tidak, sekarang dia manis sekali...” Deokman tersenyum senang sambil mencium pipi bayinya dengan lembut. ”Dan dia sangat mirip denganmu...”
”Terimakasih,” sahut Bidam senang. ”Kurasa dia mirip kita berdua. Dan Yo won sudah tidur pulas daritadi. Kurasa dia agak lebih tenang daripada Nam gil...”
”Kurasa putranya akan mirip seperti Appa-nya...” sahut Deokman sambil tertawa. Ia menatap keremangan senja dan menghela nafas panjang. ”Rasanya damai sekali, bukan? Setelah masalah datang bertubi-tubi, terselesaikan, dan bahkan menghilang, rasanya suasana semacam ini terlalu tidak nyata...” keluhnya sambil menatap rona merah di ufuk senja. ”Kalau memandang burung-burung yang terbang saat senja itu, aku selalu teringat dirimu...”
”Aku?” Bidam memiringkan kepalanya, bingung. ”Kenapa aku?”
”Karena puisi buatanmu...” jawab Deokman sambil bangkit dan menggendong Nam gil memasuki kamar. Tak lama ia pergi ke dapur dan kembali dengan dua cangkir teh. Mereka menikmatinya dalma keheningan. ”Adakalanya... aku merasa kalau aku begitu memahamimu...dan ada kalanya tidak...”
”Hm...” Bidam meniup tehnya dan menyeruputnya pelan, menghirupnya. Kebersamaan semacam ini akhir-akhir ini menjadi keseharian mereka. Dan kalaupun ada saat tidak terlupakan bersama Deokman, keseharian mereka menghabiskan waktu bersama dalam keremangan senja adalah suatu kebiasaan menyenangkan seperti halnya meneguk segelas air di pagi hari. ’Tehnya enak,” pujinya.
Deokman tertawa sampai lesung pipinya terlihat. ”Kenapa kau membuat puisi yang begitu sepi?” tanya Deokman lagi. Bidam menatapnya bingung. ”Footless bird,” tukas Deokman, dan Bidam mengangguk paham sambil tersenyum kecil.
”Aku membuatnya sudah lama sekali... terlalu lama. Saat itu, sejak masih kecil aku tinggal dengan Munno-shi, tidak merasakan keberadaan seorang Ibu, tidak mengerti arti cinta yang sebenarnya, dan terus menerus mempertanyakan arti keberadaanku di dunia ini...”
Deokman mendengarkan dengan sabar, mengangguk paham saat mata pria itu menatapnya lagi, berusaha menyelami isi hatinya, dan bagaimana pendapatnya kini. ”Dan sekarang? Apakah perasaanmu masih seperti itu?”
”Kurasa sekarang, puisi itu lebih tepat diberikan untukmu, untuk Ratu Shilla yang dulu, yang seumur hidupnya begitu kesepian... Namun kini, kau tahu, dan aku juga tahu. Kita sudah bersama. Tidak ada salah satu dari kita yang kesepian...”
”Ehehmmm...” Deokman mengangguk puas dan tersenyum. Perasaannya jauh lebih lega. Matanya kembali menatap kawanan burung itu. Tidak ada seekor burung tanpa kaki di sana. Semuanya terbang bersama-sama, bergembira dan tidak sendirian. Tidak ada burung tanpa kaki yang kesepian di sana. Dan kalaupun ada, entah ia atau Bidam si burung tanpa kaki itu, ia tahu, salah satu dari mereka akan menjadi kaki bagi yang lain, dan ia percaya, makna itu bahkan lebih kuat dari sekedar cinta.
”Aku mau melihat Nam gil dan Yo won dulu, lalu mandi...” Bidam beringsut bangkit dan mengangkat cangkirnya dan Deokman. ”Kau istirahat dulu saja di sini... dan, Deokman?” panggilnya ragu.
Deokman menoleh dan menatapnya dengan pandangan bening. Bidam tersenyum jahil lalu berjalan ke dapur. ”Jangan lupa janjium, besok kita ke dokter...” kali ini Deokman hanya mampu menyanggupi dengan terpaksa.
----------------------------------=========================------------------------------------------
”Hanya kelelahan,” ujar Dokter sambil meletakkan stetoskopnya dan sesaat kemudian, seorang perawat membawa selembar map ke ruangannya. Ia berterimakasih dan setelah perawat itu pergi, ia membuka hasil scan dengan hati-hati.
Bidam menatap dokter itu dengan curiga. Sejenak ia merasa ekspresi dokter itu berubah kelam. Namun karena sejurus kemudian Dokter itu kembali tersenyum hangat, ia merasa kecurigaannya sia-sia belaka.
”Apakah kami boleh pulang sekarang?” tanya Deokman tidak sabar. Ia menatap Bidam dengan pandangan—tuh kan sudah kubilang masih tidak percaya—dan tersenyum puas. Bidam memaksakan otot wajahnya bergerak membentuk senyuman.
”Baiklah, tentu saja.,..” jawab Dokter itu ramah dan mengantar mereka ke pintu. Tapi, begitu Deokman berjalan duluan tanpa menoleh ke belakang, Dokter itu menarik Bidam dengan dengan cepat runtutan kalimat meluncur dari bibirnya.
”Berikan aku nomor teleponmu, kurasa ada hal penting yang harus kita bicarakan...”
Kali ini Bidam tidak banyak bicara. Ia bergerak cepat. Memberikan kartu namanya, lalu menyalami Doketr itu dan pergi sebelum istrinya sempat curiga. Perasaannya tidak nyaman, sungguh. Dan ia tidak tahu apa yang ingin dikatakan Dokter itu kepadanya.
Bidam tidak menunggu lama. Selang beberapa menit setelah ia tiba di rumah dan bermaksud menghampiri Nam gil dan Yo won untuk bermain, telpon genggamnya berbunyi nyaring.
”Ooh, Wolya-shi?” Tanya Bidam setengah berakting. Deokman yang berdiri di sebelahnya memandangnya dengan senyuman senang. Mungkin kabar bagus, pikirnya. Tapi Bidam memandang istrinya dengan pandangan setengah bersalah karena berbohong. Biar bagaimana pun, pasti ada alasan tertentu yang membuat Dokter itu mengurungkan niatnya untuk mengatakannya di depan Deokman.
”Siapa itu Wolya-shi?” tanya Dokter itu bingung.
”Hai, teman lama, maaf, aku sedang di rumah sekarang...” jawab Bidam. ”Dan berada di samping istri dan anakku yang sedang tidur. Tunggu sebentar, aku keluar dulu...” ia memberikan rangkaian jawaban cerdas sehingga Dokter itu dengan cepat memahami bahwa Bidam tidak dalam kondisi tepat untuk bicara langsung. Setelah menunggu beberapa saat, Bidam melangkah keluar tanpa dicurigai Deokman. ”Bagaimana?” tanyanya buru-buru, takut si Dokter keburu mematikan teleponnya.
”Sebenarnya ada kecurigaan kalau ada tumor di rahim istrimu...” uajr Dokter itu dengan nada cemas. ”Tapi ini baru kecurigaan. Dan tidak baik kalau ia langsung mengetahuinya tadi. Kesehatannya masih rentan setelah melahirkan. Dan lagipula, ini baru dugaan... Halo? Halo? Anda masih mendengarkan?”
Bidam tidak bisa menjawab. Handphonenya sudah jatuh ke tanah segera setelah ia mendengar bahwa ada kemungkinan Deokman mengidap tumor. Dengan tangan gemetar, ia memungut teleponnya yang jatuh. ”Aku dengar,” jawabnya dengan suara bergetar, dan tangan satunya memijit ujung hidungnya dengan gugup. ”Teruskan. Katakan...Apa yang..harus kulakukan...” ia berusaha menekan suaranya sewajar mungkin, walaupun saat itu jantungnya berdebar tidak karuan...
--------------------------==========to be continued============-------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar